Isnin, 7 Januari 2019

Un-Cali. 9007.


Hati. 
Foto Kembara Mencari Redha.
6 PENYAKIT HATI YANG SEMAKIN JELAS MENIMPA UMAT PADA ZAMAN INI

Daripada Abu Hurairah r.a. beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Umatku akan ditimpa penyakit-penyakit yang menimpa umat-umat terdahulu."

Sahabat bertanya

"Apakah penyakit umat-umat terdahulu itu?"

Nabi ﷺ menjawab:

1- Terlalu banyak seronok.
2- Terlalu bermewah-mewah.
3- Menghimpun harta sebanyak mungkin.
4- Tipu menipu dalam merebut harta dunia.
5- Saling memarahi.
6- Hasut menghasut hingga menjadi zalim menzalimi.

(Hadis Sahih Riwayat Al-Hakim)

Semoga kita dijauhkan daripada penyakit-penyakit tersebut dan sentiasa mendapat petunjuk dari Allah agar berada di jalan yang benar menuju syurgaNya.

Allahumma Aamiin.

Kembara Mencari Redha - Siaran

Perempuan dan Rekayasa Generasi 
Senin, 7 Januari 2019 12:55 
Foto: Ilustrasi perempuan sebagai pendidik
Terdengar cukup ekstrem, namun inilah tugas setiap mamak pada hari ini. Mamakyang hidup di tengah jaman tanpa batas, di mana kemajuan berbanding lurus dengan keterpurukan.

Menjadi muslimah kaffah (menyeluruh) zaman now, jujur bukan hal yang mudah.  Moderat dan radikal menjadi tawaran yang mampu mengacaukan alam berpikir kita semua, kita yang bernama “perempuan”.

Di kubu mana saja ia berdiri, perempuan adalah sasaran tembak yang paling tepat untuk mengubah tatanan dunia. Dari perempuan-perempuan inilah akan lahir generasi seperti yang diinginkannya. Hitam putih anak-anak di dunia bergantung pada para perempuan yang menjadi ibunya.

Maka tak heran, musuh-musuh Islam selalu menghiasi jalan keluar yang indah bagi kaum perempuan dari ideologi Islam “konservatif” yang dianggap membahayakan. Tetap berIslam, namun ruang berpikirnya jauh dari tataran Islam.

Ide pertama muncul dengan membiarkan setiap perempuan melenggang ke tempat-tempat kerja yang dianggap syar’i. Mungkin masih teringat di benak kita tatkala muslimah berjilbab era 90-an hampir tak mendapat peluang bekerja di luar rumah. Merapatkan barisan di dalam rumah menjadi pilihan terbaik untuk tetap istiqomah.

Zaman berubah, mengabdikan diri di sekolah-sekolah Islam atau menjadi owner toko onlen milik sendiri, rupanya menjadi pilihan. Tetap bekerja, tetap bisa mengasuh anak (?), dan mengamalkan ilmu yang dimiliki. Apalagi di media sosial pun kemudian aktif berperan, menampilkan kiprah mereka yang berseri-seri.

Seharusnya tak ada yang janggal di sini. Namun sebagai perempuan, mari kita bertanya pada lubuk hati yang  terdalam. Tidakkah disadari, bahwa ada “hati” yang menangis ketika ibu asyik di depan gadget. Asyik menjawab setiap pertanyaan customer dengan hati-hati, meski harus membuat “luka” hati yang lain.

Tidakkah ibu sadari, ada mata yang memendam rindu ketika tangan melambai meninggalkan buah hatinya di tempat-tempat pengasuhan. Meski ibu berjanji menjenguknya setiap saat, namun kelelahan telah mengubahnya menjadi ibu yang ada tapi tiada.

BACA JUGA  Tahun Baru: Mestinya Muhasabah, Bukan Hura-hura

Akhirnya juga tanpa disadari, “wa qorna fi buyutikunna” tetiba dianggap monster besar yang menimbulkan phobi. Sementara pada saat yang sama musuh-musuh Allah tersenyum gembira dengan kemenangannya.  Bertepuk lega karena berhasil menyibukkan para perempuan berjilbab dengan dunia berbungkus akherat yang diciptakannya sendiri.

Di sini letak ironisnya. Generasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab utamanya terlantar begitu saja. Anak-anak yang seharusnya mendapat kasih sayang sempurna “dipaksa” melewatkan seluruh kesempatan emasnya bersama sang bunda. Tanpa bisa protes.

Padahal sejak Ibu Hawa terlahir, maka sejak itu pula kita telah “menandatangani” sebuah nota kesepakatan, untuk menjadi pendamping kaum Adam. Untuk setuju menjadi pelengkap segala urusan laki-laki yang dianggap remeh bahkan hina oleh para penuntut kesetaraan gender.

Dapur, sumur dan kasur. Adakah yang menganggap ini bukan pekerjaan perempuan? Terbayang bila wanita di antero dunia ini menafikannya, maka keseimbangan hidup pasti terganggu. Mungkin tak akan ada laki-laki berangkat mencari ma’isyah (nafkah) dengan pakaian rapi, perut kenyang dan hati lapang, karena para wanitanya sudah tak lagi peduli akan rumah.

Ini yang terkadang tidak bisa diterima begitu saja oleh akal sehat perempuan. Bahkan akal sehat para muslimah sekalipun. Seolah wanita (baca: istri) harus menjadi sosok terpinggirkan karena kedudukannya yang “hanya” di dalam rumah. Sedangkan “sabda” suami pemegang tampuk kekuasaan, menjadi perintah tak terbantahkan dalam keluarga.

Padahal syariat tidak pernah memarginalkan kaum wanita. Tidak pernah ada yang salah dengan syariat. Jelas dan gamblang Rasulullah mencontohkan cara masing-masing elemen memainkan peran. Tujuannya jelas, apalagi kalau bukan untuk merekayasa generasi agar semakin dekat kepada Allah.

Sesungguhnya syari’at juga tidak pernah melarang kaum perempuan keluar rumah untuk memenuhi hajat hidupnya. Urusan serius seperti shalat di masjid saja Rasulullah tidak melarang, apalagi urusan lain yang sama urgennya. Tapi ingatlah, semua ada masanya. Maka bersabarlah, tatkala anak-anak masih berada pada masa kritis di 7 tahun pertamanya. Masa yang tak pernah terulang, atau kita menyesal selamanya karena telah melewatkannya.

Biarkan para suami menunjukkan izzah (kehormatan) dengan mencarikan maisyah, karena ini memang menjadi tugas dan wewenangnya. Sedangkan wanita diperintah untuk menjaga/ mengelola harta suaminya. Ini sepaket dengan perintah Allah agar suami istri saling menjaga kehormatannya. “Hunna libasul lakum wa antum libasul lahunna.”  Dia adalah pakaian bagimu, dan engkau adalah pakaian baginya.

Tidak ada sosok yang paling pantas mendidik anak-anak kita selain kita sendiri. Karena Allah tak pernah memberikan amanah di luar kemampuan kita. Maka sebenarnya rekayasa generasi ini menjadi tugas terhormat yang Allah turunkan bagi para perempuan. Tugas besar yang semula mungkin tidak pernah terpikirkan, selain hanya menjadi peristiwa alamiah yang memang harus dilakoni setiap perempuan.

Adakah kita pernah terbesit, bermimpi besar sebagaimana Ibunda Shalahudin Al Ayyubi ketika berniat menuju ke pelaminan. Wanita sholihah itu berkata, “Aku ingin hidup bersama seorang pemuda yang akan menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.” So sweet, dan Allah mengabulkannya.

Tidak ada yang berubah dengan syariat. Sejak 14 abad lalu hingga hari ini aturan yang berlaku tetaplah sama. Zamanlah yang banyak berubah. Musuh-musuh Allah-lah yang semakin getol dan canggih memoles dunia yang buruk rupa menjadi cantik memesona. Tinggal kita mau berdiri di kubu yang mana.

Penulis: Ummu Asiah (Pendidik PAUD di Sukoharjo)
Perempuan dan Rekayasa Generasi - Kiblat

Ismail Yusanto: Miss World Simbol Eksploitasi Perempuan 
Rabu, 10 April 2013 14:00

KIBLAT.NET, Jakarta – Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan penolakannya terhadap ajang kontes kecantikan Miss World 2013 yang dijadwalkan berlangsung 28 September di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor.

“Menolak penyelenggaraan  Miss World karena kontes ini adalah salah satu simbol eksploitasi perempuan dengan dalih pemberdayaan dan penggalian potensi diri. Miss World adalah ikon pornografi dan eksploitasi,” tegas Jubir HTI Ismail Yusanto kepada an-najah.net Rabu, (10/4/2013) Jakarta.

Lanjutnya, sikap Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang menyatakan hendak menjamin tidak akan ada kontes bikini, seakan-akan tidak memahami permasalahan yang sebenarnya dan seolah menganggap pertentangannya dengan syariah hanya pada bikininya.

“Itu bukan sikap yang layak ditunjukkan oleh seorang pemimpin Muslim. Bukankah dasar penyelenggaraannya sudah bertentangan dengan syariat? Yakni menempatkan perempuan seolah kapstok baju,” kritiknya

Miss World dan kontes semacamnya menyeret dan mengeksploitasi kaum perempuan pada kompetisi jahiliah yang mengumbar aurat, diukur ‘prestasi’-nya dari kemolekan tubuh dan diperlakukan layaknya kapstok pakaian yang dipakai untuk memajang model terbaru sebuah baju agar menarik minat pembeli.

Ia menekankan, yang perlu difahami ketika tidak ada bikini bukan berarti tidak ada kepornoan. Para peserta tetap tampil berlenggak lenggok di hadapan laki-laki asing, juga dihadapan kamera yang akan menjual gambar-gambarnya sebagai produk pornografi.

“Bahkan harus diketahui oleh Pak Aher bahwa yang dimaksud tidak pakai bikini, bukan berarti ditiadakan kontes pakaian renang, tetap ada kontes pakaian renang yang one piece,” ujarnya.

Muslimah HTI pun menolak acara maksiat tersebut diselenggarakan, apalagi diselenggarakan di negeri Muslim terbesar ini. Karena bisa menjadi pembenar bahwa umat Islam membenarkan kepornoan merajalela.

Ismail menjelaskan bahwa di dalam Islam perempuan ditempatkan pada posisi mulia, sebagai kehormatan sebuah keluarga bahkan sebuah bangsa. Oleh karena itu, perempuan seharusnya dihormati, bukan dieksploitasi. Tidak ada tempat bagi mereka yang ingin menempatkan perempuan sebagai daya tarik sebuah produk, atau memuaskan nafsunya dengan menonton perempuan berlenggak lenggok memamerkan auratnya dan tidak akan dibiarkan bila ada perempuan yang ingin mempertontonkan auratnya.

Nilai seorang perempuan ditentukan oleh ketakwaan dan sumbangsihnya bagi kebaikan dan perbaikan masyarakat. Karenanya perempuan yang mulia bukanlah yang paling proporsional ukuran fisiknya, tapi yang alim lagi berilmu, juga yang berdedikasi menyumbangkan waktu, ilmu dan hartanya untuk kemaslahatan.

Menurut Ismail, sikap Gubernur Jabar dengan memberi  izin penyelenggaraan Miss World membuktikan bahwa demokrasi memenangkan kepentingan bisnis. 

“Dan  telah menyeret seorang pemimpin melupakan panduan agamanya dan menjadikannya sekular.” tandas Ismail. (qathrunnada/an-najah)

Ismail Yusanto: Miss World Simbol Eksploitasi Perempuan - Kiblat

Sambutlah Hari Ibu saban hari.

Hari Ibu, Menimbang Kedudukan Wanita dalam Islam
 

Selasa, 24 Desember 2013 16:57
Foto: hari Ibu
KIBLAT.NET – Setiap bangsa mempunyai sejarah unik memperingati hari ibu, seperti di Inggris atau pun Yunani. Di Yunani, hari ibu dikenal sebagai perayaan musim bunga, sedangkan di Inggris hari ibu diperingati diidentikkan penghormatan kepada maryam yang disebut Mother Mary.

Begitupun di Indonesia, perayaan hari ibu di Indonesia jatuh pada tanggal 22 desember. Menilik sejarahnya, peringatan hari ibu berawal dari berkumpulnya para pejuang perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.

Salah satu hasil dari kongres tersebut salah adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres tersebut terilhami oleh para pejuang kaum perempuan yang berkorban melawan penjajah.

Tentu saja, pada waktu itu, kaum perempuan merasa terbelakang dan menutut perbaikan nasib, karena di zaman itu tak lepas dari kesalahan berfikir pola masyarakat yang menyatakan bahwa peran perempuan masih berada di kelas kedua sehingga posisi kaum perempuan termaginalkan. Seperti, sulitnya mengakses pendidikan untuk perempuan terkecuali bagi mereka yang ningrat.

Namun sekarang zaman kian berubah, isu terhadap kaum perempuan masih tetap nyaring terdengar, sehingga muncul opini keterwakilan perempuan di parlemen, mereka beralasan bahwa ketika perempuan mempunyai suara di parlemen diharapkan membawa angin perubahan dan angka diskrimnatif terhadap perempuan bisa ditekan, seperti kasus KDRT, eksploitasi kaum perempuan dan keterlibatan perempuan dalam perpolitikan bisa dihidupkan.

Lantas pertanyaannya sudahkah keterwakilan mereka di parlemen memberikan jawaban atas segala permasalahan?

Untuk menajawab semua itu kita bisa melihat fakta sebenarnya sudah banyak contoh kaum perempuan terjun di ranah kekuasaan. Bahkan menjadi pucuk kekuasaan seperti Megawati menjadi presiden. Fenomena serupa juga terjadi di Pakistan dengan Benazir Bhuttonya, namun keduanya belum mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kaum perempuan.

Perempuan dalam pandangan Islam

Sebagaimana laki-laki, hak perempuan terjamin dalam Islam. Pada dasarnya, segala yang menjadi hak laki-laki, ia pun menjadi hak wanita. Agamanya, hartanya, kehormatannya, akalnya dan jiwanya terjamin dan dilindungi oleh syariat Islam sebagaimana kaum laki-laki. Contoh yang terdapat dalam Al-Quran adalah wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam beribadah dan mendapat pahala:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisâ [4]: 124).

Ayat tersebut adalah jaminan dari Allah bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan setara, yang menjadi motivasi mereka beraktivitas beramal sholeh adalah pahala di sisi Allah, Islam jauh lebih dulu memberikan posisi mulia terhadap perempuan, sebagaimana dalam hadist Rasulullah Saw menyampaikan,

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Politik perempuan dalam Islam

Berbeda dengan pandangan barat, Islam memberikan keleluasaan yang khas politik bagi perempuan, hanya saja Islam menitikberatkan kepada fitrah perempuan. Karena sifat yang Allah ciptakan kepada perempuan adalah penyayang, lemah-lembut maka tugas seorang perempuan yang utama adalah menjadi seorang isteri, ibu sebagai pendidik anak-anaknya. 

Dari sinilah kita melihat kualitas seorang ibu yang taat akan fitrahnya mampu melahirkan generasi unggul, lalu bagaimana partisipasi mereka terhadap ranah politik.Wanita dalam Islam adalah partner bagi laki-laki beramar makruf nahi munkar, sebagimana dalam A–Qur’an:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; 

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Taubah [9]: 71)
Setiap perempuan akan melibatkan seluruh aktivitasnya sebagai upaya untuk mengoreksi setiap permasalahan yang ada, karena itu bagian dari amar ma’ruf, mereka diizinkan terlibat bersama-sama membina umat, berperan aktif mengurusi dakwah. Karena di dalam Islam, politik tidak selalu diidentikkan dengan meraih kekuasaan duduk di parlemen, politik sejatinya adalah mengurus urusan umat.

Jika setiap perempuan, pemikirannya tercerdaskan terhadap fitrahnya, maka akan lahirlah sebuah kesadaran yang akan meningkatkan taraf berfikir kaum perempuan. Mereka akan mencetak generasi berkualitas ditengah-tengah masyarakat. Sejatinya, Islam memberikan keadilan kepada laki-laki dan perempuan, dan meletakkan kembali keduanya pada fitrah dan tujuan penciptaan masing-masing. Wallahu a’lam.
*Anastasia, Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung

Hari Ibu, Menimbang Kedudukan Wanita dalam Islam - Kiblat

Persoalan Perempuan adalah Persoalan Sistemik 
Rabu, 24 Desember 2014 21:10
Foto: Kongres Ibu Nusantara, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.
KIBLAT.NET – Perbincangan tentang perempuan memang tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada hal-hal menarik untuk diperbincangkan. Terlebih saat ini persoalan demi persoalan terus mendera kaum perempuan.

Berbagai persoalan yang membelit kaum perempuan tidaklah berdiri sendiri. Artinya persoalan perempuan adalah persoalan yang terkait dengan persoalan lainnya, atau dengan kata lain, persoalan perempuan adalah persoalan sistemik, persoalan yang lahir dari sistem yang diterapkan saat ini.

Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rahmah mengungkapkan dalam konferensi Pers Kongres Ibu Nusantara ke-2 di Tennis Indoor Senayan Jakarta (21/12/2014), bahwa persoalan yang hadir saat ini dengan beragam bentuknya, terutama permasalahan tentang perempuan, keluarga dan generasi disebabkan oleh munculnya tata pemerintahan yang tak seharusnya. Kurang optimalnya fungsi ibu tidak lepas dari penerapan sistem atau tata pemerintahan yang salah.

Ada sebagian anggapan bahwa penerapan demokrasi yang diterapkan saat ini belum sempurna atau kurang ideal. Menanggapi hal itu, Iffah menegaskan, justeru persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini muncul dalam intensitasnya yang lebih tinggi dan dalam bentuk yang memprihatinkan karena penerapan demokrasi.

Karenanya lanjut Iffah, ketika bicara tentang persolan perempuan, keluarga dan generasi tidak cukup dengan membicarakan fungsi ibu yang belum optimal saja, tapi harus disadari bahwa hilangnya role model ibu yang ideal adalah akibat dari penerapan kapitalisme-demokrasi, lebih khusus lagi rezim neolib atau rezim pro pasar. 


Lebih lanjut Iffah mengatakan bahwa kondisi perempuan dan anak-anak semakin mengenaskan disebabkan oleh rezim pro pasar (rezim neolib) yang semakin menghilangkan fungsi ibu yang seharusnya. Rezim neolib saat ini menghapus sedikit demi sedikit peran dan fungsi ibu dengan memperkerjakan perempuan (mengeksploitasi perempuan) untuk mengentaskan kemiskinan bangsa. Perempuan dianggap potensial secara ekonomi untuk bisa berkontribusi dalam pembangunan ekonomi bangsa, mengentaskan kemiskinan bangsa.

Maka, dapat dipahami bahwa persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan anak adalah persoalan sistemik, sehingga perlu usaha sungguh-sungguh dan sistemik untuk menghentikan sistem dan rezim neolib dan menggantinya dengan sistem pemerintahan islam yaitu khilafah.

Ketua Panitia Kongres Ibu Nusantara ke-2, Dedeh Wahidah Ahmad menambahkan bahwa persoalan ini bukan permasalahan individu tetapi permasalahan manusia akibat sistem, maka solusi yang ditawarkan oleh MHTI adalah bukan ganti rezim saja tetapi ganti sistem. Selama sistemnya masih sama yaitu sistem demokrasi, maka persoalan demi persoalan akan tetap mendera.

Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem yang benar yaitu yang datang dari Allah, Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan, sistem Islam. Sistem Islam akan mengatur dan menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia tanpa kecuali. Namun keberadaan sistem Islam ini harus ada institusi yang menerapkannya, yaitu Khilafah Islamiyah.

Khilafah Islamiyah akan menerapkan Islam secara komprehensif dan melahirkan kehidupan yang harmonis dan menyejahterakan. Tugas kita bersama adalah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam. Wallahua’lam.
 
Oleh : Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten
Persoalan Perempuan adalah Persoalan Sistemik - Kiblat

Bila Terjadi Gerhana, Apa yang Harus Dilakukan Wanita Haid? Jum'at, 27 Juli 2018 10:45

Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak 
Ahad, 23 Desember 2018 15:32
Foto: Ilustrasi Kasih Sayang Ibu.
Aku akan pergi berperang, aku punya dua tujuan, membantu pasukan muslimin memenangkan peperangan atau menemui kesyahidan.

Tapi Abu Abdurrahman, kepada siapa engkau menitipkan aku beserta bayi dalam kandunganku? Sementara kamu tidak mempunyai sanak keluarga di kota ini.

Aku titipkan engkau kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ini aku tinggalkan 30.000 dinar untukmu, pakailah sebaik-baiknya untuk keperluan anak kita kelak hingga aku kembali.

KIBLAT.NET – Mari kita bayangkan sejenak jika Ummu Rabiah adalah emak-emak millennial, apa yang akan diperbuat dengan uang 30.000 dinar. Pasti tidak jauh-jauh dari membeli kebun kurma, kebun anggur, atau membuka peternakan Unta atau apapun yang bisa menjadi semacam passive income, sehingga tak perlu berlelah-lelah membanting tulang dan dapat sepenuhnya fokus membesarkan anak seorang diri.

Nyatanya Ummu Rabiah tak seperti itu, dia menginvestasikan seluruh uang tersebut pada sesuatu yang bahkan warga Madinah pada zaman itu (51 H) menggelengkan kepalanya. Bahkan Ummu Rabiah sendiri tidak berani menceritakannya kepada sang suami Farrukh sepulang dari peperangan.

Dikisahkan setelah tiga puluh tahun, Farrukh yang kini berusia enam puluh tahun pun pulang dari peperangan. Ketika rembulan bersinar terang, dia memasuki gerbang kota Madinah, dia pun menyusuri jalanan kota Madinah. Kemajuan pembangunan dan perubahan bangunan-bangunan kota Madinah sedikit membuatnya bingung, terlebih tak ada yang memperhatikan dan mengenalinya, bagi warga Madinah sudah tak asing lagi melihat mujahidin yang pulang pergi untuk berjihad.

Untunglah rumahnya tidak berubah, dia mendapati pintu rumahnya sedikit terbuka. Karena terlalu gembira ia pun masuk tanpa mengetuk pintu dan mengucap salam. Di dalam rumah, terdapat seorang pemuda yang terkejut melihat seorang pria tua membawa pedang memanggul tombak memasuki kediamannya di malam hari.

Perkelahian pun tak terelakkan, keributan itu pun mengundang kerumunan orang. Tentu mereka ingin membanntu tetangga yang sedang “dibobol” rumahnya. Pemuda tersebut pun berhasil mengunci Farrukh dan berjanji akan membawanya ke hadapan hakim.

Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.

Ujar Farrukh yang terkejut melihat situasi yang menjadi runyam, dia pun berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di rumahnya.

Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi berjihad?

Mendengar keributan di rumahnya, Ummu Rabiah terbangun dari tidurnya lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu, dengan sekuat tenaga dia berseru,
Lepaskan…
Lepaskan dia, Rabiah…
Lepaskan dia, putraku,
Dia adalah ayahmu… dia ayahmu…

Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian,
Lalu dia menghampiri Farrukh,
Tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu…
Seketika tangis pecah di antara mereka bertiga, mereka saling berpelukan melepas rindu. Terkhusus Ummu Rabiah yang seringkali mendengar desas-desus bahwa suaminya telah meninggal di peperangan, dia tak mengira bisa bertemu suaminya kembali setelah tiga puluh tahun.

Baca halaman selanjutnya: Malam itu Farrukh banyak...
Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak - Kiblat

Malam itu Farrukh banyak bercerita kepada istrinya, mengenai pengalamannya di medan perang, mengenai tersebarnya desas-desus kematian dirinya. Namun Ummu Rabiah tak bisa menikmati cerita suaminya, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang 30.000 dinar.

Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa Ummu Rabiah sangat loyal ketika membayar guru-guru putranya. Dia benar-benar mensyukuri nikmat kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepada putranya, dia senantiasa mendukung sepenuh hati minat putranya pada berbagai disiplin ilmu. 

Dia tak pernah berpikir dua kali untuk mengirim putranya kepada guru-guru terbaik, berapapun biayanya. Kini setelah tiga puluh tahun uang pemberian suaminya tak bersisa sepeser pun, bagaimana dia harus menjelaskan sesuatu yang hasilnya tidak kasat mata.

Lamunannya buyar ketika suaminya berseru dengan penuh semangat,
Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa umur kita.

Ummu Rabiah pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tidak menanggapi, Farrukh pun mengulangi ucapannya,

Cepatlah, mana uang itu? Bawa kemari, kita satukan dengan uang yang kubawa.
Dia menjawab lirih,

Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah…

Suara adzan shubuh memotong perbincangan mereka. Farrukh pun bersiap, hari ini untuk pertama kalinya dia akan mengajak putranya ke masjid. Dalam konsep parenting Islami, berangkat bersama ke masjid dinilai menjadi momen yang peling merekatkan hubungan seorang ayah dengan putranya.

Di mana Rabiah?

Dia telah mendahuluimu, dia berangkat ke masjid ketika adzan pertama, dan sepertinya kamu akan tertinggal jamaah

Benarlah, sesampainya di masjid, Farrukh mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah. Betapa rindunya Farrukh dengan tempat itu, dia pun shalat sunnah di situ kemudian berdoa.

Ketika hendak pulang, dia mendapati ruangan masjid telah penuh dengan orang-orang yang belajar. Mereka duduk melingkari syaikh hingga tak ada lagi tempat kosong. 

Karena terlalu padat, Farrukh tak bisa melihat wajah syaikh tersebut, namun dia bisa mendengar jelas apa yang disampaikan. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada kedalaman hafalannya, ketajaman ingatan, dan keluasan ilmunya, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.

Seusai majelis, Farrukh bertanya kepada orang di sampingnya.

Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?

Orang tersebut terkejut mendengar pertanyaan Farrukh.

Apakah anda bukan orang Madinah?!

Saya penduduk Madinah.

Bagaimana mungkin ada orang Madinah yang tidak mengenal syaikh yang memberikan ceramah tadi?

Maaf saya sudah tiga puluh tahun meninggalkan kota ini dan baru kembali malam tadi.

Baiklah, tidak mengapa, akan saya jelaskan. Syaikh yang kita dengar ceramahnya tadi adalah adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda. 

Tidak tanggung-tanggung, majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan yang lainnya.

Tetapi anda belum menyebutkan namanya kepada saya.

Namanya Rabiah, dia digelari ar-Ra’yi karena pendapatnya selalu bijak dan menentramkan hati. 

Dia dilahirkan tidak lama setelah ayahnya pergi berjihad, namun tadi sebelum shalat saya mendengar kabar bahwa tadi malam ayahnya telah kembali.

Farrukh tak kuasa membendung air matanya, dia segera berlari menuju rumahnya, banyak rasa yang tersirat dalam setiap tetes air matanya, haru, gembira, bangga, dan terpenting adalah syukur, dia bersyukur bahwa pilihannya untuk menitipkan keluarganya kepada Allah dan Rasul-Nya bukanlah pilihan yang salah.

Sementara di rumah, Ummu Rabiah masih cemas memikirkan jawaban untuk suaminya.

Referensi: Shuwar min Hayati at-Tabiin karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
Penulis: Rusydan Abdul Hadi
Ummu Rabiah, Potret Ibu Peduli Pendidikan Anak - Page 2 of 2 - Kiblat

Syamina: Muslim di Xinjiang Saudara yang Terlupakan 
Senin, 24 Desember 2018 11:12 
Foto: Muslim Uighur ditindas Cina
KIBLAT.NET, Jakarta – Kampanye China atas nama melawan separatisme dan terorisme di di banyak kota dan desa di Turkistan Timur (Xinjiang) kini justru menjadi perang habis-habisan terhadap Islam. Demikian dinyatakan Lembaga Kajian Syamina dalam rilisnya bulan Desember 2018.

Syamina mengatakan tindakan represi tersebut semakin tampak pada Ramadhan. Polisi mengintensifkan kampanye pencarian dari rumah ke rumah, mencari buku-buku atau pakaian yang dianggap “mengkhianati” keyakinan China.

“Wanita yang mengenakan kerudung ditahan, dan banyak pemuda yang tanpa delik sedikitpun. Para pelajar dan pegawai negeri dipaksa untuk makan, bukannya berpuasa, dan dipaksa bekerja atau menghadiri kelas-kelas, bukannya menghadiri sholat Jumat,” kata lembaga itu.

“China menuduh bahwa ide-ide keagamaan asing telah merusak masyarakat Xinjiang, mempromosikan fundamentalisme Islam Wahhabi. Pemerintah China pun memberi label teroris kepada Muslim Xinjiang untuk melegitimasi tindakan represi yang dilakukan,” tambahnya.

Pemerintah Republik Rakyat China di Xinjiang pada tahun 2014 memulai “Kampanye Gebuk Keras atau Strike Hard melawan Ekstremisme Kejam”. Tingkat penindasan meningkat secara dramatis setelah Sekretaris Partai Komunis Chen Quanguo pindah dari Daerah Otonomi Tibet  untuk mengambil alih kepemimpinan Xinjiang pada akhir 2016.

“Sejak itu, pihak berwenang telah meningkatkan penahanan massal secara sewenang-wenang, termasuk di pusat-pusat penahanan praperadilan dan penjara, yang keduanya merupakan fasilitas resmi, dan di kamp-kamp pendidikan politik, yang tak berdasar di bawah hukum RRC,” tambahnya.

Syamina juga mengungkapkan bahwa masjid-masjid di kota Kashgar dan Urumqi kini kosong. Umat Islam di sana menjadi target penahanan pemerintah China. Mereka diminta untuk meninggalkan agamanya, tidak mengakui Tuhan, dan bergabung dengan Partai Komunis China. Shalat, pendidikan agama, dan puasa ramadhan dilarang. Teks-teks Arab juga disingkirkan dari bangunan publik. Islamophobia pun digalakkan oleh otoritas partai penguasa.

“Meski perlakuan China terhadap Muslim Uighur begitu buruk, dunia masih gagal untuk memberikan simpatinya. Jika kondisi seperti itu tidak dilawan, kata para aktivis, kebijakan-kebijakan seperti ini dapat dengan mudah direplikasi oleh negara-negara lain yang ingin menekan atau mengendalikan minoritas,” kata lembaga itu mengakhiri.

Ulasan lengkap rilis Syamina dapat didownload melalui link berikut ini.
Reporter: Ibas Fuadi
Editor: M. Rudy

Syamina: Muslim di Xinjiang Saudara yang Terlupakan - Kiblat

Mengambil Teladan dari Taliban 
Jum'at, 28 Desember 2018 13:17
Foto: Pejuang Taliban Afghanistan.
Penulis: Multazim Jamil

Anda mengenal Taliban? Kini, sebutlah mereka dengan nama dan predikat yang memang layak mereka sandang: Imarah Islam Afghanistan. Nama ini tercatat 61 kali disebutkan oleh delegasi Taliban, dalam perundingan damai di Moskow, Rusia.

Bagi pengamat Barat, ketakutan terbesar pasca penarikan mundur pasukan AS di Afghanistan adalah naiknya kembali Taliban sebagai “penguasa” Afghanistan. 

Jika hal tersebut menjadi kenyataan, maka ini adalah kedua kali Taliban mengontrol Afghanistan, setelah lebih dari 17 tahun yang lalu, kekuatan adidaya Amerika Serikat memaksa mereka melepaskan kendali atas Afghanistan.

Betapa gemilangnya pencapaian Taliban dalam 17 tahun terakhir. Selama masa tersebut, mereka berhasil membalikkan keadaan. Dari semula tertekan dan bersembunyi di pegunungan Tora Bora, hingga kini berhasil merebut kota-kota dan berbalik memukul mundur pasukan AS dan Afghanistan.

Untuk sampai di titik saat ini, tentu Taliban telah melalui tahap-tahap yang tidak mudah. Selain membentuk kekuatan tempur, Taliban juga melayani masyarakat Afghanistan. 

Untuk hal ini, kita bisa melihat kembali video dokumenter yang dibuat oleh Al Jazeera, berjudul “This is Taliban Country”.

Taliban menghadirkan berbagai solusi untuk masyarakat Afghanistan. Mulai dari konsultasi keagamaan, dan konsultasi permasalahan antar individu, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Dalam menyelesaikan permasalahan antar individu, masyarakat Afghanistan di daerah yang dikontrol Taliban, lebih suka menyelesaikan permasalahan mereka kepada hakim-hakim yang diutus oleh Taliban, karena terbukti keadilannya.

Salah satu masalah terbesar di Afghanistan adalah korupsi. Hal ini juga menjadi sebab berbaliknya dukungan masyarakat Afghanistan untuk Taliban. Mungkin, belajar dari kasus Afghanistan inilah, korupsi, dan juga pelanggaran HAM, baru-baru ini, telah disebut oleh para peneliti Barat sebagai dua faktor utama yang dapat membangkitkan “terorisme” dan pemberontakan.

Sayangnya perjalanan Taliban dalam merebut kembali tanah Afghanistan yang dijajah pasukan asing ini jarang diamati oleh umat Islam, kecuali hanya sebagian kecil. Padahal, perjuangan Taliban ini adalah contoh nyata tentang sebuah gerakan Islam yang menempuh jalan perjuangan dengan jihad dan anti-demokrasi.

Hari ini memang demokrasi dicitrakan sebagai sebuah sistem yang paling adil dan cocok diterapkan di dunia. Umat Islam pun lebih sibuk berdebat tentang hukum fikih demokrasi dan pemilu, sebagai manifestasi utama demokrasi.

Padahal, demokrasi ini digunakan sebagai alat bagi Amerika untuk menghegemoni dunia internasional, termasuk negeri-negeri kaum muslimin. Mungkin kita perlu memandang demokrasi menggunakan konteks lain di luar fikih, terlepas dari halal-haramnya demokrasi. Bahwa jika kita menolak dan anti terhadap demokrasi, itu bukan karena haramnya demokrasi, tetapi karena kita hendak melawan hegemoni Amerika.

Dengan tegaknya kekuasaan Taliban di Afghanistan, jika benar-benar terjadi, kita akan menemukan dua hal yang cukup penting bagi umat Islam.

Pertama, bila Imarah Islam Afghanistan tegak, kita akan menemukan sebuah contoh bagaimana sebuah wilayah dikelola dengan model “imarah”, bukan negara-bangsa. Dengan menggunakan model “imarah” ini, Taliban melepaskan diri dari jebakan nasionalisme dan negara-bangsa.

Mungkin visi cemerlang inilah yang menyebabkan pemimpin Al Qaeda, baik Osama Bin Laden, maupun Ayman Az Zawahiri mengikat sumpah setianya kepada pemimpin Taliban. Bahkan, dalam pidato terakhirnya, Ayman menyebut Taliban sebagai embrio khilafah, yang akan mempersatukan kaum muslimin.

Kedua, Imarah Islam Afghanistan akan menjadi contoh nyata bagaimana syariat Islam diterapkan secara melembaga dalam bingkai “negara”. Hal ini akan membuat peradaban Barat takut. Sebab, dunia internasional akan menyaksikan bagaimana syariat Islam diterapkan sebagai sebuah hukum positif, sehingga penduduk planet ini akan menemukan contoh dan alternatif lain, selain nilai moral dan hukum Barat, yang selama ini dijadikan sebagai standar di seluruh jengkal planet bernama Bumi ini.

Ketiga, mungkin, sebentar lagi, kita akan memiliki menara suar lain di dunia, selain Turki dan presidennya, Recep Tayyib Erdogan, yang akan dipandang sebagai representasi kekuatan Umat Islam.

Ya, selama ini Turki dan Erdogan selalu digadang-gadang sebagai pahlawan Islam di era modern dan ditunggu tanggapan dan komentarnya terkait isu-isu mengenai penindasan dan penderitaan umat Islam di berbagai penjuru dunia.

Turki dan Erdogan memang patut diberi respek terhadap usaha-usaha mereka dalam menjadi tuan rumah bagi pengungsi, dalam pembelaannya terhadap Palestina, dan banyak kebaikan lainnya. Hanya saja, mereka masih terbelenggu oleh ikatan tatanan internasional yang Amerika-centris.

Akhirnya, perkembangan Taliban ini sebenarnya patut menjadi perhatian, bahkan teladan, bagi aktivis Islam, dan semua orang yang tertarik terhadap perjuangan penegakan syariat Islam. Lagi pula, bukankah sudah sepantasnya kita turut senang hati terhadap kemenangan mujahidin?

Mengambil Teladan dari Taliban - Kiblat

Uighur Merana, Tanggung Jawab Siapa?

Foto: Masyarakat Bali gelar aksi protes penindasan Uighur
Penulis: Wardah Abeedah (Founder Madrasah Shalihat, Islamic Freelance Writer)

Diskriminasi dan dugaan kuat penganiayaan terhadap warga Uighur oleh pemerintah Cina saat ini santer diberitakan. Menurut Human Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara sangat ketat. Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA. Dilaporkan terjadi penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap ‘sensitif’. Dan hingga satu juta orang telah ditahan.(bbc.com.18/12/2018)
Dalam kisah yang dikutip The Independent, muslimin Uighur dilarang belajar Alquran, pergi ke Masjid, berpuasa di bulan Ramadan, memelihara jenggot, dan memberi nama bayi mereka dengan nama Islam. Wanita Uighur diharuskan menikahi lelaki dari suku Han, mereka juga dipaksa untuk mengaborsi bayi mereka.
Hal ini sontak membuat masyarakat dunia bersuara. Utamanya kaum muslimin di Indonesia. Sebagai negeri dengan jumlah pemeluk Islam terbanyak di dunia, seharusnya pemerintah dan rakyat Indonesia berada di garda terdepan dalam penyelesaian konflik Uighur.
Diantara konsekuensi memeluk aqidah Islam adalah melaksanakan kewajiban menolong saudara sesama muslim. Hal ini ditegaskan dalam banyak ayat Alquran dan hadits shahih, diantaranya:
 إِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam rasa cinta mereka, kasih-sayang mereka, dan kelemah-lembutan mereka bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya merasakan sakit dengan tidak tidur dan demam” (HR. Muslim dan lain-lain, dari hadits an-Nu’man bin Basyir ra.).
Bagi kita kaum muslimin, wajib membantu mereka dengan doa, ataupun finansial, juga dengan bersuara menolak kedzaliman ini sekeras-kerasnya agar dunia membuka mata dan pemimpin-pemimpin muslim bangkit jiwa ksatrianya. Bagi mereka yang diamanahi memimpin negeri-negeri kaum muslimin. Kewajiban menolong saudara seaqidah bukan sekedar dilandasi perintah menolong kaum muslimin. Lebih dari itu, sebagai pemimpin mereka memiliki kewajiban sebagai junnah atau perisai. Melindungi seluruh kaum muslimin adalah tanggungjawab mereka.
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai (junnah), dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan, “(Imam itu perisai atau junnah) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Saat ini masing-masing negeri muslim memiliki ratusan ribu tentara. Militer yang ada juga dilengkapi persenjataan yang lengkap. Ditambah mereka memiliki Allah, Zat Yang Maha Kuasa. Keengganan penguasa muslim untuk berbuat lebih dari sekadar mengecam menunjukkan kelemahan mereka. Alih-alih melakukan tekanan politik terhadap pemerintah Cina, pemerintah Indonesia sendiri belum mengeluarkan statement apapun terkait Uighur. Rezim Jokowi yang selama ini dikenal berhubungan baik dengan Pemerintah Cina dan mendapatkan kemudahan utang luar negeri dari Cina disinyalir menjadi sebabnya (eramuslim: 14/12/208).
Fungsi junnah atau perisai selama ini nyaris tak pernah diperankan oleh penguasa kaum muslimin. Tak hanya untuk persoalan Uighur. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina, Suriah, Yaman dan yang menimpa Rahingya di Myanmar juga masih terus dialami kaum muslimin tanpa ada satupun negeri kaum muslimin yang mau menolongnya. Alasan klasik yang selalu saja dikemukakan adalah sekat negara. Faham nasionalisme telah merusak konsep ukhuwah Islamiyah yang diwajibkan dalam Islam.
Berbanding terbalik dengan pemimpin di masa Khilafah Islamiyah tegak dahulu. Mereka diangkat menjadi imam atau khalifah dengan sebuah bai’at untuk menerapkan kitabullah dan Sunnah rasulNya. Amanah sebagai junnah yang disebutkan dalam hadits Rasulullah disadari betul oleh mereka. Para khulafa’ menjadi pelindung kuat bagi rakyatnya, serta benteng kokoh yang siap menjaga tegaknya agama yang mulia.
Pada masa kekhilafahan Abu Bakar, sebagian kecil rakyat murtad dan menolak membayar zakat pasca wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini mengundang amarah Ash-Shiddiq.
Kemarahannya membuatnya mengirim pasukan untuk menumpas Musailamah Al Kadzdzab, memerangi Kabilah Quda’ah, Penduduk Duba serta siapapun yang menolak syariat zakat.
Saat Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan marah, beliau membentuk armada mairitim pertama dalam sejarah khilafah Islam. Lalu dengannya memerangi Romawi dengan gagah berani
Jeritan seorang muslimah yang ditawan Romawi juga membangkitkan amarah Khalifah Al-Mutashim billah. Berperan sebagai perisai umat, beliau mengirim pasukan yang begitu banyak sehingga ketika kepala barisan pasukan sudah sampai di Ammuriyah, ekor barisannya masih di Baghdad. Pasukan kaum muslimin berhasil menaklukkan kota Ammuriyah beserta benteng byzantium terbesar yang ada di kota itu.
Saat Shalahuddin Al-Ayyubi marah melihat fakta penjajahan Al Quds oleh Tentara Salib, dia bersumpah tidak akan tersenyum hingga tanah Palestina kembali ke pangkuan khilafah.
Kisah heroik dalam sejarah kekhilafahan di atas tercatat karena para khalifah telah bersumpah pada Allah untuk menerapkan hukum Allah termasuk bertanggungjawab penuh atas darah dan jiwa kaum muslimin.
Disinilah urgensi mewujudkan persatuan umat Islam tanpa sekat yang ditetapkan perjanjian Sykes picot yang mengerat tubuh kaum muslimin menjadi bagian-bagian kecil. Di sini pula urgensi kaum muslimin memiliki pemimpin untuk menerapkan kitabullah dan Sunnah rasulNya. Bukan untuk melayani tuannya dan mengkhianati agama dan rakyatnya. Sehingga fungsi sebagai junnah akan menghentikan berbagai bentuk kedzaliman terhadap kaum muslimin di seluruh dunia. Allahu a’lam bis shawab

Uighur Merana, Tanggung Jawab Siapa? - Kiblat

Utusan Khusus Presiden: Pemerintah Harus Memperjuangkan Hak Muslim Uighur

Foto: Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Prof. Syafiq Mughni
KIBLAT.NET, Jakarta – Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Prof. Syafiq Mughni, Ph.D menilai diamnya presiden RI terkait persoalan Uighur adalah hak presiden. Tapi ia menganggap pemerintah seharusnya ikut memperjuangkan hak warga Uighur.
“Soal Uighur ini harus segera diselesaikan. Setiap bangsa punya masalah, terpenting adalah bagaimana kita memahami aspirasi mereka, memberikan hak sepenuhnya sebagai warga negara, dan menjamin atas Hak Asasi Manusia yang itu menjadi fitrah manusia,” kata Syafiq kepada Kiblat.net saat ditemui seusai pelantikan Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Dia menjelaskan persoalan Uighur sudah menjadi sorotan dunia. Sehingga persoalan apapun di negara manapun yang berkaitan masalah keadilan dan keadaban bersama, pemerintah harus ikut memperjuangkan hal itu.
“Memperjuangkan hak warga Uighur adalah hal penting yang sudah tertuang di dalam pembukaan konstitusi kita yakni menjaga ketertiban dunia,” tuturnya.
Terkait klaim pemerintah China menggunakan kekerasan dalam rangka meradikalisasi warga Uighur dinilai Syafiq adalah cara yang salah. Pengalaman menyelesaikan masalah menggunakan cara persuasif, penghargaan terhadap nilai lokal, adat istiadat dan kultur sebuah etnis lebih efektif ketimbang menggunakan kekerasan.
“Kita tak kan bisa hidup tanpa mengakui keberagamaan. Terpenting adalah mengakui eksistensi itu dan memperlakukannya secara manusiawi, serta menghargai simbol-simbol agama maupun budaya,” tukasnya.
Reporter : Hafidz Syarif
Editor: Imam S.
Utusan Khusus Presiden: Pemerintah Harus Memperjuangkan Hak Muslim Uighur - Kiblat

Surat Terbuka Presiden Kongres Uighur Dunia untuk Para Pemimpin Negara Muslim

Foto: Presiden World Uyghur Congress Dolkun Isa
KIBLAT.NET, Xinjiang – Presiden World Uyghur Congress (WUC) Dolkun Isa mengimbau kepada dunia Muslim dan para pemimpin negara-negara mayoritas Muslim untuk mengakhiri keheningan panjang mereka atas penganiayaan mengerikan terhadap orang-orang Uighur. Negara-negara Barat semakin aktif menyoroti masalah ini dan berbicara di depan umum, sementara negara-negara mayoritas Muslim sebagian besar bersikap abai terhadap hal ini.
Orang-orang Uighur telah mengalami penderitaan yang tak tertandingi, sebagian besar karena kenyataan bahwa sebagian besar adalah Muslim. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang Cina telah memaksa Uighur untuk tidak berpuasa selama bulan Ramadhan, mencegah mereka untuk berhaji, melarang anak-anak ke masjid dan melarang orang tua mengajar anak-anak mereka tentang Islam dan melarang orang Uighur memberi anak-anak mereka nama-nama Muslim.
Pihak berwenang Cina juga telah menyita dan membakar Al-Quran dan teks-teks agama lainnya, memaksa orang Uighur makan daging babi dan minum alkohol, memaksa wanita Uighur untuk menikahi pria Han-Cina di luar kehendak mereka dan telah menghancurkan 3.000-5.000 masjid serta situs-situs keagamaan.
Pemerintah Cina tidak mentolerir otoritas yang lebih tinggi dari keyakinan yang dianut. Agama dipandang sebagai ancaman langsung terhadap otoritas absolut Partai Komunis Cina (PKC). Karena alasan ini, pemerintah Cina telah meluncurkan kampanye yang disengaja dan sistematis untuk mengendalikan setiap aspek praktik keagamaan di Turkistan Timur dan mengikis sepenuhnya sentimen agama. Dalam beberapa tahun terakhir kampanye ini meningkat sampai-sampai orang-orang Uighur tidak memiliki kebebasan beragama dan berisiko terhadap penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan lainnya karena kepercayaan agama mereka.
Pada tahun 2018, situasinya berubah menjadi sangat mengkhawatirkan, karena 1-3 juta orang Uighur ditangkap dan saat ini ditahan di sebuah kamp konsentrasi. Orang-orang Uighur yang dikenal agamis telah menjadi sasaran penahanan. Di kamp-kamp ini, mereka dicuci otak dan dipaksa oleh pemerintah Cina untuk mencela Islam dan hanya bersumpah setia pada pemerintah Cina.
Para pejabat Cina berusaha untuk membenarkan kebijakan ini, dengan klaim perang terhadap terorisme. Mereka juga menggambarkan Islam sebagai ‘penyakit ideologis’ yang harus ‘diberantas’. Ini adalah penganiayaan agama dalam skala yang benar-benar masif dan salah satu penahanan sewenang-wenang massal terbesar dalam sejarah manusia modern.
Terlepas dari parahnya situasi dan serangan terang-terangan terhadap kebebasan beragama, dunia Muslim mayoritas tetap diam. Orang-orang Uighur meminta bantuan dari para pemimpin negara-negara mayoritas Muslim untuk mengakhiri penderitaan mereka, tetapi mereka telah diabaikan.
Selama UPR Cina meninjau hak asasi manusia di PBB, hampir tidak ada negara mayoritas Muslim yang menyebutkan kamp atau penganiayaan agama Ciina terhadap Uighur. Bahkan, beberapa negara ini memiliki keberanian untuk memberi selamat kepada Cina atas kebebasan beragama atau upaya ‘kontra-terorisme’.
Pada tahun lalu, negara-negara mayoritas Muslim mengangkat Islamopobia dan diskriminasi terhadap Muslim dalam ulasan atau Finlandia, Belanda dan Inggris, tetapi sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang situasi mengerikan di Cina. Sementara negara-negara Barat semakin meningkatkan masalah ini, Malaysia tetap menjadi satu-satunya negara mayoritas Muslim yang berbicara secara terbuka.
Menurut WUC, negara-negara mayoritas Muslim juga terlibat dalam penganiayaan terhadap Uighur. Pada bulan Juli 2017, Mesir mengumpulkan ratusan Uighur yang tidak bersalah atas perintah Cina. Mereka mengekstradisi setidaknya 22 orang ke China, yang sejak itu menghilang setelah diserahkan kepada pemerintah Cina. UEA saat ini menahan seorang Uighur yang tidak bersalah yang berisiko dikirim kembali ke Cina dan menghadapi nasib yang sama.
WUC mencatat bahwa para pemimpin Muslim tampaknya memiliki standar ganda dengan Cina. Mereka mengangkat masalah Islamopobia dan penganiayaan terhadap Muslim, tetapi tetap mendatangi Cina. Negara-negara ini memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara menentang penderitaan rakyat Uighur, atau setidaknya untuk tidak terlibat di dalamnya.
WUC mengimbau dunia Muslim untuk berhenti menempatkan uang, investasi, dan pengaruh Cina atas kehidupan manusia. Keheningan para pemimpin Muslim saat ini bertentangan dengan nilai-nilai inti dan prinsip-prinsip Islam.
“Inilah saatnya untuk mengakhirinya dan meminta pertanggungjawaban orang-orang Uighur dari Cina. Para pemimpin ini tidak dapat mengklaim sebagai pembela umat Islam jika mereka membiarkan uang mencegah mereka berbicara tentang salah satu contoh paling serius dari penganiayaan agama terhadap umat Islam di dunia,” kata pemimpin WUC.
Melalui penahanan sewenang-wenang massal terhadap Uighur di kamp konsentrasi, pemerintah Cina memenjarakan Uighur. Melalui indoktrinasi politik yang dipaksakan dan pencucian otak, mereka berusaha memenjarakan pikiran Uighur. Dengan menghalangi kebebasan beragama Uighur, pemerintah Cina berupaya memenjarakan jiwa mereka.
Karena itu Presiden WUC Dolkun Isa mendesak: “Kepada para pemimpin negara-negara mayoritas Muslim, untuk berbicara di depan umum tentang penahanan sewenang-wenang massal Uighur di kamp-kamp interniran dan penganiayaan agama terhadap Muslim Uighur dan untuk menuntut agar Cina segera menutup kamp-kamp itu dan menghormati kebebasan beragama.
Kepada pemerintah negara-negara mayoritas Muslim, untuk tidak mengirim siswa Uighur, pengungsi, dan pencari suaka kembali ke Cina di mana mereka akan menghadapi risiko pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan bahkan kematian.
Kepada dunia Muslim yang lebih besar, untuk menyerukan keras pemerintah Anda untuk mengambil tindakan nyata untuk menutup kamp-kamp dan untuk meringankan penderitaan rakyat Uighur.”
Sumber: European Interest
Redaktur: Ibas Fuadi
Surat Terbuka Presiden Kongres Uighur Dunia untuk Para Pemimpin Negara Muslim - Kiblat

Dubes Cina Akui Ada Lembaga Deradikalisasi Targetkan Muslim Uighur di Xinjiang

Foto: Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian (tengah) seusai bertemu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (28-12-2018)
KIBLAT.NET, Jakarta – Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian membantah istilah kamp konsentrasi untuk muslim Uighur di wilayah Xinjiang. Namun, dia mengakui adanya lembaga yang dibentuk untuk menjalankan program deradikalisasi.
Dalam konferensi pers seusai melakukan pertemuan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Xiao Qian mengatakan pihaknya telah menyampaikan situasi yang terjadi di Xinjiang. Menurutnya, secara umum kondisi ekonimi, politik, dan sosial di wilayah itu baik.
Dia mengklaim masyarakat di wilayah Xinjiang mendapatkan kebebasan beragama, termasuk etnis Uighur. Namun, di saat yang sama Xiao Qian juga menyebut adanya ancaman esktremisme dan separatisme.
“Masalah ekstrimisme, terorisme, dan separatisme itu selalu ada dan menjadi ancaman besar bagi keamanan dan kestabilan sosial setempat,” ujar Xiao Qian di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (29/12/2018).
“Oleh karena itu pemerintah meminta daerah otonomi Uighur Xinjiang mengambil serangkaian langkah deradikalisasi,” imbuhnya.
Xiao Qian mengatakan langkah-langkah deradikalisasi itu dijalankan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi di Xinjiang. Dia pun menolak penyebutan kamp konsentrasi atau pusat edukasi ulang, dan menegaskan bahwa yang ada adalah lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi.
Dia menjelaskan tujuan pemerintah Cina membentuk lembaga itu untuk menyediakan program pelatihan dan pendidikan vokasi secara gratis dan sukarela kepada masyarakat, khususnya kepada para pemuda. Xiao Qian mengklaim mereka yang dimasukkan ke lembaga itu akan menerima pelatikan produksi pengelolaan makanan, perakitan produk elektronik, tipografi, dan percetakan. Selaian itu mereka juga mendapatkan pelajarannya adalah bahasa Mandarin hingga ilmu pengetahuan hukum.
Xiao Qian lantas menyebut Cina dan Indonesia sama-sama sebagai korban kekerasan dan terorisme. Karenanya kedua negara menjalankan program dan bekerjasama dalam upaya pemberantasannya.
Apa yang diungkapkan Dubes Cina tersebut bertolak belakang dengan informasi yang diungkap muslim Uighur yang pernah dimasukkan ke kamp-kamp, di mana di dalamnya mereka mengalami proses “edukasi ulang”. Sekitar satu juta orang diambil secara paksa dan dimasukkan ke kamp-kamp tanpa proses pengadilan. Mereka yang berhasil keluar mengaku mendapatkan penyiksaan saat berada di dalamnya.
Bahkan, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial telah mengatakan bahwa Beijing telah mengubah daerah otonomi Uighur menjadi sebuah wilayah yang mirip dengan kawasan kamp konsentrasi.
Reporter: Fanny Alif
Editor: Imam S.
Dubes Cina Akui Ada Lembaga Deradikalisasi Targetkan Muslim Uighur di Xinjiang - Kiblat

Krisis Uighur Mencuat, Dubes Cina Beruntun Temui Pimpinan NU dan Muhammadiyah

Foto: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir (berpeci) bersama Duta Besar Cina Xiao Qian dalam konferensi pers di Gedung Dakwah Muhammadiyah Pusat, Menteng, Jakarta, Jumat (28-12-2018)
KIBLAT.NET, Jakarta – Pasca mencuatnya krisis yang dialami muslim Uighur, aksi protes terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tak lama berselang Duta Besar Republik Rakyat Cina untuk Indonesia Xiao Qian menemui pimpinan dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Aksi Bela Muslim Uighur digelar serentak di berbagai wilayah Indonesia, Jumat (21/12/2018). Aksi tersebut menyerukan penghentian penindasan terhadap etnis Uighur. Tuntutan lainnya adalah mendesak Cina memberikan kebebasan bagi etnis muslim di Xinjiang itu untuk berislam.
Beberapa hari kemudian, Duta Besar Cina Xiao Qian melakukan kunjungan ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Senin (24/12/2018). Dalam pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, salah satu yang dibahas adalah soal Uighur.
Selanjutnya, Xiao Qian juga menemui Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (28/12/2018). Kedatangannya ke Gedung Dakwah Muhammadiyah Pusat, Menteng, Jakarta diterima langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti.
Dalam konferensi pers yang digelar seusai pertemuan tertutup dengan Dubes Cina, Haedar Nasir mengungkapkan salah satu yang dibicarakan antara kedua pihak adalah persoalan muslim Uighur. Muhammadiyah meminta pemerintah Cina memberikan penjelasan terbuka terkait kondisi etnis muslim di Xinjiang itu.
“Selain memberi penjelasan apa adanya yang terbuka, juga menjadikan provinsi Xinjiang itu terbuka untuk diketahui dan menjadi tempat yang skala internasional juga orang bisa berkunjung kesana,” ujar Haedar dihadapan wartawan, Jumat (28/12/2018).
“Dengan keterbukaan itu maka akan diketahui juga apa yang terjadi sesungguhnya,” imbuhnya.
Cina juga diminta melakukan pendekatan komprehensif dan mengedepankan perdamaian dalam persoalan Uighur. Dengan tidak melakukan tindakan kekerasan, Haedar berharap akan tercipta nilai kemanusiaan bersama.
Reporter: Fanny Alif
Editor: Imam S.
Krisis Uighur Mencuat, Dubes Cina Beruntun Temui Pimpinan NU dan Muhammadiyah - Kiblat

Dubes Cina Akui Ada Lembaga Deradikalisasi Targetkan Muslim Uighur di Xinjiang

Foto: Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian (tengah) seusai bertemu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (28-12-2018)
KIBLAT.NET, Jakarta – Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian membantah istilah kamp konsentrasi untuk muslim Uighur di wilayah Xinjiang. Namun, dia mengakui adanya lembaga yang dibentuk untuk menjalankan program deradikalisasi.
Dalam konferensi pers seusai melakukan pertemuan dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Xiao Qian mengatakan pihaknya telah menyampaikan situasi yang terjadi di Xinjiang. Menurutnya, secara umum kondisi ekonimi, politik, dan sosial di wilayah itu baik.
Dia mengklaim masyarakat di wilayah Xinjiang mendapatkan kebebasan beragama, termasuk etnis Uighur. Namun, di saat yang sama Xiao Qian juga menyebut adanya ancaman esktremisme dan separatisme.
“Masalah ekstrimisme, terorisme, dan separatisme itu selalu ada dan menjadi ancaman besar bagi keamanan dan kestabilan sosial setempat,” ujar Xiao Qian di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (29/12/2018).
“Oleh karena itu pemerintah meminta daerah otonomi Uighur Xinjiang mengambil serangkaian langkah deradikalisasi,” imbuhnya.
Xiao Qian mengatakan langkah-langkah deradikalisasi itu dijalankan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi di Xinjiang. Dia pun menolak penyebutan kamp konsentrasi atau pusat edukasi ulang, dan menegaskan bahwa yang ada adalah lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi.
Dia menjelaskan tujuan pemerintah Cina membentuk lembaga itu untuk menyediakan program pelatihan dan pendidikan vokasi secara gratis dan sukarela kepada masyarakat, khususnya kepada para pemuda. Xiao Qian mengklaim mereka yang dimasukkan ke lembaga itu akan menerima pelatikan produksi pengelolaan makanan, perakitan produk elektronik, tipografi, dan percetakan. Selaian itu mereka juga mendapatkan pelajarannya adalah bahasa Mandarin hingga ilmu pengetahuan hukum.
Xiao Qian lantas menyebut Cina dan Indonesia sama-sama sebagai korban kekerasan dan terorisme. Karenanya kedua negara menjalankan program dan bekerjasama dalam upaya pemberantasannya.
Apa yang diungkapkan Dubes Cina tersebut bertolak belakang dengan informasi yang diungkap muslim Uighur yang pernah dimasukkan ke kamp-kamp, di mana di dalamnya mereka mengalami proses “edukasi ulang”. Sekitar satu juta orang diambil secara paksa dan dimasukkan ke kamp-kamp tanpa proses pengadilan. Mereka yang berhasil keluar mengaku mendapatkan penyiksaan saat berada di dalamnya.
Bahkan, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial telah mengatakan bahwa Beijing telah mengubah daerah otonomi Uighur menjadi sebuah wilayah yang mirip dengan kawasan kamp konsentrasi.
Reporter: Fanny Alif
Editor: Imam S.

Dubes Cina Akui Ada Lembaga Deradikalisasi Targetkan Muslim Uighur di Xinjiang - Kiblat


Ulama Uighur Diyakini Tewas Setelah 30 Tahun Ditahan di Kamp Konsentrasi

Foto: Muslim Uighur.
KIBLAT.NET, Xinjiang – Ulama Uighur terkemuka Abdukerim Abduweli diyakini tewas dalam penahanan di wilayah Otonomi Uighur Xinjiang Cina (XUAR) wilayah barat laut Cina setelah menghabiskan hampir 30 tahun di penjara. Hal ini diungkapkan saudara lelakinya dan kelompok pengasingan Uighur.
Dilahirkan pada tahun 1955 di kabupaten Aksu, provinsi Kuchsu, Abduweli, yang juga dikenal sebagai Kerem Qari, ditangkap pada November 1990 dan dijatuhi hukuman 12 tahun berikutnya di ibukota XUAR, ibukota Urumqi Penjara No. 3 karena dituduh “menyebarkan dan menghasut ideologi kontra-revolusioner” yang terkait dengan kegiatan keagamaan.
Kasusnya menarik perhatian masyarakat internasional. Pihak berwenang memperpanjang masa penjaranya pada lima kesempatan berbeda setiap kali hukumannya hampir selesai. Yang terakhir pada pada 2014, hukumannya ditambah selama lima tahun hingga Juni 2019.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh kelompok pengasingan Uighur yang bermarkas di Turki menyebut bahwa Abduweli mungkin telah meninggal di penjara. Ketika dikonfirmasi oleh RFA terkait kematiannya, layanan penjara tidak memberikan jawaban.
Sementara adik Abduweli yang berbasis di Norwegia, Muhemmet Emin baru-baru ini mengatakan kepada RFA bahwa ia mendengar dari seorang pekerja etnis Uighur yang membantu merenovasi rumahnya di Istanbul, Turki, pada Juni tahun lalu bahwa kakaknya mungkin telah meninggal di penjara.
“Saat berbicara dengan salah satu pekerja, saya bertanya kepadanya dari mana asalnya dan dia berkata [kursi dari provinsi Turpan (Tulufan) XUAR], jadi saya menyebutkan bahwa saya dari Kuchar,” kata Emin.
“Lalu dia bertanya, ‘Apakah kamu kenal Kerem Qari dari Kuchar?’ Jadi istri saya mengatakan kepadanya bahwa saya adalah adiknya. Dia berkata, ‘Saya punya teman dekat yang menjalani beberapa waktu di penjara yang memberi tahu saya bahwa Kerem Qari meninggal di penjara’.”
Menurut Emin, pekerja itu mengatakan bahwa dia akan kembali keesokan harinya dengan informasi tambahan. Tetapi hal itu dilakukan. Emin mengatakan dia tidak menyelidiki lebih jauh.
Emin sadar bahwa pada 2014 Abduweli “sakit dan tidak bisa berjalan” setelah menghubungi adiknya, Abdurahman, yang telah bertemu dengannya selama salah satu dari sedikit kunjungan keluarga yang diizinkan setiap tahun.
“Dia menjadi sangat kurus dan tidak bisa berjalan,” kata Emin. “Adik laki-laki saya memberi tahu saya bahwa dia dikurung di kursi roda ketika dia melihatnya di penjara.”
Emin memutuskan kontak dengan keluarganya pada awal 2015 ketika dia mengetahui bahwa putrinya ditahan setelah berbicara dengannya melalui telepon. Dia tidak pernah menentukan apakah kesehatan Abduweli telah membaik.
Dia mengatakan dia masih tidak yakin dengan nasib putrinya dan percaya bahwa sebagian besar dari lebih dari 20 anggota keluarganya di Kuchar telah ditahan.
“Saya baru-baru ini mendengar dari sumber bahwa tidak ada seorang pun dari keluarga saya yang tetap bebas – mereka semua dikurung,” katanya.
“Saya juga mengetahui bahwa dua adik lelaki saya, Abdurahman dan Ibrahim, telah dijatuhi hukuman tujuh dan 10 tahun penjara. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada anggota keluarga saya yang lain, apakah mereka hidup atau mati.”
Sumber: RFA
Redaktur: Ibas Fuadi
Ulama Uighur Diyakini Tewas Setelah 30 Tahun Ditahan di Kamp Konsentrasi - Kiblat

Kiblat Review: Kaledoskop Umat Islam 2018 (Bag 1)

KIBLAT.NET- Tahun 2018 akan segera berlalu. Berbagai fenomena dan aksi umat islam mewarnai pemberitaan media, baik yang positif maupun negatif.
Selama tahun 2018, masih marak tentang kriminalisasi ulama, terjadi ijtima ulama, ada peristiwa pembakaran bendera tauhid, kemudian reuni 212 yang fenomenal, sampai isu kekerasan yang menimpa muslim Uighur yang mencuat di akhir tahun.
Banyak pelajaran dan hikmah perjuangan yg bisa diambil oleh umat islam Indonesia, sebagai bekal untuk menyongsong tahun berikutnya.
Video dapat dilihat dan diunduh di sini.
Bagian kedua bsia dilohat di sini.
Editor: Abdullah Muhammad
Kiblat Review: Kaledoskop Umat Islam 2018 (Bag 1) - Kiblat


Tes Baca Al-Qur’an, Level Pemimpin Negara?

Foto: Capres-cawapres dalam Pemilu 2019
Penulis: Ifa Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Keumatan)

Perhelatan politik menjelang Pemilu 2019 kian memanas. Kubu petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun pesaingnya Prabowo Subianto-Sandiago Uno terus berusaha menunjukkan kelebihan masing-masing. Berbagai cara dan upaya dilakukan untuk meraup suara. Mulai dari bagi-bagi angpau, menyebar foto berkunjung ke pesantren, menyebar foto menjadi imam sholat para kyai, pamer foto infrastruktur jalan tol, dan masih banyak lagi. Di pembuka tahun ini, mengawal masa kampanye pertengahan bulan ini muncul juga ide untuk mengetes para calon capres dan cawapres untuk membaca Al-Qur’an secara terbuka.
Ide tes membaca Al-Qur’an yang dicetuskan oleh Ikatan Dai Aceh bagi para capres dan cawapres menuai pro dan kontra di kalangan tim kemenangan masing-masing capres tokoh masyarakat ataupun di masyarakat secara umum. Sebagian masyarakat berpendapat setuju dengan ide ini, dengan anggapan bahwa untuk menguji kualitas calon pemimpin juga untuk mengakhiri polemik tanda tanya soal keislamam bagi Capres dan Cawapres. Ada juga yang tidak setuju karena tidak relevan dan terlalu masuk dalam ruang privat.
Ketika saya mendengar tes baca Al-Qur’an saya langsung terbayang anak-anak SD yang harus dites bacaan Al-Qur’an-nya ketika masuk ke sekolah yang baru. Terbayang juga anak-anak usia 3-5 tahun yang belajar dan menghafal Al-Qur’an di Rumah Tahfidz Balita. Pada se-usia mereka memang wajar mengenalkan Al-Qur’an untuk dipelajari cara membaca yang benar atau menghafalkan. Karena jika diajari makna Al-Qur’an secara mendalam baik terjemah, tafsir, atau bagaimana mengamalkan Al-Qur’an pastilah mereka belum mampu. Karena saat usia tersebut mereka masih dalalm proses berkembangnya proses berfikir.
Nah, jika tes baca Al-Qur’an ini diperuntukkan untuk level presiden atau kepala negara, apakah ini relevan? Apakah ini cocok? Yang pada hakikatnya seharusnya level negara itu yaa sudah level bagaimana menerapkan aturan syariat yang ada di dalam Al-Qur’an. Saya justru khawatir jika tes membaca Al-Qur’an akan dijadikan sebagai batu loncatan agar memenangkan suara dalam pemilu dengan mengabaikan isinya. Apalah artinya lancar dalam membaca Al-Qur’an bagi seorang kepala Negara, tapi mereka menolak apa yang diajarkan Al-Qur’an. Apalah artinya jika Al-Qur’an hanya dibaca tetapi para capres-cawapres tidak mau mengambil solusi Islam untuk mengatur tata Masyarakat Indonesia, bahkan justru ada rasa islamophobia kepada Islam, bahkan represif terhadap dakwah Islam?
Ide-ide seperti ini sebenarnya menjadi salah satu bukti bahwa dalam sistem demokrasi saat ini Al-Qur’an hanya sebatas menjadi alat dalam permainan politik untuk memenangkan persaingan di satu sisi, dan keberadaannya dianggap tidak penting di sisi yg lain. Terlebih jika itu hanya sebagai ajang untuk menonjolkan politik identitas, semisal pembuktian bahwa dia seorang muslim, meski di belakang publik justru mendukung kepada kemenangan kaum kafir bahkan melegalkan kebebasan orang-orang yang tidak beragama. Semoga kita dihindarkan dari pemimpin yang demikian. Na’udzubillahi min dzalik.
Al-Qur’an yang mulia adalah firman Allah SWT. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril, baik lafadz maupun maknanya. Membacanya merupakan ibadah, sekaligus merupakan mukjizat yang sampai kepada kita secara mutawatir. Allah SWT menghadirkan petunjuk berupa Al-Qur’an agar manusia tidak tersesat dari jalan-Nya. Maka bagi siapa yang menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupannya, Allah SWT menjamin hidupnya akan berada di dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah SWT : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus….” (Q.S Al-Isrâ`: 9).
Begitu juga dalam ayat yang lain, “Dan sebenarnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) untuk mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang beriman ”. ( Q.S Al-A’râf : 52). Demikianlah, Al-Qur’an diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia. Tentu saja Rahmat ini akan diwujudkan jika isi Al-Qur’an dilaksanakan dalam seluruh segi kehidupan. Memang, membaca Al-Qur’an adalah berpahala, namun tuntutan Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tapi harus difahami untuk diamalkan.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia sudah seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bukan sebatas aksesoris keislaman semata. Justru tugas pemimpin negara tak hanya sekedar dituntut untuk membacanya akan tetapi wajib mengaplikasikan isi Al-Qur’an secara kaffah dalam mengurusi rakyatnya. Dalam islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah tanggung jawab. Oleh karena itu besarnya tanggung jawab dan tugas seorang pemimpin di dalam Islam, Allah SWT mempersiapkan balasan yang besar bagi mereka yang mampu menunaikannya dengan baik.
Rasulullah SAW bersabda, “Ada tujuh golongan yang Allah akan dinaungi dalam naungan-Nya pada hari tidak perlindungan kecuali dari-Nya. Dan diantaranya adalah imam yang adil.” (HR Bukhari Muslim). Sebaliknya, Rasulullah SAW menyatakan bahwa kepemimpinan bisa jadi penyesalan di hari kiamat. Beliau berkata kepada Abu Dzar terkait kepemimpinan, “Sesungguhnya (kepemimpinan) itu adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang menunaikan amanah tersebut sesuai haknya dan menjalankan kewajibannya.” (HR Muslim).
Seorang pemimpin dalam Islam memiliki tugas mengimplementasikan Al-Qur’an dengan cara menerapkan syariatNya dan kalimat Allah menjadi yang tertinggi dan ibadah hanya diperuntukkan untuk Allah. Pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara kaffah akan Allah turunkan keberkahan di negeri kita tercinta ini, seperti firman Allah SWT: “Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari di langit dan bumi”. (QS Al-Araf :96)
Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak sepatutnya hanya digunakan sebagai ajang untuk meraup suara dalam pemilu. Tapi sejatinya yang lebih penting pada capres-cawapres ditanya mau apa tidak kalau mengambil ekonomi Islam dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, misalnya. Bukan hanya sebatas tes superfisial “membaca” Al-Qur’an. Pada akhirnya, sistem demokrasi sekuler sejatinya hanya menjadikan agama sekedar permainan saja bukan sebagai pedoman hidup. Wallahu a’lam bishowab
Tes Baca Al-Qur'an, Level Pemimpin Negara? - Kiblat


Uighur, Nafas Panjang Perjuangan

Foto: Masyarakat Bali gelar aksi protes penindasan Uighur
Penulis: Fahrudin Alwi*
KIBLAT.NET – Sezaman dengan Dinasti Han (leluhur Tiongkok), 200 tahun sebelum masehi (SM) untuk pertama kalinya bangsa Turki muncul dengan etnik tersendiri di Xiongnu, wilayah yang berdiaspora menjadi Uighur Xinjiang, Kazakhstan Timur, Kirgizstan Timur, Manchuria Barat, Mongolia, dan Rusia Selatan.[1] Sejarah panjang menceritakan perjalanan penduduk pegunungan Altay itu hingga mulai memeluk Islam di abad-10 M. Kerajaan Uighur muncul dan terus berkembang hingga di kemudian hari berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tiongkok, Dinasti Qing pada 1759 dan dirubah namanya menjadi Xinjiang yang bermakna new territory –kekuasaan baru—.[2] Satu keterangan tambahan: Uighur sebagai ‘Turkic ethnic group’ di wilayah Xinjiang disebut sebagai shaoshu minzu atau “minority nationality”. Sementara Han adalah mayoritasnya.
Perjalanan diplomatis yang dinamis (dengan sedikit konflik) antara Uighur Xinjiang dan “Han” berjalan sejak dikuasainya Uighur oleh Dinasti Qing 1759 hingga Tiongkok modern berdiri. Sebelum Tiongkok menjadi PRC (People’s Republic of China), tepatnya 1940, Uighur memprakarsai berdirinya Republik Turkistan Timur. Namun di 1949, PRC berdiri dan memasukkan Republik Turkistan Timur menjadi wilayah otonomi PRC dengan sebutan yang sama dengan Dinasti Qing: Xinjiang Uyghur Autonomous Region, the new territory.[3]
Tiongkok modern hadir bersama karakter yang khas dengan value komunis namun memberikan keleluasaan rakyatnya dalam memilih dan bertindak. Termasuk kepada Muslim yang diberikan kebebasan melaksanakan ibadah, menikah, berhaji, dll dengan syariat Islam. Seperti yang tertuang dalam China’s White Paper: “Muslim customs regarding food and drink, clothing, festivals, marriages and funerals are fully respected. The Islamic Association of China organizes for Muslims to go on pilgrimage to Saudi Arabia every year, with the number of participants exceeding 10,000 a year since 2007.”[4] PRC berhasil melaksanakan ini dengan memberikan kebebasan beragama etnis Muslim Tiongkok: Hui dan berbagai diaspora Muslim di dataran Tiongkok. Etnis Hui sendiri memiliki geonologis seperti etnis Han dan memiliki tokoh kuat Laksamana Cheng Ho, pendakwah hingga Nusantara. Namun, ada satu catatan atas inkonsistensi PRC dalam melaksanakan ‘konstitusinya’ sendiri, yakni dengan tidak memberikan kebebasan beragama bagi Muslim Uighur. Sebuah paradoks. Lihat, “China: Human Right Concern in Xinjiang” oleh Human Right Watch HRW.[5]
Tulisan ini muncul ketika saya mencoba berdiskusi dengan mualaf keturunan Tiongkok dan saya hubungkan dengan mata kuliah ‘History of Ancient Turkey (civilization)’ waktu jadi mahasiswa. Menarik memang menuliskan Uighur dan Tiongkok, dua etnis Turkic dan China Han dengan karakteristik yang cukup jauh namun harus tinggal di wilayah yang sama selama berabad tahun. Saya akan coba bahas dari sebuah pemicu pertanyaan beberapa kawan mahasiswa muslim baik di Jakarta maupun di daerah, “apa yang bisa kita lakukan untuk Uighur?” Setidaknya, dari pandangan pribadi, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Pertama, responsif bukan reaktif. Perjuangan Uighur adalah perjuangan panjang. Dan hanya orang bernafas panjanglah yang akhirnya bisa ikut berjuang. Maka menjadi responsif adalah satu hal yang penting. Memastikan sumber informasi primer dan sekunder menjadi satu hal yang juga penting yang harus dilakukan. Bukan menjadi reaktif dengan sekonyong-konyong menuntut tanpa tahu cara dan resiko. Saya ingin mengambil contoh dari isu Rohingya. Di awal meledaknya isu, ada beberapa bagian masyarakat yang reaktif namun redup di sekian bulan setelahnya. Ada juga cerita sebuah NGO yang masuk secara diam-diam, berhubungan people to people dan mengambil jaminan dari tokoh di Myanmar, hingga akhirnya bisa masuk ke Rakhine dan membangun beberapa sekolah serta memberikan berbagai bantuan lainnya. Tentu berjalan sebagai kolaboratif NGO, karna ia bukan pemain tunggal yang kesepian. NGO tersebut baru mem-publishaktivitasnya 3 bulan kemudian karena mempertimbangkan keselamatan tim yang bekerja di lapangan dan keamanan misi program jangka panjang. InsyaaAllah ini adalah berita yang valid karna saya sekarang mengabdi di NGO yang berhasil menempatkan timnya berbulan-bulan di Rakhine itu. Dan ini salah satu cara responsif yang tidak reaktif, terutama ketika kita melihat PRC sebagai salah satu super-power dunia dan pemerintah Indonesia sedang cukup mesra dalam kerjasama dengan PRC. Tentu di sisi lain, pemerintah Indonesia lebih “berhati-hati”.
Kedua, diplomatis. Setidaknya ada dua jenis diplomasi yang bisa dilakukan oleh kita untuk saat ini: people to people diplomacy (p to p) dan people to government diplomacy (p to g). Saya bersama FSLDK Indonesia sedang mencoba melakukan “p to p” dengan menjalin komunikasi ke salah satu anggota Perkumpulan Muslim Hangzhou, juga seorang mualaf keturunan Tiongkok, dan warga muslim PRC yang sedang belajar di Indonesia. “p to g” juga kami lakukan dengan upaya audiensi dengan Kemenlu RI. Surat audiensi sudah kami masukkan beberapa hari lalu. Plus saya pribadi mewakili FSLDK Indonesia juga bertemu Ibu Retno Menlu RI di sebuah momen, —meski belum sejauh pembicaraan diplomasi Uighur. Kemenlu RI menjadi lembaga yang kita harapkan bisa membuka akses dan menyuarakan secara soft di meja diplomasi antara RI dan PRC. Juga secara hard, seperti di PBB atau OKI jika dibutuhkan. Diplomasi dunia Islam di belahan dunia lain harapannya mampu memediasi konflik berkepanjangan di Uyghur. Andaikata permainan ‘p to p’ atau ‘p to g’ belum berhasil, secara natural “people’s power” akan bermain.
Dan yang terakhir, melangitkan doa dan mengirimkan donasi terbaik. Poin ketiga ini salah satu yang paling penting. Mengirim dan langitkan doa terbaik untuk saudara kita di Uighur. Agar Allah beri kesabaran, kekokohan iman, dan kemudahan amal. Juga agar Allah ‘lembutkan’ hati para penguasa PRC. Maka mari jadikan Jumat-Jumat kita sebagai waktu khusus untuk mendoakan saudara kita di Uighur khususnya, dan belahan dunia pada umumnya. Adapun donasi, sampai sekarang baru bisa mengakses Uighur di luar Xinjiang. Karena akses ke Uighur Xinjiang masih sangat rapat tertutup.
Wallahu a’lam bisshawab. Allahu yubaarik fiikum!
* Ketua Puskomnas FSLDK Indonesia 2018; Ketua LDKN Salam UI 2017; Overseas Partnership (International Relation) PKPU Human Initiative 2018
————————
[1] Tulisan Peter Zieme: The Old Turkish Empires in Mongolia, Genghis Khan and His Heirs: The Empire of The Mongol. 2005
[2] Oxford Research Encyclopedias, http://oxfordre.com/asianhistory/view/10.1093/acrefore/9780190277727.001.0001/acrefore-9780190277727-e-160
[3] Sejarah Konflik Uyghur, http://repository.lppm.unila.ac.id/6158/1/364-712-1-PB.pdf
[4] White Paper: China’s Policies and Practices on Protecting Freedom of Religious Belief. Kutipan: White Paper Chapter III. Point 5. http://t.m.china.com.cn/convert/c_oEsyxNII.html
[5] China: Human Right Concern in Xinjiang oleh Human Right Watch, https://www.hrw.org/legacy/backgrounder/asia/china-bck1017.htm
Uighur, Nafas Panjang Perjuangan - Kiblat


Kasih Sayang Luput, Anak Punk Korban Sekularisasi Akut

Foto: Punk
Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA, Relawan Opini dan Media)

KIBLAT.NET – Punk, awalnya merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris. Di samping itu, punk juga dapat diartikan sebagai salah satu jenis/genre musik yang lahir pada awal tahun 1970-an. Namun, punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk adalah gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja.
Gerakan ini cukup populer juga di Amerika yang saat itu sedang mengalami masalah ekonomi dan keuangan akibat kemerosotan moral para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Berikut ini lima hal yang dianggap sebagai ideologi yang mendasari gerakan punk:
1. Do it Yourself (DIY)
Yaitu gaya hidup yang mengusahakan segala sesuatu bisa dibuat atau dikerjakan sendiri. Maksudnya, tidak membiasakan diri untuk buru-buru membeli produk yang siap pakai, apalagi jika harganya mahal.
2. Anti Kemapanan
Yang dimaksud dengan kemapanan adalah segala hal yang sifatnya mainstream atau dominan di masyarakat. Punk selalu mempertanyakan segala yang dominan lalu menentangnya.
3. Counter Culture
Punk menawarkan alternatif dari budaya mainstream dengan cara mencuri simbol-simbol kemapanan lalu menciptakan gayanya sendiri. Misalnya, dalam berpakaian, punk meledek gaya berpakaian yang rapi dan teratur dengan bergaya yang terkesan serampangan.
4. Kesetaraan
Di dalam komunitas punk, semua orang dipandang dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama, nggak dibedakan dari latar belakang, gender, atau status sosial.
5. Anarkis
John Martono dan Arsita Pinandita menuliskan bahwa punk lekat dengan anarkis, yaitu paham kehidupan tanpa negara, tanpa pemerintah.
Namun pada era selanjutnya, banyak yang dianggap telah menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.
Berdasarkan lima hal yang dianggap sebagai ideologi punk tadi, jelas sekali bahwa ide punk berawal dari ketidakpuasan mereka terhadap ketimpangan sosial yang timbul dalam kehidupan. Hal ini tentu sebagai hasil dari penerapan ideologi yang tidak sesuai dengan fitrah mereka sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Namun karena mereka tidak memperoleh pelarian untuk menuju Rabb-nya, tak heran jika dampak ekstrim menjadi punker adalah menentang Tuhan.
Di Indonesia, anak punk biasanya akan langsung dikenali dari kostum yang dikenakan. Juga dari tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, hingga pemabuk berbahaya.
Pada perkembangannya, punk bagaikan arena perilaku pelarian anak-anak yang kecewa dengan keluarganya. Seperti perceraian orang tua, pertengkaran orang tua, kurang harmonisnya keluarga, kurang mendapat perhatian orang tua, mendapat tekanan psikis yang negatif akibat sering dimarahi orang tua, hingga memang benar-benar salah dalam pergaulan sosialnya.
Ketika mereka sudah lari dari keluarga, anak punk biasanya menjadi anak jalanan. Mereka mencari nafkah dengan mengamen berkeliling kota. Namun parahnya, mereka juga terlibat pergaulan dengan sesama anak punk yang luar biasa bebas, lekat dengan dunia minuman keras dan narkoba, bahkan tak jarang ada juga yang terjerat jaringan L98T.
Dalam menangani hal ini, Menteri Sosial yang saat itu masih dijabat Khofifah Indar Parawansa, terus berupaya mengurangi jumlah anak jalanan. Berdasarkan data, masih ada 16.290 anak jalanan hingga Agustus 2017. Sebelumnya, menurut Khofifah, pada 2006, jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia sebanyak 232.894 orang. Kemudian pada 2010 ada 159.230 anak jalanan, 2011 turun menjadi 67.607 anak jalanan, dan 2015 menjadi turun lagi menjadi 33.400 anak jalanan.
Seluruh anak jalanan tersebut tersebar di 21 provinsi. Saat itu, Khofifah juga menyosialisasikan PP Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pengasuhan Anak bersama anak jalanan dan panti asuhan, serta mencanangkan Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan (MIBAJ).
Khofifah menyampaikan, keberadaan PP ini sangat penting. Sebab, tidak sedikit orang tua yang memang tidak cakap mengasuh. Ada pula orang tua yang hak asuhnya dicabut serta pengasuhannya dialihkan sementara atau permanen. Maka tidak jarang ada istilah orang tua asuh atau orang tua angkat. PP ini merupakan breakdown dari Undang-undang Perlindungan Anak. PP ini berfungsi untuk memberikan payung hukum kepada anak-anak soal pengasuhan, perlindungan, dan hak-hak hukum lainnya yang melekat pada upaya perlindungan anak. Menurut Khofifah, anak wajib dilindungi karena mereka punya hak hidup. Pemenuhan hak anak adalah dari sisi pengasuhan.
Mencermati hal ini, bahwa merebaknya jumlah dan kasus anak punk, masih selalu menjadi PR besar. Menangani anak punk, harus berawal dari pemahaman akan sebuah kelurga yang menjadi inkubator pengasuhan yang mutakhir dan memadai. Harus dipahami, bahwa menjadi orang tua tidaklah sekedar menjadi induk, pun tidak sekedar menafkahi. Melainkan ada peran pengasuhan yang harus diupayakan sungguh-sungguh agar keluarga sebagai benteng terkecil negara bagi generasi dapat diwujudkan.
Pernikahan diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga, sekaligus mewujudkan ketenteraman bagi keluarga tersebut. Yang termasuk di dalamnya suasana yang kondusif untuk mendidik anak-anak. Kondusifitas ini dapat diraih hanya dengan mengembalikan aturan pengasuhan anak kepada pihak yang telah mengamanahi orang tua atas anaknya, yakni Allah SWT.
Kondusifitas ini juga harus diupayakan dengan senantiasa memberikan pembelajaran dan praktik syariah di tengah keluarga. Diantaranya aspek aqidah (rukun iman dan rukun Islam), ibadah, akhlak, keterikatan terhadap hukum syara’, standar halal-haram, syariah tentang interaksi anak laki-laki dan perempuan, hingga pembelajaran tentang muamalah dan uqubat (sanksi ketika melanggar hukum syara’).
Inilah yang selama ini absen dalam keluarga akibat arus sekularisasi yang diniscayakan oleh sistem kehidupan berasas ideologi kapitalisme. Semuanya menjadi serba boleh dan bebas, karena kapitalisme menolak keterikatan kepada aturan Sang Khaliq dalam kehidupan. Namun ketika manusia hidup dalam kondisi yang tidak sesuai fitrah, cepat atau lambat kondisi itu akan ditinggalkan oleh pelakunya sendiri.
Ini tak terkecuali terjadi pada anak punk. Tak sedikit dari mereka yang bertaubat. Sedikit demi sedikit belajar Islam. Malu saat tak paham Islam, padahal hanya dengan Islam mereka bisa hidup dan mati dengan layak.
Ini terbukti dengan fenomena hijrahnya anak punk. Yang tadinya getol menyanyikan lagu-lagu antikemapanan, kemudian berganti dengan lantunan bacaan huruf-huruf hijaiyah. Yang sebelumnya gemar menenggak minuman keras, diganti dengan kopi.
Tato di badan pun lambat laun dihapus. Rambut mohawk juga dicukur rapi layaknya para santri. Aksesori hidung dan telinga dilepas. Pakaian pun lebih layak karena tidak kumal, tidak berlubang di sana-sini, serta menutup aurat. Yang masih usia sekolah, mereka mau kembali bersekolah. Yang sudah usia kerja, mereka mencari pekerjaan baru yang halal. Intinya, mereka berusaha kembali normal sesuai fitrah.
Jadi sungguh, mereka membutuhkan uluran tangan tak hanya dari keluarga, tapi juga kontrol sosial dari masyarakat dan langkah politik dari negara. Mereka membutuhkan gebrakan yang berani untuk menjauhkan mereka dari arus sekularisasi yang berbahaya. Ini demi menjaga taubat mereka dalam naungan kehidupan yang diridhoi Allah SWT, yang dalam jangka panjang tentunya akan jauh lebih kondusif dengan negara berideologi Islam.
Kasih Sayang Luput, Anak Punk Korban Sekularisasi Akut - Kiblat

Poligami, Syariat Islam yang Dinodai

Foto: Ilustrasi. (Ilgiomale)
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S (Penulis Buku)
KIBLAT.NET – Permasalahan poligami tak pernah sepi diperbincangkan. Terlebih belakangan ini, kembali menjadi sorotan pasca Grace Natalie ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan sikapnya menolak poligami. Dalam pidatonya, Grace berjanji akan mengupayakan pelarangan poligami  bagi pejabat publik di lembaga legislatif, ekskutif, dan yudikatif hingga aparatur sipil negara.
Komnas perempuan pun setali tiga uang, seolah turut merestui pernyataan Grace. Sebagaimana dinyatakan oleh Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Kiai Imam Nahei bahwa jelas praktik poligami merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut disimpulkan berdasarkan pengaduan yang masuk ke lembaganya.
Sungguh miris, poligami yang sejatinya merupakan ajaran Islam dianggap sebagai penyebab malapetaka bagi perempuan. Akhirnya muncul arus penolakan terhadapnya dan disuarakan dengan sumir. Padahal dalam pandangan syariat, hukum poligami adalah mubah. Artinya pilihan, boleh dilakukan boleh juga tidak. Lantas jika syariat memperbolehkannya, mengapa kita mengharamkannya?
Framing buruk tentang poligami sejatinya hanyalah alat untuk menikam ajaran Islam. Lebih-lebih, media sekular saat ini lebih banyak menggiring opini publik pada potret poligami yang membawa ekses negatif terhadap perempuan. Sementara potret keluarga poligami yang sakinah mawadah warahmah jarang di blow up.
Maka rasanya sangat nyata jika dalam sistem kehidupan sekuler hari ini, seolah-olah poligami sama hinanya dengan selingkuh. Atau lebih parah lagi, ada yang menganggap bahwa perselingkuhan jauh lebih baik daripada menduakan istri.
Padahal bagi setiap muslim yang beriman kepada kitabullah, sudah selayaknya menerima semua ajaran Islam, disuka atau pun tidak. Menolaknya apalagi menghujatnya merupakan sebuah kefasikan yang nyata. Dan sungguh penolakan terhadap ajaran Islam dapat mencederai akidah kita.
Alangkah berbahayanya jika kita menghukumi suatu perkara dengan akal dan perasaan semata. Sudah semestinya hanya Al-Quran dan As-sunnah saja yang menjadi patokan dalam menilai. Karena Allah lebih mengetahui mana yang terbaik bagi hamba-Nya. Dan sudah pasti bahwa di balik setiap perkara yang telah Allah tetapkan atasnya, ada kebaikan di dalamnya.
Sungguh, arus deras penolakan terhadap poligami merupakan bukti nyata bahwa negeri ini jauh dari pemahaman soal ajaran Islam yang kaffah. Umat seolah didesain untuk jauh dari pemikiran Islam sejauh-jauhnya, mulai perkara cabang hingga perkara akar. Maka alangkah penting bagi kita untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya inspirasi dalam setiap elemen kehidupan kita. Agar ajaran Islam tak melulu dinodai demi terwujudnya kehidupan yang diridhoi Allah.
Poligami, Syariat Islam yang Dinodai - Kiblat

Tiada ulasan: