5079. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Hukum Sebut Sayyidina.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ , الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ , مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ , إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيمَ , صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ.
Assalamualaikum w.b.t/السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
Meja www.peceq.blogspot.com .
Hukum Sebut Sayyidina
Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab.
Imam Asnawi di dalam
kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam,
dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu
hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan
menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam
membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala
Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat
yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan
kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh
selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn
al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah
lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh
talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil
lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat
kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud
dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha
Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah
ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan
kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan
tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya:
“Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR
Abu Dawud)
Dalam sebuah hadits
shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi',
bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat
berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala
setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba
salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat
Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat
itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”.
Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits
sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini
adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama;
Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat
selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara
dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa
orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan
“al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h.
287).
Dengan demikian boleh
hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat
menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di
dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang
sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan
dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ
تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan
tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan
hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits
dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang
menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits
palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah
kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang
ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing.
Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata
“Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada,
Yasiidu”.
Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang
membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada,
Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian,
-seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang
dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan
pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang
Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat
sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah,
baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak
memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan
adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat
mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا
لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ،
وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ
بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“
Yang lebih utama adalah
mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan
adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih
utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang
warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun
hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw”
(Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”
(Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Wallahu 'alam.
Link pilihan:
https://www.facebook.com/note.php?note_id=112872728729645
http://www.ustadzfarid.com/2012/02/mengucapkan-taswid-sayyidina-ketika.html
http://www.youtube.com/watch?v=o1gOkepVgKY
http://www.youtube.com/watch?v=vSxlwMovdBs
My Dashboard.
s3v3n
Tiada ulasan:
Catat Ulasan