Ahad, 23 Jun 2013

619. Mengapa Kita Selalu Lupa..?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  , الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,  مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ , إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيمَ  , صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ.


Assalamualaikum w.b.t/السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Meja www.peceq.blogspot.com 
Terlihat seorang bapak-bapak dengan sabar dan tekun memilah barang-barang yang kira-kira masih berharga dan dapat digunakan kembali, diantara puing-puing reruntuhan rumahnya yang sudah hampir rata dengan tanah. Sulit diceritakan kira-kira apa yang menjadi perasaannya saat itu. Dari mimik mukanya yang terlihat sangat serius, 
mungkin bercampur rasa gundah sambil berupaya untuk tabah dan tawakal.

Cukup lama saya berdiam berdiri di depan pintu pagar-rumahnya yang sebagian masih utuh, sementara sebagian lagi sudah condong ke depan hampir ambruk. Sampai kemudian si bapak tersebut sadar akan kehadiran saya di situ, kemudian berusaha untuk tersenyum, dan bergegas turun dari reruntuhan berusaha menyambut kedatangan saya. 

Beautiful World

Kami bersalaman. Saya pun tidak kuasa lagi untuk berkata-kata. Mau mengungkapkan rasa ikut prihatin? Sepertinya kok sudah sering bapak ini mendengarnya. Berusaha untuk berbagi agar si bapak bisa bersabar?
Kurang sabar bagaimana bapak ini, dalam kondisi rumah yang dibangunnya sedikit demi sedikit sejak beliau masih muda, saat itu telah hancur tinggal puing, tapi masih menyempatkan untuk berusaha tersenyum menyambut kedatangan saya. Tidak ada kata yang mampu saya ucapkan saat itu.

Bapak ini adalah salah seorang teman saya sesekali mengobrol bila saya berkunjung ke Yogya.

"Hancur lebur sudah,..", katanya singkat kemudian.

Saya pun menanyakan kesehatan seluruh keluarganya. Alhamdulillah, semua selamat dan sehat. Saat itu seluruh keluarganya untuk sementara ngungsi di rumah salah seorang keluarga menantunya di daerah Kaliurang, daerah Yogya sebelah utara. Hanya dia seorang ditemani beberapa tetangga, yang sudah tiga hari itu hidup bertenda di depan rumahnya.

Biasanya bila kami bertemu, tak henti-hentinya kami ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal. Tapi siang itu, cukup lama kami hanya berdiri terpaku berdiam diri memandangi puing-puing rumahnya dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

Siang itu adalah hari Senin. Tepat hari ketiga sejak gempa bumi menggetarkan wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, pada tanggal 27 Mei 2006 lalu. Sebuah pemandangan luar biasa terjadi di kompleks perumahan itu, di pinggiran kota Yogya bagian selatan. Kompleks perumahan yang semula begitu asri, telah berganti rupa dengan puing-puing reruntuhan. Suasana duka masih menyelimuti atas kepergian beberapa warga disitu yang saat gempa terjadi menjadi korban.

Saya kebetulan hidup dan dibesarkan dilingkungan yang sepertinya `serba baik-baik saja'. Melihat pemandangan duka tentang bencana alam, kelaparan, atau bermacam kesedihan lainnya seakan hanya berupa pemandangan `di luar sana', dan terlihat hanya ada di televisi. Tapi siang itu saya melihat sesuatu yang lain. Saya melihat dengan mata sendiri, bahwa sesuatu yang tidak `serba baik-baik saja' juga terjadi terhadap orang-orang di sekitar saya, orang-orang yang saya kenal secara dekat, orang-orang yang cintai.

Apakah Tuhan sedang murka? Saya berusaha untuk tidak berprasangka buruk demikian terhadap Sang Pencipta. Karena bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi pada kita manusia, adalah sesuatu yang pasti terbaik bagi kita. Kita diberi kesempatan menjalani kehidupan di dunia ini oleh-Nya saja, saya pikir sudah merupakan sesuatu ke-Maha Baik-an Tuhan terhadap kita manusia.

Apakah alam sedang marah kepada manusia? Saya pun tidak berpendapat demikian. Saya termasuk orang yang percaya bahwa bagaimana pun juga alam akan berlaku sesuai kodratnya dari Sang Kuasa, untuk `berjalan' sesuai hukum alam-Nya. Kewajiban kita manusia yang diberi akal dan pikiran oleh Tuhan untuk berusaha selalu `membaca' hukum alam. `Membaca' gerak-geriknya, `membaca' kecenderungannya. Wajar, kalau kita sebagai manusia yang selalu belajar, kalau suatu ketika kita `salah baca' atau `terlewat dalam membaca' berlakunya hukum alam.

Anyway, terlepas dari masalah kenapa, ada hal yang kita sebaiknya belajar dari itu semua. Belajar dari pengetahuan yang menurut saya paling mendasar bagi kita dalam kita menjalani hidup di dunia ini. Sebuah pelajaran yang berawal dari pertanyaan besar `Untuk apa kita hidup di dunia ini ?'.

Dan atas kejadian gempa itu, seakan pelajaran tadi begitu intensif merasuki pikiran, pengetahuan dan hati kita. Betapa tidak, dalam waktu yang sangat singkat, banyak orang bisa belajar, mendalami sekaligus memaknai hal-hal seperti : `Menumbuhkan simpati dan empati dari dalam diri' untuk ikut merasakan bagaimana sih rasanya orang yang sedang ditimpa musibah, belajar untuk merelakan sebagian rejeki jerih payah kita untuk diberikan kepada orang yang ditimpa musibah, belajar untuk mengerti bahwa kita manusia adalah saling membutuhkan dan haruslah saling mencintai satu sama lain, belajar bahwa kita manusia `tidak ada apa-apanya' dihadapan Tuhan.

Sebuah pelajaran-pelajaran yang kita lupa ketika kita dihinggapi rasa kesal ketika kita sedang buru-buru ke kantor mengejar dead-line, tiba-tiba jalan kita terhalang oleh seorang pengemudi becak tua di depan
yang sudah tidak mampu lagi mengendarai becaknya secara cepat. Sebuah pembelajaran yang mungkin tidak kita ambil pusing ketika suatu saat kita mendapat rejeki yang berlimpah sementara sebelah rumah kita
sendiri sedang mengalami kesulitan ekonomi. Pengetahuan yang seakan terlupakan, tenggelam oleh sombongnya perasaan kita ketika kita berada di puncak karir kita, dan selalu menganggap lebih rendah orang-orang para office-boy, penyapu jalan, para pemulung, pedagang kaki-lima.

Namun herannya memang, pelajaran itu kembali dilupakan ketika kita tenggelam kembali dalam hiruk-pikuk keseharian kita. Ketika kejadian seperti di Yogya itu seakan kembali `jauh' dari kita. Kita hanya akan
belajar lagi mengenai pentingnya kebersamaan, saling berbagi, munculnya sikap rasa interdependency, hanya ketika kejadian seperti di Yogya itu menimpa, itu pun atas peran media yang menginformasikan secara terus menerus dan begitu close-up-nya.

Sebuah contoh misalnya akan arti sebuah `think win/win'. Dalam kondisi biasa kebanyakan orang bisa dipastikan akan selalu berpendapat bahwa arti win/win bagi dirinya adalah bilasaja mereka mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Sulit sekali untuk berpikir tentang kita memberikan sesuatu kepada orang lain sambil saat itu kita merasa bahwa itu adalah kondisi win/win buat kita juga. 

Tapi lihatlah pada situasi bencana seperti ini. Banyak kemudian orang- orang secara rela memberikan apa yang dimilikinya, memberikan waktunya, memberikan tenaganya, memberikan pemikirannya dengan sukarela, dan bernafas begitu leganya ketika orang yang menerima bantuan sekedar memberikan senyuman. Inilah juga menurut saya merupakan esensi pembelajaran akan kondisi win/win.

Hanya saja, haruskah `think win/win' yang seperti ini hanya akan terjadi ketika musibah melanda? Kenapa tidak setiap hari terjadi pada kita? Kita berinisiatif memberikan tumpangan mobil kepada orang yang kita kenal yang kebetulan sejalan dengan kita, menurut saya adalah juga think win/win. Kita berhenti sejenak untuk sekedar membantu, ketika melihat seorang petugas angkat barang yang sedang kepayahan mengangkat barangnya ke atas mobil angkutan, itu juga think win/win.

Tuhan memang Maha Bijaksana, tak henti-hentinya kita diberi bahan untuk selalu belajar dan belajar. Pertanyaan besarnya sebenarnya adalah: mengapa kita selalu lupa…?

Sumber: Mengapa Kita Selalu Lupa..?
oleh Pitoyo Amrih

Perhatian: Pemaparan tajuk-tajuk, gambar-gambar dan segala bagai, adalah pandangan dan pendapat peribadi yang lebih menjurus kepada sikap dan sifat untuk menjadi lebih baik dengan mengamalkan gaya hidup menurut perentah dan larangan Allah S.W.T., antaranya bersikap dengan tiada prasangka, tidak bertujuan untuk kebencian, tidak berkeperluan untuk bersubahat dengan perkara bohong dan tiada kaitan dan berkepentingan dengan mana-mana individu. Jujur., aku hanyalah hamba Allah S.W.T., yang hina dina. BERSANGKA BAIK KERANA ALLAH S.W.T.. 

Blogger Home. 
s3v3n

s3v3n
copyright©

Tiada ulasan: