Ahad, 31 Mac 2019

Pandangan Islam tentang mudahnya mencaci, menghina, melecehkan dan memberi gelar-gelar buruk kepada mereka, saat berbeda pendapat, atau saat mereka terjatuh dalam kekeliruan. 9304.


Menyimpang Tanpa Sadar
by yudi
Menyimpang Tanpa Sadar
Ilustrasi: Zora Financial

AKHIR-akhir ini, sering kita dapatkan sikap-sikap tidak terpuji dari sebagian pihak, terhadap para ulama’ dan para da’i/ustadz di jalan Allah. 

Mudah mencaci, menghina, melecehkan dan memberi gelar-gelar buruk kepada mereka, saat berbeda pendapat, atau saat mereka terjatuh dalam kekeliruan. Ini sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari manhaj salaf.

Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi –rahimahullah- (wafat : 321 H) berkata:

علماء السلف من السابقين، ومن بعدهم من التابعين أهل الخير والأثر وأهل الفقه والنظر، لا يذكرون إلا بالجميل، ومن ذكرهم بسوءٍ فهو على غير السبيل

BACA JUGA: Pendapat Umar Sama dengan Pendapat Rasulullah

“Ulama’ salaf dari orang-orang yang telah mendahului kita, serta para ulama’ setelah mereka dari kalangan pengikut mereka, yang ahli dalam kebaikan, atsar, ahli fiqh dan nadzor (ahli dalam mengamati dan meneliti berbagai masalah agama), tidaklah mereka disebut kecuali dengan keindahan/kebaikan. Barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka dia telah berada di atas selain jalan (Islam).” [ Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah : 58 ].

Al Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi -rahimahullah- (wafat : 792 H) menjelaskan: “Maka wajib atas setiap muslim setelah memberikan loyalitas kepada Alloh dan rosul-Nya, untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang yang beriman, sebagaimana telah dinyatakan oleh Al Qur’an. Terkhusus kepada orang-orang yang merupakan pewaris para nabi (ulama’)…maka jika didapatkan sebuah pendapat dari salah satu mereka, dimana telah datang sebuah hadits yang menyelisihinya, maka harus kita tinggalkan pendapat itu dengan tetap memberikan udzur (dispensasi/toleransi) terhadapnya (yang berpendapat).” [ Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah : 491 ].

BACA JUGA: Hati-hati dari Suatu Pendapat yang Menyelisihi Madzhab yang Empat

Penjelasan Ibnu Abi ‘Izzi di atas, diambil dari ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- dalam “Majmu’ Fatawa” : 20/231. []

Facebook: Abdullah Al Jirani
https://www.islampos.com/menyimpang-tanpa-sadar-141429/?


Makan Buah yang Ditanam di Masjid

Makan Buah yang Ditanam di Masjid
APAKAh Anda berpendapat tetangga masjid boleh untuk makan buah kurma yang tumbuh di sana?

Jawab: Jika kurma itu asalnya ditanam di tanah seorang (dari mereka), lalu dia bangun masjid di tanah itu dalam kondisi pohon kurmanya masih ada di situ, maka tidak mengapa mereka makan darinya.

BACA JUGA: Mengintip Arsitektur Masjid Kubah Emas Depok

Namun jika pohon kurma itu ditanam setelah tanah tersebut dibangun masjid dan telah dipakai shalat, maka berarti pohon tersebut ditanam tanpa haq (karena ditanam di tanah yang bukan milik orang yang menanam). Dan orang yang telah menanamnya telah berbuat dzolim karena menanam di tanah yang bukan miliknya.
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ليس لعرق ظالم حق
“Tidak ada hak bagi (pemilik) keringat yang dzolim”. [ HR. Abu Dawud: 3073 – shohih- ].
Maka aku tidak senang seorang makan darinya. Dan menjaga diri dari hal seperti ini lebih aku cintai.” []
Masail Al-Barzathi -رحمه الله-
Facebook: Abdullah Al-Jirani 
Makan Buah yang Ditanam di Masjid - Islampos

Cermin Akhlak Ulama Salaf dalam Hal Saling Menasihati
by yudi
Akhlak Ulama Salaf
AL-‘ALLAMAH Ibnul Arabi –rahimahullah- berkata:

وصلت الفسطاط مرة، فجئت مجلس الشيخ أبي الفضل الجواهري، وحضرت كلامه على الناس، فكان مما قال في أول مجلس جلست إليه: إن النبي – صلى الله عليه وسلم – (طلق وظاهر وآلى) فلما خرج تبعته حتى بلغت معه إلى منزله في جماعة، فلما انفض عنه أكثرهم، قال لي: أراك غريبًا هل لك من كلام؟ قلت: نعم. قال لجلسائه: افرجوا له عن كلامه،فقاموا وبقيت وحدي معه،

“Sekali waktu, aku tiba di Fusthoth (nama Kairo/ibu kota Mesir waktu itu). Maka aku mendatangi majelis Asy-Syaikh Abul Fadhl Al-Jawahiri. Akupun hadir saat beliau menyampaikan ucapannya kepada manusia. Di antara yang disampaikan di awal majelis dimana aku duduk di situ (beliau berkata) : “Sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mentalak, mendzihar[1], dan melakukan ila’[2]. Saat beliau keluar majelis, akupun mengikuti beliau sampai tiba di rumahnya (dan saat itu) ada sekelompok orang di sana. Tatkala kebanyakan mereka telah bercerai (pergi), maka beliau bertanya kepadaku: “Aku lihat kamu orang asing, apakah ada yang ingin kamu sampaikan?” Aku jawab: “Ya.” Beliau berkata kepada orang-orang yang masih tersisa duduk di situ: “Hendaknya kalian memberi kesempatan waktu baginya untuk menyampaikan perkataannya (secara rahasia).” Maka mereka akhirnya beranjak pergi dan tersisa aku dan beliau.”


فقلت له: حضرت المجلس اليوم وسمعتك تقول: آلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وصدقت، وطلق رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وصدقت، وقلت: وظاهر رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهذا لم يكن ولا يصح أن يكون؛ لأن الظهار منكر من القول وزور، وذلك لا يجوز أن يقع من النبي – صلى الله عليه وسلم -، فضمني إلى نفسه وقبل رأسي وقال لي: أنا تائب من ذلك جزاك الله عني من معلم خيرًا

“Maka aku berkata kepada beliau : “Aku hadir di majelis anda hari ini dan aku mendengar anda menyatakan bahwa Rosulullah –shollallahu ‘alihi wa sallam- pernah melakukan ila’, dan anda benar. Dan anda menyampaikan bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mentalak (istrinya), dan anda juga benar. Lalu anda menyampaikan bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mendzihar, maka ini tidak pernah terjadi dan tidak benar terjadi. Karena dzihar merupakan perkara munkar dusta. Hal itu tidak boleh terjadi dari Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.” Maka beliau memelukku dan mencium kepalaku.” Beliau kemudian berkata kepadaku : “Aku bertaubat dari hal itu. Semoga Alloh membalas kebaikan untukmu atas apa yang engkau ajarkan kepadaku.”

BACA JUGA: Akhlak adalah Rizqi

ثم انقلبت عنه وبكرت إلى مجلسه في اليوم الثاني، فألفيته قد سبقني إلى الجامع وجلس على المنبر فلما دخلت من باب الجامع ورآني نادى بأعلى صوته “مرحبًا بمعلمي افسحوا لمعلمي” فتطاولت الأعناق إليَّ وحدقت الأبصار نحوي، وأنا لعظم الحياء لا أعرف في أي بقعة أنا من الأرض والجامع غاص بأهله، وأسال الحياء بدني عرقًا، وأقبل الشيخ على الخلق فقال لهم: أنا معلمكم، وهذا معلمي

“Lalu aku pergi dari beliau. Di hari kedua, aku bersegera mendatangi majelis beliau (supaya aku bisa datang lebih dulu). Ternyata aku dapatkan beliau telah mendahului aku tiba di masjid Jami’. Beliau-pun naik mimbar. Tatkala aku masuk dari salah satu pintu Masjid Jami’ tersebut dan beliau melihatku, beliau memanggil dengan suara yang sangat keras : “Selamat datang wahai guruku ! berilah jalan untuk guruku !”. Maka manusiapun melonggokkan wajahnya dan menatap ke arahku. Aku sangat malu sekali waktu itu. Sampai seolah aku tidak tahu di mana waktu itu aku berada. Masjid jami’ penuh dengan lautan manusia (ahli ilmu). Rasa maluku akhirnya menyebabkan bercucuran keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Syaikh-pun (Abul Fadhl Al-Jawahiri) menghadap manusia seraya berkata : “Aku guru kalian, dan ini(Ibnul Arabi) adalah guruku.”


لما كان بالأمس قلت لكم: آلى رسول الله، وطلق رسول الله، وظاهر رسول الله، فما كان أحدٌ منكم فقه عني ولا رد عليَّ فاتبعني إلى منزلي وقال لي كذا وكذا، وأنا تائب عن قولي بالأمس وراجع عنه إلى الحق، فمن سمعه ممن حضر فلا يعول عليه، ومن غاب فليبلغه من حضر، فجزاه الله خيرًا، وجهد في الدعاء والخلق يؤمنون”

“Beliau berkata : “Kemarin, aku mengatakan kepada kalian, bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaih wa sallam- telah melakukan ila’,talak dan dzihar. Maka ada salah seorang dari kalian memiliki ilmu tentang (kesalahan) yang aku sampaikan dan tidak langsung membantahku. Lalu dia mengikutiku sampai tiba di rumahku kemudian menyampaikan kepadaku demikian dan demikian (menjelaskan kekeliruanku). Aku bertaubat dari ucapanku kemarin dan kembali kepada kebenaran. Maka barang siapa yang kemarin hadir dan mendengarnya, abaikan saja. Dan barang siapa yang tidak hadir, hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (atas kekeliruanku tersebut). Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan.” Beliau berdo’a dengan sungguh-sungguh dan diaminkan oleh seluruh manusia yang hadir waktu itu.” [ Ahkamul Qur’an : 1/182-183 ]
————————-

Pelajaran yang dapat dipetik :

1]. Seyogyanya meluruskan kesalahan seorang, terlebih seorang da’i, atau ustadz, atau tokoh agama dan yang semisalnya dilakukan dengan empat mata (secara sembunyi dan bertemu langsung). Tidak dilakukan di muka umum, atau disebar secara luas dengan berbagai media baik melalui internet, atau TV, atau yang lainnya. Karena hal ini lebih mudah diterima oleh pihak yang bersalah, dan lebih menjaga harga dirinya, serta menjaga perasaan orang-orang yang belajar kepadanya.Walaupun kesalahan tersebut disampaikan di depan umum atau tersebar secara luas.

Jika cara seperti ini prosentase kemungkinan untuk diterima oleh orang yang bersalah lebih besar-dan ini memang tujuan yang diinginkan-, lantas kenapa kita justru memilih untuk meluruskannya dengan bantahan secara umum ? padahal prosentase kemungkinan diterimanya lebih kecil, atau bahkan tidak diterima sama sekali. Karena adanya efek-efek negatif yang muncul setelahnya, seperti : rasa malu, sakit hati, kehormatan yang tercabik secara luas, dan yang lainnya. Kita mengkhawatirkan diri-diri kita, jangan-jangan saat kita membantah orang yang bersalah, bukan karena Alloh. Akan tetapi terselip adanya tunggangan hawa nafsu yang sangat halus.

Lihat, bagaimana Al-Imam Ibnu Arabi –rahimahullah- ketika meluruskan kesalahan yang dinyatakan oleh Al-Imam Abul Fadhl Al-Jawahiri –rahimahullah-. Walaupun kesalahan itu dilakukan di depan umum, namun beliau meluruskannya secara empat mati di rumah beliau. Bahkan ketika masih ada orang lain di rumah itu, beliau belum menyampaikannya, sampai tersisa mereka berdua.

Meluruskan kesalahan secara umum bukan tidak boleh. Jika memang ada berbagai murojihat (penguat) untuk menyampaikannya secara umum disertai pertimbangan masalahat dan mafsadat yang akan muncul, silahkan. Akan tetapi, kita hendaknya memilih cara yang paling berpotensi besar untuk diterimanya nasihat kita.

BACA JUGA: Akhlak Rasulullah: Gemar Mengulang Ucapan, Tak Bertele-tele, dan Meninggalkan Debat

2]. Siapa yang menyatakan bahwa kesalahan yang tersebar luas atau disampaikan secara umum HARUS dibantah secara umum saja, tanpa ada ruang untuk menasihati secara empat mata, sungguh dia telah salah dan menyimpang dari jalan salaf shaleh. Walaupun dia mengaku sebagai pengikut mereka.

3]. Mari kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Jika saat kita salah kita ingin dinasihati dengan lembut dan secara sembunyi-sembunyi, maka perlakukanlah orang lain demikian juga. Karena “sebagaimana engkau memperlakukan orang lain, demikian juga engkau akan diperlakukan.”

4]. Sifat rendah hati para ulama’ salaf. Dimana saat telah nyata mereka keliru, maka mereka menerima sebuah nasihat dengan penuh keikhlasan dan mudah untuk kembali kepada kebenaran. Tidak gengsi atau takut kehilangan popularitas.

5]. Memuliakan orang yang telah memberikan nasihat kepada kita dengan sebaik-baiknya. Karena dia telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidup kita. Jangan sampai kita justru memusuhinya atau membencinya atau menghinakannya.

6]. Nasihat yang disampaikan secara pribadi dengan cara bertemu langsung, biasanya lebih terjaga keikhlasan orang yang menasihati dan lebih mudah diterima oleh orang yang dinasihati.
Lihatlah Apa yang Diucapkan, Jangan Melihat Siapa yang Mengucapkan
by yudi
melihat kebenaran
KEBENARAN itu wajib diterima dari siapapun, selama terbukti secara ilmiyyah sebagai sebuah kebenaran. Tidak harus muncul dari “komunitas kita”, atau “ustadz kita”, atau “syaikh kita”, baru kita mau menerimanya. Karena parameter suatu kebenaran itu dalil, bukan “kelompok” atau “person” tertentu.

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi:


انظر ما قال و لا تنظر من قال

“Lihatlah apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang menyampaikan.”

Siapa yang hanya mau menerima apa yang disampaikan “ustadznya” atau “komunitasnya” saja, serta menghakimi apa yang ada di luar keduanya PASTI SALAH, dia telah terpeleset ke sebuah lembah yang bernama HIZBIYYAH.



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : 

وهذا يبتلى به كثير من المنتسبين إلى طائفة معينة في العلم أو الدين من المتفقهة أو المتصوفة وغيرهم، أو إلى رئيس معظَّم في الدين غير -النبي صلى الله عليه وسلم- فلا يقبلون من الدين رأيا ورواية إلا ما جاءت به طائفتهم، ثم إنهم لا يعملون بما توجبه طائفتهم، مع أن دين الإسلام يوجب اتباع الحق مطلقا من غير تعيين شخص غير النبي صلى الله عليه وسلم

“Ini menimpa kebanyakan dari orang-orang yang menasabkan diri kepada komunitas tertentu dalam hal ilmu dan agama dari kalangan ahli fiqh atau tasawwuf dan selain mereka, atau kepada pimpinan yang diagungkan dalam agama – selain nabi -. Maka mereka tidak mau menerima agama baik berupa pendapat ataupun riwayat kecuali apa yang dibawa oleh kelompok mereka. kemudian sesungguhnya mereka tidak mengamalkan dengan apa yang diwajibka oleh kelompok mereka. Padahal, Islam mewajibkan untuk mengikuti kebenaran secara mutlak, tanpa membatasi orang tertentu selain nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.” [ Iqtidho’ Shirotol Mustaqim : 87 ].

Al-Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi –rahimahullah- berkata :

و نرجح ما ظهر لنا أنه الراجح بالدليل من غير تعصب لمذهب معين و لا لقول قائل معين. لأننا ننظر إلى ذات القول لا إلى قائله

“Dan kami merajihkan (menguatkan) apa yang tampak bagi kami sesungguhnya hal itu kuat dengan dalil, tanpa ta’ashshub (fanatik) dengan suatu madzhab tertentu dan suatu pendapat orang tertentu. Karena kami melihat kepada pendapat dan bukan kepada orangnya.” [ Adhwaul Bayan : 1/4 ].


Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata : 

من فوائد ذلك أن الأقوال التي يراد المقابلة بينها و معرفة راجحها من مرجوحها أن يقطع الناظر و المناظر النظر عن القاعلين. فإنه ربما كان ذكر القائل مغترا عن مخالفته و توجب له الهيبة أن يكف عن فول ينافي ما قاله. و هذا هو العدل و الإنصاف خلافا لمن يرى أن الحق لا يخرج عن اختيار إمامه و 
شيخه

“Dari faidah hal itu, sesungguhnya berbagai pendapat yang diinginkan untuk diperbandingkan diantara pendapat-pendapat tersebut, dan (diinginkan) untuk diketahui yang kuat dari yang lemah, hendaknya orang yang berdiskusi dan di ajak diskusi memutus pandangan dari orang yang mengucapkannya. Karena, sering kali penyebutan nama orang yang mengucapkannya, telah memperdaya/menipu untuk menyelisihinya, dan mengharuskan adanya rasa enggan untuk berhenti dari sebuah pendapat yang meniadakan apa yang telah terlanjur dia ucapkan. Ini adalah sebuah bentuk keadilan, berlainan dengan seorang yang berpendapat, sesungguhnya kebenaran itu hanya keluar dari pilihan imamnya atau syaikhnya saja.” [ Al-Munadzorot Al-Fiqhiyyah : 68 ]. []

Facebook: Abdullah Al-Jirani

Peran Orang-orang Lemah dan Miskin dalam Menggapai berbagai Harapan Kita
by yudi
Orang-orang Lemah dan Miskin
JANGAN pernah kita meremehkan orang lain. Setiap hamba Allah, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika mereka kurang dalam suatu hal, maka mereka memiliki kelebihan dalam hal yang lain.

Kita sering lupa atau tidak sadar, bahwa kelebihan kita, entah berupa kekayaan, atau keunggulan dalam berbagai perkara, atau kedudukan kita yang mulia ini, salah satu penyebabnya adalah orang-orang lemah dan orang-orang miskin diantara mereka.

Telah diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad, beliau berkata:


رَأَى سَعْدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ لَهُ فَضْلًا عَلَى مَنْ دُونَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ»

“Sa’ad –radhiAllahu ‘nhu- menyangka, bahwa dirinya memiliki kelebihan atas orang lain yang dibawahnya. Maka Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Tidaklah kalian ditolong dan diberikan rezeki kecuali dengan sebab orang-orang lemah diantara kalian.” [HR. Al-Bukhari : 2896].

BACA JUGA: Zainab Binti Khuzaimah, Ibu Kaum Miskin

Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i –rahimahullah- dengan lafadz:


«إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا، بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ»

“ Allah hanya akan menolong umat ini dengan sebab orang lemah diantara mereka, dengan do’a mereka, dengan sholat mereka, dan dengan keikhlasan mereka.” [ HR. An-Nasa’i : 3178 dan sanadnya shohih ].

Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:


قَالَ بن بَطَّالٍ تَأْوِيلُ الْحَدِيثِ أَنَّ الضُّعَفَاءَ أَشَدُّ إِخْلَاصًا فِي الدُّعَاءِ وَأَكْثَرُ خُشُوعًا فِي الْعِبَادَةِ لِخَلَاءِ قُلُوبِهِمْ عَنِ التَّعَلُّقِ بِزُخْرُفِ الدُّنْيَا وَقَالَ الْمُهَلَّبُ أَرَادَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ حَضَّ سَعْدٍ عَلَى التَّوَاضُعِ وَنَفْيِ الزَّهْوِ عَلَى غَيْرِهِ وَتَرْكِ احْتِقَارِ الْمُسْلِمِ فِي كُلِّ حَالَةٍ

“Ibnu Bathal –rahimahullah- berkata : Tafsir hadits tersebut, sesungguhnya orang-orang lemah, lebih ikhlas dalam berdo’a, lebih khusyuk dalam ibadah karena kosongnya hati mereka dari keterkaitan dengan perhiasan dunia. Al-Muhallab berkata : Dengan hal itu, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menginginkan untuk memberikan dorongan kepada Sa’ad untuk rendah hati dan meniadakan kesombongan atas orang lain serta meninggalkan untuk meremehkan seorang muslim dalam seluruh keadaan.” [ Fathul Bari : 6//89 ].

Al-Imam Ibnul Mulaqqin Asy-Syafi’i –rahimahullah- (w. 804 H):


أن مَنْ زَهَا على مَنْ هو دونه، أنه يَنْبغي أَنْ يُبَيَّنَ من فضله ما يُحْدِثُ له في نفس المَزْهُوِّ مِقْدَارًا وفضلًا حَتَّى لا يحتقر أحدًا من المسلمين، ألا ترى أنه – صلى الله عليه وسلم – أبان من حال الضعفاء ما ليس لأهل القوة من الغناء، فأخبر أن بدعائهم وصومهم وصلاتهم ينصرون.

“Sesungguhnya barang siapa yang sombong atas orang yang berada di bawahnya, seyogyanya untuk diterangkan dari niatnya apa yang bisa menimbulkan kedudukan dan keutamaan bagi orang yang disombongi (maksudnya : orang yang direndahkan.pentj.) sehingga dia tidak merendahkan seorangpun dari kalangan muslimin. Bukankah kamu melihat, sesungguhnya Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan (keutamaan) keadaan orang-orang lemah, yang hal itu tidak dimiliki oleh orang-orang kuat dan orang-orang kaya. Maka beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan, sesungguhnya mereka ditolong, karena doa, puasa dan sholat orang-orang lemah diantara mereka.” [ At-Taudhih Li Syarhi Al-Jami’ Ash-Shohih : 17/606 ].

Al-Imam Zainuddin Al-Munawi –rahimahullah- (w. 1031 H) berkata:


بسبب كونهم بين أظهركم أو بسبب رعايتكم ذمامهم أو ببركة دعائهم والضعيف إذا رأى عجزه وعدم قوته تبرأ عن الحول والقوة بإخلاص واستعان بالله فكانت له الغلبة وكم من فئة قليلة غلبت فئة كثيرة بإذن الله بخلاف القوي فإنه يظن أنه إنما يغلب الرجال بقوته فتعجبه نفسه غالبا وذلك سبب للخذلان كما أخبر الله تعالى عن بعض من شهد وقعة حنين

“Dengan sebab kedudukan mereka (orang-orang lemah dan miskin) diantara kalian, atau dengan sebab perhatian kalian terhadap hak-hak mereka, atau berkah dari orang mereka. Orang yang lemah, apabila dia melihat kelemahannya dan tidak adanya kekuatan dirinya, dia akan berlepas diri dari daya dan kekuatan(nya) dengan keikhlasan dan pertolongan kepada Allah. Maka dia mendapatkan kemenangan dengan hal itu. Berapa banyak kelompok yang sedikit bisa mengalahkan kelompok yang banyak dengan ijin Allah. Lain halnya dengan orang kuat. Maka dia menyangka sesungguhnya dirinya akan mengalahkan orang lain dengan kekuatannya. Maka biasanya, dia akan ujub (sombong/merasa) tinggi terhadap dirinya. Dan itu merupakan sebab kehinaan/kekalahan. Sebagaimana Allah telah mengabarkan tentang sebagian orang yang ikut terjun dalam peristiwa perang Hunain.” [ Faidhul Qodir : 1/212 ].

BACA JUGA: Jangan Bunuh Anak Hanya Karena Takut Miskin

Kita harus ingat, bahwa sebab-sebab yang mewujudkan berbagai keinginan dan harapan kita, ada dua macam:

1). Sebab yang bersifat hissi (yang bisa dideteksi dengan panca indera). Seperti : kekuatan, keahlian, materi, usaha keras, dan yang lainnya.

2). Sebab yang bersifat maknawi. Dan ini adalah berupa kepercayaan dan kemantapan hati untuk senantiasa bersandar kepada Allah Ta’ala (tawakkal).

Kita sering kali hanya mengingat sebab yang pertama dan melupakan sebab yang kedua. Dan biasanya, sebab yang kedua ini akan lebih mudah terwujud pada diri orang-orang yang lemah, fakir, tidak memiliki sesuatu yang pantas dibanggakan.

Kelemahan seseorang, biasanya akan membawa pemiliknya untuk mencapai derajat tinggi dalam rasa tawakkal (bersandar dan berserah diri) dan keikhlasan kepada Allah. Sebab, saat itu dia sadar, sesungguhnya dia tidak memiliki apapun. Dia hanya sadar sepenuhnya, bahwa dia hanya punya Allah Yang Maka Kuat.

Saat kita memperhatikan dan menolong mereka yang lemah dan fakir, maka Allah akan jadikan jalan rezeki kita dan terwujudnya berbagai harapan kita lewat mereka.

Suatu contoh, saat kita menginfakan sebagian harta kita untuk seorang yang fakir, Allah telah menjanjikan bahwa Dia akan mengganti apa yang kita keluarkan dengan yang lebih baik dan lebih banyak. Allah Ta’ala berfirman :


وَما أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apa saja yang kalian infakkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya. Dan Dia (Allah) sebaik-baik pemberi rezeki.”[ QS. Saba’ : 39 ].

Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- (w. 774 H) berkata:


أَيْ مَهْمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فِيمَا أَمَرَكُمْ بِهِ وَأَبَاحَهُ لَكُمْ، فَهُوَ يُخْلِفُهُ عَلَيْكُمْ فِي الدُّنْيَا بِالْبَدَلِ، وَفِي الْآخِرَةِ بِالْجَزَاءِ وَالثَّوَابِ

BACA JUGA: Sa’id bin Amir, Gubernur Kaum Muslim yang Miskin

“Artinya, apa saja yang kalian infakkan berupa sesuatu di dalam perkara yang Allah perintahkan dan Allah bolehkan, maka Dia (Allah) akan menggantinya dengan ganti di dunia dan dengan ganti pahala dan ganjaran nanti di akhirat.” [ Tafsir Ibnu Katsir : 6/462 ].

Permasalahannya, tinggal kita yakin atau tidak. Itu saja. Jika kita yakin benar, maka Allah pasti akan mengganti apa yang kita keluarkan dengan sebab perhatian kita kepada orang-orang yang lemah dan membutuhkan. []

Facebook: Abdullah Al Jirani 
Peran Orang-orang Lemah dan Miskin dalam Menggapai berbagai Harapan Kita - Islampos

Agar Shalat Khusyuk dan Pikiran Tidak Kemana-mana, Ini Nasihat UAS
by Adam
Gerindra: Penolakan UAS sebagai Cawapres Prabowo Menunjukkan Kerendahan Hati Beliau
JUMHUR ulama telah sepakat bahwa khusyu’ dalam shalat tidak termasuk rukun atau pun wajib. Khusyu’ dalam shalat hanya termasuk sunnah saja. Tidak sampai kepada derajat wajib apalagi rukun.

Apabila seseorang shalat dengan tidak khusyu’, tidak membuat shalatnya rusak atau batal. Sebab khusyu’ bukan termasuk perkara rukun atau kewajiban shalat.

BACA JUGA: Orang Tua, Ini Saran Ustaz Abdul Somad soal Pendidikan Anak

Namun di dalam surat Al-Mu’minun disebutkan beberapa ciri orang beriman. Salah satunya adalah apabila shalat, maka shalatnya itu khusyu’.  “Telah beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang di dalam shalatnya khusyu’.” (QS. Al-Mu’minun: 1-2)

Nah, Ustadz Abdul Somad, Lc., MA., memberikan pemaparan bagaimana agar shalat kita bisa khusyu. Simak video berikut ini yang diambil dari akun YouTube TamanSurga.Net
https://www.islampos.com/agar-shalat-khusyuk-dan-pikiran-tidak-kemana-mana-ini-nasihat-uas-141318/?

Berbeda Pendapat Tidak Harus Saling Bermusuhan
by yudi
Berbeda Pendapat
SYAIKHUL Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata:


وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي ” الْأَحْكَامِ ” فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ….وَهَذَا وَإِنْ كَانَ فِي الْأَحْكَامِ فَمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ الْأُصُولِ الْمُهِمَّةِ فَهُوَ مُلْحَقٌ بِالْأَحْكَامِ

“Adapun perbedaan pendapat dalam masalah hukum-hukum, maka terlalu banyak untuk dibatasi. Dan seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih dalam suatu masalah saling memboikot(karena bermusuhan), tidak akan tersisa penjagaan dan persaudaraan diantara kaum muslimin….ini jika dalam masalah hukum-hukum. Maka apa saja yang tidak termasuk dalam masalah pokok agama yang penting, diikutkan dengan masalah hukum-hukum.” [ Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 24/174 ].

BACA JUGA: Pendapat Umar Sama dengan Pendapat Rasulullah

Note:

Saya berkata (abdullah al-jirani): Ucapan beliau “hukum-hukum”, maksudnya : berbagai permasalah agama yang berlaku padanya ahkam taklifiyyah (hukum yang bersifat pembebanan kepada para hamba), yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini, tidak boleh dijadikan sebab untuk saling bermusuhan, saling memboikot dan bercerai-berai. Akan tetapi hendaknya saling berlapang dada dan tetap menjaga persatuan di kalangan kaum muslimin.

Kemudian dari ucapan Ibnu Taimiyyah “Maka apa saja yang tidak termasuk dalam masalah pokok agama yang penting, diikutkan dengan masalah hukum-hukum”. Kalimat “tidak termasuk dalam masalah pokok agama yang penting”, dapat dipahami, bahwa menurut beliau, ushul (pokok) agama itu ada dua:

BACA JUGA: Hati-hati dari Suatu Pendapat yang Menyelisihi Madzhab yang Empat

1). Pokok agama yang masuk perkara sangat penting, dan 

2). Pokok agama yang termasuk perkara kurang penting (maksudnya kurang penting dilihat dari sisi pokok agama yang sangat penting. Jangan dipahami bahwa ada pokok agama yang tidak penting secara mutlak).

Dalam menyikapi perbedaan pendapat pada Jenis kedua ini, dimasukkan oleh Ibnu Taimiyyah kepada perbedaan pendapat pada jenis ahkam (hukum-hukum agama) yang telah beliau sebutkan sebelumnya. Yaitu, harus saling toleransi dan tidak dijadikan sebab untuk saling bermusuhan. []

Facebook: Abdullah Al Jirani
Berbeda Pendapat Tidak Harus Saling Bermusuhan - Islampos

Mencicipi (merasa) atau Mencoba Dagangan sebelum Transaksi Apakah Haram?
by yudi
Mencicipi Dagangan
SOAL: BAGAIMANA hukum mencicipi dagangan orang lain sebelum kita membelinya? Misalnya buah-buahan seperti buah rambutan, atau klengkeng, atau jeruk. Terkadang kita sebelum membeli, kita makan satu atau dua terlebih dahulu untuk merasakannya. Jika manis, kita beli. Tapi jika kecut, kita terkadang tidak jadi beli. Apakah yang kami makan haram? Dan apakah merasakannya harus transaksi jual beli dahulu? Mohon pencerahannya ustadz. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan jazakumullah khoiron katsiro.

JAWAB: Perlu untuk kita ketahui, bahwa terdapat suatu kaidah di kalangan para ulama’ dalam masalah adat yang berbunyi:

“Adat itu dihukumi”.

Kaidah di atas dijelaskan oleh Al-Imam Al-Mardawi –rahimahullah- (wafat : 885 H) beliau berkata:


أَي: مَعْمُول بهَا شرعا

“Artinya : adat itu diamalkan (diberlakukan) dari sisi syari’at.” [ At-Tahbir Syarhut Tahrir fi Ushulil Fiqh : 8/3851 ].

BACA JUGA: Ketika Wanita Berdagang

Asy-Syaikh Ahmad bin Asy-Syaikh Muhammad Az-Zarqo’ –rahimahullah- juga menjelaskan kaidah di atas dimana beliau berkata:


 يعني أن العادة عامة كانت أو خاصة تجعل حكماً لإثبات حكم شرعي لم ينص على خلافه بخصوصه فلو لم يرد نص يخالفها أصلاً أو ورد ولكن عاماً فإن العادة تعتبر

“Yang dimaksud, sesungguhnya adat baik yang umum atau khusus, dijadikan hukum untuk menetapkan suatu hukum syar’i yang tidak menunjukkan akan penyelisihannya secara khusus. Maka sekalipun tidak datang suatu dalil yang menyelisihinya secara asal, atau datang suatu dalil tapi secara umum, maka sesungguhnya adat itu dianggap/diperhitungkan (dalam menetapkan suatu hukum).”[ Syarhul Qowa’idul Fiqhiyyah : 125 ].

Kaidah di atas berdasarkan banyak dalil, diantaranya sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:


فما رأى المسلمون حسناً فهو عند الله حسن، وما رأوا سيئاً فهو عند الله سيئ

“Maka apa saja yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka itu baik di sini Alloh. Dan apa yang dipandang mereka jelek, maka itu jelek di sisi Alloh.” [ HR. Ahmad : 3600 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir –rahimahullah- ].

Dan dalil-dalil untuk kaidah di atas masih banyak lagi. Karena di sini kita tidak sedang menjelaskan kaidah di atas, maka kami cukupkan saja dengan satu dalil.

Pengertian adat, sebagaimana dijelaskan adalah:


العادة هي الاستمرار على شيء مقبول للطبع السليم والمعاودة إليه مرة بعد أخرى وهي المرادة بالعرف العملي

“Adat adalah : Terus-menerus di atas sesuatu yang diterima oleh tabi’at yang lurus serta berulang-ulang berkali-kali. Dan ini yang dinamakan dengan urfi amali (adat yang berupa perilaku).” [ Syarh Qowa’idul Fiqhiyyah Karya Az-Zarqo’ : 125 ].

Di masyarakat kita, masalah mencicipi dagangan sebelum membeli, sudah menjadi adat yang berlaku dan berlangsung turun temurun tanpa ada pengingkaran. Hal ini terjadi untuk jenis dangangan yang memang secara adat, sudah biasa untuk dicicipi terlebih dahulu. Dimana penjualnya menyaksikannya tanpa ada pengingkaran yang menunjukkan keridhoan, atau bahkan mempersilahkan untuk mencicipi.

BACA JUGA: Ustadz Budi Ashari: Waktu Terbaik untuk Berdagang

Seperti pedagang buah : rambutan, jeruk, klengkeng, jambu, anggur, duku dan yang semisalnya. Ini merupakan fakta yang telah berlangsung. Sehingga apa yang kita makan dalam rangka untuk mencicipi buah-buah di atas, maka hukumnya halal.

Seperti jenis dangangan lain yang telah berjalan adat bolehnya mencicipi atau mencoba sebelum kita melakukan transaksi. Dan ini tidak masalah, baik dari sisi penjual atau calon pembeli, baik akhirnya jadi membeli atau tidak. Misalnya : Pakaian, kendaraan (bekas),sendal, sepatu, dan yang semisal dengannya. Maka ini hukumnya juga boleh. Pada intinya terwujud keridhoan di antara keduanya.

Maka semua jenis dagangan yang telah terbiasa calon pembeli untuk mencicipi atau mencobanya dalam batasan-batasan kewajaran, tanpa ada pengingkaran dari penjual, maka hukumnya halal. Baik jadi membeli atau tidak. Walaupun sebenarnya ada sebagian hak penjual yang telah diambil oleh pembeli tanpa melalui transaksi. Tapi ini termasuk perkara yang telah dimaafkan. 

Sebagaimana kalau kita bertamu ke rumah seseorang. Terkadang kita masuk halamannya tanpa ijin terlebih dahulu, kita terkadang juga duduk di kursinya tanpa dipersilahkan terlebih dahulu, kita terkadang melihat jam tangan orang lain tanpa ijin terlebih dahulu dan yang lainnya.

Akan tetapi ada sebagian jenis dagangan yang tidak lazim dan tidak boleh –secara adat- untuk dicicipi atau dicoba. Seperti : kendaraan (mobil atau motor) baru, sebagian jenis makanan (bakso, mie ayam, ayam bakar, dan yang sejenisnya), roti-roti yang telah terbungkus dalam plastik atau tempatnya, parfum, kulkas, blender, dan yang sejenisnya. Maka pada asalnya, mencicipi atau mencoba jenis makanan ini haram, sebab tidak berlaku adat di negeri kita untuk hal ini.

BACA JUGA: Di Akhir Zaman, Banyaknya Perdagangan oleh Kaum Perempuan

Apalagi sebagian jenis dangangan yang telah ditulis secara khusus oleh penjualnya “tidak boleh mencoba, jika mencoba atau mencicipi atau membuka berarti membeli” , maka ini jelas haram untuk dicoba kecuali harus membeli.

Demikian perincian untuk masalah ini. Jadi tidak mutlak haram dan juga tidak mutlak boleh. Akan tetapi dirinci sebagaimana apa yang telah kami jelaskan di atas. Dan mungkin jadi hukum untuk perkara ini akan berbeda-beda dengan perbedaa adat masing-masing tempat. Wallohu a’lam bish showab. []

Facebook: Abdullah Al-Jirani 
Mencicipi atau Mencoba Dagangan sebelum Transaksi Apakah Haram? - Islampos

Ketika Wanita Berdagang
by Eneng Susanti
Ini Hal-Hal yang Membuat Istri Durhaka pada Suami
“Sesungguhnya menjelang kiamat akan ada ucapan salam khusus dan perdagangan tersebar luas sehingga seorang perempuan ikut serta dengan suaminya dalam perdagangan.” (HR. Ahmad) 

AKHIR abad ke-20 merupakan masa-masa tumbuh dan gencarnya emansipasi. Dan pada abad ke-21 sungguh mengejutkan banyaknya pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar dan pusat perdagangan, dan lapangan pekerjaan lainnya, dipadati oleh komunitas perempuan.

Bahkan pekerjaan kasar yang sejatinya dilakukan oleh kaum laki-laki pun tak luput dari campur tangan perempuan. Sebagai contoh pekerjaan kuli pasar, pekerja bangunan, kernet bus, polisi, pekerja SPBU, polisi lalu lintas, pendorong gerobak, kini sudah banyak diisi oleh kaum perempuan. 

BACA JUGA: Khalifah yang juga Berdagang

Hadits di atas juga menggambarkan maraknya perdagangan di kalangan manusia. Tugas mencari nafkah yang sebenarnya dibebankan kepada kaum laki-laki, ternyata juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan.

Hadits di atas juga bisa sebut sebagai peringatan dari nabi untuk berhati-hati dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana peran seorang perempuan sudah banyak berubah di akhir zaman. Mereka tidak lagi menahan diri mereka di rumah, yang memang itu lebih baik untuk mereka. Namun, justru keluar dari rumah mereka dan ikut meramaikan pasar-pasar dengan kehadiran mereka di tengah-tengah kaum laki-laki.

BACA JUGA: Di Akhir Zaman, Banyaknya Perdagangan oleh Kaum Perempuan

Dengan alasan persamaan gender dan emansipasi, banyak dari kaum perempuan yang menuntut agar mereka mendapatkan peran dan posisi yang setara dengan kaum laki-laki, jelas ini merupakan penyimpangan fitrah mereka sebagai perempuan. []

Ketika Wanita Berdagang - Islampos

Apakah Sogok atau Suap Haram secara Mutlak? 
by yudi
Hukum Sogok atau Suap
Foto Ilustrasi: Islampos
PERLU diketahui terlebih dahulu, bahwa sogok atau suap adalah: 

مَا يُعْطَى لإِبْطَال حَقٍّ، أَوْ لإِحْقَاقِ بَاطِلٍ


“Sesuatu yang diberikan untuk membatilkan suatu kebenaran atau membenarkan suatu kebatilan”. [ Mausu’ah Kuwaitiyyah : 22/220 ].
Jadi suap/sogok yang haram adalah yang dilakukan untuk mempermulus kebatilan atau menolak kebenaran.
Suap, termasuk dosa besar. Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melaknat seorang yang melakukan suap dan yang disuap. Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Amer –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :


لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melaknat orang yang menyuap dan disuap” [ HR. At-Tirmidzi : 3/614 dan selainnya. Sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Alloh juga berfirman:
{ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ }
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram”. [ QS. Al-Maidah : 42 ].
Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Sa’id bin Az-Zubair berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “banyak memakan yang haram”, adalah suap.
Bahkan orang yang menjadi perantara terjadinya suap-menyuap pun juga mendapatkan laknat. Sebagaimana dalam suatu riwayat nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersbda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ، وَالْمُرْتَشِيَ، وَالرَّائِشَ، وَهُوَ الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
“Alloh telah melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara antara keduanya”. [ Syarh Musykilil Atsar : 13/332, Mustadrok : 7068, Ath-Thobroni dalam “Ad-Dua’” : 2101 dan selainnya ].
Akan tetapi, jika seorang dipersulit, atau sangat sulit, atau bahkan tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan menyuap, maka dalam kondisi seperti ini dibolehkan untuk menyuap menurut pendapat jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ).
Semisal seorang yang ingin melamar menjadi guru. Semua syarat dan kualifikasi telah dia penuhi. Berarti dia punya hak untuk diterima menjadi guru. Kemudian ada oknum yang menyatakan : “kamu berani berapa ?”. Kalau bisa bayar sekian, kamu diterima. Kalau tidak, maka tidak bisa.”
Dari sisi yang menyuap tidak berdosa. Adapun dosanya akan ditanggung oleh pihak “yang minta suap/sogok”.
Hal ini berdasarkan riwayat Umar bin Al-Khaththab:
يَا رَسُولَ اللهِ، سَمِعْتُ فُلَانًا يَقُولُ خَيْرًا، ذَكَرَ أَنَّكَ أَعْطَيْتَهُ دِينَارَيْنِ، قَالَ: ” لَكِنْ فُلَانٌ لَا يَقُولُ ذَلِكَ، وَلَا يُثْنِي بِهِ، لَقَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا بَيْنَ الْعَشَرَةِ إِلَى الْمِائَةِ – أَوْ قَالَ: إِلَى الْمِائَتَيْنِ – وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُنِي الْمَسْأَلَةَ، فَأُعْطِيهَا إِيَّاهُ، فَيَخْرُجُ بِهَا مُتَأَبِّطُهَا، وَمَا هِيَ لَهُمْ إِلَّا نَارٌ “، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلِمَ تُعْطِيهِمْ؟ قَالَ: ” إِنَّهُمْ يَأْبَوْنَ إِلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي، وَيَأْبَى اللهُ لِي الْبُخْلَ “
“Wahai Rasulullah, aku mendengar fulan berkata baik, ia menyebutkan bahwa engkau telah memberinya dua dinar, ” beliau bersabda: “Tetapi fulan tidak mengatakan hal itu, dan ia juga tidak memuji karenanya, padahal aku telah memberinya antara hingga seratus, -atau beliau mengatakan, – “hingga dua ratus. Dan sungguh, salah seorang dari mereka ada yang meminta, kemudian aku memberinya, tetapi kemudian mereka keluar dengan menaruhnya di bawah ketiak, padahal itu adalah api baginya, ” Umar berkata; “Wahai Rasulullah, kenapa engkau memberi mereka?” beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka enggan meminta kecuali kepadaku, sedangkan Allah telah menjauhkanku dari kebakhilan.” [ HR. Ahmad : 17/199 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].
Telah disebutkan oleh para ulama’:
أَنَّهُ يَجُوزُ لِلإِْنْسَانِ – عِنْدَ الْجُمْهُورِ – أَنْ يَدْفَعَ رِشْوَةً لِلْحُصُول عَلَى حَقٍّ، أَوْ لِدَفْعِ ظُلْمٍ أَوْ ضَرَرٍ، وَيَكُونُ الإِْثْمُ عَلَى الْمُرْتَشِي دُونَ الرَّاشِي
“Sesungguhnya dibolehkan bagi seorang insan –menurut pendapat jumhur ulama’ – untuk menyerahkan suap dalam rangka menggapai hak ( yang layak dia dapatkan ), atau menolak kedzoliman, atau kemudhorotan. Dan dosa akan ditanggung oleh yang menerima suap bukan yang menyuap”. [ Kasyful Qona’ : 6/316, Nihayatul Muhtaj : 8/243, Tafsir Al-Qurthubi : 6/183 dan selainnya sebagaimana dalam “Mausu’ah Kuwaitiyyah” : 22/222 ].
Imam Abul Laits As-Samarqondi –rohimahullah- berkata:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَدْفَعَ الرَّجُل عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ بِالرِّشْوَةِ
“Tidak mengapa seorang membela jiwa dan hartanya dengan menyuap”. [Tafsir Al-Qurthubi : 6/183].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata:
فأما إذا أهدى له هدية ليكف ظلمه عنه أو ليعطيه حقه الواجب كانت هذه الهدية حراما على الآخذ , وجاز للدافع أن يدفعها إليه
“Maka adapun apabila dia diberi hadiah ( maksudnya suap ) untuk mencegah dia melakukan kedzolimannya kepada ( orang yang memberi ) atau agar dia memberikan hak yang wajib ( diterima ) orang yang memberi, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil ( yang disuap ) dan boleh bagi yang menyerahkan untuk menyerahkannya kepadanya”.[ Majmu’ Fatawa : 4/174 ].
Adapun jika seorang -misalnya- tidak memenuhi kualifikasi, kemudian dia diminta membayar untuk diterima sebagai guru lalu dia mau membayar, maka ini suap yang haram. Karena hakikatnya dia tidak berhak menjadi guru, namun karena memakai suap, maka dia diterima. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani
https://www.islampos.com/apakah-sogok-atau-suap-haram-secara-mutlak-141452/?

Pernahkah Anda Takut Mati?
by Saad Saefullah
awal masa kerasulan nabi
Saudaraku,

BANYAK orang yang merasa takut jika ada orang terdekat atau tetangga yang meninggal dunia, alasanya cukup klise karena Anda takut jika kematian itu datang menghampiri Anda. Sesungguhnya Allah SWT melarang kita untuk takut terhadap kematian.

Allah SWT berfirman yang artinya: “karena itu jangan kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman,” (Q.S. Ali-Imran : 175)

Saudaraku,

Ayat di atas menjelaskan bahwa kita jangan takut akan kematian yang sudah tentu akan kedatangannya. Satu-satunya zat yang patut ditakuti hanyalah Allah SWT semata.

BACA JUGA: Mempersiapkan Kematian ‘;Husnul Khotimah’

Jika Anda sudah terlanjur atau pernah merasa takut akan kematian banyak cara yang dapat menekan rasa akan takut mati itu.

Saudaraku,

Pertama, tawakkal atau pasrah diri kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman yang artinya: “hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar sebagai orang yang beriman,” (Q.S. Al-Maidah : 23).

Karena dengan bertawakkal atau pasrah diri kepadaNya kita mampu menerima apapun yang di rencanakan Allah SWT karena kita yakin bahwa apa yang dikehendakinya adalah yang terbaik untuk kita.

BACA JUGA: Kematian adalah Sebuah Keniscayaan

Saudaraku,

Kedua, biasakan diri membaca syahadat. Dalam hadis Nabi Muhammad. Saw., bersabda:

“Tidak seorang pun yang bersaksi (membaca syahadat):Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan utusanNya yang diucapakan secara jujur dari dalam hatinya, maka Allah akan mengharamkan baginya memasuki neraka,” (HR. Bukhari Muslim). []

Sumber: 100 Cara Mengatasi Takut Mati/ Hussein Bahreisj/Pustaka Media
https://www.islampos.com/pernahkah-anda-takut-mati-141240/?


Tiada ulasan: