بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ , الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ , مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ , إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيمَ , صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ.
Meja p3c3q
Masalah Pertama
KEADAAN THABI’I, AKHLAKI DAN ROHANI MANUSIA
Sidang
yang terhormat diharap maklum bahwa pada halaman-halaman pertama karangan ini
terdapat beberapa kata pendahuluan yang mungkin nampak seolah‑olah tidak
ada sangkut‑pautnya dengan uraian berikut. Namun, agar jawabannya yang
tepat dapat diresapi, hal itu perlu dipahami. Agar hadirin jangan menemui kesukaran
dalam memahami pokok masalah, kami lebih dahulu menyertakan beberapa patah kata
pendahuluan itu untuk penjelasan.
Baiklah
dimaklumi bahwa masalah pertama ialah bertalian dengan keadaan‑keadaan
thabi’i (pembawaan alami), akhlaki dan rohani manusia.
Maka
ketahuilah bahwa Alquran Suci, Kalam Suci Allah Ta’ala mengadakan pembagian
tiga keadaan itu demikian: bagi ketiga keadaan itu ditetapkan tiga sumber yang
berlainan. Dengan perkataan lain, disebutkan tiga mata air yang daripadanya
memancar keadaan‑keadaan itu secara terpisah.
Keadaan
Pertama: Nafs Ammarah
Sumber
pertama yang merupakan pangkal dan daripadanya timbul semua keadaan thabi’i
manusia, Alquran Suci menamakan-nya nafs ammarah, sebagaimana
dikatakan-Nya:
Yakni,
adalah ciri khas nafs ammarah bahwa ia membawa manusia kepada keburukan yang
bertentangan dengan kesempurnaannya serta bertolak belakang dari keadaan akhlaknya
dan ia menginginkan manusia supaya berjalan pada jalan yang tidak baik dan
buruk (12:54). *)
Ringkasnya, melangkahnya manusia ke arah pelanggaran dan keburukan adalah suatu keadaan yang secara alami menguasai dirinya, sebelum ia mencapai keadaan akhlaki. Sebelum manusia melangkah dengan dinaungi oleh akal dan makrifat (pengetahuan), keadaan ini dinamai keadaan thabi’i (pembawaan alami). Bahkan seperti halnya hewan-hewan berkaki empat, di dalam kebiasaan mereka makan‑minum, tidur‑bangun, menunjukkan emosi dan naik darah, dan begitu juga kebiasaan‑kebiasaan lainnya, manusia ikut kepada dorongan thabi’inya. Dan manakala manusia tunduk kepada akal dan makrifat serta memperhatikan timbang rasa, maka saat itu keadaan ketiga tersebut tidak lagi dinamakan keadaan-keadaan thabi’i, melainkan saat itu keadaan-keadaan ini disebut keadaan-keadaan akhlaki, yang mengenainya akan diterangkan lebih lanjut.
Keadaan
Kedua: Nafs Lawwamah
*) Terjemahan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya
merupakan terjemahan tafsiriya
Di dalam Alquran Suci sumber keadaan akhlaki itu dinamai nafs lawwamah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam Alquran Suci:
Di dalam Alquran Suci sumber keadaan akhlaki itu dinamai nafs lawwamah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam Alquran Suci:
Yakni,
aku bersumpah dengan nafs (jiwa) yang menyesali dirinya sendiri atas
perbuatan buruk dan setiap pelanggarannya (75:3). Nafs lawwamah ini merupakan
sumber kedua bagi keadaan‑keadaan manusia yang daripadanya timbul keadaan
akhlaki; dan sesampainya ke martabat itu manusia terlepas dari keadaan
yang menyerupai keadaan hewan‑hewan lainnya. Bersumpah dengan perkataan
nafs lawwamah disini adalah untuk memberikan penghormatan kepadanya.
Jadi, dengan meningkatnya dari keadaan nafs ammarah kepada keadaan
nafs lawwamah, yang merupakan kemajuan, ia layak menerima penghormatan di
sisi Allah. Dinamai lawwamah karena dia mencela manusia atas keburukannya
dan tidak senang kalau manusia bertingkah-laku sewenang-wenang dalam memenuhi
keinginan-keinginan thabi’i-nya dan menjalani hidup seperti hewan-hewan berkaki
empat. Bahkan ia menghendaki supaya manusia menghayati keadaan-keadaan yang
baik serta memiliki budipekerti luhur, dan dalam usaha memenuhi segala keperluan
hidupnya manusia jangan sekali pun melakukan pelanggaran, dan ia menghendaki
agar perasaan‑ perasaan serta hasrat‑hasrat thabi’inya diberi penyaluran
yang sesuai dengan pertimbangan akal. Jadi, karena dia menyesali tindakan yang
buruk, maka ia dinamai nafs lawwamah, yaitu jiwa yang sangat menyesali.
Walaupun
nafs lawwamah tidak menyukai dorongan-dorongan thabi’i, bahkan selalu
menyesali dirinya sendiri, akan tetapi dalam melaksanakan kebaikan‑kebaikan
ia belum dapat menguasai diri sepenuhnya. Kadang-kadang dorongan-dorongan thabi’i
mengalahkannya, kemudian ia tergelincir dan jatuh. Bagaikan seorang anak kecil
yang lemah, walaupun tidak mau jatuh, namun karena lemahnya ia jatuh juga,
lalu ia menyesali diri sendiri atas kelemahannya.
Ringkasnya,
ini merupakan keadaan akhlaki bagi jiwa tatkala di dalam dirinya telah
terhimpun akhlak fadhilah (budipekerti luhur) dan dia sudah jera dari
kedurhakaan, akan tetapi belum lagi dapat menguasai diri sepenuhnya.
Keadaan
Ketiga: Nafs Muthmainnah
Kemudian
ada sumber ketiga yang boleh dikatakan sumber keadaan‑keadaan rohani.
Alquran Suci menyebut sumber ini nafs muthmainnah, sebagaimana
dikatakannya:
Yakni,
hai jiwa yang tenteram dan mendapat ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada
Rabb‑mu! Kamu senang kepada‑Nya dan Dia senang kepadamu. Maka bergabunglah
dengan hamba‑hamba‑Ku dan masuklah ke dalam surga‑Ku (89:28‑31).
Inilah
martabat dimana jiwa manusia memperoleh najat (keselamatan/kebebasan)
dari segala kelemahan, lalu dipenuhi oleh kekuatan‑kekuatan rohaniah
dan sedemikian rupa melekat jadi satu dengan Allah Ta’ala sehingga ia tidak
dapat hidup tanpa Dia. Laksana air mengalir dari atas ke bawah yang karena banyaknya
dan tiada sesuatu yang menghambatnya, maka air itu terjun dengan deras, begitu
pula jiwa manusia tak henti‑ hentinya mengalir terus dan menjurus ke arah
Tuhan. Ke arah ini-lah Allah Ta’ala mengisyaratkan, “Hai jiwa yang mendapat
ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada-Nya!”
Ringkasnya,
di dalam hidup ini jugalah dan bukan sesudah mati, manusia menciptakan perubahan
yang gilang‑gemilang. Dan di dalam dunia inilah dan bukan di tempat lain
ia menemui suatu surga. Dan sebagaimana tercantum dalam ayat itu, yakni,
“Kembalilah kepada Rabb-mu (yakni Sang Pemelihara),” seperti itu pula ia mendapat
pemeliharaan dari Tuhan. Dan kecintaan Tuhan merupakan makanan baginya. Dari
mata air pemberian kehidupan inilah ia mereguk air itu. Oleh karenanya
ia terlepas dari maut, sebagaimana firman Allah Ta’ala di tempat lain dalam
Alquran Suci:
Yakni,
barangsiapa yang membersihkan jiwa dari hasrat-hasrat duniawi, sungguh ia
telah selamat dan tidak akan binasa. Akan tetapi barangsiapa yang membenamkan
dirinya dalam hasrat‑hasrat duniawi, yang merupakan dorongan-dorongan
thabi’i sungguh telah putus‑asalah ia dari hidup ini (91:10,11).
Jadi,
inilah tiga keadaan yang dengan kata lain dapat disebut keadaan‑keadaan
thabi’i, akhlaki, dan rohani. Dan dikarenakan pada saat
kuatnya dorongan-dorongan thabi’i menjadi sangat berbahaya dan kadang-kadang
membinasakan akhlak serta kerohanian, oleh karena itu di dalam Kitab Suci Allah
Ta’ala, dia dinamakan keadaan-keadaan nafs ammarah.
Jika
ada pertanyaan, apa pengaruh Alquran Suci terhadap keadaan-keadaan thabi’i manusia,
dan bimbingan apakah yang diberikannya dalam hal itu, serta secara amal, sampai
batas manakah yang diperkenankannya?
Hendaklah
diketahui bahwa menurut Alquran Suci keadaan-keadaan thabi’i manusia mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan keadaan-keadaan akhlaki serta rohaninya. Bahkan,
cara manusia makan-minum pun mempengaruhi keadaan‑keadaan akhlaki dan
rohani manusia. Jika keadaan-keadaan thabi’i dipergunakan sesuai dengan bimbingan-bimbingan
syariat, maka sebagaimana benda apa pun yang jatuh ke dalam tambang garam akan
berubah menjadi garam juga, seperti itu pula semua keadaan tersebut berubah
menjadi nilai‑nilai akhlak dan memberi pengaruh yang mendalam sekali pada
kerohanian. Oleh karena itu, Alquran Suci amat memperhatikan kebersihan jasmani,
tata‑tertib jasmani, dan keseimbangan jasmani dalam berusaha untuk mencapai
tujuan segala ibadah, kesucian batin, kekhusyukan, dan kerendahan hati.
Apabila
kita renungkan dengan dalam maka benar sekali kandungan filsafat yang mengatakan
bahwa tingkah laku jasmani amat besar pengaruhnya pada ruh. Sebagaimana kita
saksikan perbuatan-perbuatan alami, walaupun pada lahirnya bersifat jasmani,
namun tidak ayal berpengaruh pada keadaan rohani kita. Misalnya, apabila kita
mulai menangis, kendatipun hanya pura‑pura serta dibuat‑buat, air
mata menggugah suatu perasaan dalam hati dan hati pun ikut merasa sedih. Demikian
pula, apabila kita mulai tertawa secara pura-pura dan dibuat‑buat, di
dalam hati pun akan timbul rasa gembira. Kita saksikan juga bahwa gerakan sujud
secara jasmani pun menimbulkan suatu perasaan khusyuk dan kerendahan hati dalam
ruh. Sebaliknya kita saksikan pula bahwa apabila kita berjalan dengan menegakkan
kepala seraya membusungkan dada, hal ini segera menimbulkan semacam rasa takabur
dan tinggi hati. Dari contoh‑contoh di atas nampaklah sejelas-jelasnya
bahwa gerak‑gerik jasmani tidak syak lagi mempengaruhi keadaan rohani.
Begitu
pula pengalaman menyatakan kepada kita bahwa makanan yang beraneka‑ragam
juga mempengaruhi kemampuan-kemampuan otak dan hati. Misalnya, silakan mengamati
dengan seksama keadaan orang‑orang yang tidak pernah makan daging. Potensi
keberanian mereka lambat‑laun semakin berkurang sehingga akhirnya hati
mereka menjadi lemah dan mereka kehilangan satu kekuatan yang terpuji anugerah
Tuhan.
Kesaksian
hukum kodrat * berkenaan dengan itu
membuktikan bahwa di antara binatang‑binatang berkaki empat pemakan rumput,
tak ada seekor pun memiliki keberanian yang sebanding dengan keberanian binatang
pemakan daging. Hal ini dapat kita saksikan pula pada burung-burung.
*
Kodrat = kekuasaan; kekuatan Ilahi; sifat bawaan alami.
Ringkasnya,
tidak dapat diragukan lagi, bahwa makanan berpengaruh pada akhlak. Benar, orang‑orang
yang siang‑malam mengutamakan makan daging dan sangat kurang makan sayur‑
mayur, kurang memiliki sifat santun dan rendah hati. Sedangkan orang‑orang
yang mengambil jalan tengah, mewarisi kedua sifat itu. Mengingat akan hikmah
itulah Allah Ta’ala berfirman dalam Alquran Suci:
Yakni, makan
jugalah daging dan makan jugalah makanan yang lain. Akan tetapi tiap sesuatu
jangan melampaui batas agar jangan timbul pengaruh buruk pada keadaan akhlak,
dan agar cara berlebihan itu jangan pula merugikan kesehatan (7:32).
Sebagaimana
perbuatan dan tingkah laku jasmani berpengaruh pada ruh, begitu pula adakalanya
ruh pun berpengaruh pada tubuh. Orang yang sedang mengalami kesedihan, matanya
tentu tergenang air mata, sedangkan yang bergembira, tentu akan tertawa. Makan,
minum, tidur, bangun, bergerak, istirahat, mandi dan lain‑lain merupakan
perbuatan alami. Segala perbuatan itu pasti mempengaruhi keadaan rohani kita.
Struktur jasmani kita sangat erat hubungannya dengan perangai kemanusiaan kita.
Luka
yang terjadi pada satu tempat di otak segera menghilangkan daya ingat, dan luka
pada tempat lainnya menyebabkan hilangnya kesadaran. Udara wabah yang beracun
menjalar dengan cepat ke seluruh tubuh, kemudian memberi bekas pada hati, dan
segera mengacaukan jaringan batiniah yang dengannya terkait segenap sistem akhlak.
Akhirnya, dalam beberapa detik, orang itu pun mati seperti orang gila.
Ringkasnya,
penderitaan jasmani juga memperlihatkan pemandangan menakjubkan yang dengan
itu terbukti bahwa antara ruh dan tubuh terdapat suatu pertalian demikian rupa,
di luar kemampuan manusia untuk menyingkap rahasianya.
Selanjutnya
dalil mengenai adanya hubungan itu ialah, apabila kita renungkan dengan seksama,
kita akan mengetahui bahwa induk ruh justru tubuh itu juga. Sesungguhnya ruh
tidak jatuh dari atas dan masuk ke dalam kandungan wanita hamil, melainkan ia
adalah suatu nur (cahaya) yang justru terkandung dalam nutfah
(sperma/ mani) secara tersembunyi dan semakin bercahaya seiring perkembangan
tubuh (embrio). Kalam Suci Allah Ta’ala memberikan pengertian kepada kita bahwa
ruh berasal dari struktur yang memang sudah terbentuk dari nutfah di dalam
rahim. Sebagaimana Dia berfirman dalam Alquran Suci:
Yakni,
kemudian Kami jadikan tubuh yang terwujud dalam rahim ibu, dalam bentuk lain
serta menzahirkan lagi satu ciptaan lain yang dinamai ruh. Dan Tuhan Maha Beberkah
serta tidak ada pencipta lain yang menyamai-Nya (23:15). Dan difirmankan
bahwa, “Kami menzahirkan lagi satu ciptaan lain di dalam tubuh itu juga,” disitu
terkandung rahasia yang sangat dalam tentang hakikat ruh dan juga mengisyaratkan
adanya pertalian yang sangat erat antara ruh dengan tubuh. Isyarat itu mengajarkan
juga kepada kita bahwa perbuatan‑perbuatan jasmani, ucapan‑ucapan,
dan segala perbuatan alami manusia apabila semuanya dikerjakan untuk Allah Ta’ala
dan mulai nampak di jalan-Nya, maka hal itu berkaitan dengan falsafah Ilahi
ini juga. Yakni di dalam amal perbuatan yang ikhlas pun, sejak mula sudah tersembunyi
suatu ruh sebagaimana tersembunyinya ruh dalam nutfah. Semakin berkembang amal‑amal
tersebut, ruh itu semakin cemerlang. Dan, tatkala amal‑amal tersebut sudah
sempurna, maka serta-merta ruh itu memancar dengan penampakkannya yang sempurna
dan memperlihatkan wujudnya sendiri dari sisi keruhannya, dan mulailah
gerak kehidupan yang jelas.
Manakala struktur amal‑amal
itu sudah sempurna, segeralah bagaikan cahaya kilat ia mulai menampakkan sinarnya
yang nyata. Itulah tahap yang mengenainya Allah Ta’ala secara kiasan berfirman
di dalam Alquran Suci:
Yakni,
tatkala Aku telah siap membuat struktur dan telah menyelaraskan segala penzahiran
manifestasinya dan Aku telah meniupkan ruh‑Ku ke dalamnya, maka rebahkanlah
diri di atas tanah seraya bersujud kepadanya (15:30). Jadi, di dalam ayat
tersebut terkandung isyarat bahwa apabila struktur amal-amal itu telah sempurna
maka di dalam struktur tersebut bersinarlah ruh yang dilukiskan oleh Allah Ta’ala
sebagai datang dari Zat‑Nya sendiri. Oleh karena struktur itu baru siap
sesudah kehidupan duniawi mengalami kemusnahan, maka cahaya Ilahi yang tadinya
redup, serta-merta menyala berkilauan. Dan dengan melihat keagungan Tuhan serupa
ini, wajib bagi segala sesuatu untuk bersujud dan tertarik kepadanya. Maka segala
sesuatu bersujud ketika melihat cahaya tersebut dan secara alami bergerak ke
arah itu, kecuali iblis yang bersahabat dengan kegelapan.
Saya
kembali lagi kepada pembicaraan semula, saya jelaskan, sangatlah benar dan tepat
bahwa ruh adalah suatu cahaya yang latif (halus), tumbuh dari dalam tubuh
itu juga serta yang dibesarkan dalam rahim. Yang dimaksudkan dengan terciptanya
(ruh) itu ialah, pada taraf permulaan ia tersembunyi dan tak diketahui, kemudian
menjadi nampak nyata. Pada taraf permulaan, intinya sudah terkandung dalam nutfah.
Tidak ragu lagi, sesuai dengan kehendak, izin serta keinginan Tuhan Samawi,
ruh memiliki pertalian yang menakjubkan dengan nutfah. Dan ruh merupakan sebuah
permata cahaya nurani yang dimiliki nutfah. Tidaklah dapat dikatakan bahwa ruh
merupakan bagian dari nutfah seperti halnya bagian-bagian badan yang dimiliki
tubuh. Akan tetapi, tidak pula dapat dikatakan bahwa ruh datang dari luar atau
jatuh ke bumi lalu bercampur dengan bahan nutfah. Melainkan, ia tersembunyi
di dalam nutfah seperti halnya api tersembunyi di dalam batu api.
Yang
dimaksud oleh Kitab Allah, ruh tidak turun dari langit secara terpisah atau
jatuh ke bumi dari angkasa, kemudian secara kebetulan berpadu dengan nutfah,
lalu masuk ke dalam rahim. Betapa pun, pendapat demikian tidak dapat dibenarkan.
Jika kita berpendapat seperti itu maka hukum alam menyalahkan kita. Setiap hari
kita saksikan, bahwa di dalam makanan yang kotor dan basi serta di dalam borok
yang kotor terdapat ribuan kuman. Pada pakaian yang kotor melekat ratusan bakteri.
Di dalam perut manusia pun berkembang biak cacing-cacing keremi dan sebagai-nya.
Sekarang, dapatkah kita mengatakan bahwa mereka itu terlihat oleh seseorang
datang dari luar atau turun dari langit? Jadi, yang benar ialah ruh muncul
dari dalam tubuh juga. Dan berdasarkan dalil ini terbukti juga bahwa ruh
adalah makhluk (yang diciptakan).
Sekarang
maksud kami melalui uraian ini adalah -- Yang Mahakuasa, yang dengan kekuasaan
sempurna, telah memunculkan ruh dari dalam tubuh juga -- agaknya Dia berkehendak
agar kelahiran kedua bagi ruh pun diwujudkan melalui tubuh juga. Gerak‑gerik
ruh bergantung pada gerak‑gerik tubuh kita. Ke jurusan mana kita membawa
tubuh, pastilah ruh pun akan ikut serta. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
Kitab Suci Allah Ta’ala untuk memperhatikan keadaan‑keadaan thabi’i
manusia. Itulah sebab-nya Alquran Suci sangat menaruh perhatian terhadap
perbaikan keadaan‑keadaan thabi’i manusia dan mencantumkan petunjuk-petunjuk
berkenaan dengan: tertawa, menangis, makan, minum, berpakaian, tidur, bicara,
diam, kawin, membujang, berjalan, menetap, serta mensyaratkan mandi, dan sebagainya
untuk kebersihan lahiriah. Begitu pula ketentuan-ketentuan khusus dalam keadaan
sakit dan dalam keadaan sehat. Dan Alquran Suci menegaskan bahwa keadaan‑keadaan
jasmani manusia berpengaruh pada keadaan‑keadaan rohani. Seandainya
semua petunjuk itu ditulis secara rinci, tidak dapat saya bayangkan apakah waktu
akan mengizinkan untuk menguraikan masalah itu.
Ketika
saya merenungkan Firman Suci Allah dan memperhatikan -- bahwa mengapa
di dalam ajaran‑ajaran-Nya Dia menganugerahkan kepada manusia kaedah‑kaedah
perbaikan terhadap keadaan‑keadaan thabi’i, lalu secara perlahan-lahan
mengangkat-nya ke atas dan ingin mengantarkan sampai kepada derajat tertinggi
keadaan rohani -- maka nampak kepada saya bahwa kaedah‑kaedah yang mengandung
nilai-nilai kebijakan itu adalah sebagai berikut:
(i)
Pertama, Allah berkehendak melepaskan manusia dari cara-cara hewani dengan mengajarkan
kepadanya: cara duduk, bangun, makan-minum, bercakap‑cakap dan segala
macam tata-cara hidup bermasyarakat. Dan dengan menganugerahkan perbedaan nyata
dari kesamaan terhadap hewan, Dia mengajarkan suatu derajat dasar keadaan
akhlaki yang dapat dinamakan adab dan tata krama.
(ii)
Lalu Dia memberikan keseimbangan pada kebiasaan-kebiasaan alami manusia yang
dengan kata lain dapat disebut akhlaq razilah (akhlak rendah), sehingga
dengan mencapai keseimbangan itu, ia dapat masuk ke dalam warna akhlaq fadhilah
(akhlak tinggi). Akan tetapi, kedua langkah ini, pada hakikatnya sama, sebab
bertalian dengan perbaikan keadaan‑keadaan thabi’i. Hanya perbedaan
tinggi‑rendah sajalah yang menjadikannya dua macam. Dan Sang Maha Bijaksana
telah mengemukakan tatanan akhlak dengan cara demikian sehingga melaluinya
manusia dapat maju dari akhlak rendah mencapai akhlak tinggi.
(iii)
Dan selanjutnya Dia telah menetapkan tingkat kemajuan ketiga, yakni manusia
tenggelam dalam kecintaan dan keridhaan Sang Maha Pencipta‑nya Yang Hakiki,
serta segenap wujudnya menjadi milik Allah. Inilah suatu tingkat yang untuk
mengingatkannya, maka agama orang-orang Muslim telah diberi nama Islam.
Sebab, yang disebut Islam ialah penyerahan diri secara sempurna kepada
Tuhan dan tidak menyisihkan sesuatu bagi dirinya sendiri, sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman:
Yakni, orang
yang mendapat keselamatan ialah orang yang untuk Allah menyerahkan diri bagaikan
hewan korban di jalan-Nya. Dan ia menunjukkan keikhlasannya tidak hanya dengan
niat saja, melainkan dengan perbuatan-perbuatan baik. Barangsiapa berbuat demikian,
ganjarannya sudah ditetapkan di sisi Allah. Dan orang‑orang yang demikian,
sedikit pun tidak takut serta tidak pula akan berduka cita (2:113).
Katakanlah: “Sembahyangku, pengorbananku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah,
yang sifat rabbubiyat‑Nya melingkupi
segala sesuatu. Tiada sesuatu dan tiada seorang pun yang merupakan sekutu bagi-Nya,
dan tidak ada makhluk yang menyekutui-Nya. Kepadaku diperintahkan agar aku berbuat
demikian dan aku adalah yang paling pertama berdiri tegak di atas makna Islam,
yakni yang mengorbankan diri di jalan Allah” (6:163‑164). Inilah jalan‑Ku,
maka ikutilah jalan‑Ku. Dan sebaliknya jangan ikuti jalan lain, karena
engkau nanti akan menyimpang jauh dari Allah (6:154). Katakanlah kepada mereka,
“Jika kamu cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, dan berjalanlah pada jalanku
supaya Allah pun cinta kepadamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Dia adalah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang” (3:32).
Sekarang
kami akan menerangkan ketiga tingkat keadaan manusia itu satu demi satu. Akan
tetapi, pertama-tama perlu diingatkan bahwa, menurut isyarah-isyarah Kalam Suci
Allah Ta’ala, keadaan thabi’i (alami) manusia yang bersumber dan
berpangkal dari nafs ammarah itu, bukanlah sesuatu yang terpisah dari
keadaan‑keadaan akhlaki. Sebab Kalam Suci Allah telah menempatkan
semua kekuatan alami, keinginan‑keinginan, serta dorongan-dorongan jasmani
sebagai keadaan-keadaan thabi’i. Dan keadaan‑keadaan thabi’i
-- yang secara sadar dilakukan dengan teratur, seimbang dan sesuai dengan kesempatan
serta keadaan -- akan mengambil warna akhlak. Begitu pula keadaan-keadaan
akhlaki bukanlah sesuatu yang terpisah dari keadaan-keadaan rohani.
Justru keadaan‑keadaan akhlaki itu jugalah yang akan mengambil
warna kerohanian dengan cara meleburkan diri sepenuhnya pada Allah; mensucikan
diri; memutuskan segala hubungan hanya untuk melekatkan diri kepada Allah; serta
dengan penuh kecintaan, penuh kemabukan, penuh ketenangan, penuh ketenteraman,
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Selama keadaan‑keadaan thabi’i
tidak beralih ke dalam warna akhlak, selama itu manusia tidak layak mendapat
pujian. Sebab, keadaan itu terdapat juga di kalangan hewan lain, bahkan pada
tumbuh‑tumbuhan. Begitu pula dengan hanya memiliki akhlak saja, tidak
dapat menganugerahi manusia kehidupan rohani. Bahkan seorang yang mengingkari
adanya Wujud Allah Ta’ala sekali pun dapat memperlihatkan akhlak yang baik.
Kerendahan hati atau kehalusan budi atau suka damai, meninggalkan kejahatan
dan tidak memperdulikan orang‑orang bejad, semua itu adalah keadaan‑keadaan
thabi’i. Dan semua sifat itu dapat juga dimiliki oleh seorang yang rendah,
yang tidak mengenal sumber najat (keselamatan) yang sebenarnya. Banyak
juga binatang berkaki empat yang rendah hati, jika diganggu dan disakiti mereka
cenderung menampakkan sikap damai. Bila mereka tidur, dipukuli dengan tongkat,
mereka tidak melawan. Namun walau demikian mereka tidak dapat disebut manusia.
Apalagi dengan sifat-sifat itu bagaimana mungkin mereka akan dapat menjadi manusia
yang tinggi martabatnya.
Begitu
pula seorang penganut prinsip paling buruk sekalipun, bahkan juga pelaku berbagai
kejahatan, dapat memiliki sifat‑sifat semacam itu. Mungkin saja seorang
manusia dalam hal kasih sayang mencapai batas sedemikian rupa, sehingga ia tidak
tega membunuh kuman-kuman yang ada pada lukanya. Ia begitu tolerannya terhadap
makhluk-makhluk hidup, sehingga ia tidak ingin mencelakakan kutu‑kutu
yang ada di kepala atau kuman-kuman yang terdapat dalam perut, dalam usus atau
dalam otak. Bahkan dapat saya akui bahwa ada orang yang demikian jauhnya mempunyai
rasa kasih sayang sehingga ia berpantang minum madu. Sebab untuk memperoleh
madu itu banyak nyawa harus dibinasakan dan lebah-lebah malang itu harus diusir
dari sarang-nya. Saya percaya ada orang yang berpantang menggunakan minyak kesturi,
sebab terbuat dari darah kijang 1) yang diperoleh dengan membunuh
binatang malang itu terlebih dahulu dan memisahkan dari anak-anaknya. Begitu
pula saya tidak menyangkal, ada orang yang tidak mau menggunakan mutiara dan
tidak mau memakai sutera, sebab keduanya diperoleh dengan cara membinasakan
hewan-hewan malang itu. Bahkan saya percaya, ada orang yang ketika sakit berpantang
menggunakan lintah 2) dan membiarkan dirinya sendiri menderita asal
tidak membuat lintah itu mati. Pada akhirnya, ada yang mau mengakui ataupun
tidak, namun saya mengakui bahwa ada orang yang memperlihatkan kasih sayang
demikian besar sehingga untuk menyelamatkan kutu‑kutu air, ia rela membinasakan
dirinya (dengan pantang minum air, Peny.).
__________________________________
1)
Kijang ini dari jenis tertentu, karena tidak semua kijang mengandung
bahan kesturi. Dan dari jenis tertentu ini hanya kijang betina baru
beranak yang mengandung kesturi. (Peny).
2)
Pengobatan tradisional menggunakan lintah untuk mengisap darah
si pasien. (Peny).
|
Saya
akui semua hal itu, akan tetapi saya sekali‑kali tidak dapat menerima
bahwa semua keadaan thabi’i itu dapat disebut akhlak. Atau, bahwa
hanya dengan itu saja dapat dibersihkan kekotoran batin yang merintangi jalan
untuk berjumpa dengan Wujud Allah Ta’ala.
Saya
sekali-kali tidak akan percaya bahwa kerendahan hati dan sikap toleran seperti
itu -- yang mana beberapa hewan berkaki empat dan unggas pun lebih baik dalam
perkara tersebut -- dapat menjadi faktor untuk meraih derajat kemanusiaan yang
tinggi. Bahkan, menurut saya, itu adalah menentang hukum kodrat; berlawanan
dengan akhlak mulia guna mendapatkan keridhaan Allah; dan mengingkari nikmat
yang telah dilimpahkan kodrat kepada kita. Justru tingkat kerohanian itu
sebenarnya diperoleh melalui penggunaan setiap akhlak yang tepat menurut keadaan
serta kesempatan, dan dengan melangkah secara setia pada jalan Allah, serta
menyerahkan diri kepada kehendak‑Nya.
Ada
pun tanda orang yang menjadi milik-Nya, ia tidak dapat hidup tanpa Dia. Seorang
arif adalah seekor ikan yang telah disembelih dengan tangan Tuhan, sedangkan
airnya adalah kecintaan Ilahi.
Tiga
Cara Perbaikan dan Diutusnya Rasulullah saw.
ketika Perbaikan sangat Diperlukan
Sekarang
saya kembali pada pembahasan semula. Saya baru saja menyebutkan bahwa ada tiga
buah sumber keadaan‑keadaan manusia, yaitu: nafs ammarah, nafs
lawwamah, dan nafs muthma’innah. Sedangkan cara perbaikan (ishlah)
pun ada tiga macam.
Cara
pertama ialah, menegakkan orang‑orang biadab yang tidak mengenal sopan-santun,
pada akhlak rendah/dasar. Yaitu, supaya mereka mengikuti tata-cara manusiawi
dalam hal makan‑ minum, kawin, dan lainnya yang berhubungan dengan kehidupan
sosial kemasyarakatan. Tidak telanjang kesana-kemari; tidak memakan bangkai
seperti anjing; dan tidak memperlihatkan sesuatu perbuatan lain yang tidak
sopan. Ini merupakan perbaikan dasar di antara perbaikan keadaan‑keadaan
thabi’i. Ini adalah semacam perbaikan yang umpamanya jika ingin mengajarkan
tata-cara manusiawi kepada salah seorang di antara orang‑orang biadab
di Port Blair, 3) maka pertama‑tama kepada mereka diajarkan
adab sopan-santun dan akhlak-akhlak dasar manusiawi.
Cara
kedua untuk perbaikan ialah, apabila orang itu sudah menguasai adab sopan-santun
manusiawi secara zahir, maka kepadanya hendaklah diajarkan akhlak-akhlak manusiawi
yang tinggi, serta mengajarkannya supaya menggunakan segala potensi insaniah
yang ada, agar diterapkan pada keadaan dan kesempatan yang tepat.
Cara
ketiga untuk perbaikan ialah, orang‑orang yang telah memiliki akhlak
tinggi, kepada orang-orang zahid (saleh) seperti ini dicicipkan kelezatan
serbat kecintaan dan perjumpaan (Ilahi).
Demikianlah
tiga perbaikan yang telah diterangkan oleh Alquran Suci.
Dan
junjungan kita Sayyidina Muhammad Mustafa saw. telah diutus pada zaman ketika
dunia mengalami kerusakan dan kebinasaan dalam segala segi, sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman:
Yakni, daratan telah binasa dan lautan pun binasa (30:42). Ayat ini mengisyaratkan
bahwa orang-orang yang disebut ahlulkitab telah rusak, begitu pula
orang-orang lain yang tidak pernah menerima siraman air wahyu juga telah rusak.
Jadi, tugas yang diemban Alquran Suci pada hakikatnya ialah menghidupkan orang-orang
mati, sebagaimana Dia berfirman:
__________________________________
3)
Port Blair adalah sebuah tempat di kepulauan Andaman yang di masa
penjajahan Inggris dipakai tempat pengasingan orang‑orang jahat
dari India. (Peny.)
|
Yakni,
ketahuilah bahwa Allah Ta’ala sekarang menghidupkan bumi kembali sesudah matinya
(57:18). Pada zaman itu keadaan di Arab telah mencapai puncak kebiadaban, dan
dikalangan mereka sudah tidak tersisa lagi suatu tatanan manusiawi. Dan segala
bentuk kemaksiatan, pada pandangan mereka merupakan suatu kebanggaan. Masing-masing
orang memiliki ratusan perempuan sebagai istri. Makan barang haram merupakan
suatu kecanduan menurut mereka. Menikahi ibu kandung sendiri mereka anggap
halal. Untuk itulah terpaksa Allah Ta’ala berfirman:
Yakni,
semenjak sekarang ibu-ibumu diharamkan bagi kalian (4:24). Begitu
pula mereka biasa makan bangkai, juga makan daging manusia. Tiada perbuatan
dosa di dunia ini yang tidak mereka lakukan. Kebanyakan mereka mengingkari Hari
Kemudian. Banyak di antara mereka yang juga tidak mengakui adanya Wujud Tuhan.
Mereka biasa membunuh anakanak perempuan mereka dengan tangan mereka sendiri.
Mereka membunuh anakanak yatim lalu memakan harta kekayaannya. Secara lahiriah
mereka manusia, akan tetapi akal mereka mati. Tidak punya sifat hayya, malu
dan tidak pula harga diri. Mereka biasa minum minuman keras seperti minum air.
Siapa yang unggul berbuat zina, dialah yang disebut pemimpin kaum. Demikian
kosongnya mereka dari ilmu, sehingga segenap kaum di sekitarnya menjuluki mereka
ummi (buta huruf). Pada zaman demikian serta untuk memperbaiki kaum-kaum
serupa itulah Junjungan kita Nabi Muhammad saw. telah diutus di kota Mekkah.
Demikianlah,
tiga macam perbaikan yang baru saya terangkan. Pada hakikatnya memang itulah
zamannya. Jadi, dibandingkan dengan semua ajaran lain di dunia, Alquran Suci
mendakwakan diri sebagai yang paling sempurna dan paling lengkap. Sebab kitab‑kitab
lain di dunia ini tidak mendapat kesempatan melaksanakan ketiga macam perbaikan
itu, sedangkan Alquran Suci telah memperolehnya. Dan tujuan Alquran Suci ialah
membuat hewan menjadi manusia, dan dari manusia itu membuat manusia-manusia
berakhlak, lalu dari manusia-manusia berakhlak membuat manusia-manusia
yang berTuhan. Untuk itulah Alquran Suci mengandung ketiga masalah tersebut.
Tujuan
Pokok Ajaran Alquran adalah Ketiga Perbaikan & Keadaan Thabi’i dapat menjadi
Akhlak melalui Penyelarasan
Sebelum
saya menerangkan ketiga perbaikan itu secara rinci, kami merasa perlu
menjelaskan bahwa di dalam Alquran Suci tidak ada suatu ajaran yang harus dipercayai
secara paksa. Justru tujuan seluruh Alquran hanyalah ketiga perbaikan itu.
Dan intisari semua ajarannya adalah ketiga perbaikan tersebut. Sedangkan
segenap peraturan lainnya merupakan sarana-sarana untuk perbaikan itu. Seperti
halnya seorang dokter yang dalam usahanya memulihkan kembali kesehatan pasiennya,
sewaktu‑waktu perlu melakukan pembedahan dan kadang‑kadang hanya
mengoleskan salep; demikian pula ajaran Alquran, solidaritasnya terhadap umat
manusia, telah melakukan tindakan-tindakan seperti itu sesuai dengan kondisi
masing-masing. Maksud sebenarnya semua ajaran makrifat —yakni
ilmu-ilmu, nasihat dan sarana-sarana lainnya --ialah mengantarkan umat manusia
dari keadaan‑keadaan thabi’i yang memiliki corak biadab, kepada
keadaan-keadaan akhlaki. Dan kemudian mengantarkannya dari keadaan-keadaan
akhlaki hingga ke samudera kerohanian yang tiada bertepi.
Sebelumnya
telah kami terangkan bahwa keadaan‑keadaan thabi’i bukanlah sesuatu
yang terpisah dari keadaan‑keadaan akhlaki, melainkan keadaan‑keadaan
itu jugalah yang bila diterapkan sesuai pertimbangan akal dan tempat serta kesempatan
yang tepat, dengan cara yang semestinya, akan mengambil corak keadaan‑keadaan
akhlaki. Selama hal itu tidak dilakukan berdasarkan perbaikan dan pertimbangan
akal serta makrifat -- tidak perduli betapa pun hal itu sangat menyerupai akhlak
-- pada hakikatnya itu bukanlah akhlak, melainkan hanya merupakan dorongan
naluri yang mengalir tanpa kendali. Seperti halnya jika seekor anjing atau seekor
kambing yang menampakkan kecintaan atau kepatuhan pada majikannya, maka kita
tidak akan mengatakan anjing itu berakhlak, dan tidak pula akan menyebut kambing
itu beradab. Demikian pula kita tidak akan mengatakan serigala atau singa berakhlak
buruk karena faktor kebuasannya. Melainkan, sebagaimana telah disebutkan, keadaan
akhlaki itu mulai berlaku setelah bertindak sesuai dengan keadaan, pertimbangan
akal dan ketepatan waktu. Dan orang yang tidak menggunakan akal serta pikirannya,
adalah seperti bayi-bayi yang hati serta akalnya belum dinaungi daya pikir,
atau seperti orang gila yang kehilangan akal dan kebijakan. Jelaslah bahwa seorang
bayi atau orang gila, kadang‑kadang memperlihatkan tingkah-laku yang nampaknya
seperti akhlak, akan tetapi tiada orang arif yang dapat menamakan-nya akhlak.
Sebab, tingkah laku tersebut tidak terbit dari sumber penalaran dan pertimbangan
suasana, melainkan timbul secara alami oleh rangsangan-rangsangan. Misalnya
bayi manusia, begitu lahir serta‑merta ia mencari buah dada ibunya. Dan
anak ayam begitu menetas langsung lari untuk mematuk biji‑bijian. Anak
lintah mewarisi kebiasaan lintah, anak ular menampakkan kebiasaan-kebiasaan
ular, dan anak singa memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan singa. Hendaknya diperhatikan,
khususnya keadaan anak manusia, bagaimana dia begitu lahir langsung memperlihatkan
kebiasaan-kebiasaan manusia. Dan tatkala ia telah mencapai usia satu sampai
satu setengah tahun, maka kebiasaan‑kebiasaan thabi’inya nampak
sangat nyata. Misalnya, sebagaimana ia menangis pada masa-masa awal, kini ia
menangis lebih keras dibandingkan dengan sebelumnya. Begitu pula senyumnya berubah
menjadi tertawa terbahak‑bahak. Matanya pun memperlihatkan tanda bahwa
ia mulai melihat dengan sengaja. Pada usia ini timbul pula suatu gejala alami
lainnya, yaitu memperlihatkan suka atau tidak sukanya melalui gerak‑gerik,
dan ia ingin memukul atau ingin memberi sesuatu kepada orang lain. Akan tetapi
semua gerak-gerik ini sesungguhnya hal-hal alami.
Jadi,
seperti halnya bayi tadi, ada juga manusia biadab yang sedikit sekali memiliki
nalar manusiawi. Dia pun hanya sekedar memperlihatkan gerakan-gerakan alami
dalam setiap ucapan, perbuatan, gerak dan diamnya. Dan dia mengikuti gejolak-gejolak
alaminya. Tiada suatu perkara timbul daripadanya yang merupakan hasil pikiran
dan pertimbangan kekuatan batin, melainkan segala sesuatu yang timbul dari
dalam dirinya secara alami terus mengalir berdasarkan rangsangan-rangsangan
dari luar. Mungkin saja gejolak-gejolak alami yang keluar dari dalam dirinya
akibat suatu rangsangan, tidak semuanya buruk. Bahkan di antaranya ada yang
menyerupai akhlak baik. Akan tetapi di dalamnya tidak terdapat campur tangan
pemikiran dan pertimbangan akal. Kalau pun ada campur tangan akal dan pikiran
dalam kadar tertentu, dikarenakan gejolak-gejolak alami lebih dominan, maka
hal itu tidak layak dipercaya. Justru sesuatu yang lebih dominanlah yang dianggap
dapat dipercaya.
Ringkasnya,
kita tidak dapat menyebutkan bahwa orang-orang yang dikuasai unsur-unsur alami
-- seperti hewan, anakanak dan orang-orang gila itu, dan yang cara hidupnya
hampir‑hampir menyerupai orang biadab semacam itu -- memiliki akhlak sejati.
Melainkan pada hakikatnya, berlakunya masa akhlak baik atau akhlak buruk ialah
semenjak akal manusia, yang merupakan anugerah Tuhan, telah matang. Dan dengan
perantaraan akal itu ia dapat membedakan kebaikan dan keburukan, atau membedakan
dua kebaikan dari dua keburukan dalam derajatnya. Kemudian, dengan meninggalkan
jalan kebaikan, timbullah di dalam hatinya suatu penyesalan atas perbuatan buruknya.
Itulah masa kedua dalam kehidupan manusia, yang di dalam Kalam Suci Allah,
Alquran Suci, diungkapkan dengan nama nafs lawwamah. Akan tetapi, hendaknya
diperhatikan bahwa untuk mengantarkan seorang biadab sampai kepada keadaan nafs
lawwamah tidaklah cukup dengan sekedar memberi nasihat saja. Melainkan adalah
mutlak baginya untuk memiliki pengetahuan tentang Tuhan, yang dengan itu ia
tidak akan beranggapan bahwa kelahirannya sia‑sia dan tidak mempunyai
suatu maksud, sehingga dengan makrifat Ilahi itu timbul pada dirinya akhlak
sejati. Oleh karenanya, Allah Ta’ala bersamaan dengan itu menekankan masalah
makrifat Tuhan yang sejati, dan Dia memberi keyakinan bahwa di dalam setiap
amal serta akhlak terkandung suatu konsekuensi yang dapat mengakibatkan kelezatan
rohani atau pun siksaan rohani di dalam hidupnya; dan yang akan menampakkan
dampak-dampaknya secara nyata di dalam kehidupan kedua (akhirat). Pendeknya,
pada derajat nafs lawwamah manusia sudah sedemikian rupa memiliki akal,
makrifat, dan hati nurani yang suci sehingga ia menyesali dirinya sendiri apabila
melakukan perbuatan buruk, lalu mendambakan dan menghasratkan perbuatan yang
baik. Pada derajat itulah manusia memperoleh akhlak fadhilah (budipekerti
luhur).
Khalq
dan Khulq
Pada
tempat ini ada baiknya jika saya juga menjelaskan definisi kata khulq dalam
kadar tertentu. Hendaknya dimaklumi bahwa khalq
( ) dengan tanda fatah di atas
huruf kha ( ) merupakan nama dari penciptaan/kelahiran lahiriah.
Sedangkan khulq ( ) dengan tanda dhammah
( ) di atas huruf kha ( ) merupakan nama
dari penciptaan/kelahiran batiniah. Dikarenakan penciptaan/kelahiran batiniah
baru akan mencapai kesempurnaan hanya melalui akhlak, bukan melalui gejolak-gejolak
alami, oleh sebab itulah kata khulq dipakai untuk akhlak dan tidak digunakan
untuk gejolak-gejolak alami. Lalu, patut diterangkan juga, sudah merupakan anggapan
umum bahwa khulq itu hanya merupakan kelemah-lembutan, kehalusan dan
kerendahan hati saja. Padahal, sebanding dengan anggota tubuh lahiriah, segala
bentuk kelebihan manusiawi yang telah ditanamkan di dalam batin, kesemuanya
itu dinamakan khulq. Misalnya, orang menangis melalui mata, dan
seiring dengan itu di dalam hatinya terdapat rasa haru. Apabila itu digunakan
pada tempatnya, melalui akal anugerah Tuhan, maka ia merupakan suatu khulq
(akhlak). Begitu pula manusia melawan musuh dengan tangan, dan sejalan
dengan gerakan itu di dalam hati timbul suatu kekuatan yang disebut keberanian.
Jadi, apabila manusia menggunakan kekuatan tersebut sesuai dengan tempat dan
keadaan, itu pun dinamakan khulq. Demikian pula kadang-kadang manusia
dengan tangannya ingin menyelamatkan orang‑orang teraniaya dari orang-orang
zalim. Atau, ia ingin memberikan sesuatu kepada orang miskin dan orang‑orang
lapar, atau dengan cara lain ingin mengkhidmati umat manusia. Dan sejalan dengan
gerakan itu di dalam hatinya timbul suatu kekuatan yang disebut kasih sayang.
Dan kadang‑kadang manusia memberi hukuman dengan tangannya kepada orang
zalim, dan bersesuaian dengan itu di dalam hatinya terdapat suatu kekuatan yang
disebut pembalasan. Kadang‑kadang manusia tidak ingin membalas
serangan dengan serangan, dan membiarkan saja perbuatan zalim itu. Seiring
dengan gerakan tersebut di dalam hatinya terdapat suatu kekuataan yang
disebut maaf dan sabar. Dan kadang‑kadang manusia
ingin membantu sesamanya dengan menggunakan tangan atau kakinya, perasaan dan
pikirannya, serta membelanjakan harta bendanya untuk kesejahteraan mereka, maka
sejalan dengan gerakan itu terdapat di dalam hatinya suatu kekuatan yang disebut
kedermawanan. Pendeknya, apabila manusia menggunakan semua kekuatan sesuai
dengan tempat dan keadaan, maka pada waktu itu kekuatan-kekuatan tersebut dinamakan
khulq (akhlak).
Allah swt. berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:
Yakni,
engkau menempati khulq yang agung (68:5). Jadi, sesuai penjelasan itu,
artinya adalah: “Segala macam akhlak --kedermawanan, keberanian, keadilan, kasih-sayang,
baik hati, lurus hati, tabah hati, dan sebagainya -- terhimpun di dalam diri
engkau (Rasulullah saw.).” Ringkasnya, sekian banyak kekuatan yang terdapat
di dalam hati manusia -- seperti sopan, malu, jujur, sayang, harga diri, teguh,
pembatasan diri/suci, bersih hati, keseimbangan, setia kawan, demikian pula
keberanian, kedermawanan, maaf, sabar, baik hati, lurus hati, setia, dan sebagainya
-- apabila semua keadaan thabi’i ini ditampilkan sesuai dengan tempat
dan kesempatan, serta mengikutkan pertimbangan akal dan pikiran, maka semuanya
akan dinamakan akhlak. Semua akhlak ini pada hakikatnya merupakan keadaan‑keadaan
thabi’i serta gejolak-gejolak alami manusia, dan mereka baru dapat disebut akhlak
apabila digunakan dengan sengaja, sesuai tempat dan keadaan. Dikarenakan pada
potensi-potensi alami manusia terdapat suatu potensi sebagai makhluk hidup yang
maju, maka dengan menganut agama yang benar; dengan berkumpul bersama orang-orang
baik; dan dengan ajaran yang suci, maka gejolak-gejolak alami semacam itu dapat
diubahnya menjadi akhlak. Dan hal ini tidak dimiliki oleh makhluk bernyawa lainnya.
Perbaikan
Pertama:
Keadaan-keadaan
Thabi’i Manusia
Sekarang
kami akan membahas perbaikan pertama, berkaitan dengan keadaan-keadaan thabi’i
(alami) yang paling rendah, salah satu di antara tiga perbaikan dari
Alquran Suci. Perbaikan ini merupakan salah satu bagian dari akhlak yang disebut
adab (sopan santun). Yakni, adab yang dengan menerapkannya, orang‑orang
biadab dapat menjadi seimbang/normal dalam perkara-perkara alami: makan, minum,
kawin dan tata cara peradaban lainnya serta melepaskannya dari kehidupan liar
bagaikan hewan berkaki empat atau binatang buas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam Alquran Suci berkenaan dengan seluruh adab itu:
Terjemah: yakni,
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu‑ ibumu, demikian
pula anakanak perempuanmu, saudara‑saudara perempuanmu, saudara‑saudara
perempuan bapakmu, saudara‑ saudara perempuan ibumu, anak anak perempuan
saudara laki‑ lakimu dan anakanak perempuan saudara perempuanmu dan ibu‑
ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan sepesusuanmu, ibu‑ibu istri-istrimu,
dan anakanak tiri perempuan dari istri‑istrimu yang telah kamu gauli,
dan apabila kamu belum menggauli mereka, maka tidak ada dosa bagimu. Dan istri‑istri
anakanak lelaki dari sulbimu dan begitu pula dua saudara perempuan pada satu
waktu. Semua hal yang sudah biasa kamu lakukan di masa lampau itu sekarang diharamkan
atasmu (4:24). Ini pun tidak dibenarkan
bagimu mengambil warisan perempuan-perempuan dengan jalan paksa (4:20). Dan
ini pun tidak dibenarkan bagimu mengawini perempuan‑perempuan yang pernah
menjadi istri‑istri bapakmu kecuali yang telah terjadi pada masa lampau
(4:23). Perempuan‑perempuan yang memelihara kehormatan mereka dari antara
kamu atau dari antara Ahli Kitab yang terdahulu, dihalalkan bagimu untuk mengawini
mereka sesudah mas kawin mereka ditetapkan. Berbuat zina dan mempunyai perempuan‑perempuan
piaraan tidak dibenarkan (5:6).
Di
kalangan orang jahil Arab, jika seseorang tidak mempunyai anak, terdapat adat
kebiasaan di antara mereka menyuruh istri‑istri mereka digauli orang lain
untuk memperoleh anak. Alquran Suci mengharamkan perbuatan itu. Kebiasaan buruk
itu disebut musafahat.
Lebih lanjut
Dia berfirman: Janganlah kamu bunuh diri (4:30). Janganlah membunuh anakanakmu
(6:152). Janganlah kamu memasuki rumah orang lain tanpa izin seperti orang biadab;
meminta izin adalah syarat. Pada saat kamu memasuki rumah orang lain ucapkanlah,
“Assalamu’alaikum”.... Dan apabila
tidak ada siapa‑siapa di dalam rumah itu, sebelum kamu diizinkan oleh
penghuni rumah, kamu jangan memasuki rumah itu. Dan apabila penghuni rumah berkata
kepadamu, “Pulang sajalah,” maka pulanglah kamu (24:28,29). Dan janganlah kamu
memasuki rumah dengan melompati pagarnya, melainkan hendaknya kamu memasukinya
dari pintu-pintunya (2:190). Dan kalau ada seseorang memberi salam kepadamu,
hendaknya kamu membalas salam kepadanya dengan cara yang lebih baik (4:87).
Dan minuman keras, berjudi, menyembah berhala, dan panah undian, semua itu adalah
pekerjaan kotor dan pekerjaan syaitan. Maka jauhilah pekerjaan‑pekerjaan
itu (5:91). Janganlah kamu makan bangkai; jangan makan daging babi, jangan makan
sesajen‑sesajen yang dipersembahkan bagi berhala‑berhala, jangan
makan binatang yang dibunuh dengan tongkat; jangan makan binatang yang mati
karena terjatuh, jangan makan binatang yang mati karena ditanduk; jangan makan
binatang yang mati diterkam binatang buas; jangan makan binatang yang disembelih
untuk berhala. Sebab, semuanya itu termasuk bangkai (5:4). Dan jika orang-orang
ini bertanya, “Lalu, apa yang harus kami makan?” Maka jawablah, “Makan segala
barang yang bersih di dunia ini, hanya janganlah kamu memakan bangkai dan yang
sebangsa bangkai, dan benda-benda yang kotor” (5:5).
Apabila di dalam
acara-acara pertemuan dikatakan kepadamu, “Geserlah dudukmu,” yakni berilah
orang lain tempat, maka segeralah lapangkan tempat agar orang lain dapat duduk.
Dan kalau dikatakan, “Berdirilah,” maka berdirilah tanpa bersungut‑ sungut
(58:12). Boleh saja kamu makan daging, kacang‑kacangan dan segala makanan
lainnya yang bersih, akan tetapi janganlah kamu berlebihan terhadap satu jenis
makanan saja, dan hindarilah diri dari hal-hal yang berlebih‑lebihan (7:32).
Janganlah berbicara yang sia‑sia, tetapi berbicaralah tepat sesuai dengan
keadaan dan tempat (33:71). Peliharalah pakaianmu agar tetap bersih. Singkirkanlah
kotoran dan najis dari badan, rumah, jalan dan dari setiap tempat kediamanmu;
yakni dengan jalan membiasakan mandi dan membersihkan rumah‑rumahmu (74:5,6).
Janganlah berjalan terlampau cepat dan jangan pula terlampau lambat. Hendaknya
sedang‑sedang sajalah. Dan jangan terlampau keras suaramu, jangan pula
terlalu lemah (31:20). Apabila kamu hendak mengatakan perjalanan, maka persiapkanlah
perjalananmu dari segala segi dan bawalah bekal dengan cukup, agar kamu terhindar
dari meminta‑minta (2:198). Dalam keadaan junub hendaknya
kamu mandi (5:7). Ketika kamu sedang makan, berikan jugalah kepada peminta‑minta,
begitu juga kepada anjing, burung dan lain‑lain (51:20). Jika ada kelapangan,
tiada salahnya kamu mengawini anakanak perempuan yatim yang ada di bawah asuhanmu.
Akan tetapi jika kamu menimbang bahwa disebabkan mereka tidak berahli-waris
mungkin kamu akan berlaku aniaya terhadap mereka, maka kawinilah perempuan‑perempuan
yang masih mempunyai ibu-bapak serta kerabat yang menghormati kamu dan kamu
menyegani mereka. Kamu dapat mengawini satu, dua, tiga sampai empat dengan syarat
kamu harus berlaku adil. Dan apabila kamu tidak dapat berlaku adil, maka seorang
pun memadailah, walau sangat diperlukan. Penetapan batas bilangan empat ialah
untuk menjaga agar kamu jangan berlebih-lebihan mengikuti kebiasaan lama, yaitu
mengawini perempuan sampai beratus‑ratus jumlahnya. Atau supaya kamu jangan
cenderung berbuat zina (4:4). Dan berikanlah kepada istri‑istrimu maskawin
(4:5).
Ringkasnya,
inilah perbaikan pertama dari Alquran Suci. Di dalamnya keadaan-keadaan
alami manusia ditarik ke luar dari cara-cara yang biadab, lalu mengarahkannya
kepada unsur-unsur manusiawi yang lazim dan kepada peradaban. Di dalam ajaran
ini belum lagi disinggung tentang akhlak luhur, hanya mengenai adab manusiawi
saja. Dan telah kami tuliskan bahwa ajaran ini diperlukan adalah karena bangsa
yang untuk memperbaikinya Rasulullah saw. telah diutus, merupakan bangsa yang
paling biadab dari segenap bangsa lainya. Dari segala segi, mereka tidak memiliki
tata-cara manusiawi. Jadi, kepada mereka perlu diajarkan lebih dahulu adab manusiawi
yang nyata.
Haramnya
Babi
Satu
hal yang patut diingat disini ialah babi yang telah diharamkan. Tuhan semenjak
awal telah mengisyaratkan keharaman itu di dalam namanya sendiri. Sebab, kata
khinzir (babi) adalah paduan dari kata‑kata khinz dan ar,
yang berarti, “Saya lihat dia sangat rusak dan buruk.” Kata khinz berarti
“sangat rusak” dan ar berarti “saya lihat.” Pendeknya, nama binatang
ini, yang diperolehnya dari Tuhan semenjak awal, itu pun menunjukkan keburukannya.
Suatu kebetulan yang menakjubkan bahwa dalam bahasa Hindi binatang ini dinamakan
suar. Kata itu paduan dari kata su’ dan ar, yang artinya
“Saya lihat dia sangat buruk.” Jangan heran mengapa kata su’ itu berasal
dari bahasa Arab, sebab di dalam kitab kami Minan‑ur‑Rahman
kami telah membuktikan bahwa ibu segala bahasa adalah bahasa Arab, dan perkataan
bahasa Arab tidak hanya satu-dua buah terdapat dalam tiap‑tiap bahasa,
melainkan ribuan. Jadi, suar adalah kata bahasa Arab. Oleh karena itu,
terjemahan kata suar dalam bahasa Hindi adalah buruk.
Ringkasnya, binatang itu disebut buruk. Dalam hal ini tidak ada suatu
keraguan pun bahwa pada zaman ketika bahasa seluruh dunia adalah bahasa Arab,
di negeri ini (Hindustan) binatang itu dikenal dengan nama yang searti dengan
kata khinzir dalam bahasa Arab, dan kemudian masih berlaku sampai sekarang
sebagai peninggalan. Ya, mungkin saja dalam bahasa Sansekerta terdapat kata
yang mirip dengan itu telah mengalami perubahan, kemudian bentuknya menjadi
lain. Akan tetapi, inilah kata yang benar, sebab dia mengandung makna demikian,
dan kata khinzir merupakan saksi yang berbicara sendiri atas hal itu.
Adapun arti kata tersebut -- yakni sangat rusak -- tidak memerlukan
penjelasan lebih dalam. Siapa yang tidak tahu bahwa binatang ini paling hebat
dalam hal makan kotoran dan juga tidak punya malu serta dayyus 4).
Sekarang nyatalah penyebab mengapa ia diharamkan, yaitu menurut hukum alam,
daging binatang yang kotor dan buruk, juga berpengaruh buruk pada badan dan
ruh. Sebab telah kami buktikan bahwa makanan juga pasti berpengaruh pada ruh
manusia. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa yang buruk itu juga memberikan pengaruh
buruk. Tabib‑tabib Yunani di masa sebelum Islam berpendapat bahwa daging
binatang ini mengurangi khususnya rasa malu dan memperbesar sifat dayyus.
Itulah sebabnya di dalam syariat Islam memakan bangkai juga dilarang, karena
bangkai pun menarik
pemakannya ke dalam sifat bangkai, dan menimbulkan mudarat pula pada kesehatan
jasmani. Binatang‑binatang yang mati dengan darah masih tetap di dalam
badannya -- misalnya dicekik atau dipukul mati dengan tongkat -- sebenarnya
semua binatang ini termasuk kategori bangkai. Apakah darah bangkai, dengan tetap
berada dalam badannya, masih tetap dalam keadaan semula? Tidak! Justru,
karena kelembaban, darah akan segera busuk dan kebusukannya akan merusak seluruh
daging. Dan bakteri-bakteri di dalam darah yang juga telah terbukti melalui
penelitian-penelitian mutakhir, akan mati, lalu menyebarkan suatu kebusukan
yang beracun di dalam tubuh.
__________________________________
4).
Dayyus adalah ungkapan bagi suami yang isterinya tidak setia dan
dia tidak peduli serta tidak punya rasa malu.
|
Perbaikan
Kedua:
Keadaan-keadaan
Akhlaki Manusia
Bagian
kedua dari perbaikan menurut Alquran Suci ialah, meningkatkan keadaan‑keadaan
thabi’i menjadi akhlak fadhilah dengan memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan. Hendaknya jelas, bahwa ini merupakan bagian yang sangat luas. Seandainya
bagian ini kami uraikan secara rinci -- yakni menuliskan disini semua akhlak
yang dijelaskan oleh Alquran Suci -- maka karangan ini akan demikian rupa panjangnya
sehingga waktu tidak memadai untuk mengetengahkan bagian sepersepuluhnya pun.
Oleh karena itu beberapa akhlak fadhilah saja yang dipaparkan sebagai
contoh. Ketahuilah, akhlak terdiri dari dua macam:
1. Akhlak-akhlak yang dengan perantaraannya
manusia mampu meninggalkan kejahatan.
2. Akhlak-akhlak yang dengan perantaraannya
manusia mampu berbuat kebaikan.
Di
dalam makna “meninggalkan kejahatan” terkandung akhlak-akhlak yang dengan
perantaraannya manusia berusaha agar lidah, tangan, mata atau salah satu anggota
badan lainnya tidak mendatangkan kerugian pada harta, kehormatan, dan jiwa orang
lain; atau berniat menimbulkan kerugian serta kerusakan pada nama baik seseorang.
Sedangkan
di dalam makna “berbuat kebaikan” terkandung semua akhlak yang dengan
perantaraannya manusia berusaha agar lidah, tangan, harta, dan ilmunya, atau
dengan perantaraan sarana lain, memberikan manfaat pada harta atau kehormatan
orang lain; atau bermaksud menzahirkan kemegahan maupun kehormatannya. Atau,
bila seseorang telah berbuat suatu aniaya terhadapnya, ia mampu memberi maaf
atas hukuman yang patut ditimpakan kepada si penganiaya, dan melalui cara itu
dapat memberi faedah kepada orang tersebut dengan menghindarkannya dari kesusahan,
dan hukuman badan serta denda. Atau, memberi orang itu hukuman sedemikian rupa
yang pada hakikatnya bagi dia merupakan suatu rahmat.
(i).
Akhlak-akhlak yang Berkaitan denganMeninggalkan
Kejahatan
Sekarang,
baiklah dimaklumi bahwa akhlak-akhlak yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta
untuk meninggalkan kejahatan disebut dengan empat nama dalam bahasa Arab yang
masing-masing mengandung kata mufrad (tunggal), untuk men-zahirkan seluruh
pemikiran, tingkah laku, dan budipekerti manusia.
1.
Kesucian Farji
Akhlak
pertama dinamakan ihshon ( ). Yang
dimaksud dengan kata ini khususnya adalah kesucian diri yang ada kaitannya dengan
kemampuan kembang biak laki-laki dan perempuan.
Adapun
sebutan muhshin ( ) dan muhshinah
( ) ditujukan pada laki‑laki dan perempuan
yang mencegah dirinya dari ketidak sucian dengan cara menghindari perbuatan
zina mau-pun perbuatan yang mendekati itu, yang dapat mengakibatkan kehinaan
dan laknat di dunia ini serta azab akhirat di alam nanti bagi mereka berdua.
Dan bagi kaum kerabat, selain pencemaran nama baik, juga mendatangkan kerugian
yang sangat besar. Misalnya, seseorang telah melakukan perbuatan tidak senonoh
terhadap isteri orang lain, atau mungkin bukan berupa zina, akan tetapi laki‑laki
dan perempuan melakukan hal-hal yang mendekati itu, maka tidak diragukan lagi
kepada istri dari suami yang teraniaya dan punya harga diri itu -- yakni isteri
yang membiarkan dirinya memancing perzinahan, atau benar-benar telah terjadi
perzinahan -- terpaksa dijatuhkan talak. Dan jika dari kandungan perempuan
itu lahir anak keturunan, maka mereka pun akan mengalami kekacauan. Dan sang
kepala keluarga akan memikul segala kerugian yang disebabkan oleh orang yang
buruk itu.
Disini
hendaknya diingat, bahwa akhlak yang dinamakan ihshon atau ‘iffat
( ) -- yakni menjaga kesucian diri -- itu
baru akan disebut akhlak apabila di dalam diri seseorang terdapat kemampuan
untuk memandang dengan pandangan berahi atau untuk berbuat tidak senonoh. Yakni,
kodrat telah memberinya kemampuan yang dengan perantaraan itu dia memperoleh
peluang untuk melakukan pelanggaran, namun dia menyelamatkan dirinya dari perbuatan
tercela itu. Dan apabila kemampuan serupa itu tidak terdapat dalam dirinya --
karena masih kanak-kanak, atau lemah syahwat, atau kasim (yang dikebiri),
atau tua-renta -- maka dalam keadaan demikian kita tidak dapat menamakannya
akhlak ihshon atau ‘iffat.
Ya,
memang di dalam dirinya pasti terdapat ihshon atau ‘iffat yang
tampil dalam keadaan alami. Akan tetapi, berkali‑kali telah kami
tuliskan bahwa keadaan-keadaan alami itu tidak dapat disebut akhlak.
Justru keadaan-kadaan itu baru dapat dimasukkan dalam kategori akhlak
apabila berlangsung sesuai pertimbangan akal, tepat pada tempat dan kondisinya;
atau keadaan-keadaan itu menimbulkan kemampuan untuk terjadi. Oleh karenanya
seperti telah kami tuliskan, kanak-kanak atau laki‑laki lemah syahwat
dan orang‑orang yang melalui suatu upaya telah memadamkan kejantanannya
sendiri, tidak dapat dikatakan memiliki akhlak ter-sebut; walaupun secara zahir
mereka menjalani hidup dengan warna ‘iffat dan ihshon. Justru
‘iffat dan ihshon mereka dalam segala bentuk berlangsung dalam
keadaan alami -- tidak lebih dari itu.
Dan dikarenakan
perbuatan tidak senonoh serta pendahuluan-pendahuluannya dapat berlangsung dari
laki-laki maupun perempuan, maka di dalam Kitab Suci Tuhan terdapat ajaran berikut
yang ditujukan kepada laki‑laki dan perempuan keduanya.
Yakni, katakanlah
kepada orang‑orang mukmin laki‑laki agar menahan mata mereka dari
memandang wanita‑wanita yang bukan muhrim dan janganlah mereka memandang
dengan cara menyolok kepada wanita‑wanita yang dapat membangkitkan syahwat,
dan pada keadaan serupa itu hendaklah membiasakan memandang mereka dengan pandangan
redup. Dan menjaga kemaluan mereka dengan segala cara yang mungkin. Begitu pula
hendaknya memelihara telinga mereka dari wanita‑wanita yang bukan muhrim,
yaitu janganlah mereka mendengarkan nyanyian dan suara merdu wanita‑wanita
lain. Janganlah mendengarkan ceritera‑ceritera tentang keelokan paras
wanita‑wanita. Cara demikian merupakan yang terbaik untuk memelihara kesucian
mata dan kalbu. Begitu juga katakanlah kepada wanita‑wanita mukmin supaya
mereka menahan pandangan mereka dari laki‑laki yang bukan muhrim. Dan
begitu pula hendaknya memelihara telinga mereka dari yang bukan muhrim, yaitu
janganlah mereka mendengar suara yang dapat membangkitkan syahwat dan tutuplah
aurat dan jangan menampakkan bagian keindahan mereka kepada yang bukan muhrim.
Dan kenakanlah kain kudungan demikian rupa sehingga menutup kepala sampai ke
dadanya, yakni kedua daun telinga, kepala dan kedua belah pelipis tertutup kudungan
semuanya. Dan janganlah menghentak-hentakkan kedua kaki seperti para penari.
Inilah upaya yang dengan mengikutinya akan dapat menyelamatkan dari ketergelinciran.
Dan cara kedua untuk menyelamatkan
diri ialah dengan kembali kepada Allah Ta’ala dan memanjatkan do’a kepada-Nya
supaya Dia menyelamatkan dari ketergelinciran dan keterpelesetan (24:31,32).
Janganlah mendekati zina, yaitu hindarilah pertemuan yang karenanya di dalam
hati dapat timbul pikiran ke arah itu. Dan janganlah menempuh jalan-jalan yang
dengan melaluinya dikhawatirkan timbul dosa tersebut. Orang yang berzina sungguh
melakukan suatu perbuatan buruk bertaraf puncak. Jalan zina adalah sangat buruk
karena menghalangi sasaran yang dicita-citakan, dan sangat berbahaya bagi tujuan
akhir kalian (17:33). Orang‑orang yang belum mampu kawin hendaknya menjaga
‘iffat-nya (kesucian farji) dengan
cara-cara lain, misalnya, berpuasa atau mengurangi makan, atau mengerjakan
pekerjaan yang melelahkan tubuh (24:34). Dan orang‑orang ada juga yang
memilih cara dengan sengaja untuk selamanya tidak kawin atau menjadi
kasim 5) dan dengan cara tertentu
menempuh jalan hidup rahbaniyyat 6).
Akan tetapi, Kami tidak mewajibkan
perintah-perintah ini atas manusia. Oleh karenanya, mereka tidak dapat melaksanakan
bid’ah‑bid’ah itu dengan sepenuhnya (57:28).
__________________________________
5).
Kasim adalah orang yang dikebiri.
6).
Rahbaniyyat artinya tidak beristeri atau bersuami seperti biarawati
dan biarawan, atau para rahib.
|
Firman
Tuhan yang menyatakan bahwa Dia tidak memerintahkan orang agar menjadi kasim,
mengisyaratkan bahwa sekiranya itu merupakan perintah Tuhan, maka semua orang
akan berkewajiban mengamalkan perintah itu. Sehingga dalam keadaan demikian
anak keturunan manusia akan terputus, lalu dunia akan punah sejak lama. Kemudian,
jika untuk memperoleh kesucian, perlu memotong alat kelamin laki-laki, maka
hal itu seolah‑olah celaan terhadap Sang Pencipta yang telah membuat bagian
tubuh tersebut. Dan demikian pula, bahwa tumpuan sentral dari pahala terletak
pada adanya suatu potensi, kemudian manusia karena takut kepada Allah terus
melawan dorongan-dorongan buruk dari potensi tersebut, dan dengan mengambil
manfaat-manfaat dari potensi itu maka manusia meraih pahala dari dua sisi. Jadi,
nyata-lah bahwa dengan menghilangkan bagian tubuh itu, manusia luput dari kedua
pahala tersebut. Pahala justru diperoleh karena adanya dorongan negatif, kemudian
manusia melawannya. Namun seseorang yang seperti anak kecil tidak memiliki potensi
tersebut, pahala apa yang akan ia peroleh? Apakah anak kecil dapat menerima
pahala karena ‘iffat-nya?
Lima
Resep untuk Memelihara Kesucian Farji
Di dalam ayat‑ayat tersebut, untuk meraih
akhlak ihshon yakni ‘iffat, Allah Ta’ala tidak hanya mengemukakan
ajaran mulia saja, melainkan Dia juga memberitahukan lima resep untuk tetap
memelihara kesucian diri. Yakni: 1. mencegah mata memandang yang bukan muhrim;
2. mencegah telinga mendengar suara orang-orang yang bukan muhrim; 3. tidak
mendengarkan ceritera‑ceritera tentang orang-orang yang bukan muhrim;
4. mencegah diri dari segala acara yang dikhawatirkan dapat menimbulkan perbuatan
buruk tersebut; 5. jika tidak kawin hendaknya berpuasa, dan sebagainya.
Pada
tempat ini kami menyatakan sepenuhnya bahwa ajaran mulia yang diterangkan oleh
Alquran Suci dengan segala tata cara itu hanya khusus terdapat dalam Islam.
Dan disini ada satu hal yang patut diingat, yaitu dikarenakan keadaan thabi’i
manusia --yang merupakan sumber nafsu syahwat; yang tanpa suatu perubahan sempurna,
manusia tidak dapat menghindarkan diri daripadanya -- dengan menemukan suasana
dan kesempatan maka dorongan-dorongan syahwatnya tidak akan tinggal diam. Atau
katakanlah akan terjerumus ke dalam bahaya yang besar. untuk itulah Allah Ta’ala
tidak mengajarkan kepada kita agar memandangi wanita-wanita bukan muhrim walau
tanpa sengaja, dan memperhatikan segala keindahan mereka serta menyaksikan liuk‑lenggang
mereka menari dan sebagainya asal kita memandang dengan pandangan yang suci.
Dan Dia tidak pula mengajarkan kepada kita agar kita mendengarkan nyanyian
gadis‑gadis bukan muhrim, dan agar kita mendengarkan ceritera‑ceritera
tentang kecantikan mereka, asal kita mendengarkannya dengan pikiran yang bersih.
Justru
kepada kita ditekankan supaya sekali‑kali jangan memandang wanita‑wanita
bukan muhrim dan keindahan-keindahan mereka, baik dengan pandangan suci maupun
dengan pandangan berahi. Jangan mendengarkan suara-suara merdu mereka serta
kisah‑kisah kecantikan mereka, baik dengan pikiran bersih maupun dengan
pikiran kotor. Bahkan hendaknya kita merasa jijik mendengarkan serta memandang
mereka seperti melihat bangkai, agar kita tidak jatuh tergelincir. Sebab, pasti
pada suatu waktu pandangan yang tanpa kendali akan menggelincirkan. Oleh sebab
itu, dikarenakan Allah Ta’ala menghendaki supaya mata, hati dan resiko-resiko
kita semuanya tetap terpelihara suci, untuk itulah Dia telah memberikan ajaran
yang mulia ini. Memang tidak diragukan lagi bahwa tidak adanya ikatan dapat
menimbulkan ketergelinciran. Apabila kita letakkan roti-roti lembut di depan
seekor anjing lapar dan kita berharap anjing itu tidak akan menghiraukan roti
tersebut, maka dengan mempunyai pikiran itu sesungguhnya kita melakukan suatu
kekeliruan. Jadi, Allah Ta’ala telah menghendaki agar kekuatan nafsu itu tidak
memperoleh kesempatan melakukan gerakan-gerakan tersembunyi, begitu pula tidak
dihadapkan kepada kesempatan apa pun yang dapat menimbulkan bahaya-bahaya buruk.
__________________________________
7).
Pardah ialah cara pembatasan pergaulan antara kaum pria dan wanita.
|
Ini
jugalah yang merupakan falsafah pardah 7) menurut Islam dan
inilah petunjuk syariat. Di dalam Kitab Allah, yang dimaksudkan dengan
pardah bukanlah sekedar mengurung wanita‑ wanita seperti para tahanan
dalam penjara. Itu adalah tanggapan orang‑orang yang tidak mengetahui
tata-cara Islami. Justru yang dimaksudkan adalah, wanita dan laki-laki keduanya
dicegah memandang secara bebas dan memamerkan keindahan masing-masing. Sebab
di situ terdapat suatu kebaikan bagi kaum pria dan wanita keduanya. Akhirnya,
hendaklah diingat juga bahwa sikap menghindarkan diri dengan memandang secara
redup dan melihat benda-benda yang dibenarkan untuk dipandang, dalam bahasa
Arab sikap demikian disebut ghadhu bashar (
). Dan setiap orang mutaki yang ingin tetap memelihara hatinya dengan suci,
hendaknya ia jangan melayangkan pandangannya dengan liar kesana-kemari, seperti
binatang-binatang, melainkan wajib baginya menerapkan kebiasaan ghadhu bashar
dalam pergaulan hidupnya. Dan ini adalah suatu kebiasaan beberkat yang mengakibatkan
keadaan thabi’i tersebut berubah masuk ke
dalam
warna suatu akhlak yang kokoh, dan tidak akan menimbulkan perbedaan di dalam
keperluan-keperluan pergaulan hidupnya. Inilah akhlak yang disebut ihshon
dan ‘iffat.
2.
Kejujuran
Corak
kedua dalam meningggalkan kejahatan adalah akhlak yang disebut amanah
( ) atau diyanah (
). Yakni, tidak suka merugikan orang lain dengan jalan merampas hartanya secara
licik dan dengan niat jahat. Hendaknya jelas bahwa diyanah dan amanah
merupakan salah satu keadaan thabi’i. Untuk itulah bayi yang
masih menyusu pun, disebabkan oleh umurnya yang masih dini, memiliki kepolosan
alami. Dan kemudian, dikarenakan usia yang masih dini, ia belum biasa terhadap
kebiasaan‑kebiasaan buruk. Ia demikian rupa tidak menyukai barang milik
orang lain sehingga ia sulit sekali menetek dari wanita lain. Jika di waktu
masih belum punya kesadaran tidak ditetapkan seorang ibu-inang, maka ketika
sudah memiliki kesadaran sangatlah sukar memberikan susu kepadanya dari wanita
lain, dan jiwanya sangat menderita. Dan mungkin sekali, akibat penderitaan itu
ia bisa mati. Sebab secara alami ia tidak suka menetek dari wanita lain. Apa
rahasia yang terkandung di dalam ketidak-sukaan semacam itu? Tidak lain adalah
karena ia secara alami tidak suka meninggalkan ibunya lalu beralih kepada barang
milik orang lain. Sekarang, jika kita perhatikan, renungkan, dan selami hakikat
kebiasaan bayi tersebut, maka akan nampak dengan jelas kepada kita bahwa kebiasaan
tidak menyukai milik orang lain -- sampai-sampai ia rela menyusahkan diri sendiri
-- itu adalah akar dari kejujuran dan amanah. Dan dalam hal akhlak
diyanah, seseorang tidak dapat dikatakan jujur selama ia -- seperti bayi
tersebut -- belum menimbulkan di dalam hatinya rasa benci dan jijik yang se-sungguhnya
terhadap harta benda orang lain. Akan tetapi, bayi tidak menerapkan kebiasaan
itu tepat pada tempatnya, dan karena belum berakal maka ia memikul cukup banyak
penderitaan. Oleh karenanya, kebiasaan serupa itu hanyalah gejala keadaan
alami belaka, yang secara spontan diperlihatkannya; sehingga tingkah‑lakunya
itu tidak dapat digolongkan sebagai akhlaknya, walaupun itu merupakan akar akhlak
jujur dan amanah yang sesungguhnya sebagai pembawaan fitrat manusia.
Seperti halnya bayi tidak dapat dikatakan bersifat amiin (terpercaya)
dan jujur karena tingkah lakunya yang belum berdasarkan pada pertimbangan akal.
Begitu pula seseorang tidak dapat dikatakan memiliki akhlak tersebut karena
tidak mempergunakan keadaan alami itu tepat pada tempatnya. Untuk menjadi seorang
amiin dan jujur bukanlah suatu hal yang mudah. Selama manusia belum memperhatikan
segala segi, maka ia tidak dapat disebut amiin dan jujur. Berkenaan dengan
itu Allah Ta’ala dalam ayat‑ayat berikut ini mengemukakan cara‑cara
amanah sebagai contoh.
Dan cara-cara amanah itu adalah:
Dan cara-cara amanah itu adalah:
Terjemah: yakni,
andaikata di antara kamu ada orang berharta yang belum sempurna akalnya -- misalnya
anak yatim atau yang belum baligh -- dan kamu khawatir bahwa dia akan menyia-nyiakan
hartanya karena kebodohannya, maka janganlah kamu (sebagai wali) menyerahkan
seluruh harta yang merupakan modal perniagaan dan penghidupan kepada mereka
yang belum sempurna akalnya itu. Dan dari harta itu berikanlah seperlunya untuk
makan dan pakaian mereka. Dan hendaklah kamu ucapkan kepada mereka perkataan-perkataan
yang baik, yakni perkataan-perkataan yang dapat meningkatkan akal dan pemahaman
mereka. Dan dengan demikian mereka akan memperoleh didikan yang layak, dan mereka
tidak selalu menjadi terkebelakang serta tidak berpengalaman. Seandainya mereka
anakanak saudagar, ajarilah mereka cara-cara berniaga. Jika berasal dari suatu
bidang usaha lainnya, maka kokohkanlah mereka dalam bidang itu sebaik-baik-nya.
Pendeknya, berilah secara bersamaan pelajaran kepada mereka dan secara berkala
ujilah pengetahuan mereka, apakah mereka sudah memahami segala sesuatu yang
kamu ajarkan atau belum. Kemudian, kalau mereka sudah layak menikah, yakni sudah
mencapai usia kurang lebih delapan belas tahun, dan kamu lihat bahwa akal mereka
telah mampu mengelola harta mereka sendiri, maka serahkanlah kepada mereka harta
mereka itu. Dan janganlah belanjakan harta mereka dengan tujuan yang sia-sia,
serta janganlah kamu tergesa-gesa merugikan harta mereka dengan mengkhawatirkan
bahwa mereka akan dewasa sehingga mereka akan mengambil alih harta mereka. Barangsiapa
yang kaya, hendaknya jangan mengambil sebagian dari harta itu sebagai imbalan
jasa. Akan tetapi yang kurang mampu dapat mengambil sepantasnya (4:6,7).
Di kalangan
bangsa Arab terdapat cara yang lazim bagi para pengurus harta (anak yatim),
yaitu jika pengurus anakanak yatim ingin mengambil dari harta anakanak itu,
maka sedapat mungkin hendaknya mereka menaati kaedah ini. Yakni mereka mengambil
dari laba hasil usaha perputaran harta anakanak yatim itu dan jangan menghancurkan
modal pokoknya. Jadi, ke arah tradisi inilah diisyaratkan supaya kalian pun
menerapkan demikian. Kemudian Dia berfirman, apabila kamu hendak mengembalikan
harta kepada anakanak yatim, maka serahkanlah harta mereka itu dihadapan saksi‑saksi.
Dan barangsiapa hampir meninggal dunia sedangkan anakanaknya masih lemah serta
di bawah umur, maka hendaknya mereka jangan membuat wasiat yang akan mengabaikan
hak anakanaknya. Barangsiapa memakan harta anakanak yatim hingga mengakibatkan
aniaya terhadap anakanak yatim itu, maka mereka bukannya memakan harta, melainkan
api. Dan pada akhirnya mereka akan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala
(4:10,11).
Kini
perhatikanlah, betapa hebatnya Allah Ta’ala menjelaskan aspek-aspek mengenai
kejujuran dan amanah. Jadi, kejujuran dan amanah yang
hakiki ialah yang merangkum seluruh aspek itu. Dan jika dalam amanah
itu semua aspek tidak diperhatikan tanpa disertai bimbingan akal sepenuhnya,
maka kejujuran dan amanah seperti itu akan diiringi oleh beraneka
ragam unsur khianat yang terselubung, melalui berbagai cara. Kemudian pada
tempat lain Allah Ta’ala berfirman,
Yakni, janganlah
kamu makan harta sesamamu dengan jalan tidak sah. Dan janganlah kamu memberikan
hartamu kepada petugas pemerintah sebagai suapan sehingga dengan bantuan si
petugas itu kamu menguasai harta orang lain (2:189).
Serahkanlah amanat‑amanat itu kepada orang‑orang yang berhak memilikinya
(4:59). Allah tidak bersahabat dengan orang‑orang yang berkhianat (8:59).
Apabila kamu mengukur maka ukurlah dengan sempurna. Dan apabila kamu menimbang,
maka timbanglah dengan sempurna dan dengan timbangan yang benar (17:36). Dan
janganlah kamu merugikan harta orang lain dengan cara apa pun (7:86). Dan janganlah
kamu berkeliaran di muka bumi dengan niat mengadakan kekacauan, yakni dengan
niat mencuri atau merampok atau mencopet atau menguasai harta orang lain dengan
cara‑cara yang tidak sah (2:61). Kemudian Dia berfirman: Janganlah kamu
pertukarkan barang-barang yang buruk dan jelek sebagai ganti barang-barang yang
baik. Yaitu, seperti halnya menguasai harta orang lain tidak dibenarkan, demikian
pula tidak dibenarkan menjual barang yang buruk, atau janganlah kamu memberikan
barang yang buruk dan jelek sebagai ganti yang baik. Yakni, seperti halnya tidak
dibenarkan menguasai harta orang lain, begitu pula tidak dibenarkan menjual
barang buruk, memberikan yang buruk sebagai ganti yang baik (4:3).
Dalam
semua ayat ini Allah Ta’ala telah menerangkan segala cara ketidakjujuran. Dan
firman itu begitu luasnya sehingga tidak ada unsur ketidakjujuran apa pun yang
tidak tercakup di dalamnya. Tidak hanya sekedar mengatakan, janganlah kamu mencuri;
sehingga seseorang yang bodoh tidak sampai beranggapan bahwa mencuri baginya
diharamkan tetapi cara-cara tidak sah lainnya dibenarkan semua. Mengharamkan
segala cara yang tidak sah, adalah hikmah uraian yang terkandung di dalam firman
yang luas tersebut. Ringkasnya, jika seseorang tidak memiliki akhlak kejujuran
dan amanah dengan wawasan tersebut serta tidak memperhatikan semua aspeknya
itu, sekalipun ia memperlihatkan juga kejujuran dan amanah dalam
beberapa hal, maka perbuatannya itu tidak dapat digolongkan ke dalam akhlak
kejujuran, melainkan merupakan suatu keadaan thabi’i yang hampa dari
pertimbangan akal dan pengertian.
3.
Tidak Jail dan Bersikap Rukun
Corak
ketiga dari akhlak-akhlak meninggalkan kejahatan ialah yang disebut dalam
bahasa Arab hudnah ( ) dan haun
( ) yakni tidak menyakiti jasmani orang lain secara
aniaya dan menjadi manusia yang tidak jail serta menjalani hidup yang rukun.
Jadi, tidak ragu lagi bahwa bersikap rukun merupakan akhlak yang tinggi derajatnya
dan amat penting bagi kemanusiaan. Dan sesuai dengan akhlak tersebut, di dalam
diri bayi terdapat ulfat ( )
-- yakni keakraban -- yang merupakan suatu potensi alami, yang bila diterapkan
secara seimbang dapat menjadi akhlak. Adalah jelas bahwa seorang manusia hanya
di dalam keadaan thabi’i saja, -- yakni di dalam keadaan manusia belum
menggunakan akalnya -- tidak akan dapat memahami arti rukun dan tidak
pula dapat memahami arti berkelahi. Jadi, pada saat itu di dalam dirinya
terdapat kebiasaan untuk hidup serasi/akrab; dan itulah yang merupakan
akar dari sikap rukun. Akan tetapi, oleh karena belum diterapkan dengan
pertimbangan akal, renungan mendalam dan iradah (kehendak) yang khusus,
maka hal itu tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan akhlak. Melainkan apabila
manusia dengan sadar membuat dirinya sendiri menjadi seorang yang tidak
jail lalu menggunakan akhlak rukun tepat pada tempatnya serta menghindarkan
diri dari penggunaannya yang tidak tepat, barulah hal itu dapat dimasukkan ke
dalam golongan akhlak.
Berkenaan dengan itu Allah Ta’ala mengajarkan:
Berkenaan dengan itu Allah Ta’ala mengajarkan:
Yakni,
berukun‑rukunlah antara sesamamu (8:2). Di dalam rukun terdapat kebaikan
(4:129). Dan jika mereka cenderung ke arah perdamaian, maka cenderung pulalah
engkau ke arah itu (8:62). Hamba‑hamba Allah yang saleh berjalan di muka
bumi dengan rukun (25:64). Dan jika mendengar suatu ucapan sia‑sia, berupa
pendahuluan dan mukadimah yang menjurus kepada pertentangan dan perkelahian,
maka berlalulah mereka secara terhormat (25:73). Dan mereka tidak memulai pertengkaran
karena perkara-perkara kecil. Yakni, selama tidak menimbulkan penderitaan besar
maka mereka tidak merasa pantas untuk bersengketa. Dan dasar untuk menerapkan
sikap rukun yang tepat sesuai keadaan adalah mengabaikan perkara-perkara
kecil dan bersedia memaafkannya. Dan kata laghw (
-- sia‑sia) yang terdapat di dalam ayat ini hendaknya jelas bahwa di dalam
bahasa Arab perkataan laghw itu menunjukkan kepada perbuatan demikian,
misalnya, seseorang yang karena nakalnya mengucapkan kata‑kata yang tidak
senonoh atau melakukan suatu perbuatan dengan maksud menyakiti, sedangkan pada
hakikatnya hal itu tidak mendatangkan suatu kerugian dan kemudaratan bagi si
penderita. Jadi, tanda hidup rukun ialah mengabaikan perbuatan-perbuatan menyakiti
yang sia-sia itu dan menerapkan perilaku yang mulia. Tetapi jika perbuatan menyakiti
itu tidak hanya se-batas laghw saja, malahan benar‑benar mendatangkan
kerugian pada jiwa, harta atau kehormatan, maka akhlak rukun sedikit pun tidak
ada kaitannya dengan itu. Melainkan, jika dosa semacam itu diampuni, maka akhlak
yang demikian disebut ‘afw ( ), yang uraiannya
insya Allah akan dijelaskan kemudian.
Lebih lanjut
Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa yang karena nakalnya mengucapkan kata‑kata
tidak senonoh, maka hendaklah kamu membalasnya dengan sikap rukun melalui cara
yang baik. Maka dengan jalan demikian musuh pun akan menjadi kawan (41:35).
Ringkasnya,
penggunaan sikap mengabaikan dengan cara rukun hanyalah bagi jenis keburukan
yang tidak mendatangkan kerugian, dan hanya berupa ucapan-ucapan yang tidak
berarti dari musuh.
4.
Ucapan yang Sopan dan Tutur Kata yang Baik
Corak
keempat dari akhlak-akhlak meninggalkan kejahatan adalah rifq (
= ucapan yang sopan) dan qaulu hasan (
= tutur kata yang baik). Sedangkan akhlak ini timbul dari keadaan alami
yang dinamakan thalaqat ( = kefasihan
lidah).
Sebelum
seorang anak mampu mengungkapkan isi hatinya melalui kata-kata, dia hanya memperlihatkan
kefasihan lidah, bukannya ucapan yang sopan dan tutur kata yang baik. Inilah
dalil yang membuktikan bahwa akar rifq yang daripadanya tumbuh cabang
ini adalah thalaqat. Thalaqat adalah sebuah potensi, sedangkan
rifq merupakan sebuah akhlak yang timbul melalui penggunaan potensi
tersebut tepat pada tempatnya. Berkenaan dengan itu Tuhan mengajarkan:
Terjemah: yakni,
ucapkanlah kepada orang‑orang kata‑kata yang benar-benar baik (2:84).
Janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum lain, boleh jadi kaum yang diperolok‑olokkan itulah yang baik. Sebagian wanita janganlah memperolok‑olokkan sebagian wanita yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan itulah yang baik. Janganlah timbulkan aib. Jangan beri julukan-julukan buruk kepada orang-orangmu... Janganlah berprasangka buruk dan jangan mencari-cari aib orang lain. Janganlah mempergunjingkan satu sama lain (49:12,13). Janganlah kamu menuduh seseorang yang mengenainya kamu tidak mempunyai bukti. Dan ingatlah bahwa semua anggota tubuh akan dimintai pertanggungjawaban, dan telinga, mata, serta hati masing-masing akan ditanyai (17:37).
Janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum lain, boleh jadi kaum yang diperolok‑olokkan itulah yang baik. Sebagian wanita janganlah memperolok‑olokkan sebagian wanita yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan itulah yang baik. Janganlah timbulkan aib. Jangan beri julukan-julukan buruk kepada orang-orangmu... Janganlah berprasangka buruk dan jangan mencari-cari aib orang lain. Janganlah mempergunjingkan satu sama lain (49:12,13). Janganlah kamu menuduh seseorang yang mengenainya kamu tidak mempunyai bukti. Dan ingatlah bahwa semua anggota tubuh akan dimintai pertanggungjawaban, dan telinga, mata, serta hati masing-masing akan ditanyai (17:37).
(ii)
Akhlak-akhlak yang Berkaitan dengan Berbuat Kebaikan
Jenis-jenis
akhlak meninggalkan kejahatan telah selesai dan sekarang kami akan menjelaskan
jenis-jenis akhlak berbuat kebaikan. Jenis kedua dari akhlak-akhlak itu
berkaitan dengan berbuat kebaikan.
1.
Sikap Memaafkan
Akhlak
pertama dari antaranya ialah ‘awf ( ) yakni memaafkan dosa
orang lain. Disini, berbuat kebaikan adalah: Se-seorang melakukan dosa sehingga
dia mengakibatkan kemudaratan, dan dia sendiri layak untuk dibalas dengan kemudaratan
-- dihukum, dipenjara, didenda, atau menghukum dirinya sendiri -- jika memaafkannya
adalah sesuatu yang tepat, maka hal itu sudah merupakan sikap berbuat kebaikan.
Dalam hal ini ajaran Alquran Suci adalah:
Dalam hal ini ajaran Alquran Suci adalah:
Yakni, orang‑orang
baik ialah mereka yang menahan amarah pada saat kemarahan itu harus ditahan,
dan memaafkan dosa pada saat harus dimaafkan (3:135). Balasan bagi kejahatan
adalah se-timpal dengan kejahatan yang dilakukan. Akan tetapi, seseorang yang
memaafkan suatu dosa -- dan pemberian maaf itu dilakukan pada kesempatan yang
dapat mendatangkan perbaikan dan tidak menimbulkan keburukan; yakni tepat pada
kondisi ‘awf (pemberian maaf) serta
bukan tidak pada tempatnya -- maka ia akan memperoleh pahalanya (42:41).
Dari
ayat ini jelas bahwa bukanlah ajaran Alquran untuk --tanpa sebab dan dalam setiap
kasus -- tidak memerangi kejahatan serta tidak menghukum para penjahat dan orang-orang
aniaya. Melainkan ajarannya adalah, hendaknya dilihat, apakah kondisi dan kesempatan
itu merupakan tempat pemberian maaf atau tempat pemberian hukuman. Jadi, yang
benar-benar terbaik bagi si pelaku kejahatan dan juga bagi khalayak umum, itulah
yang hendaknya diterapkan. Kadangkala dengan diberi maaf, seorang pelaku kejahatan
akan bertobat, dan adakalanya dengan diberi maaf, seorang pelaku kejahatan
akan bertambah berani.
Ringkasnya,
Allah Ta’ala berfirman, janganlah membiasakan diri memberi maaf secara membuta,
melainkan pertimbangkanlah dengan seksama, dimana terletak kebaikan yang sejati:
apakah dalam sikap memaafkan, atau dalam sikap memberi hukuman. Jadi, ambillah
tindakan yang tepat menurut keadaan dan tempat-nya. Dengan memperhatikan banyak
orang, nampak jelas bahwa sebagian orang sangat berhasrat membalas dendam, sampai-sampai
mereka tetap mempertahankan dendam-dendam yang berasal dari nenek moyang mereka.
Demikian pula sebagian orang mempunyai kebiasaan memaafkan serta merelakan
yang sangat berlebihan. Dan kadang-kadang kebiasaan ini begitu keterlaluan-nya
sehingga menimbulkan dayus. 8) Sikap lunak, memaafkan dan
merelakan -- yang memalukan itu -- benar-benar bertentangan dengan martabat,
harga diri, dan kesucian farji, bahkan menodai norma-norma baik. Dan dampak
sikap memaafkan serta merelakan seperti ini, membuat semua orang membencinya.
Dengan memperhatikan keburukan‑keburukan semacam inilah, Alquran Karim
telah menetapkan syarat ketepatan tempat dan keadaan bagi setiap
akhlak. Dan Alquran tidak menyetujui akhlak yang dilakukan pada tempat dan
keadaan yang salah.
__________________________________
8).
Lihat catatan kaki No. 4.
|
Hendaklah diingat bahwa sikap memaafkan semata tidak dapat disebut akhlak, melainkan hal itu merupakan suatu potensi alami yang terdapat pada diri anakanak. Seorang anak yang terluka oleh seseorang, walaupun sekedar karena main‑main, sebentar kemudian ia akan melupakan peristiwa itu dan akan menghampiri orang tersebut dengan akrab. Dan kendatipun orang itu benar‑benar berniat hendak membunuhnya, tetap saja si anak senang terhadap kata-kata yang manis. Jadi, sikap memaafkan serupa itu, bagaimanapun tidak dapat digolongkan ke dalam akhlak. Ia baru dapat digolongkan ke dalam akhlak apabila kita menggunakannya tepat sesuai dengan tempat dan keadaan. Jika tidak demikian halnya, maka itu hanyalah berupa suatu potensi alami belaka. Sedikit sekali orang di dunia ini yang dapat membedakan antara potensi alami dengan akhlak.
Telah berulang-kali kami katakan bahwa perbedaan antara akhlak hakiki dan keadaan‑keadaan thabi’i ialah: akhlak senantiasa mengandung pertimbangan tempat dan keadaan yang tepat, sedangkan potensi alami dapat menampilkan dirinya tanpa memperdulikan tempat dan keadaan yang tepat. Benar, di antara binatang berkaki empat, lembu tidak berbahaya dan kambing pun lunak hatinya. Akan tetapi berdasarkan faktor-faktor itu, kita tidak dapat menyebutnya memiliki akhlak-akhlak tersebut, karena mereka tidak diberi akal untuk mengenal tempat dan keadaan. Hikmah kebijaksanaan Tuhan dan Kitab‑Nya yang benar lagi sempurna, telah menetapkan tempat dan keadaan bagi setiap akhlak.
2.
Bersikap Adil
Akhlak
kedua dari akhlak-akhlak berbuat kebaikan adalah‘adl
( ) dan yang ketiga adalah ihsan, sedangkan yang
keempat adalah itai zil. qurba. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni,
Allah Ta’ala memerintahkan agar kamu berbuat kebaikan sebagai balasan terhadap
kebaikan. Dan apabila kamu mendapat kesempatan serta kemungkinan untuk berbuat
lebih dari bersikap adil, maka berbuatlah ihsan. Dan apabila lebih dari
ihsan kamu mendapat kesempatan serta kemungkinan berbuat baik seperti kepada
kaum kerabat yang timbul dari dorongan alami, maka berbuatlah kebaikan dengan
kasih sayang alami. Dan Allah Ta’ala melarang kamu melampaui batas‑batas
kewajaran atau dalam peluang berbuat ihsan kamu menampakkan kemunkaran
yang tidak diterima oleh akal. Yakni, kamu berbuat ihsan yang tidak pada
tempatnya, atau kamu tidak mau berbuat ihsan padahal dikehendaki oleh
keadaan; atau kamu agak lalai dalam akhlak itai zil qurba pada tempat
yang sepatutnya; atau melimpahkan kasih sayang berlebih‑lebihan sampai
melampaui batas (16:91). Di dalam ayat suci ini diuraikan tiga derajat berbuat
kebaikan.
Derajat
pertama ialah berbuat kebaikan sebagai balasan terhadap kebaikan. Ini merupakan
derajat rendah. Dan orang-orang yang memiliki peradaban paling rendah dapat
memiliki akhlak ini, yaitu ia tetap berbuat kebaikan terhadap orang‑orang
yang berbuat baik kepadanya.
3.
Berbuat Kebaikan yang Lebih
Derajat
kedua adalah lebih sulit dari derajat pertama. Yakni, pertama‑tama ia
sendiri yang berbuat kebaikan, dan tanpa adanya hak pada seseorang ia memberikan
manfaat kepada orang itu sebagai perbuatan baik yang lebih (ihsan -
). Dan ini merupakan akhlak derajat menengah. Kebanyakan orang berbuat kebaikan
kepada orang‑orang miskin. Dalam berbuat ihsan itu terselip suatu
aib terselubung. Yakni, orang yang berbuat ihsan mempunyai pikiran bahwa
ia telah berbuat ihsan dan sekurang-kurangnya sebagai imbalan ihsan
tersebut dia menginginkan ucapan terima kasih atau do’a. Dan apabila orang yang
telah menerima kebaikannya itu melawannya, maka dia menyebut orang itu tidak
tahu membalas budi. Kadangkala, disebabkan oleh ihsan-nya seseorang telah
meletakkan beban yang tak terpikulkan pada orang lain dan mengungkit‑ungkit
ihsan itu kepadanya.
Sebagai-mana Allah Ta’ala telah berfirman untuk memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsan:
Sebagai-mana Allah Ta’ala telah berfirman untuk memperingatkan orang-orang yang berbuat ihsan:
Yakni, hai orang‑orang
yang berbuat ihsan! Janganlah kamu
merusak sedekah‑sedekahmu -- yang seharusnya diberikan berdasar hati tulus
-- dengan menyebut‑nyebut ihsan
itu serta dengan menyakiti hatinya (2:265).
Kata
sadaqah ( ) berasal dari kata sidq
( - ketulusan). Jadi, jika di dalam hati tidak ada rasa tulus
serta ikhlas, maka sedekah itu tidak lagi merupakan sedekah, melainkan suatu
perbuatan ria. Ringkasnya, di dalam diri orang yang berbuat ihsan, terdapat
suatu kekurangan. Yaitu, kadangkala bila sedang emosi ia mengungkit-ungkit kebaikannya.
Itulah sebabnya Allah Ta’ala memperingatkan orang‑orang yang berbuat
ihsan.
4.
Memberi Tanpa Perhitungan Seperti Kepada Kaum Kerabat
Derajat
ketiga berbuat kebaikan yang telah diterangkan oleh Allah Ta’ala ialah,
hendaknya jangan sampai ada anggapan telah melakukan kebaikan yang lebih (ihsan)
dan tidak mengharapkan balasan terima kasih. Melainkan hendaklah kebaikan itu
dilakukan atas dorongan rasa kasih sebagaimana terhadap kerabat terdekat
(
). Misalnya, seorang ibu berbuat kebaikan terhadap anaknya semata‑mata
hanya karena dorongan rasa kasih. Inilah derajat terakhir dalam rangka berbuat
kebaikan yang tidak mungkin lagi ada langkah lebih dari itu. Akan tetapi Allah
Ta’ala telah mengaitkan semua jenis perbuatan baik itu dengan tempat
dan keadaan yang tepat. Dan di dalam ayat tersebut di atas, telah diterangkan
dengan jelas, apabila kebaikan-kebaikan itu dilakukan tidak pada tempatnya masing-masing,
maka akan berubah men-jadi keburukan. Dari ‘adl akan berubah menjadi
fahsya, yaitu demikian rupa melampaui batas sehingga keadaannya berubah
menjadi buruk. Demikian pula dari ihsan akan berubah menjadi munkar,
yaitu keadaan yang ditolak oleh akal dan hati nurani. Dan dari itai zil
qurba akan berubah menjadi baghy, yaitu dorongan rasa kasih yang
tidak pada tempatnya sehingga akan menimbulkan suatu keadaan yang buruk. Pada
dasarnya yang disebut baghy itu adalah hujan yang turun melampaui batas
dan membinasakan sawah ladang. Atau, sikap keterlaluan yang melebihi hak semesti-nya,
juga merupakan baghy. Ringkasnya, di antara ketiga derajat tersebut,
jika dilakukan tidak pada tempat yang tepat, akan berubah menjadi buruk keadaannya.
Untuk itulah pada ketiga derajat tersebut telah dipersyaratkan ketepatan tempat
dan keadaan. Disini hendaklah diingat, bahwa ‘adl atau ihsan atau
rasa kasih itai zil qurba itu sendiri tidak dapat disebut akhlak, melainkan
itu semua merupakan keadaan‑keadaan dan potensi-potensi alami di dalam
manusia, yang juga terdapat pada diri kanak-kanak sebelum akalnya bekerja. Akan
tetapi, bagi akhlak terdapat persyaratan akal, kemudian persyaratan penerapan
segala potensi alami yang tepat sesuai keadaan dan tempatnya.
Beberapa
Contoh Ihsan
Selanjutnya,
berkenaan dengan ihsan, di dalam Alquran Suci terdapat juga petunjuk‑petunjuk
penting lainnya. Dan kesemuanya diawali dengan alif lam (
) untuk memberi tekanan khusus yang mengisyaratkan agar dilakukan sesuai
dengan keadaan dan tempat yang tepat.
Sebagaimana Dia (Allah SWT) berfirman:
Sebagaimana Dia (Allah SWT) berfirman:
Terjemahnya
adalah: hai orang‑orang yang beriman, berikanlah
dari harta yang kamu usahakan dengan jalan bersih kepada orang-orang sebagai
kemurahan hati atau kebaikan atau sedekah dan sebagainya. Yakni harta yang tidak
dicampuri oleh harta hasil pencurian atau suapan atau pengkhianatan atau korupsi
atau hasil perampasan hak orang lain. Dan jangan sampai timbul niat di dalam
hatimu untuk memberikan harta yang tidak bersih kepada orang lain (2:268).
Dan perkara yang kedua ialah jangan kamu gugurkan sedekah‑sedekahmu dan
kemurahan hatimu karena niat agar orang berhutang budi dan dengan niat menyakiti.
Yakni, janganlah sekali‑kali menyebut‑nyebut kepada orang yang menerima kebaikanmu bahwa kamu telah memberikan sesuatu kepadanya. Dan janganlah menyakitinya. Sebab, dengan demikian kebaikanmu akan hilang. Dan janganlah kamu melakukan suatu langkah dimana kamu membelanjakan hartamu dengan jalan ria (2:265). Berbuatlah kebaikan kepada makhluk Allah karena Allah menyukai orang‑orang yang berbuat baik (2:196). Orang‑orang yang berbuat kebaikan hakiki akan diberi minum dari mangkuk minuman yang campurannya adalah kafur (sejenis kamper). Yakni, kepedihan duniawi dan hasrat-hasrat serta keinginan-keinginan kotor akan dijauhkan dari hati mereka (76:6,7). Kata kafur ( ) berasal dari kata kafara ( ). Adapun kata kafara dalam bahasa Arab mengandung arti menekan dan menutupi. Maksudnya, dorongan-dorongan tidak benar yang ada pada mereka akan ditekan, dan batin mereka akan menjadi suci, serta kesejukan makrifat akan mencapai mereka.
Yakni, janganlah sekali‑kali menyebut‑nyebut kepada orang yang menerima kebaikanmu bahwa kamu telah memberikan sesuatu kepadanya. Dan janganlah menyakitinya. Sebab, dengan demikian kebaikanmu akan hilang. Dan janganlah kamu melakukan suatu langkah dimana kamu membelanjakan hartamu dengan jalan ria (2:265). Berbuatlah kebaikan kepada makhluk Allah karena Allah menyukai orang‑orang yang berbuat baik (2:196). Orang‑orang yang berbuat kebaikan hakiki akan diberi minum dari mangkuk minuman yang campurannya adalah kafur (sejenis kamper). Yakni, kepedihan duniawi dan hasrat-hasrat serta keinginan-keinginan kotor akan dijauhkan dari hati mereka (76:6,7). Kata kafur ( ) berasal dari kata kafara ( ). Adapun kata kafara dalam bahasa Arab mengandung arti menekan dan menutupi. Maksudnya, dorongan-dorongan tidak benar yang ada pada mereka akan ditekan, dan batin mereka akan menjadi suci, serta kesejukan makrifat akan mencapai mereka.
Kemudian
difirmankan bahwa orang-orang itu akan meminum air dari mata air yang sekarang
sedang dipancarkan oleh tangan mereka sendiri. Disini telah dibukakan sebuah
rahasia mendalam tentang falsafah surga. Barangsiapa yang ingin memahaminya,
pahamilah. Dan kemudian telah difirmankan bahwa tanda-tanda orang‑orang
yang mengerjakan kebaikan hakiki ialah, semata‑mata karena kecintaan
Ilahi mereka memberi makanan yang mereka sendiri sukai kepada orang‑orang
miskin, anakanak yatim dan para tawanan, seraya mengatakan: “Kami tidak berbuat
ihsan atas kalian, melainkan kami lakukan ini agar Tuhan ridha kepada
kami, dan pengkhidmatan ini adalah untuk Wajah-Nya (untuk menarik perhatian-Nya).
Kami tidak menghendaki sesuatu imbalan dan tidak pula menghendaki agar kalian
kesana-kemari berterima kasih kepada kami” (76:9,10). Ini mengisyaratkan
kepada derajat ketiga berbuat kebaikan, yang diamalkannya semata‑mata
karena terdorong oleh rasa kasih. Kebiasaan orang-orang saleh sejati ialah,
untuk meraih keridhaan Tuhan, mereka membantu karib‑kerabat dengan harta
mereka. Dan kemudian dari harta itu mereka senantiasa membelanjakan untuk pengawasan,
pengurusan dan pendidikan anakanak yatim dan sebagainya. Dan mereka menyelamatkan
orang‑orang miskin dari kelaparan serta memberi pertolongan kepada para
musafir dan peminta‑minta. Dan mereka memberikan harta benda itu untuk
memerdekakan sahaya‑sahaya dan juga untuk melunasi hutang orang‑orang
yang berhutang (2:178). Dan dalam membelanjakan harta, mereka tidak boros dan
tidak pula kikir dan bersikap mengambil jalan tengah (25:68). Mereka menghubungkan
sesuatu yang harus dihubungkan dan mereka takut kepada Allah (13:22). Dan di
dalam harta mereka ada hak bagi orang yang minta-minta dan juga bagi yang tidak
dapat berbicara (51:20). Yang tidak dapat berbicara, maksudnya ialah anjing,
kucing, burung, lembu, keledai, kambing dan lain‑lain. Dalam keadaan susah
dan surutnya pendapatan serta dalam musim paceklik, mereka dari bermurah hati
tidak berubah menjadi kikir. Dan dalam keadaan sempit pun mereka tetap bermurah
hati menurut kemampuan mereka (3:135). Mereka membelanjakan harta secara diam-diam
dan secara terbuka. Dilakukannya secara diam‑diam adalah agar mereka terhindar
dari perbuatan ria, dan dilakukanya secara terbuka adalah agar orang‑orang
lain tergugah (13:23). Harta benda yang diberikan dalam bentuk sumbangan, sedekah
dan sebagainya, hendaknya diperhatikan agar pertama-tama diberikan kepada yang
memerlukannya. Ya, orang‑orang yang bertugas mengawas, mengurus dan mengelola
harta-harta itu dapat memperoleh sedikit dari harta tersebut. Dan kemudian dari
itu dapat juga diberikan untuk menyelamatkan seseorang dari perbuatan buruk.
Begitu pula harta itu hendaknya dibelanjakan untuk membebaskan sahaya‑sahaya,
dan untuk membantu orang‑orang yang memerlukan dan orang‑orang yang
berhutang serta orang-orang yang tertimpa musibah, dan untuk hal-hal lainnya
yang semata-mata demi Allah (9:60). Sekali‑kali tidak akan kamu capai
kebaikan yang hakiki selama dalam menunaikan kasih-sayang terhadap umat manusia
kamu belum membelanjakan harta yang kamu cintai (3:93). Penuhilah hak orang‑orang
yang tidak mampu, berilah orang-orang miskin, khidmatilah para musafir, dan
hindarkanlah dirimu dari hal-hal yang sia-sia (17:27). Yakni, hindarkanlah dirimu
dari pemborosan-pemborosan biaya dalam perkawinan-perkawinan, berbagai macam
kemeriahan dan upacara-upacara kelahiran anak. Berbuat baiklah terhadap ibu‑
bapakmu, kaum kerabat, anakanak yatim, orang‑orang miskin, tetangga yang
sesanak-saudara, dan tetangga yang bukan kerabat, dan terhadap orang‑orang
yang ada dalam perjalanan (musafir), pembantu rumah-tangga, sahaya, kuda, kambing,
kerbau, lembu, dan binatang‑binatang lainnya yang kamu kuasai. Sebab,
Tuhan --yang merupakan Tuhan-mu -- menyukai perbuatan-perbuatan itu. Dia tidak
mencintai orang‑orang yang tidak perduli dan yang mementingkan diri sendiri.
Dan Dia tidak menginginkan orang‑ orang bakhil serta yang mengajarkan
kebakhilan kepada orang‑ orang, dan yang menyembunyikan hartanya sendiri.
Yakni, mereka berkata kepada orang‑orang yang memerlukan bahwa mereka
tidak mempunyai sesuatu (4:37,38).
1.
Keberanian Sejati
Di
antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia terdapat suatu keadaan yang
menyerupai keberanian. Misalnya, anak yang masih menyusu pun disebabkan
oleh potensi itu kadang-kadang ingin memasukkan tangannya ke dalam api. Sebab,
anak manusia, dikarenakan adanya potensi fitrati berupa kecenderungan manusia
yang selalu ingin dominan, tidak takut terhadap suatu apa pun sebelum nampak
contoh-contoh yang menakutkan. Dalam keadaan itu manusia dengan sangat berani
melawan singa-singa atau binatang‑binatang buas lainnya; dan tampil seorang
diri untuk berkelahi melawan beberapa orang. Dan orang‑orang mengetahui
bahwa ia seorang yang sangat pemberani. Akan tetapi, ini hanyalah suatu keadaan
thabi’i belaka yang terdapat juga pada binatang‑ binatang buas lainnya;
bahkan juga terdapat pada anjing. Sedangkan, keberanian sejati (
- sajaah) -- yang berkaitan khusus dengan ketepatan tempat dan keadaan,
serta yang merupakan salah satu akhlak dari antara akhlak-akhlak fadhilah
--adalah nama dari sikap-sikap yang tepat sesuai dengan tempat dan keadaannya,
yang di dalam Kalam Suci Allah Ta’ala dikemukakan sebagai berikut:
Yakni,
pemberani ialah mereka yang tidak melarikan diri pada saat bertempur, atau
pada saat mereka ditimpa suatu musibah (2:178). Kesabaran mereka pada waktu
bertempur dan pada saat-saat susah ialah demi keridhaan Allah untuk meraih Wajah-Nya.
Bukan memamerkan keberanian (13:23). Mereka ditakut‑takuti bahwa orang‑orang
telah sepakat untuk menghukum mereka, maka hendaklah mereka takut kepada orang‑orang
itu. Ternyata dengan ditakut-takuti itu keimanan mereka semakin bertambah, dan
mereka berkata, “Cukuplah Tuhan bagi kami” (3:174). Yakni, keberanian mereka
tidaklah seperti anjing-anjing dan binatang-binatang buas yang bertumpu pada
gejolak alami belaka, yang hanya cenderung ke satu sisi saja. Sebaliknya keberanian
mereka mengandung dua sisi. Kadang‑kadang dengan keberanian yang mereka
miliki, mereka melawan serta menundukkan dorongan-dorongan nafsu mereka sendiri.
Dan kadang‑kadang apabila mereka melihat bahwa melawan musuh adalah kebijakan
yang tepat, maka mereka tidak hanya terdorong oleh nafsu saja, melainkan mereka
melawan musuh demi membela kebenaran. Akan tetapi dalam menunjukkan keberanian,
mereka tidak mengandalkan diri sendiri, melainkan mereka bertumpu kepada Tuhan.
Dan di dalam keberanian mereka tidak terdapat unsur pamer serta menonjolkan
diri, dan tidak pula untuk menuruti nafsu, melainkan dari segala segi keridhaan
Allah-lah yang diutamakan (8:48). Di dalam ayat‑ayat itu dijelaskan bahwa
akar keberanian sejati ialah sabar dan keteguhan langkah.
Tetap teguh dan tidak melarikan diri sebagai pengecut dalam menghadapi setiap
dorongan nafsu atau musibah yang menyerang bagaikan musuh, inilah keberanian.
Jadi, di antara keberanian manusia dan binatang terdapat perbedaan besar. Binatang
buas hanya pada satu sisi saja memanfaatkan dorongan nafsu dan amarahnya. Sedangkan
manusia, yang memiliki keberanian sejati, memilih kebijakan yang tepat
antara melawan atau tidak.
2.
Lurus Hati/Kejujuran
Di
antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia, yang merupakan ciri khas
fitratnya ialah lurus hati (
- Ash-shidq). Manusia tidak ingin berkata dusta selama tidak terdorong
oleh kepentingan pribadinya. Dan dalam berdusta dia merasakan di dalam hatinya
semacam kebencian serta ganjalan. Itulah sebabnya dia tidak senang dan memandang
rendah orang yang terbukti telah berkata dusta. Akan tetapi, keadaan alami
itu saja tidak dapat masuk dalam kategori akhlak. Bahkan anakanak dan orang‑orang
gila pun dapat memperlihatkan sikap itu. Jadi, hakikat yang sebenarnya ialah,
selama manusia belum terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi yang menjadi
hambatan untuk berkata jujur, selama itu ia secara hakiki tidak dapat dikatakan
sebagai orang yang lurus hati. Sebab, jika seseorang berkata jujur hanya mengenai
hal-hal yang tidak seberapa merugikan dirinya sedangkan ia berkata dusta dan
bungkam dari berkata jujur pada saat kehormatan atau harta atau jiwanya terancam
kerugian, maka apalah kelebihannya dibandingkan dengan orang‑orang gila
dan anakanak. Tidakkah orang gila dan anakanak pun suka lurus hati seperti itu?
Barang-kali tidak ada seorang pun di dunia ini yang begitu saja berdusta tanpa
sebab. Jadi, kejujuran yang ditinggalkan pada saat terancam suatu kerugian,
sama sekali tidak tergolong dalam akhlak sejati. Keadaan dan kesempatan yang
sangat tepat untuk lurus hati ialah pada saat jiwa atau harta atau kehormatannya
terancam bahaya. Berkenaan dengan itu ajaran Allah adalah sebagai berikut:
Terjemah: hindarilah
perbuatan menyembah berhala‑berhala dan berkata dusta (22:31).
Yakni, dusta pun merupakan sebuah berhala;
orang yang bertumpu padanya berarti telah melepaskan tumpuan (tawakal) terhadap
Allah. Jadi, dengan berkata dusta, Tuhan pun terlepas dari tangan. Dan kemudian
difirmankan, apa-bila kamu dipanggil untuk memberi kesaksian yang benar, maka
janganlah kamu menolak untuk pergi (2:283). Dan janganlah kamu sembunyikan kesaksian-benar
dan barangsiapa menyembunyikan-nya berdosalah hatinya (2:284). Dan apabila kamu
berkata, maka ucapkanlah sama sekali kata‑kata jujur serta adil, sekalipun
kesaksian yang kamu berikan itu untuk salah seorang kerabatmu (6:153). Berdirilah
kamu di atas kebenaran serta keadilan, dan hendaknya tiap-tiap kesaksianmu itu
adalah karena Allah, jangan kamu berkata dusta walaupun dengan berkata jujur
itu jiwamu akan mendapat kerugian, atau dengan itu ibu-bapakmu serta kerabat-kerabatmu
-- seperti anak dan sebagainya -- akan men-dapat kemudaratan (4:136). Dan hendaknya
permusuhan terhadap suatu kaum tidak menghalangi kamu untuk memberi kesaksian
yang jujur (5:9). Laki‑laki yang lurus hati dan wanita‑wanita yang
lurus hati akan mendapat pahala-pahala besar (33:36). Kebiasaan mereka adalah
menasihati orang lain agar lurus hati (103:4). Dan mereka tidak ikut di dalam
majelis-majelis para pendusta (25: 73).
3.
Sabar
Di
antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia, salah satunya adalah sabar
( - ash-shabr), yang terpaksa manusia
lakukan ketika menghadapi musibah-musibah, penyakit-penyakit, dan penderitaan-penderitaan
yang senantiasa menimpanya. Dan manusia memilih bersabar setelah banyak meratap
dan berkeluh-kesah. Tetapi ketahuilah, menurut Kitab Suci Ilahi kesabaran semacam
itu tidak tergolong akhlak, melainkan suatu keadaan yang pasti akan tampil setelah
mengalami keletihan. Yakni, di antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia
terdapat juga suatu keadaan, ketika datang musibah maka ia pertama‑tama
menangis, meraung-raung dan memukul-mukul kepala. Setelah semua emosi terluapkan
akhirnya gejolak itu terkendali, dan pada puncaknya ia ter-paksa mundur. Jadi,
kedua sikap ini merupakan keadaan-keadaan thabi’i. Sedikit pun tidak
ada kaitannya dengan akhlak. Justru akhlak yang berkaitan dengan itu ialah,
bila suatu benda terlepas dari tangan, maka dia tidak berkeluh-kesah seraya
menganggap benda itu sebagai amanat Allah. Dan dia mengatakan, “Ini tadinya
merupakan milik Tuhan, dan Tuhan telah mengambilnya. Kami rela terhadap kehendak‑Nya.”
Berkenaan dengan akhlak ini, Alquran Suci, Kalam Suci Allah Ta’ala mengajarkan
kepada kita:
Yakni,
hai orang‑orang yang beriman! Kami senantiasa akan menguji kamu. Kadang‑kadang
kepadamu akan didatangkan keadaan yang menakutkan dan kadang‑kadang kamu
akan mengalami kekurangan serta kelaparan, dan kadang‑kadang kamu akan
menderita kerugian harta dan kadang‑kadang kamu akan mengalami kehilangan
jiwa. Dan kadang‑kadang kamu mengalami kegagalan dalam usaha-usahamu,
dan upaya-upayamu tidak akan membawa hasil sebagaimana yang diinginkan. Dan
kadang-kadang anakanak kesayanganmu akan meninggal. Jadi, bagi mereka ada khabar
suka. Apabila mereka tertimpa suatu musibah, mereka mengatakan, “Kami adalah
kepunyaan Tuhan, amanat-Nya, dan milik‑Nya.” Jadi, yang benar ialah, kembalikan
segala sesuatu kepada Sang Pemilik amanat. lnilah orang-orang yang mendapat
rahmat Ilahi dan inilah orang-orang yang telah menemukan jalan Tuhan (2:156‑158).
Ringkasnya, nama akhlak ini adalah sabar dan rela terhadap keputusan
Ilahi. Dalam pengertian lainnya, akhlak ini juga dinamakan adil.
Sebab, tatkala Allah Ta’ala melakukan segala sesuatu di dalam seluruh kehidupan
manusia sesuai dengan keinginannya, dan kemudian ribuan hal telah tampil sesuai
kehendaknya, dan sekian banyak nikmat telah dianugerahkan kepada manusia yang
selaras dengan keinginannya, yang tidak dapat dihitung oleh manusia; maka tidaklah
adil apabila Tuhan ingin menerapkan kehendak-Nya lalu manusia mengelak dan tidak
setuju terhadap kehendak-Nya itu serta membuat-buat alasan atau meninggalkan
agama dan menyimpang dari jalan-Nya.
4.
Solidaritas terhadap Sesama Makhluk
Di
antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia yang menjadi bagian mutlak
fitratnya ialah suatu gejolak solidaritas terhadap sesama makhluk (
- al muwasah). Gejolak membela kaum terdapat secara alami di dalam diri
para penganut setiap agama. Dan kebanyakan orang karena gejolak alami solidaritas
terhadap kaumnya, berlaku aniaya terhadap kaum lain seakan-akan menganggap mereka
itu bukan manusia. Jadi, keadaan itu tidak dapat dikatakan akhlak. Ini hanyalah
suatu gejolak alami belaka. Dan jika diperhatikan dengan seksama, keadaan alami
ini juga terdapat di kalangan burung gagak serta burung-burung lainnya. Ketika
seekor burung gagak mati, maka ribuan burung gagak lainnya datang berkumpul.
Akan tetapi kebiasaan ini baru akan tergolong dalam akhlak insani apabila solidaritas
tersebut diterapkan tepat sesuai tempat dan waktunya, dengan memperhatikan keadilan
dan keseimbangan. Pada waktu itu ia akan menjadi suatu akhlak agung yang di
dalam bahasa Arab disebut muwasah dan di dalam bahasa Farsi, hamdardi.
Ke
arah itulah Allah swt. mengisyaratkan dalam Al Quran Suci:
Yakni, solidaritas
dan dukungan terhadap kaummu hendaknya dilakukan dalam perkara-perkara kebaikan.
Dan dalam perkara-perkara aniaya serta pelanggaran hendaknya sama sekali jangan
mendukung mereka (5:3). Dan selalu
giatlah dalam berlaku solider terhadap kaummu, dan jangan letih (4:105). Janganlah
membela orang‑orang khianat (4:106). Adapun orang‑orang yang tidak
jera dari perbuatan khianat, Allah Ta’ala tidak menyukai para pengkhianat (4:
108).
5.
Mencari Wujud Yang Maha Agung
Di
antara keadaan‑keadaan thabi’i manusia, yang merupakan bagian
mutlak fitratnya, ialah mencari Wujud Yang Maha Agung. Untuk pencarian
itulah di dalam lubuk hati manusia terdapat suatu tarikan. Dan pengaruh pencarian
itu mulai terasa pada saat bayi lahir dari kandungan ibu. Sebab, begitu bayi
lahir, pertama-tama sifat rohani yang ditampakkannya adalah lekat pada ibunya
dan secara alami mencintai ibunya. Kemudian dengan terbukanya indera-indera
yang dia miliki dan semakin berkembang fitratnya, tarikan kecintaan yang semula
tersembunyi di dalam dirinya kian menampakkan warna dan bentuknya. Kemudian,
keadaannya ialah, ia tidak merasa tenang di tempat lain kecuali di pangkuan
ibunya. Anugerah berada di sisi ibunya itulah merupakan ketenangan sempurna
yang dia miliki. Apabila ia dipisahkan dan dijauhkan dari ibunya, maka seluruh
ketenangannya akan hilang. Dan walaupun dihadapannya disodorkan banyak kenikmatan,
tetap saja dia melihat kebahagiaan sejatinya berada di dalam pangkuan ibu. Dan
tanpa itu, bagaimanapun ia tidak memperoleh ketenangan. Jadi, apa sebenarnya
tarikan kecintaan yang timbul di dalam dirinya terhadap sang ibu?
Pada
hakikatnya tarikan itu jugalah yang telah ditanamkan dalam fitrat bayi
untuk mencari Ma’bud Haqiqi (Tuhan Sejati yang disembah). Bahkan
hubungan kecintaan yang dijalin manusia di setiap tempat, pada hakikatnya tarikan
itu jugalah yang tengah bekerja. Dan di tempat mana pun manusia menampakkan
gejolak asmara, pada hakikatnya itu merupakan suatu pantulan kecintaan tersebut.
Seakan‑akan dia membongkar-bongkar barang lain sedang mencari sesuatu
yang hilang yang namanya pun dia sudah lupa.
Jadi,
kecintaan manusia kepada harta, anak keturunan, isteri, atau ketertarikan hatinya
terhadap suatu nyanyian suara merdu, pada hakikatnya itu merupakan pencarian
terhadap Sang Kekasih yang telah hilang. Dikarenakan manusia tidak mampu
melihat dengan mata jasmaninya sendiri Wujud Yang Maha Halus itu --yang bagaikan
api tersembunyi di dalam setiap sesuatu dan terselubung dari semua orang --
dan tidak pula akal manusia yang tak sempurna dapat menemukan-Nya, maka berkenaan
dengan makrifat Ilahi, manusia telah melakukan kesalahan-kesalahan besar. Dan
dengan kesalahan-kesalahan itu hak-Nya telah dialihkan manusia kepada yang lain.
Di dalam Alquran Suci Allah telah memberikan tamsil ini, bahwa dunia bagaikan
istana kaca yang lantainya terbuat dari kaca bening, dan kemudian di bawah kaca
itu dialirkan air yang melaju dengan sangat deras. Jadi, setiap penglihatan
yang tertuju pada kaca itu dapat keliru mengira bahwa kaca-kaca itu pun air.
Kemudian manusia demikian rupa takutnya berjalan di atas kaca itu sebagaimana
ia takut berjalan di atas air. Padahal sebenarnya itu adalah kaca bening yang
tembus cahaya. Jadi, benda‑benda langit raksasa yang kelihatan, seperti
matahari, bulan, dan sebagainya merupakan kaca-kaca bening yang dengan keliru
telah disembah. Dan dibalik benda-benda itu ada suatu kekuatan tinggi yang sedang
bekerja, bagaikan air yang mengalir dengan derasnya di bawah kaca. Dan kekeliruan
yang telah dilakukan oleh penglihatan para penyembah makhluk ialah, mereka menganggap
pekerjaan itu dilakukan oleh kaca-kaca tersebut yang memperlihatkan kekuatan
bawahnya. Demikianlah tafsir ayat suci ini:
Sesungguhnya
itu adalah istana yang berlantaikan kaca (27:45). Ringkasnya, oleh karena Dzat
Allah Ta’ala yang kendati pun sangat cemerlang namun tetap saja terselubung,
sebab itulah untuk mengenali-Nya tidak cukup hanya dengan menyaksikan tatanan
jasmani yang nampak di hadapan kita saja. Itulah sebabnya kebanyakan orang yang
menggantungkan diri pada tatanan ini, tetap saja tidak dapat melepaskan diri
dari gelapnya keraguan dan kebimbangan. Dan kebanyakan mereka terperangkap dalam
berbagai kekeliruan, serta karena terjerat dalam syak-wasangka yang sia-sia,
maka mereka telah tersesat jauh. Padalah mereka merenungkan dengan seksama gugusan
sempurna dan kokoh itu, yang mengandung ribuan keajaiban. Bahkan mereka telah
menciptakan kemahiran-kemahiran di bidang astronomi, ilmu alam, dan filsafat,
seolah-olah mereka telah menyatu dengan langit dan bumi. Dan seandainya terpikirkan
juga sedikit oleh mereka tentang Sang Pencipta, maka itu hanyalah sekedar anggapan
yang timbul setelah menyaksikan tatanan yang tinggi dan sempurna, sehingga di
dalam hati mereka muncul anggapan bahwa hendaknya memang harus ada suatu wujud
yang menciptakan tatanan agung yang mengandung sistem yang penuh hikmah ini.
Akan tetapi jelas bahwa pemikiran demikian tidak sempurna dan itu merupakan
pengetahuan yang dangkal. Sebab mengatakan, “Untuk tatanan ini perlu ada suatu
tuhan,” sekali‑kali tidak sama dengan ucapan bahwa, “Tuhan itu benar‑benar
ada.” Ringkasnya, itu hanyalah merupakan pengetahuan mereka yang bersifat dugaan,
yang tidak dapat memberikan ketenangan dan ketenteraman kepada hati serta sama
sekali tidak dapat menghapuskan kebimbangan kalbu. Dan itu bukanlah suatu mangkuk
yang dapat menghilangkan kedahagaan akan makrifat kamil yang telah dipatrikan
pada fitrat manusia. Justru pengetahuan dangkal demikian itu sangat berbahaya,
karena setelah heboh demikian rupa akhirnya tanpa hasil dan tidak membuahkan
apa-apa.
Ringkasnya,
selama Allah Ta’ala sendiri belum menzahirkan keberadaan-Nya melalui Kalam‑Nya
-- sebagaimana yang telah Dia zahirkan melalui Kalam‑Nya -- selama itu
pula penelaahan terhadap perbuatan‑Nya semata, tidak akan memberikan kepuasan.
Misalnya, jika kita melihat sebuah kamar yang terasa mengherankan karena terkunci
dari dalam, maka dari perbuatan itu pertama-tama yang pasti terpikirkan oleh
kita adalah bahwa di dalam pasti ada orang yang telah memasangkan rantai dari
dalam. Sebab, dari luar tidak mungkin rantai bagian dalam itu dapat dipasangkan.
Akan tetapi apabila sampai masa tertentu -- bahkan sampai bertahun‑tahun
-- kendati pun telah berulang‑ulang dipanggil, dari orang itu tidak juga
ada sahutan, maka akhirnya pikiran kita yang beranggapan bahwa ada orang di
dalam, akan berubah. Dan kita akan berpikir bahwa di dalam tidak ada orang,
dan kunci itu telah terpasang dari dalam melalui suatu hikmah tertentu. Demikianlah
keadaan para ahli filsafat yang telah membatasi pengetahuan mereka hanya pada
penelaahan terhadap perbuatan Tuhan. Ini adalah suatu kekeliruan besar menganggap
Tuhan seperti sesuatu yang telah mati, yang dapat dikeluarkan dari dalam kubur
hanya oleh manusia. Seandainya Tuhan itu demikian -- yang diketahui hanya oleh
usaha manusia saja -- maka seluruh harapan kita berkenaan dengan Tuhan yang
demikian itu akan sia-sia. Justru Tuhan itu adalah Dia yang selamanya
dan yang sejak awal terus memanggil manusia ke arah‑Nya dengan menyatakan
sendiri:
(Aku ada !)
Ini
sungguh sangat lancang apabila kita berpikiran bahwa dalam mengetahui tentang
Tuhan terdapat ihsan manusia atas diri‑Nya, dan jika para ahli
filsafat tidak ada, maka Dia seakan-akan tetap tidak akan ditemukan. Dan mengatakan
bahwa, “Bagaimana Tuhan dapat berbicara? Apakah Dia memiliki lidah?” Itu pun
suatu kekurang-ajaran. Tidakkah Dia telah menciptakan benda-benda langit dan
bumi tanpa tangan-tangan jasmani? Tidak-kah Dia melihat seluruh alam semesta
tanpa mata jasmani? Tidakkah Dia mendengar suara-suara kita tanpa telinga jasmani?
Jadi, tidaklah mutlak bahwa Dia juga berbicara dengan cara demikian? Sungguh
tidak benar bahwa di masa mendatang Tuhan tidak bercakap-cakap, melainkan hanya
di masa lampau saja. Kita tidak dapat menutup ucapan dan percakapan-percakapan-Nya
se-batas zaman tertentu saja. Tidak diragukan lagi, sekarang pun Dia siap mencurahkan
mata-air ilham kepada orang-orang yang mencari, sebagaimana sebelumnya Dia siap.
Dan sekarang juga pintu-pintu karunia-Nya tetap terbuka seperti halnya dahulu.
Ya, karena segala keperluan telah sempurna, maka syariat serta hukum-hukum pun
telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai kesempurnaannya
pada titik yang ter-akhir, dalam wujud Junjungan kita Muhammad saw.
Hikmah
Kedatangan Rasulullah saw. di Negeri Arab
Munculnya
nur terakhir di negeri Arab pun bukanlah tanpa hikmah. Arab adalah kaum
Bani Ismail yang terputus dari Israil yang atas hikmah Ilahi telah terdampar
di belantara Faran. Dan arti faran ialah dua orang yang melarikan diri,
yakni pelarian. Jadi, orang‑orang yang telah dipisahkan sendiri oleh Nabi
Ibrahim a.s. dari Bani Israil, tidak lagi mempunyai bagian dalam syariat Taurat,
seperti telah tercantum bahwa mereka itu tidak akan memperoleh bagian bersama
Ishak a.s. Jadi, mereka telah ditinggalkan oleh orang-orang yang memiliki pertalian
dengan mereka, dan tidak pula mereka memiliki hubungan dengan yang lainnya.
Dan di semua negeri lainnya terdapat sedikit banyak tata-cara peribadatan dan
peraturan. Dari itu dapat diketahui bahwa pada suatu masa tertentu ajaran nabi-nabi
pernah sampai kepada mereka. Tetapi hanya negeri Arab saja satu‑satunya
negeri yang sama sekali tidak mengenal ajaran‑ajaran tersebut, dan paling
terkebelakang di seluruh dunia. Oleh karena itu, akhirnya tiba giliran mereka,
dan Nabi mereka itu diperuntukkan bagi semesta alam supaya semua negeri kembali
memperoleh berkat‑berkat serta memperbaiki kekeliruan yang telah terjadi.
Jadi, sesudah Kitab Kamil seperti ini -- yang telah menangani seluruh perbaikan
manusia dan tidak seperti halnya kitab-kitab terdahulu yang hanya diperuntukkan
bagi satu kaum saja, melainkan bermaksud memperbaiki seluruh kaum serta telah
menguraikan segenap jenjang tarbiyat manusia; telah mengajarkan peradaban
manusiawi kepada orang-orang biadab, lalu mengajarkan akhlak fadhilah
setelah membentuk mereka sebagai manusia -- kita harus menunggu kitab apa lagi?
Jasa
Al Quran Suci kepada Dunia
Merupakan
kebaikan/jasa Alquran Suci yang telah menunjukkan perbedaan antara keadaan‑keadaan
thabi’i dan akhlak fadhilah. Ia tidak berhenti sekedar mengangkat
dari keadaan‑ keadaan thabi’i lalu menyampaikannya sebatas mahligai
mulia akhlak fadhilah saja, melainkan pintu-pintu makrifat suci telah
dibukakannya untuk mencapai tahapan berikut yang masih tersisa, yakni derajat
keadaan-keadaan rohani. Dan tidak hanya sekedar membukakan, bahkan ia
telah pula berhasil mengantarkan ratusan ribu insan sampai ke derajat itu. Ringkasnya,
demikianlah Alquran Suci menjelaskan dengan amat indahnya tiga macam ajaran
sebagaimana telah kami paparkan di atas. Jadi, dikarenakan Alquran adalah himpunan
sempurna segenap ajaran yang merupakan landasan unsur‑unsur pendidikan
agama, untuk itulah Alquran Suci menyatakan bahwa ia telah mengembangkan wawasan
ajaran agama sampai ke taraf yang sempurna. Sebagai-mana Dia berfirman:
Yakni,
pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu dan telah melengkapkan nikmat‑Ku
atasmu dan Aku telah meridhai Islam sebagai agamamu (5:4). Yakni, derajat tertinggi
dalam agama ialah hal-hal yang mengandung makna “Islam”, yaitu menyerahkan
diri semata-mata kepada Tuhan dan mengupayakan keselamatan dirinya melalui pengorbanan
diri sendiri, bukan dengan cara lain; dan memperlihatkan niat serta tekad itu
secara amalan. Itulah titik dimana segenap kesempurnaan berakhir. Jadi, Alquran
Suci telah menunjukkan Tuhan sejati yang tidak dikenali oleh para cendekiawan.
Alquran Suci telah menetapkan dua cara untuk memperoleh makrifat Ilahi. Cara
pertama ialah yang dengan menempuhnya, maka akal manusia akan menjadi amat kuat
dan cemerlang dalam mencetuskan dalil-dalil logika, sehingga ter-hindar dari
melakukan kekeliruan. Yang kedua ialah cara rohaniah yang insya Allah sebentar
lagi akan kami uraikan dalam pembahasan masalah ketiga.
Dalil-dalil
Adanya Tuhan
Sekarang
perhatikanlah dalil-dalil hebat dan tidak ada bandingannya yang telah dipaparkan
oleh Alquran Suci secara logika tentang Wujud Tuhan, sebagaimana firman‑Nya
di satu tempat:
Yakni,
Tuhan adalah Dia Yang telah menganugerahkan kepada tiap sesuatu penciptaan/kelahiran
yang sesuai dengan keadaannya, kemudian menunjukinya jalan untuk mencapai kesempurnaannya
yang diinginkan (20:51). Kini jika dengan memperhatikan makna ayat tersebut
kita menelaah bentuk ciptaan --mulai dari manusia hingga binatang‑binatang
daratan dan lautan serta burung‑burung -- maka timbul ingatan akan kekuasaan
Ilahi. Yakni, bentuk ciptaan setiap benda tampak sesuai dengan keadaannya. Para
pembaca dipersilahkan memikirkannya sendiri. Sebab masalah ini sangat luas.
Dalil
kedua mengenai adanya Tuhan ialah, Alquran Suci telah menyatakan Allah Ta’ala
sebagai sebab dasar dari segala sebab, sebagaimana Alquran Suci menyatakan:
Yakni,
seluruh rangkaian sebab dan akibat berakhir pada Tuhan engkau (53:43). Rincian
dalil ini ialah, berdasarkan penelaahan cermat akan diketahui bahwa seluruh
alam semesta ini terjalin dalam rangkaian sebab dan akibat. Dan oleh karena
itu, di dunia ini timbul berbagai macam ilmu. Sebab, karena tiada bagian ciptaan
yang terlepas dari tatanan itu. Sebagian merupakan landasan bagi yang lain,
dan sebagian lagi merupakan pengembangan-pengembangannya. Adalah jelas bahwa
suatu sebab timbul karena zatnya sendiri, atau berlandaskan pada sebab yang
lain. Kemudian sebab yang lain itu pun berlandaskan pada sebab yang lain lagi.
Dan demikianlah seterusnya. Tidak benar bahwa di dalam dunia yang terbatas
ini rangkaian sebab dan akibat tidak mempunyai kesudahan dan tiada berhingga.
Maka terpaksa diakui bahwa rangkaian ini pasti berakhir pada suatu sebab terakhir.
Jadi,
puncak terakhir semuanya itu ialah Tuhan. Perhatikanlah dengan seksama betapa
ayat: “Wa anna ilaa rabbikal-muntahaa” itu dengan kata‑katanya
yang ringkas telah menjelaskan dalil tersebut di atas, yang artinya, puncak
terakhir segala rangkaian ialah Tuhan engkau.
Kemudian
satu dalil lagi mengenai adanya Tuhan ialah, sebagaimana firman‑Nya:
Yakni,
matahari tidak dapat mengejar bulan dan juga malam yang merupakan penampakkan
bulan tidak dapat mendahului siang yang merupakan penampakkan matahari. Yakni,
tidak ada satu pun di antara mereka yang keluar dari batas-batas yang ditetapkan
bagi mereka (36:41). Jika di balik semua itu tidak ada Wujud Sang Perencana,
niscaya segala rangkaian tersebut akan hancur. Dalil ini sangat bermanfaat bagi
orang-orang yang gemar menelaah benda-benda langit, sebab benda‑benda
langit tersebut merupakan bola-bola raksasa yang tiada terhitung banyaknya,
sehingga dengan sedikit saja terganggu maka seluruh dunia dapat hancur. Betapa
ini merupakan suatu kekuasaan yang hakiki sehingga benda‑benda langit
itu tidak saling bertabrakkan dan kecepatannya tidak berubah seujung rambut
pun, serta tidak aus walau telah sekian lama bekerja dan tidak terjadi perubahan
sedikit pun. Sekiranya tidak ada Sang Penjaga, bagaimana mungkin jalinan kerja
yang demikian besar ini dapat berjalan dengan sendirinya sepanjang masa. Dengan
mengisyaratkan kepada hikmah-hikmah itulah, di tempat lain Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, dapatkah
Wujud Tuhan Yang telah menciptakan langit dan bumi demikian itu diragukan? (14:11)
Lalu
sebuah dalil lagi tentang keberadaan-Nya, difirmankan:
Yakni,
tiap sesuatu akan mengalami kepunahan dan yang kekal itu hanyalah Tuhan
Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (55:27,28). Kini perhatikanlah! Jika
kita bayangkan dunia ini menjadi hancur-lebur dan benda-benda langit pun pecah
berkeping‑keping, serta bertiup angin yang melenyapkan seluruh jejak benda-benda
itu, namun demikian akal mengakui serta menerima -- bahkan hati nurani menganggapnya
mutlak -- bahwa sesudah segala kebinasaan itu terjadi, pasti ada sesuatu yang
bertahan yang tidak mengalami kepunahan serta perubahan-perubahan dan tetap
utuh seperti keadaannya semula. Jadi, itulah Tuhan yang telah menciptakan
semua wujud fana (tidak kekal), sedangkan Dia sendiri terpelihara dari kepunahan.
Kemudian
satu dalil lagi berkenaan dengan keberadaan-Nya yang Dia dikemukakan di dalam
Alquran Suci adalah:
Yakni,
Aku berkata kepada setiap ruh: “Bukankah Aku Tuhan kamu?” Mereka berkata, “Ya,
sungguh benar!” (7:173). Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menerangkan dalam bentuk
kisah, suatu ciri khas ruh yang telah ditanamkan-Nya di dalam fitrat mereka.
Ciri khas itu ialah, pada fitratnya tiada satu ruh pun yang dapat mengingkari
hanyalah karena mereka tidak menemukan apa pun di dalam pikiran mereka. Kendati
mereka ingkar mereka mengakui bahwa tiap‑tiap kejadian pasti ada penyebabnya.
Di dunia ini tidak ada orang yang begitu bodohnya, misalnya jika pada tubuhnya
timbul suatu penyakit, dia tetap bersikeras menyatakan bahwa sebenarnya tidak
ada suatu sebab yang menimbulkan penyakit itu. Seandainya rangkaian dunia ini
tidak terjalin oleh sebab dan akibat, maka tidaklah mungkin dapat membuat prakiraan
bahwa pada tanggal sekian akan datang taufan atau badai; akan terjadi gerhana
matahari atau gerhana bulan; atau seseorang yang sakit akan wafat pada waktu
tertentu; atau sampai pada waktu tertentu suatu penyakit akan muncul bersamaan
dengan penyakit lain. Jadi, seorang peneliti, walaupun tidak mengakui Wujud
Tuhan, namun dari satu segi dia telah mengakuinya. Yakni ia pun, seperti halnya
kita, mencari-cari penyebab dari sebab akibat. Jadi, itu pun merupakan suatu
bentuk pengakuan, walaupun bukan pengakuan yang sempurna.
Selain
itu, apabila seseorang yang mengingkari Wujud Tuhan, dengan cara tertentu kesadarannya
dihilangkan -- yaitu ia sama sekali dijauhkan dari segala keinginan rendah ini
dan segala hasratnya dihilangkan, lalu diserahkan ke dalam kendali Wujud Yang
Maha Tinggi -- maka dalam keadaan demikian ia akan mengakui Wujud Tuhan, tidak
akan ingkar. Hal serupa itu telah dibuktikan melalui percobaan orang-orang yang
berpengalaman luas. Jadi, ke arah kondisi demikianlah isyarat yang terdapat
di dalam ayat itu. Dan makna ayat itu adalah, pengingkaran Wujud Tuhan
hanya terjadi sebatas kehidupan rendah saja. Sebab, fitrat yang asli dipenuhi
oleh pengakuan itu.
Sifat-sifat
Allah Ta’ala
Itulah
dalil-dalil tentang Wujud Tuhan yang kami tuliskan sebagai contoh. Kemudian
hendaklah diketahui bahwa Tuhan yang ke arah-Nya Alquran Suci mengimbau kita,
sifat-sifat-Nya telah ia terangkan sebagai berikut:
Yakni,
Dia itulah Tuhan Yang Esa, dan tiada sekutu bagi‑ Nya, tidak ada yang
patut disembah dan ditaati kecuali Dia (59:23). Hal itu dikatakan karena seandainya
Dia bukan sesuatu yang tanpa sekutu, mungkin saja kekuatan-Nya dapat ditaklukkan
oleh kekuatan musuh‑Nya. Dalam keadaan demikian, posisi Ketuhanan akan
tetap berada dalam ancaman bahaya. Dan yang difirmankan bahwa, “Tidak ada yang
patut disembah kecuali Dia,” artinya adalah, Dia merupakan Tuhan Yang Sempurna
sedemikian rupa yang sifat-sifat, kelebihan‑kelebihan serta kesempurnaan‑
kesempurnaan‑Nya demikian tinggi dan agung sehingga jika kita ingin memilih
satu tuhan dari segala wujud yang ada berdasarkan sifat-sifatnya yang sempurna,
atau kita di dalam hati membayangkan sifat‑sifat tuhan yang paling indah
dan paling tinggi, maka Dia-lah yang paling tinggi, yang selain-Nya tidak ada
yang dapat lebih tinggi dari Dia. Dia-lah Tuhan yang di dalam penyembahan-Nya
menyekutukan sesuatu yang lebih rendah merupakan suatu keaniayaan. Lebih lanjut
Dia berfirman, bahwa Dia ‘Alimul Ghaib. Yakni, hanya Dia-lah yang mengetahui
tentang diri-Nya sendiri. Tidak ada satu pun yang mampu meliputi batas Zat‑Nya.
Kita dapat melihat matahari, bulan dan tiap makhluk seutuhnya, akan tetapi kita
tidak dapat melihat Tuhan secara utuh. Kemudian firman-Nya bahwa Dia ‘Alimul
Syahadah. Yakni, tak ada suatu benda pun tersembunyi dari pandangan-pandangan‑Nya.
Tidaklah layak apabila Dia dikatakan sebagai Tuhan, lalu Dia tidak memiliki
pengetahuan tentang benda‑benda. Dia memiliki peng-lihatan atas partikel-partikel
alam ini, sedangkan manusia tidak memilikinya. Dia mengetahui kapan Dia akan
menghancurkan tatanan alam ini dan akan mendatangkan kiamat. Dan selain daripada-Nya
tidak ada yang mengetahui kapan hal itu akan terjadi. Jadi, Dia itulah Tuhan
Yang Mengetahui semua waktu tersebut. Kemudian firman‑Nya: “Hua rahmaanu,”
yakni sebelum ada wujud makhluk-makhluk hidup dan usaha-usaha mereka,. semata‑mata
karena Dia senang, bukan karena suatu maksud tertentu, dan bukan sebagai balasan
bagi suatu perbuatan, Dia telah menyediakan sarana-sarana kemudahan bagi mereka.
Contohnya, Dia telah menciptakan matahari, bumi, dan segala benda lain sebelum
adanya wujud serta perbuatan-perbuatan kita. Di dalam Kitab Ilahi anugerah demikian
itu dinamakan rahma-niyyat dan karena pekerjaan-Nya itulah Allah Ta’ala
disebut Rahman. Kemudian firman-Nya lagi: ”Ar-rahiim,” yakni Dia‑lah
Tuhan yang memberikan ganjaran terbaik bagi amal perbuatan yang baik, dan Dia
tidak menyia‑nyiakan upaya gigih seseorang. Berdasarkan pekerjaan‑Nya
ini, Dia disebut Rahim, dan sifat itu disebut rahimiyyat (59:23).
Kemudian firman-Nya:
“Maaliki yaumiddiin,” yakni, Dia-lah
Tuhan Yang menyimpan di tangan-Nya balasan bagi segala sesuatu. Dia tidak memiliki
petugas yang kepadanya Dia serahkan pemerintahan langit dan bumi, sedangkan
Dia sendiri tidak campur-tangan duduk tanpa pekerjaan; hanya si petugas itu
sajalah yang memberikan segala ganjaran maupun hukuman di alam ini atau di Hari
Kemudian (1:4).
Kemudian
firman‑Nya: “Almalikul-qudduus,” Yakni, Tuhan itu Dia‑lah
Raja Yang tiada bernoda dan tiada bercacat (59:24). Adalah jelas bahwa kerajaan
manusia tidak bersih dari keaiban. Seandainya seluruh penduduk suatu negeri
meninggalkan negeri mereka beramai‑ramai dan mengungsi ke negeri lain,
niscaya kerajaan itu tidak akan dapat berdiri. Atau, andaikata seluruh rakyat
dilanda musim kemarau, dari manakah akan diperoleh upeti bagi raja? Sekiranya
rakyat mulai mempersoalkan apa kelebihan raja dari mereka, maka kekuasaan apa
yang dapat dibuktikan oleh sang raja? Jadi, kerajaan Allah Ta’ala tidaklah demikian.
Dia dalam sekejap mata dapat melenyapkan seluruh negeri, dan Dia dapat menciptakan
makhluk‑makhluk. Sekiranya Dia bukan Sang Maha Pencipta dan Sang Maha
Kuasa, maka tatanan kerajaan‑Nya tidak dapat berjalan kecuali dengan menggunakan
cara‑cara kezaliman. Sebab, satu kali Dia memberikan pengampunan dan keselamatan
kepada dunia, maka dari mana Dia akan mendatangkan dunia yang lain? Apakah orang‑orang
yang sudah mendapat keselamatan itu harus ditangkapi untuk diturunkan lagi ke
dunia dan dengan cara aniaya Dia menarik kembali ampunan dan keselamatan yang
telah dilimpahkan-Nya? Jika demikian, pasti terdapat cela pada sifat Ketuhanan‑Nya,
dan Dia pun tak ubahnya seperti raja‑raja dunia mempunyai noda. Raja‑raja
membuat undang‑undang bagi dunia, lalu murka pada hal‑hal kecil,
dan jika untuk kepentingan pribadi mereka tidak melihat cara lain kecuali berbuat
zalim, maka mereka akan mengangap perbuatan zalim itu halal bagaikan susu ibu.
Misalnya, undang‑undang kerajaan mengizinkan agar sebuah perahu bersama
penumpang-penumpangnya dibiarkan tenggelam untuk menyelamatkan sebuah kapal.
Akan tetapi, ketidak-berdayaan seperti itu tidak berlaku pada Tuhan. Jadi, seandainya
Tuhan bukan merupakan Penguasa penuh dan bukan Pencipta dari sesuatu yang tidak
ada, maka Dia akan bertindak seperti raja‑raja lemah yang menggunakan
kezaliman untuk menegakkan kekuasaan; atau berlaku adil tetapi melepaskan sifat
Ketuhanan-Nya. Justru Bahtera Tuhan beserta segala kodrat‑Nya melaju dengan
anggun di atas keadilan sejati.
Kemudian
firman-Nya: “Assalaam,” yakni Dia‑lah Tuhan Yang terpelihara dari
segala aib, musibah dan kesulitan. Justru Dia‑lah Pemberi keselamatan.
Maksudnya pun jelas, sebab seandainya Dia sendiri tertimpa musibah-musibah,
dipukuli orang‑orang dan rencana-rencana‑Nya tidak berjaya, maka
dengan melihat contoh buruk itu bagaimana mungkin manusia akan merasa tenang
hatinya bahwa tuhan yang semacam itulah yang akan melepaskan mereka dari musibah-musibah?
Berkenaan dengan sembahan‑sembahan palsu, Allah Ta’ala berfirman:
Mereka yang
kamu anggap sebagai Tuhan, keadaannya adalah demikian, jika mereka semua bersatu
lalu ingin menciptakan seekor lalat, sampai kapan pun mereka tidak akan dapat
menciptakan, walaupun mereka saling membantu. Bahkan jika lalat itu merampas
sesuatu milik mereka, maka mereka tidak kuasa untuk mengambilnya kembali dari
lalat itu. Orang‑orang yang menyembah mereka, akalnya lemah dan yang disembah
pun kekuatannya tidak berdaya. Apakah Tuhan itu demikian? Tuhan adalah Dia yang
lebih perkasa dari segala yang perkasa dan unggul atas semuanya; tidak ada yang
dapat menangkap-Nya maupun memukul-Nya. Orang‑orang yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan
serupa itu tidaklah mengenal nilai Tuhan dan tidak tahu Tuhan itu seharusnya
yang bagaimana (22:74,75).
Kemudian
firman-nya: “Almu’min,” bahwa Tuhan adalah Sang Pemberi keamanan dan
yang menegakkan dalil-dalil tentang kesempurnaan-kesempurnaan dan Tauhid‑Nya.
Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang beriman kepada Tuhan sejati tidak akan
malu di hadapan orang banyak, dan tidak pula akan malu di hadapan Tuhan. Sebab,
ia memiliki dalil‑dalil yang kuat. Akan tetapi orang yang percaya kepada
tuhan palsu, berada dalam kesulitan besar. Bukannya dia mengemukakan dalil‑dalil,
justru dia memasukkan seluruh perkara sia-sia itu sebagai rahasia supaya jangan
sampai ditertawakan, dan dia ingin menyembunyikan kekeliruan-kekeliruan yang
telah terbukti nyata.
Dan kemudian
firman-Nya:
Dia merupakan
pelindung bagi semua dan unggul atas segala sesuatu serta memperbaiki apa yang
rusak, dan Zat‑Nya sangat berkecukupan (59:24). Dan difirmankan:
Yakni,
Dia adalah Tuhan yang menciptakan tubuh-tubuh dan juga yang menciptakan ruh-ruh.
Dia yang membentuk rupa di dalam rahim. Segala nama baik yang dapat terlintas
di pikiran, semua itu hanyalah bagi-Nya (59:25). Kemudian firman-Nya:
Yakni,
para penghuni langit menyanjung nama‑Nya, demikian pula para penghuni
bumi (59:25). Di dalam ayat ini diisyaratkan bahwa di benda‑ benda
langit ada penghuni dan mereka pun terikat dengan petunjuk‑petunjuk Tuhan.
Dan kemudian firman‑Nya pula:
Yakni,
Tuhan adalah Maha Kuasa (2:21). Ini merupakan ketenteraman bagi para
penyembah, sebab jika Tuhan itu lemah dan tidak kuasa, maka apalah yang dapat
diharapkan dari tuhan seperti itu? Dan kemudian firman-Nya:
Yakni,
Dia‑lah Tuhan Pemelihara sekalian alam, Maha Pemurah, Maha Penyayang,
serta Dia sendirilah Pemilik Hari Pembalasan. Wewenang itu tidak diserahkan-Nya
kepada siapa pun (1:2-4). Dia mendengar dan menjawab seruan setiap penyeru-Nya,
yakni mengabulkan do’a‑do’a (2:187). Kemudian firmannya:
Yakni,
Dia‑lah Yang Hidup selama‑lamanya dan Sumber segala kehidupan
serta Tumpuan segala wujud (3:3). Hal ini dikatakan karena seandainya Dia
tidak kekal abadi, maka berkenaan dengan hidup‑Nya pun akan tetap diragukan
bahwa jangan-jangan Dia telah mati sebelum kita. Dan kemudian difirmankan bahwa,
Dia‑lah Tuhan Yang Esa; bukan anak siapa pun, dan tidak pula ada anak‑Nya;
tidak ada yang menyamai-Nya dan tidak ada yang sejenis dengan-Nya (112:2‑5).
Dan hendaknya diingat, mengakui secara benar Tauhid Allah Ta’ala dan tidak
menambah serta menguranginya, itu merupakan sikap adil yang dilakukan manusia
terhadap Majikan-nya Yang Hakiki. Seluruh bagian ini merupakan pelajaran akhlak
yang telah dipaparkan dari ajaran Alquran Suci. Azas yang terdapat di dalamnya
ialah Allah Ta’ala telah menyelamatkan seluruh akhlak dari batas-batas yang
terlalu berlebihan dan terlalu kurang. Dan setiap akhlak baru dapat dinamakan
akhlak apabila diterapkan tidak lebih dan tidak kurang dari batas-batas yang
sebenarnya dan yang wajib. Adalah jelas bahwa kebaikan hakiki ialah sesuatu
yang dilakukan di tengah-tengah kedua batas tersebut, yakni di antara batas-batas
yang terlalu berlebihan dan yang terlalu kurang. Setiap kebiasaan yang menarik
orang supaya berjalan di tengah-tengah dan mempertahankannya, itulah yang menciptakan
akhlak fadhilah. Mengenal keadaan dan kesempatan adalah suatu jalan tengah.
Misalnya, jika seorang petani menyemai benih sebelum waktunya, atau sesudah
lewat waktunya, dalam kedua bentuk itu berarti dia telah meninggalkan jalan
tengah.
Kebaikan,
kebenaran, dan kebijaksanaan, semuanya berada di jalan tengah; sedangkan jalan
tengah itu memperhatikan situasi. Atau, katakanlah, kebenaran itu merupakan
sesuatu yang selalu terletak di tengah dua kebatilan yang berlawanan. Dan sedikit
pun tidak diragukan lagi bahwa sikap yang tepat sesuai keadaan, senantiasa menempatkan
manusia pada jalan tengah.
Dan
berkenaan dengan pengenalan terhadap Tuhan, jalan tengahnya ialah, tidak condong
ke arah penolakan terhadap sifat‑sifat-Nya dan tidak pula menyamakan Tuhan
dengan benda-benda jasmani. Cara inilah yang diterapkan Alquran Suci berkenaan
dengan sifat‑sifat Allah Ta’ala. Demikianlah, Alquran juga menyatakan
bahwa Tuhan melihat, mendengar, mengetahui, berbicara, dan bercakap‑cakap,
dan kemudian untuk menghindarkan kesamaan terhadap makhluk, Alquran pun menyatakan:
Yakni,
tidak ada yang menyekutui-Nya dalam hal zat dan sifat-sifat-Nya (42:12). Jangan
ciptakan bagi-Nya persamaan-persamaan dari kalangan makhluk (16:75). Jadi, menempatkan
Zat Tuhan tepat di antara batas-batas tasybih (sifat-sifat yang dapat
ditamsilkan) dan tanzih (sifat-sifat asli Tuhan yang tidak dapat ditamsilkan),
itulah jalan tengah. Ringkasnya, ajaran Islam adalah ajaran yang mengambil jalan
tengah. Surah Al‑Fatihah pun memberi petunjuk mengenai jalan tengah ini,
sebab Allah Ta’ala berfirman:
Yang
dimaksud dengan orang‑orang yang dimurkai ialah orang‑orang
yang menggunakan emosi untuk melawan Allah Ta’ala lalu mengikuti nafsu rendah.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah mereka yang
mengikuti nafsu kebinatangan. Dan jalan tengah adalah apa yang disebut dengan
kata . Ringkasnya,
bagi umat yang berbahagia ini di dalam Alquran Suci terdapat petunjuk tentang
jalan tengah. Di dalam Taurat, Allah Ta’ala telah menekankan perkara-perkara
pembalasan. Dan di dalam Injil, Dia telah memberikan penekanan pada pemberian
maaf dan sabar. Sedangkan umat ini telah mendapat ajaran tentang ketepatan situasi
dan jalan tengah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni,
Kami telah menjadikan kamu orang-orang yang mengamalkan jalan tengah dan kepada
kamu telah diajarkan jalan tengah (2:144). Maka berbahagialah mereka yang
mengikuti jalan tengah.
[Jalan
tengah adalah yang terbaik]
Perbaikan
Ketiga:
Keadaan-keadaan
Rohani Manusia
Persoalan
ketiga ialah: apakah keadaan‑keadaan rohani itu? Hendaknya jelas
bahwa sebelum ini kami sudah menerangkan bahwa menurut petunjuk Alquran Suci,
sumber dan mata-air keadaan‑keadaan rohani adalah nafs muthma’innah,
yang mengantarkan manusia dari derajat akhlak sampai pada derajat kedekatan
dengan Tuhan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni,
wahai jiwa yang mendapat ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada Rabb-mu!
Dia senang kepadamu dan kamu senang kepada-Nya. Maka bergabunglah dengan hamba‑hamba‑
Ku dan masuklah ke dalam surga‑Ku (89:28‑31).
Pada
tempat ini ada baiknya kalau kami menafsirkan ayat suci ini agak lebih luas
untuk menjelaskan keadaan‑keadaan rohani. Jadi hendaknya diingat
bahwa di dalam kehidupan manusia di dunia ini keadaan rohani tertinggi adalah
memperoleh ketenteraman bersama Allah Ta’ala; dan segala ketenangan, kebahagiaan,
dan kelezatan baginya terpusat pada Tuhan. Inilah keadaan yang dengan kata lain
disebut kehidupan surgawi. Dalam keadaan itu manusia langsung mendapat surga
sebagai ganjaran atas kejujuran hati, ketulusan, dan kesetiaannya yang sempurna.
Orang‑orang lain masih mengharapkan surga yang dijanjikan, sedangkan orang
yang memiliki derajat rohani tertinggi ini telah masuk ke dalam surga yang sudah
menjadi kenyataan. Setelah mencapai derajat ini barulah manusia mengerti bahwa
ibadah yang telah dibebankan atasnya justru merupakan makanan yang dengan itu
ruhnya akan tumbuh berkembang dan merupakan landasan yang kuat sekali bagi kehidupan
rohaninya. Untuk meraih hasilnya, tidak bergantung pada suatu alam lain. Justru
di tempat ini jugalah hasil itu diperoleh. Segala penyesalan yang dilakukan
oleh nafs lawwamah manusia atas kehidupannya yang kotor -- dan nafs
lawwamah itu tetap tidak mampu membangkitkan secara benar keinginan-keinginan
baik; dan tidak dapat membangkitkan kebencian sejati terhadap keinginan-keinginan
buruk; serta tidak pula dapat memberikan kekuatan sempurna untuk bertahan di
atas kebaikan -- melalui gerakan suci inilah hal-hal tersebut berubah. Itulah
yang merupakan awal pertumbuhan nafs muthma’innah. Dan setelah mencapai
derajat tersebut, tibalah saatnya manusia meraih kejayaan yang sempurna. Sejak
itu dorongan-dorongan nafsu mulai padam dengan sendirinya. Dan angin pemberi
kekuatan mulai bertiup di atas ruh, yang dengan itu manusia memandang kelemahan-kelemahannya
yang sudah-sudah dengan penyesalan. Pada saat itu di dalam diri manusia timbul
suatu revolusi besar, dan timbullah perubahan luar biasa dalam tingkah‑lakunya.
Kemudian ia sangat jauh meninggalkan keadaan-keadaannya semula, dibasuh dan
dibersihkan. Dan Tuhan dengan tangan‑Nya sendiri menuliskan di dalam hati
orang itu kecintaan akan kebaikan, serta dengan tangan‑Nya sendiri Dia
mencampakkan keluar kotoran keburukan dari dalam hatinya. Segenap lasykar kebenaran
memasuki lubuk hatinya dan kebenaran menguasai seluruh kubu fitratnya. Dan kebenaran
pun meraih kemenangan, sedangkan kebatilan melarikan diri dan membuang senjatanya.
Pada kalbu orang itu terdapat Tangan Tuhan, dan setiap langkah bergerak di bawah
naungan Tuhan. Di dalam ayat-ayat berikut ini Allah Ta’ala mengisyaratkan kepada
hal‑hal tersebut:
Yakni, Allah
Ta’ala telah menuliskan dengan tangan‑Nya sendiri keimanan dalam kalbu
orang‑orang mukmin dan menolong mereka dengan Ruhulkudus (58:23).
Hai orang‑orang mukmin, Dia telah menjadikan keimanan sebagai sesuatu
yang kamu cintai, dan telah menanamkan dalam hatimu keindahan serta kecantikannya.
Dan Dia telah menanamkan dalam hatimu kebencian terhadap kekufuran, perbuatan
buruk, dan perbuatan dosa. Dan Dia telah menanamkan di dalam hatimu rasa jijik
terhadap segala jalan yang buruk. Kesemuanya itu adalah berkat karunia serta
rahmat Allah (49:8,9). Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Dan
kebatilan tidak mungkin bertahan terhadap kebenaran (17:82)
Ringkasnya,
semua isyarat ini mengarah kepada keadaan rohani yang diraih manusia
pada derajat ketiga. Dan manusia kapan pun tidak dapat memperoleh penglihatan
sejati selama keadaan ini belum diraihnya. Dan yang difirmankan Allah Ta’ala
bahwa, “Aku telah menuliskan dengan tangan‑Ku sendiri keimanan di dalam
kalbu mereka serta telah menolong mereka melalui Ruhulkudus”, hal itu mengisyaratkan,
manusia sekali-kali tidak akan dapat meraih kebersihan dan kesucian sejati selama
pertolongan samawi belum menyertainya. Keadaan manusia pada derajat nafs
lawwamah adalah, ia berulangkali bertaubat dan berulangkali pula tergelincir.
Bahkan acapkali ia putus-asa terhadap kemampuan dirinya dan menganggap penyakitnya
tidak dapat disembuhkan lagi. Hingga satu jangka waktu tertentu keadaannya demikian.
Kemudian ketika waktu yang ditetapkan telah sempurna, maka pada malam hari atau
siang, turunlah suatu nur kepadanya. Dan di dalam nur itu terkandung kekuatan
Ilahi. Bersamaan dengan turunnya nur itu timbul suatu perubahan menakjubkan
di dalam dirinya dan terasa adanya suatu kekuatan Tangan Gaib, lalu nampaklah
di hadapannya suatu alam yang menakjubkan. Pada saat itu manusia menyadari bahwa
Tuhan benar‑benar ada, dan pada matanya muncul cahaya yang tidak ada sebelumnya.
Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat menemui jalan itu dan bagaimana kita dapat
memperoleh cahaya itu? Jadi hendaknya diketahui bahwa di dunia ini -- yang merupakan
tempat berlakunya faktor-faktor sebab -- bagi setiap akibat ada satu penyebabnya,
dan bagi setiap gerak ada satu penggeraknya. Dan untuk meraih setiap ilmu ada
satu jalan yang dinamakan sirathal mustaqim. Tiada suatu pun di dunia
ini yang dapat diperoleh tanpa mengikuti peraturan‑peraturan yang telah
ditetapkan oleh Kodrat (kekuasaan Tuhan) baginya sejak awal. Hukum Kodrat menunjukkan
bahwa untuk memperoleh sesuatu ada sirathal mustaqim, yang secara kodrati
dengan bertumpu kepadanyalah hal itu baru dapat diperoleh. Umpamanya, jika kita
duduk di dalam sebuah kamar yang gelap dan memerlukan cahaya matahari, maka
sirathal mustaqim bagi kita ialah, kita harus membuka jendela yang menghadap
ke arah matahari. Dengan demikian barulah cahaya matahari akan masuk ke dalam,
lalu menyinari kita. Jadi, adalah jelas, untuk memperoleh karunia Tuhan yang
sejati dan hakiki pasti ada suatu jendela tertentu, dan untuk mencapai kerohanian
yang suci pasti ada suatu cara tersendiri. Dan caranya, carilah sirathal
mustaqim bagi hal-hal rohaniah, sebagaimana kita senantiasa mencari sirathal
mustaqim bagi keberhasilan-keberhasilan dalam segala urusan kehidupan kita.
Akan tetapi, apakah memang demikian caranya, yaitu kita mencari perjumpaan dengan
Tuhan hanya bertumpu pada kemampuan akal kita dan melalui hal-hal yang kita
rancang sendiri saja? Apakah hanya melalui logika dan falsafah kita saja maka
pintu‑pintu itu akan terbuka bagi kita, padahal terbukanya pintu-pintu
tersebut sangat bergantung pada Tangan-Nya yang perkasa? Pahamilah dengan seyakin‑yakinnya
bahwa hal demikian sama sekali tidak benar. Kita sama sekali tidak dapat meraih
Sang Hayyul Qayyum (Tuhan Yang Maha Hidup dan Maha Tegak) dengan hanya
melalui upaya-upaya kita sendiri. Justru pada jalan ini satu-satunya sirathal
mustaqim ialah, pertama-tama kita harus menyerahkan kehidupan kita beserta
segala kemampuan kita pada jalan Allah, kemudian tetap tekun memanjatkan do’a
untuk meraih perjumpaan dengan Allah, agar kita dapat menjumpai Tuhan dengan
perantaraan Tuhan sendiri.
Sebuah
Do’a yang Indah
Do’a
paling indah yang diajarkan kepada kita selaras dengan waktu dan keadaan yang
tepat, dan yang menampilkan di hadapan kita gambaran gejolak rohaniah yang dimiliki
oleh fitrat, ialah do’a yang telah diajarkan kepada kita oleh Tuhan Yang Maha
Pengasih di dalam Kitab Suci-Nya, Alquran Suci, yakni dalam Surah Al‑Fatihah.
Dan do’a itu ialah:
Segala pujian
suci yang ada ialah bagi Allah Yang menciptakan dan memelihara sekalian alam
(1:1,2).
Dia‑lah
Tuhan yang menyediakan bagi kita sarana-sarana rahmat sebelum kita melakukan
amal perbuatan, dan Dia-lah yang dengan rahmat-Nya memberikan ganjaran sesudah
kita melakukan amal perbuatan (1:3).
Dia‑lah
Tuhan yang Satu-satunya Pemilik Hari Pembalasan (1:4). Dan tidak Dia serahkan
Hari itu kepada siapa pun.
Wahai Dia Yang
merupakan himpunan segala pujian itu, hanya kepada Engkau‑lah kami menyembah
dan hanya dari Engkau-lah kami memohon taufik dalam segala pekerjaan (1:5).
Disini ungkapan penyembahan dengan kata “kami”,
mengisyaratkan bahwa, “seluruh kekuatan kami telah terpaut pada penyembahan
terhadap Engkau dan tunduk di hadapan singgasana-Mu.” Sebab, manusia dari segi
kekuatan batiniahnya merupakan satu jemaat dan satu ummat. Dan dalam keadaan
demikian, bersujud-nya seluruh kekuatan kepada Tuhan, itulah keadaan yang disebut
Islam.
Tunjukkanlah
kami jalan Engkau yang lurus dan teguhkanlah kami di atas jalan itu, lalu tunjukkanlah
jalan orang‑orang yang kepada mereka telah Engkau turunkan nikmat serta
kemurahan Engkau, dan yang telah menjadi penerima anugerah serta karunia Engkau
(1:6).
Dan hindarkanlah
kami dari jalan orang‑orang yang Engkau murkai dan yang tidak dapat mencapai
Engkau serta yang telah sesat (1:7). Amin! Wahai Tuhan, lakukanlah demikian.
Ayat-ayat
ini menerangkan bahwa nikmat‑nikmat Allah Ta’ala -- yang dalam perkataan
lain disebut karunia‑karunia -- turun hanya kepada orang‑orang yang
telah mengorbankan hidup mereka di jalan Tuhan dan mewakafkan seluruh wujud
mereka di jalan-Nya, serta tenggelam dalam keridhaan‑Nya, lalu senantiasa
berdo’a agar segala sesuatu yang dapat diperoleh manusia berupa nikmat-nikmat
kerohanian, kedekatan dan perjumpaan dengan Tuhan serta percakapan dan dialog
dengan-Nya, semuanya itu dapat mereka peroleh. Dan bersama do’a itu mereka melaksanakan
ibadah dengan segenap kemampuan mereka, serta menjauhi dosa dan senantiasa merebahkan
diri di singgasana Ilahi. Dan sejauh yang mungkin bagi mereka, mereka menghindarkan
diri dari keburukan serta menjauhi jalan-jalan kemurkaan Ilahi. Jadi, karena
mereka mencari Tuhan dengan semangat serta ketulusan yang tinggi, maka mereka
menemukan-Nya dan mereka diberi minum dari mangkuk makrifat suci Allah Ta’ala.
Istiqamah
(kegigihan) yang telah disebut dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa karunia
sejati lagi sempurna yang menyampaikan kita ke alam kerohanian adalah berkaitan
erat dengan istiqamah yang sempurna. Dan yang dimaksud dengan istiqamah
yang sempurna ialah suatu kondisi tulus dan setia sedemikian rupa yang tidak
dapat dirusak oleh suatu ujian apa pun. Yakni, suatu jalinan yang tidak dapat
dipotong oleh pedang, tidak dapat di bakar oleh api, dan tidak dapat dicelakakan
oleh bencana apa pun. Kematian sanak‑saudara tidak dapat memutuskan jalinan
itu. Perpisahan dari segala yang dicintai tidak dapat mengganggunya. Kekhawatiran
akan runtuhnya kehormatan, sedikit pun tidak dapat membuatnya takut. Penderitaan
karena dera siksaan yang dahsyat, sedikit pun tidak membuat hatinya gentar.
Jadi, jalan ini memang sangat sempit dan jalan ini sangat sulit ditempuh. Ah,
betapa sulitnya! Ke arah inilah Allah swt. memberikan isyarat di dalam ayat-ayat
berikut:
Yakni,
katakanlah kepada mereka, “Sekiranya bapak-bapakmu dan anakanak lelakimu atau
saudara-saudara lelakimu dan isteri‑isterimu dan kaum keluargamu dan harta
kekayaan yang kamu usahakan dengan susah-payah dan perniagaan yang kamu khawatir
akan terhenti dan gedung‑gedungmu yang disukai hatimu, adalah lebih berharga
daripada Allah dan Rasul‑Nya, dan lebih berharga dari berjihad pada jalan
Allah, maka tunggulah saat ketika Allah menurunkan perintah‑Nya, dan Allah
sekali‑kali tidak akan menunjuki jalan‑Nya kepada orang‑orang
yang berbuat jahat” (9:24). Dari ayat‑ayat ini jelaslah bahwa orang-orang
yang meninggalkan kehendak Allah, kemudian mencintai sanak‑saudara serta
harta-kekayaannya, mereka pada pandangan Allah merupakan orang‑orang jahat,
mereka niscaya akan binasa. Sebab, mereka telah mengutamakan sesuatu selain
Allah.
Itulah
derajat ketiga, yang di dalamnya orang itu menjadi dekat dengan Tuhan, yang
untuk mencapainya ia telah menanggung ribuan penderitaan dan telah menundukkan
kepala di hadapan Tuhan dengan ketulusan dan keikhlasan sedemikian rupa sehingga
tiada lagi yang ia miliki selain Tuhan, seakan‑akan semuanya telah mati.
Jadi, hakikat sebenarnya ialah, selama kita sendiri belum mati, Tuhan Yang Hidup
tidak akan dapat kelihatan. Hari bagi penzahiran Tuhan adalah ketika kehidupan
jasmani kita mengalami maut. Kita buta selama kita belum menutup mata terhadap
benda lain selain Tuhan. Kita mati selama kita belum seperti orang mati di tangan
Tuhan. Tatkala wajah kita betul-betul tertuju ke hadapan-Nya, maka barulah istiqamah
sejati -- yang mengalahkan seluruh hawa nafsu -- akan kita peroleh. Sebelumnya
tidak. Istiqamah inilah yang mendatangkan maut kepada kehidupan nafsu.
Istiqamah kita adalah, sebagaimana Dia berfirman:
Yakni,
letakkanlah leher di hadapan‑Ku bagai hewan kurban (2:113). Demikian
pula kita baru akan mencapai derajat istiqamah tatkala segala bagian wujud kita
dan segala kemampuan diri kita tercurahkan kepada pekerjaan demikian, dan maut
kita serta hidup kita menjadi untuk-Nya semata. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni,
katakanlah, sembahyangku dan pengorbananku, dan hidupku, dan matiku, semuanya
adalah untuk Tuhan (6:163). Dan tatkala kecintaan manusia terhadap Tuhan
mencapai derajat demikian -- yakni matinya serta hidupnya tidak untuk dirinya
sendiri, melainkan untuk Tuhan semata -- maka barulah Tuhan yang senantiasa
mencurahkan kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang cinta kepada‑Nya,
menurunkan kecintaan-Nya terhadap manusia itu. Dengan bertemunya dua kecintaan
itu, di dalam diri manusia timbul sebuah nur yang tidak dikenali dan tidak
dapat dipahami oleh dunia. Dan ribuan orang shiddiq serta yang berkepribadian
suci telah dibunuh disebabkan dunia tidak mengenali mereka. Mereka dikatakan
pembuat makar dan mementingkan diri sendiri dikarenakan dunia tidak mampu menyaksikan
wajah nurani mereka, sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, orang‑orang
yang ingkar, memang mereka melihat ke arah engkau, namun engkau tidak kelihatan
oleh mereka (7:199).
Ringkasnya,
ketika nur itu mulai muncul, maka sejak hari kemunculan nur tersebut seorang
duniawi berubah menjadi seorang wujud samawi. Dia (Allah) Yang memiliki segala
wujud, berbicara di dalam diri orang itu dan Dia memperlihatkan kilauan Ketuhanan‑Nya.
Dan kalbu orang itu -- yang dipenuhi oleh kecintaan suci -- dijadikan-Nya sebagai
singgasana‑Nya. Dan semenjak orang itu meraih suatu perubahan nuraniah,
lalu dia menjadi seorang pribadi baru, maka Dia menjadi suatu Tuhan yang baru
baginya, dan menampakkan kebiasaan dan sunnah-sunnah yang baru. Bukan berarti
Dia merupakan Tuhan yang baru atau kebiasaan‑kebiasaan yang baru, melainkan
kebiasaan-kebiasaan tersebut berlainan dari kebiasaan‑kebiasaan umum Tuhan
yang tidak dikenal oleh falsafah dunia. Berkenaan dengan orang semacam itu Allah
swt. telah berfirman:
Yakni,
yang tinggi derajatnya di antara manusia ialah mereka yang telah sirna di dalam
keridhaan Tuhan. Mereka menjual jiwa mereka dan membeli keridhaan Tuhan. Inilah
orang‑orang yang mendapat rahmat Tuhan. Demikian pula orang yang telah
mencapai derajat keadaan rohani, mereka menjadi rela berkorban di jalan Tuhan
(2:208).
Dalam
ayat ini Allah Ta’ala berfirman bahwa orang yang mendapat keselamatan dari segala
penderitaan ialah dia yang menjual jiwanya di jalan Tuhan dan di jalan keridhaan-Nya,
dan dia dengan sepenuh hati membuktikan keadaan dirinya bahwa dia merupakan
kepunyaan Tuhan dan menganggap seluruh wujudnya sebagai sesuatu yang telah
diciptakan untuk menaati Sang Khaliq serta untuk mengkhidmati makhluk. Kemudian
dia begitu minatnya dan dengan sepenuh hati mengerjakan kebaikan-kebaikan hakiki
yang berkaitan dengan setiap potensi, seakan-akan dia sedang menyaksikan Sang
Kekasih Hakiki di dalam cermin kesetiaannya. Dan kehendaknya menjadi sewarna
dengan kehendak Allah Ta’ala. Dan segala kelezatan tampil di dalam kesetiaan
terhadap-Nya. Dan segenap amal saleh mulai tampil bukan dalam bentuk upaya gigih,
melainkan dalam bentuk ketertarikan terhadap kelezatan dan kenikmatan. Itulah
surga yang diperoleh insan rohani sebagai panjar, sedangkan surga yang akan
diperoleh kelak, pada hakikatnya merupakan cerminan dan bayangan surga tersebut
yang akan diperlihatkan oleh kodrat Ilahi dalam bentuk jasmani di alam ukhrawi.
Mengisyaratkan kepada hal inilah Allah swt. berfirman:
Yakni, barangsiapa
takut kepada Allah Ta’ala dan gentar terhadap martabat kebesaran serta keagungan‑Nya,
baginya tersedia dua surga, yang satu di dunia ini dan yang lainnya di akhirat
(55:47). Dan orang-orang yang tenggelam
di dalam Tuhan, Tuhan telah memberi minum kepada mereka serbat yang mensucikan
kalbu, pikiran-pikiran dan kehendak-kehendak mereka (76:22). Orang‑orang
baik meminum serbat yang campurannya kafur. Mereka minum dari mata air yang
mereka alirkan sendiri (76:6,7).
Hakikat
Serbat Kafur dan Zanjabil
Dan
sebelumnya pun sudah saya uraikan bahwa kata kafur telah digunakan dalam
ayat ini dengan maksud tertentu. Sebab, di dalam bahasa Arab, kafara artinya
adalah menekan serta menutupi. Jadi, ini mengisyaratkan bahwa
mereka telah meneguk mangkuk inqitha’ dan ruju’ ilallah (pemutusan
hubungan dan kembali kepada Allah) dengan ketulusan sedemikian rupa sehingga
kecintaan kepada dunia menjadi dingin sama sekali. Ini merupakan hal prinsip
bahwa segala dorongan nafsu timbul dari keinginan di dalam hati. Dan ketika
hati betul-betul jauh dari keinginan-keinginan yang tidak layak serta sedikit
pun tidak lagi memiliki kaitan dengannya, maka dorongan-dorongan nafsu itu pun
lambat-laun mulai berkurang hingga akhirnya lenyap. Jadi, disini demikian jugalah
maksud Allah Ta’ala. Dan itu juga yang Dia jelaskan di dalam ayat tersebut bahwa
orang-orang yang telah tunduk secara sempurna kepada-Nya, mereka telah keluar
sangat jauh dari dorongan-dorongan nafsu. Dan mereka telah tunduk kehadapan
Tuhan sedemikian rupa sehingga kalbu mereka menjadi dingin terhadap kesibukan
duniawi, dan dorongan-dorongan nafsu mereka telah tertekan tak ubahnya seperti
kafur yang menekan unsur-unsur beracun.
Kemudian
difirmankan bahwa, setelah meneguk mangkuk kafur itu, orang-orang tersebut
meneguk mangkuk yang campurannya zanjabil (76:18,19). Kini hendaklah
diketahui bahwa zanjabil terdiri dari dua kata. Yakni, zana dan
jabal. Dalam bahasa Arab, zana berarti mendaki dan jabal berarti
gunung. Arti paduannya adalah mendaki gunung. Kini hendaknya diketahui bahwa
pada manusia, dari saat setelah mengalami suatu penyakit beracun hingga mencapai
derajat kesehatan yang tinggi, terdapat pula dua kondisi. Kondisi pertama ialah
ketika gejolak unsur-unsur beracun menjadi lenyap sama sekali dan gejolak unsur-unsur
berbahaya mulai membaik dan serangan infeksi telah pulih dan taufan fatal yang
tadinya bergejolak telah mereda. Akan tetapi, hingga saat itu tubuh masih lemah,
tidak mampu melakukan pekerjaan berat dan jalannya pun masih terhuyung‑huyung.
Sedangkan kondisi kedua ialah tatkala kesehatan semula telah kembali muncul
dan kekuatan terkumpul penuh di dalam tubuh, dan karena kembalinya kekuatan
maka timbullah semangat sehingga dengan serta-merta dia mendaki ke atas gunung
dan untuk meluapkan kegembiraan dia berlari-lari di dataran tinggi. Jadi, kekuatan
ini diraih pada derajat suluk (jalan ke arah kesempurnaan rohani) yang
ketiga. Mengenai kondisi ini Allah Ta’ala mengisyaratkan dalam ayat tersebut
bahwa orang-orang yang sangat dekat dengan Tuhan meneguk mangkuk yang mengandung
campuran zanjabil (jahe). Yakni, mereka meraih kekuatan penuh kondisi
rohani, lalu memanjat puncak-puncak tinggi, dan pekerjaan-pekerjaan sulit dapat
diselesaikan oleh tangan mereka dan mereka memperlihatkan pengorbanan-pengorbanan
yang sangat menakjubkan di jalan Allah Ta’ala.
Khasiat
Zanjabil
Disini
hendaknya jelas pula bahwa menurut ilmu ketabiban, zanjabil merupakan
obat yang dalam bahasa Hindi disebut sunth. Zanjabil banyak memberikan
kekuatan pada daya panas tubuh dan menghentikan disentri. Dan dinamakan zanjabil
karena memberikan kekuatan serta menimbulkan panas sedemikian rupa kepada
orang yang lemah, sehingga ia mampu memanjat gunung-gunung.
Maksud
Allah Ta’ala memaparkan ayat-ayat yang berlawanan arah ini -- di satu tempat
memaparkan masalah kafur, dan di tempat lainnya masalah zanjabil
-- adalah untuk menjelaskan kepada hamba‑hamba‑Nya bahwa tatkala
manusia bergerak dari dorongan-dorongan nafsu menuju ke arah kebaikan, maka
pertama-tama kondisi yang timbul setelah gerakan itu adalah lumpuhnya unsur‑unsur
beracun yang ia miliki. Dan dorongan-dorongan nafsu mulai berkurang seperti
halnya unsur-unsur beracun yang dilumpuhkan oleh kafur. Oleh karena itulah
kafur bermanfaat untuk penyembuhan penyakit kolera dan typhus. Dan kemudian,
ketika gejolak unsur-unsur berbahaya telah lenyap sama sekali serta kesehatan
rapuh yang bercampur kelemahan telah dicapai, maka tahapan yang kedua adalah,
orang sakit yang lemah itu akan mendapatkan kekuatan dari serbat zanjabil.
Dan serbat zanjabil merupakan perwujudan keindahan serta kecantikan Allah
Ta’ala, yang merupakan makanan bagi ruh. Apabila manusia memperoleh kekuatan
dari perwujudan itu, maka dia akan mampu memanjat puncak-puncak yang tinggi
serta memperlihatkan pekerjaan-pekerjaan besar yang begitu menakjubkan di jalan
Allah Ta’ala. Sebab, seseorang sama sekali tidak akan sanggup memperlihatkan
pekerjaan demikian selama di dalam hatinya belum terdapat api kecintaan. Jadi
disini, untuk menjelaskan kedua keadaan itulah Allah Ta’ala telah menggunakan
kedua kata bahasa Arab tersebut. Pertama kafur, yang berarti sesuatu
yang menekan; dan yang kedua zanjabil, yang berarti sesuatu yang mendaki.
Dan di jalan ini pun bagi para pencari Tuhan terdapat kedua keadaan itu.
Ayat
selanjutnya adalah:
Yakni,
kami telah menyediakan bagi orang‑orang ingkar --yang tidak mau menerima
kebenaran -- rantai-rantai, belenggu leher, dan nyala api yang membakar (76:5).
Maksud ayat ini ialah, barangsiapa yang tidak mencari Tuhan dengan tulus
hati, mereka akan mendapat siksaan dari Tuhan. Mereka terperangkap dalam jeratan-jeratan
dunia sehingga seakan-akan kaki mereka terikat rantai. Dan mereka begitu tunduk
kepada urusan‑urusan dunia sehingga seakan-akan pada leher mereka terdapat
sebuah belenggu yang menghalangi mereka menengadah ke langit. Dan hati mereka
terbakar oleh api ketamakan serta nafsu untuk mendapatkan kekayaan; untuk memperoleh
harta; untuk menguasai negeri tertentu; untuk menaklukkan musuh; untuk mendapatkan
sekian banyak uang dan harta. Jadi, dikarenakan Allah Ta’ala mendapatkan mereka
dalam kondisi tidak layak dan tenggelam dalam pekerjaan-pekerjaan buruk, itulah
sebabnya ketiga bencana ini Dia lekatkan pada mereka. Dan disini juga disyaratkan
bahwa apabila manusia melakukan suatu perbuatan, maka bersesuaian dengan itu
Allah Ta’ala pun dari pihak-Nya melakukan suatu perbuatan. Misalnya, pada saat
manusia menutup semua pintu kamarnya, maka sesudah perbuatan manusia itu, perbuatan
Allah Ta’ala adalah, Dia akan menciptakan kegelapan di dalam kamar tersebut.
Oleh karena hal-hal tersebut di dalam hukum kodrat Allah Ta’ala, telah ditetapkan
sebagai dampak mutlak bagi perbuatan-perbuatan kita, kesemuanya itu merupakan
perbuatan Allah Ta’ala. Karena, Dia‑lah yang merupakan sebab dari segala
sebab. Demikian pula misalnya, jika seseorang menelan racun mematikan, maka
setelah perbuatannya itu, perbuatan Allah Ta’ala adalah Dia akan mematikan orang
tersebut. Demikian pula jika seseorang melakukan suatu perbuatan tak senonoh
yang dapat mendatangkan penyakit menular, maka setelah perbuatannya itu perbuatan
Allah Ta’ala adalah, Dia akan membuat penyakit menular itu menjangkiti orang
tersebut. Jadi, sebagaimana di dalam kehidupan duniawi kita tampak jelas bahwa
bagi setiap perbuatan kita terdapat suatu akibat yang mutlak, dan akibat itu
merupakan perbuatan Allah Ta’ala, demikian pula berkenaan dengan kerohanian
pun berlaku hukum serupa. Sebagaimana Allah Ta’ala dengan jelas berfirman di
dalam kedua tamsil berikut:
Yakni,
orang‑orang yang mengamalkan perbuatan ini -- yaitu, mereka telah berusaha
keras mencari Allah Ta’ala -- maka bagi perbuatan itu sikap Kami secara mutlak
adalah, Kami akan menunjukkan jalan Kami kepada mereka (29: 70). Dan orang-orang
yang memilih jalan bengkok serta tidak ingin menempuh jalan lurus, maka sikap
Kami yang bersesuaian dengan itu adalah, Kami akan membengkokkan hati mereka
(61:6). Kemudian untuk lebih memperjelas keadaan ini, Dia berfirman:
Yakni,
barangsiapa buta di dunia ini, maka di akhirat pun dia akan tetap buta, bahkan
lebih buruk dari orang-orang buta (17: 73). Ini mengisyaratkan bahwa
bagi hamba-hamba saleh, penampakkan Tuhan akan tampil di dunia ini juga, dan
disini pulalah mereka meraih penampakkan Sang Kekasih itu, yang untuknya mereka
meninggalkan segala sesuatu. Ringkasnya, makna ayat ini adalah, landasan kehidupan
surgawi justru tertanam di dunia ini juga, sedangkan akar kebutaan jahannami
terletak di dalam kehidupan kotor lagi jijik yang ada di dunia ini juga. Kemudian
Dia berfirman:
Yakni,
orang‑orang yang beriman dan beramal saleh, mereka merupakan pewaris kebun‑kebun
yang di bawahnya mengalir sungai‑sungai (2:26). Di dalam ayat ini
Allah Ta’ala telah menamsilkan iman dengan kebun yang di bawahnya mengalir sungai‑sungai.
Jadi
jelas, disini telah diungkapkan dalam warna falsafah yang tinggi bahwa seperti
hubungan sungai-sungai dengan kebun, demikian pulalah hubungan amal perbuatan
dengan iman. Jadi, sebagaimana sebuah kebun tidak dapat hidup dengan subur tanpa
air, demikian pulalah iman tanpa amal saleh tidak dapat dikatakan iman yang
hidup. Andaikata iman ada, namun tidak ada amal, maka sia‑sialah keimanan
itu. Dan apabila amal perbuatan ada, sedangkan iman tidak ada, maka amal perbuatan
itu merupakan pamer. Hakikat surga menurut Islam ialah, surga merupakan bayangan
amal dan iman di dunia ini. Surga bukanlah suatu barang baru yang didapat manusia
dari luar. Justru surga bagi manusia muncul dari dalam diri manusia sendiri.
Dan surga bagi setiap orang merupakan iman dan amal salehnya yang sejak di dunia
ini juga mulai terasa kelezatannya, serta kebun iman dan amal-amalnya kelihatan
secara terselubung. Dan sungai-sungai pun kelihatan. Tetapi kebun itu jugalah
yang akan terasa secara nyata di alam akhirat. Ajaran suci Allah Ta’ala menerangkan
kepada kita bahwa keimanan yang sejati, suci, teguh, dan sempurna -- yang bertalian
dengan sifat-sifat dan kehendak-kehendak-Nya -- itu merupakan surga yang indah
dan pohon‑pohon yang berbuah lebat; sedangkan amal‑amal saleh merupakan
sungai-sungai surgawi. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni,
kalimah keimanan -- yang suci dari segala kelebihan serta kekurangan, cela,
cacat, kepalsuan dan kesia-siaan serta sempurna dari segala segi -- adalah ibarat
pohon yang terhindar dari segala macam kekurangan yang akarnya menghunjam ke
dalam bumi, sedangkan cabang‑cabangnya menjangkau langit, dan berbuah
sepanjang masa, dan tiada musim ketika dahan‑dahannya tidak berbuah (14:25,26).
Di dalam uraian ini Allah Ta’ala telah mengibaratkan kalimah keimanan sebagai
pohon yang berbuah sepanjang masa, lalu menerangkan tiga tandanya:
1. Pertama, akarnya -- yakni, maknanya
yang hakiki -- menghunjam ke dalam kalbu manusia. Yakni, fitrat dan hati nurani
manusia telah menerima hakikat dan kemurniannya.
2. Tanda kedua ialah, cabang‑cabang
kalimah itu menjangkau langit. Yakni, dia mengandung unsur-unsur logika dan
bersesuaian dengan hukum kodrat samawi yang merupakan pekerjaan Tuhan. Artinya,
dalil-dalil kebenaran serta kemurniannya dapat dibuktikan melalui hukum kodrat.
Kemudian dalil-dalil itu demikian luhurnya sehingga seakan‑akan ada di
langit, yang tidak dapat dijangkau oleh bantahan.
3. Tanda ketiga ialah, buah yang layak
untuk dimakan itu selamanya ada dan tidak pernah habis. Yakni, setelah penerapannya
secara amalan, maka berkat-berkat serta pengaruh-pengaruhnya tampak dan terasa
di setiap zaman -- tidak hanya muncul disuatu zaman tertentu saja, lalu selanjutnya
hilang.
Dia kemudian berfirman:
Yakni,
kalimah yang buruk adalah ibarat pohon yang tercabut dari bumi. Yakni, fitrat
manusia tidak menerimanya dan dari segi apa pun tidak dapat berdiri tegak --
baik dari segi dalil-dalil logika, dari segi hukum kodrat, maupun dari segi
hati nurani (14:27). Ia hanya berupa kisah dan dongengan belaka. Dan sebagaimana
Alquran Suci telah mengibaratkan iman di alam akhirat sebagai pohon-pohon suci,
anggur, delima, dan buah‑buah lezat, dan telah Dia uraikan bahwa pada
hari itu keimanan tersebut akan menjelma dan tampak dalam bentuk buah-buah tadi,
maka seperti itu pula pohon buruk kekufuran di akhirat telah Dia namakan zaqqum.
Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni,
katakanlah oleh kamu, apakah kebun-kebun surga yang baik, ataukah pohon zaqqum
yang merupakan satu cobaan bagi orang‑orang zalim? Zaqqum adalah
sebuah pohon yang tumbuh dari akar jahannam, yakni yang tumbuh dari ketakaburan
dan kesombongan (37:63‑65). Itulah akar jahannam. Putiknya berbentuk sedemikian
rupa seperti kepala syaitan. Syaitan artinya yang binasa. Kata
syaitan berasal dari kata syayatha. Jadi, kesimpulannya adalah, memakannya
berarti suatu kebinasaan. Dan kemudian difirmankan, pohon zaqqum merupakan
makanan bagi orang-orang neraka yang sengaja melakukan dosa. Makanan itu bagaikan
cairan tembaga yang akan bergolak di dalam perut seperti air mendidih. Kemudian
difirmankan kepada orang neraka, rasakanlah pohon itu, kamu orang terhormat
lagi mulia (44:44‑47;50). Ini merupakan kalimat kemurkaan yang amat sangat.
Maksudnya adalah: jika kamu tidak takabur dan mempertimbangkan kemuliaan serta
kehormatanmu sehingga tidak berpaling dari kebenaran, maka pada hari ini tentu
kamu tidak akan merasakan kepahitan-kepahitan tersebut. Ayat ini juga mengisyaratkan
bahwa sebenarnya kata zaqqum merupakan gabungan kata zuq dan am.
Sedangkan am merupakan ringkasan dari kalimat
yang di dalamnya terdapat satu
huruf pertama (alif) dan satu huruf akhir (mim). Dan
penggunaan yang berulang kali telah mengubah huruf (dzal)
menjadi (zai).
Kini,
kesimpulannya adalah, sebagaimana Allah Ta’ala telah mengibaratkan kalimat-kalimat
imaniah dunia ini sebagai surga, demikian pula Dia telah mengibaratkan kalimat-kalimat
kekufuran dunia ini dengan zaqqum dan menetapkannya sebagai pohon neraka.
Dan Dia telah menyatakan bahwa akar surga serta akar neraka bermula dari dunia
ini juga. Dia berfirman pada tempat lain mengenai neraka sebagai berikut:
Yakni,
neraka adalah api yang bersumber pada kemurkaan Tuhan dan dikobarkan oleh dosa,
dan pertama-tama menguasai hati (104:7,8). Hal itu mengisyaratkan bahwa
sumber asli api tersebut ialah kedukaan, kekecewaan, dan derita yang merenggut
hati. Sebab, segala siksaan rohani bermula dari hati, lalu menjalari sekujur
tubuh.
Kemudian
di tempat lain Dia berfirman:
Yakni,
bahan bakar api neraka yang membuat api itu terus menerus berkobar, terdiri
dari dua bahan (2:25). Pertama adalah manusia yang meninggalkan Tuhan hakiki
dan menyembah benda‑benda lain, atau atas kehendak sendiri membuat diri
mereka disembah. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni,
kamu dan sembahan-sembahan palsumu -- yang merupakan manusia tetapi disebut
tuhan -- akan dilemparkan ke dalam Jahannam. Bahan bakar yang kedua bagi neraka
adalah berhala-berhala. Artinya adalah jika kedua benda ini tidak ada maka neraka
pun tidak akan ada (21:99).
Jadi,
dari seluruh ayat ini nyatalah bahwa di dalam Kalam Suci Allah Ta’ala, surga
dan neraka tidaklah sama seperti dunia jasmani ini, melainkan pangkal dan sumber
keduanya adalah perkara-perkara rohani. Ya, benda-benda itu di alam akhirat
akan tampak dalam bentuk jasmani. Akan tetapi di alam jasmani ini tidak akan
demikian.
Sarana
untuk Menciptakan Hubungan Rohani yang Sempurna dengan Allah Ta’ala
Sekarang
saya kembali kepada tujuan semula, mengatakan bahwa sarana untuk menciptakan
hubungan rohani dan hubungan yang sempurna dengan Allah Ta’ala yang telah diajarkan
Alquran Suci kepada kita adalah Islam dan do’a Al-Fatihah.
Yakni, pertama‑tama mewakafkan seluruh hidup kita di jalan Allah, dan
kemudian senantiasa memanjatkan do’a yang telah diajarkan kepada orang‑orang
Islam dalam Surah Al‑Fatihah. Kedua hal ini merupakan intisari Islam.
Islam dan do’a Al‑Fatihah merupakan suatu sarana mulia untuk mencapai
Allah di dunia dan untuk mereguk air keselamatan hakiki. Bahkan inilah sarana
yang telah ditetapkan oleh hukum kodrat untuk meraih kemajuan tertinggi bagi
manusia dan untuk memperoleh perjumpaan Ilahi. Dan yang menemukan Allah adalah
mereka yang masuk ke dalam api rohani makna Islam dan yang senantiasa
memanjatkan do’a Al‑Fatihah. Apakah Islam itu? Islam adalah
api menyala yang membakar kehidupan rendah kita dan menghanguskan berhala-berhala
palsu kita, lalu mempersembahkan pengorbanan jiwa kita, harta kita, dan kehormatan
kita di hadapan Sang Sembahan Yang Mahabenar dan Mahasuci. Setelah masuk ke
dalam mata air yang demikian, kita meminum air kehidupan baru. Dan segenap kekuatan
rohani kita lekat menyatu dengan Allah sedemikian rupa bagaikan seutas tali
yang diikatkan dengan tali lainnya. Bagai api halilintar, dari dalam diri kita
muncul sebuah api, dan sebuah api lagi turun kepada kita dari atas. Dengan bertemunya
kedua kobaran api ini, segenap hawa nafsu dan kecintaan kita terhadap wujud-wujud
selain Allah menjadi hangus terbakar. Dan kita menjadi mati dari kehidupan pertama
kita. Berdasarkan Alquran Suci, keadaan ini dinamakan Islam. Melalui
Islam dorongan-dorongan hawa nafsu kita mengalami maut. Dan kemudian
melalui do’a, kita memperoleh kehidupan baru. Untuk kehidupan kedua ini, keberadaan
ilham Ilahi adalah penting. Pencapaian pada derajat itulah yang dinamakan liqa
Ilahi, yakni penampakan dan perwujudan Allah. Setelah mencapai derajat ini,
manusia meraih suatu kedekatan dengan Allah, sehingga manusia seakan‑akan
melihat-Nya dengan mata. Dan si manusia itu diberikan kekuatan. Seluruh indera
serta segala kemampuan batinnya dicemerlangkan, dan daya tarik kehidupan suci
mulai berlangsung dengan sangat dahsyat. Setelah memasuki derajat ini, Allah
menjadi mata bagi manusia yang dengan itu ia melihat; dan menjadi lidah yang
dengan itu ia berkata-kata; menjadi tangan yang dengan itu ia menyerang; menjadi
telinga yang dengan itu ia mendengar; menjadi kaki yang dengan itu ia berjalan.
Mengisyaratkan kepada derajat itulah Allah Ta’ala berfirman:
Tangannya
(Muhammad saw.) merupakan tangan Allah Ta’ala yang ada di atas tangan-tangan
mereka (48:11). Dan demikian pula Dia berfirman:
Yakni,
yang engkau lemparkan, bukan engkau yang melemparkan, melainkan Allah-lah yang
telah melemparkan (8:18). Ringkasnya, pada derajat ini timbul keterpaduan
yang sempurna dengan Allah Ta’ala. Dan kehendak suci Allah Ta’ala mengalir
di dalam urat-urat nadi ruh. Dan kekuatan-kekuatan akhlak yang tadinya lemah,
pada derajat ini tampak bagaikan gunung-gunung yang kokoh. Akal dan firasat
menjadi sangat peka. Inilah makna ayat yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
Pada
derajat ini sungai-sungai kecintaan dan keasyikan bergejolak sedemikian rupa,
sehingga mati untuk Allah Ta’ala, menanggung ribuan penderitaan, dan kehilangan
kehormatan demi Allah menjadi begitu mudahnya seperti mematahkan sebuah ranting
yang kecil. Ia ditarik terus-menerus ke arah Allah Ta’ala dan ia tidak tahu
siapa yang sedang menariknya. Sebuah tangan gaib senantiasa menuntunnya. Dan
memenuhi segala kehendak Allah Ta’ala merupakan tujuan utama hidupnya. Pada
derajat ini Allah Ta’ala nampak sangat dekat, sebagaimana Dia telah berfirman:
Yakni,
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (50:17). Dalam kondisi seperti
ini, orang yang memiliki derajat tersebut adalah bagaikan buah matang yang dengan
sendirinya jatuh dari pohon. Seperti itulah segenap hubungan rendah yang dimiliki
oleh orang pada derajat tersebut menjadi lenyap. Ia akan memiliki hubungan yang
sangat dalam dengan Allah Ta’ala, dan menjadi jauh dari makhluk, serta meraih
anugerah berkata-kata dan bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala. Sekarang pun pintu-pintu
untuk mencapai derajat itu masih terbuka sebagaimana telah terbuka pada masa
dahulu. Dan sekarang pun karunia Allah Ta’ala masih menganugerahkan nikmat ini
kepada para pencari, sebagaimana Dia dahulu anugerahkan. Akan tetapi, jalan
ini tidak dapat dicapai hanya dengan ucapan-ucapan kosong, dan pintu ini tidak
dapat terbuka dengan ocehan dan bualan belaka. Banyak yang mendambakannya namun
sedikit sekali yang berhasil mendapatkannya.
Apa
yang menyebabkannya demikian? Sebabnya adalah, derajat ini sangat bertumpu pada
kerja keras dan upaya yang sungguh‑sungguh. Teruslah bicara sampai Hari
Kiamat, apalah yang dapat diperoleh! Dengan jujur melangkahkan kaki ke atas
api ini -- yang justru karena sangat takut terhadapnya orang-orang lain pada
berlarian -- adalah syarat pertama jalan itu. Jika tidak ada upaya gigih dalam
bentuk amalan, maka sekedar berceloteh tidaklah berarti apa‑apa.
Sumber: (http://www.alislam.org/indonesia/pustaka/Filsafat/MasalahPertama.htm) .
Zulfarizan Zakaria "FABI
AYYI AALA IRABBIKUMA TUKAZZHIBAN" = Nikmat Tuhan Manakah Yang Engkau
Hendak Dustakan?........muhasabah buat diri kite ni belake kerana Allah
S.W.T.....
Perhatian: Pemaparan
tajuk-tajuk, gambar-gambar dan segala bagai, adalah pandangan dan
pendapat peribadi yang lebih menjurus kepada sikap dan sifat untuk
menjadi lebih baik dengan mengamalkan gaya hidup menurut perentah dan
larangan Allah S.W.T., antaranya bersikap dengan tiada prasangka, tidak
bertujuan untuk kebencian, tidak berkeperluan untuk bersubahat dengan
perkara bohong dan tiada kaitan dan berkepentingan dengan mana-mana
individu. Jujur., aku hanyalah hamba Allah S.W.T., yang hina dina.
BERSANGKA BAIK KERANA ALLAH S.W.T..
urv.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan