Editorial: Menyintas di Atas Cincin Api
Foto: Cincin Api Pasifik
KIBLAT.NET – Gempa besar bertubi-tubi mengguncang wilayah Indonesia. Tak berselang lama setelah gempa 7,0 skala richter melanda Lombok, gempa dengan magnitudo 7,4 terjadi di Sulawesi Tengah dan diikuti dengan tsunami. Harus diakui, lemahnya sistem mitigasi menjadi pemicu banyaknya korban jiwa.
Sebelum gempa 7,0 skala richter pada 5 Agustus, Lombok sempat diguncang gempa dengan magnitudo 6,4. Tercatat korban jiwa akibat gempa Lombok hampir mencapai 600 orang. Sebagian besar korban meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Sementara, di Sulawesi Tengah gempa yang berpusat Donggala pada 28 September dampaknya begitu terasa di Palu, Sigi, dan Parigi Moutong. Lindu itu juga diikuti oleh tsunami, menyapu wilayah dataran rendah di ibukota provinsi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut jumlah korban jiwa telah tembus 2.000 orang.
Jamak diketahui, Indonesia berada di Jalur Cincin Api Pasifik (ring of fire), yang memanjang dari Amerika Selatan, Alaska, Jepang, hingga Selandia Baru. Lempeng-lempeng tektonik Pasifik, Eurasia, dan Hindia-Australia berkelindan, menjadikan gugusan pulau Nusantara sering diguncang gempa.
Sepanjang tahun lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) mencatat 6.929 kali gempa. Jumlah itu 1.351 lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun 2016, yang “hanya” 5.578 gempa. Terbaru, di Lombok saja dalam sebulan pasca gempa 5 Agustus telah terjadi 1.973 gempa susulan.
Sebenarnya jauh sebelum gempa Dongggala terjadi, telah ada analisis terkait potensi gempa besar di Sulawesi Tengah. Pada 2016, peneliti gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mudrik Rahmawan Daryono mengungkapkan kekhawatiran terhadap ancaman gempa besar di Palu. Ibukota Sulawesi Tengah itu dilalui oleh Sesar Palu-Koro, yang dalam sejarahnya pernah menyebabkan gempa pada 1909 yang diprediksi berkekuatan 7 skala richter. Dia menyebut ada kemungkinan pengulangan gempa besar di wilayah berdasarkan siklusnya.
Ancaman gempa yang begitu nyata itu sebenarnya menuntut kehadiran sistem peringatan dini (early warning system) yang mumpuni. Alpanya peringatan dini membuat gempa dan tsunami di Aceh pada Desember 2004 memakan korban jiwa dalam jumlah luar biasa, 170.000 orang meninggal dunia. Sejak saat itu kesadaran akan pentingnya sistem peringatan dini gempa mulai tumbuh.
Teknologi sistem peringatan dini Indonesia pun terlihat mengalami kemajuan. Setiap getaran gempa begitu cepat terdeteksi dan terekam kekuatannya, sampai-sampai ada tidaknya potensi tsunami bisa diketahui. Dalam kasus terbaru kemampuan deteksi dini itu terlihat pada gempa Sulawesi Tengah, dimana BMKG segera mengumumkan adanya potensi tsunami yang mengikuti gempa yang episentrumnya di Donggala. Saat itu sistem yang ada di BMKG menyatakan ada ancaman tsunami, saat sistem di Jepang tak mendeteksi hal itu.
Penelitian dan pengkajian telah dilakukan, sistem peringatan dini juga telah berjalan, lantas mengapa angka korban jiwa yang berjatuhan masih saja tinggi? Ini menjadi bukti masih lemahnya sistem mitigasi di Indonesia.
Jika memang benar-benar ada kesadaran bahwa Indonesia berada di atas Cincin Api, semestinya pembuat kebijakan menetapkan aturan yang mengharuskan bangunan-bangunan yang berdiri di seluruh Nusantara berlabel tahan gempa. Tapi kenyataannya, tak ada standarisasi dalam pendirian bangunan. Potret dua gempa besar di atas menunjukkan tempat-tempat publik pun rata dengan tanah setelah digoyang gempa.
Sementara, sosialisasi model rumah tahan gempa biasanya hanya marak beberapa saat setelah ada bencana. Tak ada keharusan bagi siapa saja yang mendirikan bangunan untuk memenuhi standar tahan gempa itu. Berkaca dari banyaknya korban jiwa akibat tertimpa reruntuhan saat gempa, standar rumah tahan gempa semestinya berlaku di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, pendidikan dan pelatihan simulasi bencana juga tak menjadi agenda utama dan terencana. Jika negara benar-benar menganggap nyawa rakyatnya sebagai hal yang berharga, semestinya edukasi dan simulasi rutin dilakukan untuk memastikan masyarakat tahu apa yang dilakukan ketika bencana sebenarnya datang tiba-tiba.
Pada kasus tsunami di Palu, banyak orang terlihat masih berada di kawasan pantai meski peringatan dini dari BMKG telah diumumkan. Akibatnya, mereka ikut terhempas saat gelombang tiba di daratan. Pertanyaannya, peringatan dini itu tak diketahui atau masyarakatnya yang tak teredukasi?
Kita semestinya belajar dari Chile, yang pada September 2015 dilanda gempa 8,3 skala richter dan diikuti tsunami setinggi 4,5 meter, tetapi hanya 13 orang yang meninggal dunia. Sebagai negara yang juga berada di Cincin Api, Chile melalui perjalanan panjang kehidupan bersama gempa. Namun mereka segera membuat keputusan-keputusan penting untuk melindungi nyawa warganya.
Di Chile, bangunan yang dibangun setelah tahun 1980-an wajib berkode tahan gempa sampai 9 skala richter. Bangunan itu bisa retak, miring dan bahkan dinyatakan tidak layak untuk digunakan di masa depan, tetapi tidak boleh runtuh. Chile menerapkan sistem peringatan dini yang ketat, dengan sirine akan lantang berbunyi hanya beberapa menit setelah gempa. Petugas tanggap bencana segera bergerak untuk melakukan evakuasi, termasuk meyakinkan warga di pinggiran pantai untuk segera beranjak ke bukit. Sementara, setiap telepon seluler akan menerima pesan singkat tanda bahaya untuk memaksa warga segera meninggalkan kawasan pesisir.
Sejak 1977, anak-anak sekolah di Chile telah mendapatkan pelatihan gempa tiga kali dalam setahun. Mereka segera berkumpul ketika alarm berbunyi dan bergebas ke area aman yang ditetapkan. Setiap tempat kerja juga diwajibkan memiliki prosedur darurat gempa bumi. Pemeliharaan sarana terkait mitigasi bencana juga sangat diperhatikan.
Sebaliknya, ironi kerap mengiringi realita yang terjadi terkait bencana di Indonesia. Misalnya, gempa di Sulawesi Tengah baru-baru ini yang memunculkan fenomena likuifaksi dimana rumah-rumah tertelan bumi, masuk ke dalam tanah yang berubah menjadi lumpur. Ribuan bangunan di Petobo dan Balaroa, Palu serta Jono Oge, Sigi lenyap, bersama ribuan orang lainnya yang diperkirakan ikut tertimbun di dalamnya.
Tragisnya, laporan hasil penyelidikan Badan Geologi terkait ancaman fenomena itu telah ada sejak tahun 2012. Laporan itu sebenarnya diharapkan dapat memberikan masukan dalam perencanaan, pengembangan, dan pelaksanaan pembangunan infrstruktur di wilayah Palu dan sekitarnya. Setelah penelitian itu dipublikasikan, praktiknya pembangunan perumahan di lokasi-lokasi berpotensi likuifasi begitu gencar dilakukan. Penelitian para ahli seolah tak dihiraukan. Kini lokasi itu telah berubah jadi kuburan massal.
Sudah seharusnya ada kebijakan tegas dalam bidang mitigasi bencana, semata-mata dalam rangka melindungi jiwa-jiwa yang hidup di Cincin Api kepulauan Nusantara. Program penelitian digalakkan dan hasilnya dijadikan rujukan dalam memetakan potensi gempa dan tsunami juga dalam pembangunan. Jika tidak, maka negara akan gagal melindungi segenap warganya dari serangan bencana.
Editorial: Menyintas di Atas Cincin Api - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/10/10/editorial-menyintas-di-atas-cincin-api/
Hai’ah Tahrir Al-Syam (HTS).
Para Komandan HTS Kembali Jadi Sasaran Pembunuh Misterius
Kamis, 11 Oktober 2018 09:04
Foto: Pejuang Hai'ah Tahrir Al-Syam
KIBLAT.NET, Idlib – Serangkaian pembunuhan oleh orang misterius beberapa waktu terakhir menimpa jajaran komandan Hai’ah Tahrir Al-Syam (HTS). Terakhir, penasihat keamanan pemimpin HTS Abu Muhammad Al-Jaulani, Abu Yusuf Al-Jazrawi, dibunuh di pedesaan Idlib.
Abu Yusuf sendiri merupakan komandan HTS bukan asli Suriah. Ia berkewarganegaraan Saudi dan ikut berjihad di Suriah. Jabatannya di HTS sebagai penasihat keamanan Al-Jaulani.
Portal Arabi21.com, Rabu (10/10), melaporkan bahwa Abu Yusuf terbunuh dengan sejumlah luka tembak. Insiden itu terjadi di dekat Desa Jauzaf di kawasan Jabal Zawiyah, pedesaan Idlib.
Sebelumnya, komandan HTS bernama Abu Mush’ab Ad-Diry juga terbunuh dengan cara serupa. Pembunuhan yang menimpa dirinya terjadi saat ia melintas di jalan raya di dekat Jisr Al-Shogour di pedesaan Idlib. Orang tak dikenal juga membunuh komandan HTS Muhammad Abu Salam. Sejumlah peluru yang bersarang di tubuhnya menghantarkannya bertemu Sang Pencipta. Kejadian itu terjadi di depan rumahnya di Jabal Zawiyah.
Serangkaian insiden pembunuhan misterius yang terakhir ini terjadi menyusul kesepakatan Rusia-Turki. Oleh karenanya, sebagian aktivis mengaitkan antara keduanya.
Sampai saat ini, HTS sendiri belum mengeluarkan sikap resmi atas kesepakatan Turki-Rusia. Namun mereka ikut menarik senjata berat dari zona demiliterisasi yang dibangun di bawah kesepakatan tersebut.
Sumber orang dekat HTS mengatakan, seperti dilansir AFP, langkah tersebut diambil supaya warga Suriah bisa istirahat sejenak setelah bertahun-tahun menjadi sasaran senjata rezim. Langkah ini diambil juga setelah Turki memberi jaminan.
Sumber: Arabi21.com
Redaktur: Sulhi El-Izzi
Para Komandan HTS Kembali Jadi Sasaran Pembunuh Misteriushttps://www.kiblat.net/2018/10/11/para-komandan-hts-kembali-jadi-sasaran-pembunuh-misterius/
Gempa Bumi, Ketika Manusia Mempertentangkan Sains dan Kuasa Allah
Ahad, 7 Oktober 2018 05:00
Foto: Gempa bumi
KIBLAT.NET – Gempa adalah peristiwa besar yang kerap kali memakan korban massal. Di situ lah terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah ta’ala. Jika Allah menghendaki gempa terjadi ditengah-tengah hamba-Nya, saat itulah Allah sedang mengingatkan hamba untuk kembali kepada-Nya.
Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui semua yang terjadi di alam ini. Allah memiliki hikmah dari semua kejadian baik dan buruk. Allah tampakkan tanda-tanda kekuasaan-Nya untuk menakut-nakuti supaya manusia kembali mengingat akan kewajibannya. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا
“Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.”(QS. Al-Isra : 59)
Dengan ayat ini, Allah mengingatkan bahwa semua yang terjadi di bumi dan langit adalah ketetapan Allah ta’ala. Semua yang ditetapkan Allah, seperti gempa, merupakan hikmah dari kebijaksanaan Allah. Ada yang diketahui sebab-sebabnya oleh manusia dan ada yang tidak. Mengetahui sebab-sebab fenomena semacam itu justru semakin menambah kuatnya kebenaran sunnatullah di bumi.
Logika manusia sangat sempit dan ilmu Allah sangat luas
Saat terjadi gempa, logika manusia akan spontan mencari sebab peristiwa itu. Namun yang menjadi masalah di sana adalah ketika ditemukan sebab dari gempa, justru sebagian manusia malah mengira itu hanya peristiwa alam belaka, mereka meniadakan kuasa Allah ta’ala. Sehingga secara tidak sadar mereka mengingkari kuasa Allah. Itu lah pandangan sebagian manusia hari ini, mereka meyakini bahwa kuasa Allah hanya pada fenomena diluar hubungan sebab akibat.
Di sisi lain, ada juga yang memandang bahwa kuasa Allah harus ada hubungan sebab akibat. Seperti, ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallammenceritakan perjalanannya dalam Isra’ Mi’raj, mereka tidak percaya. Karena logika mereka tidak menemukan sebab yang membuat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa melakukan perjalanan sejauh itu dalam waktu semalam.
Pertentangan dalam memandang kuasa Allah ini tidak lain karena kedangkalan akal manusia.
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. al-Isra : 85)
Maka, jika akal dijadikan standar dalam menentukan sebab akibat dari kuasa Allah, gempa misalnya, niscaya akan banyak pertentangan. Untuk menentukan kapan, dimana dan besaran gempa saja manusia sampai saat ini tidak mampu. Itu lah bukti manusia tidak berdaya tentang gempa, yang berdaya adalah Allah ta’ala.
Fenomena Alam adalah Kuasa Allah
Seandainya manusia mengetahui sebab dari gempa, seperti pergeseran lempeng bumi, sesungguhnya Allah lah yang kuasa membuat bumi bergerak. Sebagaimana manusia mengetahui sebab terjadinya gerhana, yaitu pertemuan orbit bumi dan bulan, sesungguhnya Allah lah yang kuasa membuat bintang-bintang berjalan sesuai orbitnya.
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Dan Dialah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. (QS. Al-Anbiya’ : 33)
Gerhana yang terjadi adalah kuasa Allah ta’ala. Karena Allah kuasa terhadap beredarnya matahari dan bulan. Maka Allah pula kuasa untuk merubah komposisi alam dan merubah tanda-tanda kuasa-Nya.
Allah mengabarkan sebab terjadi perubahan alam ini untuk menguatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Namun di sana juga ada sebab yang tersembunyi dan sangat halus, yang manusia tidak mengetahuinya. Manusia tidak lain hanyalah menghayal dan melihat tanda-tandanya saja.
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat : 21)
Allah perintahkan manusia untuk melihat dirinya sendiri, setiap hari ia melihat adanya pertambahan. Namun manusia tidak bisa melihat sebab-sebab pertambahan itu, sedang manusia hanya berhayal dan melihat tanda-tandanya saja. Maka lebih dianjurkan untuk menghayati Alam yang luas sebagai tanda-tanda kebesaran dan kuasa Allah.
Hikmah Mengetahui Sebab Terjadinya Gempa
Mengetahui sebab peristiwa bukan berarti tidak ada hikmahnya. Allah ta’alamendorong manusia untuk menghayati alam, sehingga manusia mengetahui berbagai macam penyakit misalnya. Kemudian manusia mengetahui hal-hal yang menyebabkan penyakit, dan penyakit itu diketahui akan membawanya kepada kematian. Ilmunya ini membuat dirinya tahu bahwa penyakit itu akan membinasakannya, sehingga mencegahnya untuk mendekati hal-hal yang membawa penyakit.
Pengetahuian ini membuat dirinya semakin yakin dengan kuasa Allah di bumi. Karena Allah lah yang telah menjadikan segala sesuatu itu memiliki sebab.
وَآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا
“Dan kami jadikan segala sesuatu itu memiliki sebab.” (QS. al-Kahfi : 84)
Mengetahui sebab sesuatu mengantarkan manusia memahami akurasi ciptaan Allah ta’ala. Jika perubahan Alam tidak punya sebab, maka menunjukkan kekurang-akuratan Allah dalam menciptakan Alam. Dari sini lah ditemukan hukum sebab akibat, hal-hal yang mengantarkan kepada kebinasaan tidak untuk didekati. Jika manusia mengalami kebinasaan, itu karena ulahnya sendiri.
Demikian juga dengan gempa, di sana ada sebab-sebab yang sebagiannya diketahui manusia. Maka, hal-hal yang menyebabkan gempa, seperti daerah-daerah rawan gempa, hendaknya tidak menjadi tempat tinggal. Sehingga manusia dapat mengusahakan untuk meminimalisir korban gempa.
Selain itu, mengetahui sebab akibat di alam ini, seperti gempa, justru akan menambah dan mempertebal keimanan. Karena keakuratan ciptaan Allah hanya bisa dipelajari tanpa bisa direkayasa sesuai keinginan manusia. Hal ini diharapkan dapat mengikis rasa ingkar, kesombongan, kesewang-wenangan dan melampui batas. Wallahu ‘alam bish showab.
Penulis : Zamroni
Editor: Arju
Gempa Bumi, Ketika Manusia Mempertentangkan Sains dan Kuasa Allah - Kiblathttps://www.kiblat.net/2018/10/07/gempa-bumi-ketika-manusia-mempertentangkan-sains-dan-kuasa-allah/
Tiada ulasan:
Catat Ulasan