Selasa, 4 Disember 2018

Musuh Dakwah. 8802.



Stigma Radikal, Cara Musuh Dakwah Membungkam Ulama 
Senin, 3 Desember 2018 17:59 

Foto: Stigma Radikal Terhadap Islam
KIBLAT.NET – Bila dalam dunia politik kita biasa mendengar istilah “black campaign” kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan melalui isu-isu negatif, maka dalam dunia adu argumentasi (debat) kita juga biasa mendengar istilah Character Assassination atau Pembunuhan Karakter. Dua istilah ini memang berbeda, namun keduanya memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama memiliki upaya jahat untuk menyerang pribadi atau karakter seseorang ketika tidak mampu lagi menandingi atau membantah argumentasi yang ditujukan kepadanya.
Caranya pun beragam, terkadang dilakukan dengan menunjukkan sifat negatif, menyebarkan berita-berita miring, atau memfitnah orang yang berlawanan arah dengannya. Berikutnya, fitnah itu pun dibungkus dengan kecanggihan teknologi media dan komunikasi massa sehingga sosok yang menjadi target benar-benar terjebak dalam situasi ’seolah-olah benar’ atas semua fitnah yang disebarkan. Harapannya, kredibilitas penyampai pesan hancur dan apapun yang disampaikannya menjadi tidak bernilai lagi di hadapan masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu santer isu penceramah radikal. Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkapkan sedikitnya ada 50 penceramah yang terpapar radikalisme di DKI Jakarta. Temuan ini didasarkan pada hasil survei yang diadakan oleh Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Nahdatul Ulama (P3M NU) di 100 masjid yang ada di lingkungan pemerintah di DKI Jakarta.
Sejak dimulainya War on Teror oleh Amerika, kita mendapati bahwa pelan tapi pasti beberapa istilah-istilah Islam mulai dikriminalisasi. Yang paling pertama adalah syariat jihad, kata jihad mulai distigma negatif, setelah itu diberikan penafsiran-penafsiran lain. Sehingga lama kelamaan umat Islam menjadi asing dengan kata jihad dan para daipun berpikir panjang untuk berbicara jihad di hadapan para jamaahnya.
Dan yang gencar hari ini adalah stigmatisasi negatif terhadap khilafah. Pada hakikatnya khilafah adalah upaya untuk membumikan ajaran Allah di muka bumi, namun stigma negatif terus dilancarkan terhadap ajaran Islam ini. Mulai dari pemecah belah negara dan stigma-stigma negatif lainnya.
Kurang lebih begitulah cara halus yang mereka mainkan untuk menghadang dakwah para ulama. Ketika argumentasinya tidak mampu lagi mereka bantah, maka yang diserang adalah kepribadiannya. Tuduhan dan fitnah yang menjatuhkan reputasinya pun menjadi senjata ampuh untuk dimainkan. Julukan ustad ekstrim, radikal, anti pancasila, mendukung teroris, mengancam kebhinekaan dan sebagainya bertujuan agar mereka dijauhi oleh masyarakat.
Cara Musuh Membungkam Dakwah Para Ulama
Kesesatan logika seperti ini sebenarnya bukanlah perkara asing yang dihadapi oleh para da’i dalam menyampaikan kebenaran. Bila kita berkaca kepada sejarah, pola seperti ini ternyata biasa digunakan oleh musuh-musuh Islam dalam menghadang dakwah para ulama. Pada masa penjajahan Belanda misalnya, saat pasukan Belanda kewalahan melawan para pejuang muslim Indonesia, maka mereka melakukan labelisasi kepada lawannya (umat Islam) dengan tuduhan negatif.
Pada tahun 1928, Mohammad Hatta berpidato dengan bahasa Belanda yang berjudul FreeIndonesia, mengkritik pemerintah Belanda saat itu yang memaksa para pemuda Indonesia untuk menyebut para pahlawan sendiri sebagai pemberontak, pengacau dan penjahat. Mohammad Hatta berkata, “Pemuda Indonesia juga dipaksa menjuluki pahlawan sendiri, seperti Diponegoro, Toeankoe Imam, Tengku Oemar dan banyak lainnya, sebagai pemberontak, pengacau, penjahat, dan sebagainya.”
Demikian juga setelah Indonesia merdeka, sejarah bangsa kita juga banyak mencatat perilaku para penguasa yang hendak menjauhkan para ulama dari masyarakat. Di antara contoh yang paling nyata adalah apa yang dialami oleh Buya Hamka, beliau sempat difitnah sebagai pengkhianat bangsa yang kemudian berujung hingga ke jeruji besi. Demikian juga yang dialami oleh sejumlah tokoh-tokoh besar Islam lainnya seperti Muhammad Natsir, KH. Isa Anshori, Syafrudin Prawiranegara, Tengku Daud Beureueh dan seterusnya, mereka semua dipenjara tanpa melalui proses pembuktian di pengadilan.
Berikutnya bila kita flashback sejarah para ulama salaf dalam menyampaikan dakwah, ternyata cara-cara musuh untuk membungkam suara mereka hampir selalunya sama. Ketika argumentasinya kalah, maka yang diserang adalah pribadinya. Sa`id bin al-Musayyib, seniornya para ulama tabi’in, dituduh membuat makar karena menolak baiat kepada putra Abdul Malik sebagai khalifah lalu dikriminalisasi dan dipenjara, Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah hingga beliau digiring ke penjara. Nasib yang sama juga dialami oleh Imam Ahmad, ketika perbebatan tentang kalamullah tak mampu dikalahkan, maka beliau pun dituduh sesat dan asingkan dalam penjara. Demikian juga dengan Ibnu Taimiyah, beliau terpaksa mendekam di balik jeruji besi hingga meninggal karena dituduh meresahkan masyarakat.
Karakter Dakwah Para Nabi
Sudah menjadi sunnatullah, karakter dakwah itu memang berat dan penuh ujian dan ini mesti dipahami oleh setiap da’i. Risalah dakwah yang dibawa para nabi memang sulit dibantah dengan argumentasi yang sehat. Karena itu, para penentang dakwah ini tidak memiliki cara lain selain membunuh karakter pribadi para pembawa risalah tersebut. Makanya tidak heran bila hampir seluruh para nabi dituduh sebagai tukang sihir, gila, pembohong dan sebagainya. Tujuannya satu, agar rakyat menjauh dan tidak menghiraukan dakwah mereka.
Ketika Nabi Musa mendatangi Firaun untuk menyampaikan wahyu dan kebenaran, maka terjadi sebuah dialog yang cukup panjang. Hingga akhirnya ketika Fir’aun tidak mampu lagi membantah argumentasi yang dibangun oleh Nabi Musa, maka Fir’aun mulai membangun narasi-narasi yang menyudutkan kepribadian Nabi Musa. Firaun senantiasa membuat opini bahwa pewaris Musa adalah adalah pembawa pesan yang tidak kredibel dengan menyematkan label-label negatif.
Firaun lalu menuduh Musa gila untuk menghilangkan pengaruh pernyataannya yang telah menyerang kedudukan dan wibawanya. Tidak berhenti di situ, Musa juga dituduh penyihir, duku, pembawa kekacauan dan sebagainya. Namun demikian, Musa tetap tidak terganggu dengan tuduhan Firaun dan tetap fokus menjawab pertanyaan Firaun yang sekaligus merupakan konten narasinya, dengan berkata, “(Dialah) Tuhan (yang menguasai) timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya; jika kamu mengerti” (QS. Asy-Syuara: 28)
Tidak hanya Nabi Musa yang mendapat label negatif, perlakuan serupa juga dialami oleh Nabi Muhammad SAW, ketika orang-orang kafir Quraisy tak mampu lagi membantah narasi dakwah yang disampaikan oleh Nabi SAW, mereka pun mulai menyerang kepribadian nabi dengan membuat tuduhan-tuduhan palsu. Tujuannya lagi-lagi agar masyarakat menjauh dan tidak mendengar dakwah beliau. Akhirnya beliau pun dituduh sebagai penyihir, pendusta, penya’ir gila dan tuduhan-tuduhan kosong lainnya. Walaupun demikian, karena mereka yang menguasai arus informasi saat itu, maka tidak sedikit yang kemudian termakan tuduhan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tuduhan mereka dalam firman-Nya :
وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ ۖ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَٰذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ
“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta,” (QS. Shad :4)
Dalam dalam perjalanan dakwahnya, Rasulullah sedikit pun tidak terganggu dengan tuduhan-tuduhan tersebut. Beliau tetap fokus menyampaikan risalah dakwahnya. Bahkan beliau diingatkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya:
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Ad-Dzariyat : 52)
Tidak berhenti di situ, dalam ayat yang lain, secara rinci Allah Ta’ala menyampaikan tuduhan-tuduhan yang sama dialamatkan kepada para nabi sebelumnya. Kepada Nabi Nuh AS, kaumnya berkata, “Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila.” (Al Mu’minun: 25). Nabi Hud juga mengalami tuduhan yang serupa, “Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu,” (QS. Hud 54). Nabi Shalih juga dituduh oleh kaumnya sebagai penyihir, “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir’,” (QS. Asy-Syu’ara: 153) kepada Nabi Musa mereka berkata, “(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta,” (QS. Ghafir: 24).
Singkatnya, pembunuhan karakter yang dimainkan oleh musuh dengan tuduhan-ruduhan palsu sudah biasa dihadapi oleh para nabi. Secara tidak langsung kabar tersebut ingin membangun karakter setiap da’I agar tetap tegar di atas jalan dakwah walaupun dituduh atau dilabelisasi macam-macam oleh musuh. Sebagai pewaris para nabi, para ulama telah mencontohkan bagaimana mereka bersikap ketika musuh membunuh karakter mereka. Dakwah itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Dia harus terus mengalir dan melaju tidak boleh berhenti walau seketika. Mengalirnya darah menjadi tanda kehidupan, berhentinya darah berarti tanda kematian. Wallahu a’lam bissowab
Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Stigma Radikal, Cara Musuh Dakwah Membungkam Ulama - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/12/03/stigma-radikal-cara-musuh-islam-membungkam-ulama/

BACA JUGA  Ketika Firaun Hibur Dahnil
BACA JUGA  Al-Sisi Menyerang Imam Besar Al-Azhar dengan Isu Ekstremisme
Masjid Ibrahimi. Foto: PIC
Sepanjang November 2018, Israel Larang 47 Kali Azan di Masjid Ibrahimi  

PALESTINA—Penjajah Israel dilaporkan telah melarang adzan di Masjid Ibrahimi sebanyak 47 kali pada bulan November 2018. Keterangan ini disampaikan Menteri Palestina Waqf dan Urusan Agama Yousef Edeis pada Ahad (2/12/2018).

Dalam jumpa pers, Edeis mengatakan bahwa pelanggaran Israel terhadap hak Muslim untuk beribadah, termasuk larangan adzan dan penutupan berulang-ulang dari Masjid Ibrahimi demi Yahudi kini menjadi lebih berbahaya.


Menteri meminta komunitas internasional untuk memikul tanggung jawabnya dan melindungi situs-situs suci Islam di wilayah Palestina secara umum, khususnya di Masjid Ibrahimi. Komunitas internasional didesak melawan kebijakan sistematis Israel untuk menghapuskan karakter Islam di wilayah Palestina.

RELATED POSTS





Sebelumnya rezim Israel pernah melarang seruan Adzan di Masjid Ibrahimi di Hebron untuk yang ke-49 kalinya selama Januari 2018.

Menteri Wakaf dan Urusan Agama Yousif Ideis mengatakan, “Pihak pendudukan terus melanggar kesucian dan ritual keagamaan umat Islam di Palestina tanpa takut akan perlawanan atau penghukuman.”


Selama Maret 2018, rezim Israel juga pernah mencegah kumandang Adzan di Masjid Ibrahimi Hebron setidaknya 52 kali selama bulan Maret 2018.

Menteri Wakaf Agama Yousef Edees menunjukkan bahwa Israel memblokir Adzan dengan dalih untuk mengurangi kebisingan yang mempengaruhi pemukim Yahudi ilegal yang tinggal di kota yang diduduki tersebut. []

SUMBER: PIC | SUARA PALESTINA
https://www.islampos.com/sepanjang-november-2018-israel-larang-47-kali-azan-di-masjid-ibrahimi-117758/
surga dan neraka itu sudah ada
Foto: Early Frida/Islampos
Benarkah Surga dan Neraka Itu Sudah Ada? 
 On 3 Desember 2018

MASUK ke dalam surga merupakan impian setiap muslim sejati. Setelah menerjang terjalnya medan juang bernama dunia, surga merupakan sebaik-baik tempat manusia kembali setelah kematian di dunia.
Banyak orang berlomba-lomba dalam meraihnya. Mereka hadir dalam majelis-majelis ilmu demi lebih mendekatkan diri kepada tempat terbaik tersebut.
Namun, bagi sebagian orang, mereka tidak yakin bahwa surga dan neraka itu sudah ada. Padahal, saat ini, surga dan neraka telah Allah Azza Wajalla ciptakan.
Jannah (surga) maupun Naar (neraka) memang sudah ada. Dalilnya bisa kita dapatkan dalam Kitab dan Sunnah.
Dalam Al-Kitab, Allah berfirman mengenai Naar (neraka):
Artinya: “Dan takutlah akan naar yang dipersiapkan bagi orang-orang kafir.” [Ali-Imran : 131].
RELATED POSTS
Dan mengenai Jannah, Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” [Ali-Imran : 133].
Dalam As-Sunnah, telah disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya mengenai kisah gerhana matahari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk shalat, lalu diperlihatkan Jannah dan Naar kepada beliau.
Beliau menyaksikan Jannah sehingga ingin meraih satu tanda darinya, kemudian ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya. Selanjutnya beliau melihat Naar, dan beliau melihat bahwa di dalam Naar tersebut terdapat ‘Amru bin Luhay Al-Khaza’i’ menjulurkan ususnya keluar dari perutnya dan ia menjulurkannya ke dalam api Naar. Karena dialah orang yang mula-mula memasukkan kemusyrikan ke dalam tubuh bangsa Arab. Dengan demikian dia memperoleh bagian dari adzab yang menimpa orang-orang yang datang setelahnya (yang mengikuti tindak kemusyrikannya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat seorang wanita sedang di adzab gara-gara seekor kucing yang diikatnya hingga mati ; tidak diberi makan dan tidak pula dilepaskan untuk mencari makan sendiri. Ini semua menunjukkan bahwa Jannah maupun Naar sekarang ini sudah ada.
Dari beberapa keterangan di atas kita meyakini bahwa surga dan neraka sudah Allah ciptakan. Allahu A’lam. []
SUMBER: RUMAYSHO - Islampos

Yang perlu anda tau pasai skandal Tabung Haji...
On 3 Desember 2018‘Skandal Tabung Haji’ muncul di tengah hangat kita bersembang tentang bagaimana syarikat berpenyakit milik kerajaan, 1MDB; sedang bergelut untuk melunaskan hutangnya yang menggunung.

Nama Tabung Haji dipetik apabila ia didapati telah membeli sebidang tanah Tun Razak Exchange, seluas lebih sedikit daripada separuh padang bola, dengan harga yang luarbiasa mahal. Ini dipercayai telah dilakukan bagi membantu 1MDB melunaskan hutang-hutangnya.

Kebetulan, pengerusi Tabung Haji ketika hal ini terjadi adalah tidak lain, Azeez Rahim; bekas Ahli Parlimen Baling, yang duduk sangat hampir ke tengah lingkaran dalaman mantan perdana menteri merangkap suami kepada Datin Seri Rosmah Mansor.

Lebih menarik lagi, ketika itu; empat orang Ahli Lembaga Pengarah Tabung Haji turut berada dalam lembaga pengarah 1MDB. Empat orang ini harus dihafal nama mereka, iaitu; Datuk Johan Abdullah, Tan Sri Ismee Ismail, Datuk Abdul Samad Alias dan akhir sekali, peminat kasut merah; Tan Sri Irwan Serigar Abdullah.
Image may contain: 4 people, people smiling, text
Skandal Tabung Haji meletup seawal Mei 2015. Dua bulan sebelum skandal 1MDB meletup di akhbar Wall Street Journal dengan segala macam pendedahan, diikuti tindakan undang-undang oleh DOJ tentang wang dari akaun ‘Tanore’ yang masuk ke akaun peribadi mantan perdana menteri, Datuk Seri Najib.

Najib Razak mengambil masa yang begitu lama untuk bersilat dengan alasan dan justifikasi terhadap duit derma orang kaya Arab yang mulanya tidak wujud, namun kemudian diakui, dan kemudian dikembalikan sebahagiannya. Namun langkah, bunga dan buah Najib Razak ternyata sia-sia belaka.

Setelah Najib Razak dan juak-juaknya tersungkur dalam pilihanraya 9 Mei lalu, Azeez Rahim meletakkan jawatannya sebagai pengerusi Tabung Haji pada 24 haribulan.
Related image
26 September, Azeez muncul di mahkamah dengan berpakaian lokap SPRM.

1 Disember, Tabung Haji membuat dua laporan polis terhadap Azeez Rahim, bekas Ketua Pegawai Eksekutif, Tan Sri Ismee Ismail dan Datuk Seri Johan Abdullah. Ya, nama-nama ini kita ada sebut awal tadi.

Bukan sahaja itu, beberapa nama pengurusan kanan lain dipetik termasuk Datuk Adi Azuan (Ketua Pegawai Operasi), Datuk Rozaida Omar (Ketua Pegawai Kewangan), Hazlina Mohd Khalid (Penasihat Undang-Undang) dan Rifina Md Ariff (Pengurus Besar Kanan, Perkhidmatan Korporat Dan Harta Tanah).

2 Disember, media melaporkan bahawa pada tahun 2016; Tabung Haji didakwa memalsukan buku akaunnya. Ini dilakukan untuk memberi ilusi prestasi cemerlang badan tersebut demi mewajarkan dividen 6.25 peratus yang diumumkan menjelang pilihanraya lalu.
Image may contain: text
Dividen berjumlah RM2.7 bilion dibayar tiga bulan sebelum pilihanraya.

Itu belum campur soal kehilangan RM4 bilion daripada RM64 bilion yang dimasukkan pendeposit ke tabungan rukun Islam kelima itu. Perkara serupa pernah dibangkitkan Rafizi Ramli pada tahun 2016. Berbakul Rafizi kena maki.

Siapa dia ‘pendeposit’ yang dimaksudkan? Ya, ibu ayah kita di kampung yang menabung lama untuk mengerjakan haji. Hasil berniaga nasi lemak, menoreh getah, ambil upah jaga budak. Dah marah belum? – Roketkini.com


Isn’t buying votes something we know only too well?...

Two election court judgments were meted out in recent days – that of the Rembau state seat in Negeri Sembilan and the Cameron Highlands parliamentary seat in Pahang.

Of the two, I think that the Rembau case is a no-brainer. The returning officer erred big time. Denying entry to a candidate into the nomination centre just because he lacked a so-called piece of paper is wrong, dead wrong. I believe this is the first time such an incident occurred, at least to the best of my knowledge.

From my experience entering nomination centres as a candidate, everything was smooth-sailing as it should be. In the two elections which I participated, the nomination centre was at the Kuching City South building.

The first time, the officer at the entrance did not even bother to check anything. He just waved me and my proposer and seconder in. Earlier, we had to pass by some police officers among the crowd before we reached the main building. The policemen also allowed us to pass without any hassle. Perhaps, Kuching is a small place and we, local politicians, were familiar faces. It was really that simple.

On the second occasion, the sentry at the main door requested to see my papers. I just pulled out my file with my nomination paper and that was it. He ushered me in. No hassle too, nothing. He did not even bother to ask or look for anything from my proposer and seconder.

Well, I suppose 20 years ago, it was more quiet times. There was little or no tension. Elections in Sarawak were orderly and peaceful.
Corrupt practices 
On the Cameron Highlands judgment, I was actually very surprised, or should I say puzzled.

On Nov 30, the Election Court in Kuala Lumpur declared the Cameron Highlands parliamentary seat vacant, paving the way for a re-election. Let’s recap the judgment.

Justice Azizah Nawawi said DAP candidate M Manogaran (pix,above) proved that there were corrupt practices which led to BN candidate, MIC vice-president C Sivarraajh (pix,below), winning the seat in the May 9 general election.

The judge said with the corrupt practices proven from the testimonies of the witnesses, it was not necessary for the petitioner (Manogaran) to prove how the votes went.

She said it was only necessary to prove that money was given, and this was proven from the testimonies given by the Orang Asli witnesses who came to court.

"It is sufficient to prove money was given, if not by the respondent, then by agents of the respondent," she said.

"Even one of the Orang Asli witnesses testified that he received money but he cannot tell the court who he voted for as his vote is secret," the judge added.
Justice Azizah said in her decision that the petitioner has established beyond reasonable doubt that bribery was proven, in that money was given to voters.

This is what is puzzling. Let’s be honest and ask ourselves. Is bribery or corrupt practices something ‘abnormal’ during elections? Isn’t buying votes something we know only too well?

It is true that almost all election candidates or parties are subjected to the temptation of buying votes. Why? Because there are people out there who are prepared to sell their votes, some even for a song. And this is a fact!

Even as a greenhorn candidate making my electoral debut 22 years ago, I had to face this vote-buying temptation.

I remember receiving a call from a man who claimed to be the leader of a group and that he had 150 votes for sale at RM100 each. He sounded genuine and serious, telling me that he would be prepared to meet me to prove that all the voters were registered in the constituency I contested in, including showing me their identity cards.

I politely told him that I do not have that kind of money to buy votes but was prepared to help out with RM10 per head for their bus fare to go out and vote.
Not surprisingly, I did not hear from him after that. He could possibly have been successful peddling his votes to another candidate.

All candidates and political parties are aware that buying votes is not something out of the ordinary. It has become an unwritten accepted practice, although it is legally and morally wrong.

An agent of a candidate who was successful in winning a parliamentary seat last May 9, told me that they paid RM300 for a vote. I thought he was honest enough when he remarked: “It’s normal. People approached us and they needed money. RM300 is a lot to some. Do you want to win or not? If so, just pay if you can afford it."

This is the reality. Why do you think Najib (former premier Najib Abdul Razak) needed RM2.6 billion to be banked into his private account in what he later conceded were BN election funds for GE13.

We know only too well who and which party were guilty of buying votes and indulging in bribery and corrupt practices during elections. In fact, all candidates are also guilty in one way or another, even if they had innocently committed an offence under the Election Offences Act.
Image result for vote buying in malaysian elections
I could also be adjudged guilty of bribery in offering a RM10 bus fare to voters, without even realising it.

The Cameron Highlands judgment is one which is long overdue. I believe there were similar petitions by defeated candidates in the past but none saw the light of day.

Yes, bribery is wrong and it is a serious offence. It is time for the Election Commission to make it clearer on what constitutes bribery and corrupt practices during the electoral process.

I used to hold a copy of the EC handbook for candidates. I did not see much in there regarding bribery and corrupt practices. Such warnings should be spelt out in detail.

Finally, a little advice to all future candidates: “If you want to be a thief, just make sure you are smart enough to be one. Don’t get caught. If you are not that politically savvy, just go in and have a clean fight. Don’t even think of other ideas”.

Let this Cameron Highlands judgment be a lesson to all aspiring candidates and politicians. - Francis Paul Siah, mk
Image may contain: 2 people, text
PAC disaran siasat KBS, kementerian pengangkutan... 
Story kat SINI dan SINI 
Image may contain: 3 people, people smiling, people standing and text


Image may contain: 2 people, people smiling, people sitting and food
Happy Birthday TPM...
Image may contain: 2 people, people smiling, text
cheers. 
https://alditta.blogspot.com/2018/12/yang-perlu-anda-tau-pasai-skandal.html

BERITA»KesIsnin, 3 Disember 2018 | 12:49pm

'Demi Allah, program YTH 2017 tidak guna wang penyimpan'

Oleh Fairul Asmaini Mohd Pilusasmaini@nstp.com.my

KUALA LUMPUR: Bekas Pengerusi Lembaga Tabung Haji (TH), Datuk Seri Abdul Azeez Rahim, hari ini menafikan Program Yayasan Tabung Haji (YTH) 2017 menyalah guna wang pendeposit.
Daripada RM22 juta yang digunakan bagi program YTH 2017, beliau berkata, hanya RM7 juta adalah wang TH manakala bakinya hasil sumbangan kerajaan Persekutuan, UMNO dan bayaran zakat beberapa syarikat korporat.
“Saya ingin tegaskan program YTH 2017 terutama program Ziarah Kasih pada Ramadan untuk membantu golongan asnaf tidak menggunakan duit penyimpan atau pendeposit TH.
“Program berkenaan memberi bantuan kepada golongan memerlukan seperti warga emas, orang kurang upaya, ibu tunggal serta warga miskin di lebih 60 Parlimen seluruh negara.
“Demi Allah, duit yang digunakan bukan daripada duit penyimpan dan tuduhan yang dilemparkan dianggap berniat jahat untuk mengaibkan saya serta TH,” katanya pada sidang media di lobi Parlimen, hari ini.
Abdul Azeez yang juga Ahli Parlimen Baling, turut kesal apabila TH tidak menggunakan prosedur operasi standard (SOP) sedia ada dalam menyiasat kes itu dan hanya mengetahuinya menerusi laporan media.
Beliau mendakwa tidak pernah dipanggil oleh TH juga untuk mendapatkan kenyataan atau melakukan siasatan dalaman terlebih dulu.
Sehubungan itu, Abdul Azeez menyuarakan kehairanan mengapa TH tidak mengikut SOP biasa, termasuk membuat siasatan dalaman dengan memanggilnya untuk memberi keterangan.
“Saya boleh memberi penjelasan lanjut kerana semua wang yang diterima atau digunakan ada rekod butirannya.
“Soalnya, mengapa sekarang baru nak membuat laporan polis? Saya minta masyarakat jangan cepat menghukum dan tunggu sehingga selesai siasatan.
“Saya akan memberi kerjasama penuh kepada pihak berkuasa dan yakin mereka akan menjalankan siasatan dengan telus serta amanah,” katanya.
Jumaat lalu, TH membuat dua laporan polis terhadap Abdul Azeez, dua bekas Ketua Pegawai Eksekutif (CEO), Tan Sri Ismee Ismail dan Datuk Seri Johan Abdullah serta pengurusan kanannya.
Pengurusan kanan terbabit ialah Ketua Pegawai Operasi, Datuk Adi Azuan Abdul Ghani; Ketua Pegawai Kewangan, Datuk Rozaida Omar; Penasihat Undang-Undang, Hazlina Mohd Khalid serta Pengurus Besar Kanan Perkhidmatan Korporat dan Hartanah, Rifina Md Ariff.
Laporan polis pertama dibuat berkaitan Program YTH 2017 apabila dana sejumlah RM22 juta dikeluarkan untuk kegiatan yang didakwa mempunyai kecenderungan politik.
Laporan polis kedua dibuat terhadap Ismee, Hazlinda dan Rifina berhubung salah nyata dan didakwa menyembunyikan maklumat penting membabitkan penjualan saham TH pada 2012.
Bekas Pengerusi Lembaga Tabung Haji (TH), Datuk Seri Abdul Azeez Rahim. - Foto Mikail Ong




Tiada ulasan: