Selasa, 17 Oktober 2017

.6236. Walisongo Adalah Jamaah Tabligh Awwalun.

Walisongo Adalah Jamaah Tabligh Awwalun

1.      Tertib dakwah wali songo

Para Walisongo yang datang ke tanah Jawa bukan sendiri-sendiri dan tanpa program, beliau meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk mendakwahkan agama dengan harta dan diri mereka untuk ta’at perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bukan sekedar kebetulan, beliau berkumpul dengan sahabat-sahabat yang lain. Para Da’i dan Wali Allah yang masuk ke tanah Jawa ini tidak hanya satu rombongan saja seperti anggapan kebanyakan orang. Sesungguhnya semua ada 5 periode atau 5 rombongan. Dalam 1 rombongan semuanya berjumlah 9 (sembilan) orang dan setiap satu rombongan semuanya memiliki keistimewaan atau keahlian sendiri-sendiri yang sangat munasib (kompeten) ada Ahli Tata Negara, Ahli Ilmu Dinniyah atau Agama, Ilmu Teknik, Ahli Seni, dan lain-lain.

Periode yang pertama. Amir (pimpinan) rombongan adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim makamnya di Gresik. Makmurnya Syaikh Maulana Ibrahim As Samarqandi makamnya di Gresik Harjo Tuban, Syaikh Maulana Ishak makamnya di Aceh, Syaikh Maulana Ibrahim Jumadil Qubra makamnya di Pamijahan Jabar, Syaikh Maula Achmad Jumadil Qubra makamnya di Trowulan Mojokerto, Syaikh Maulana Subakir pulang ke Persia. 7. Syaikh Maulana Sulthan Hasanuddin makamnya di Banten Lama, Syaikh Maulana ‘Aliyuddin, adik Sulthan Hasanuddin makamnya di gunung Santri Cilegon, Maaf kitabnya terkoyak karena terlalu kuno, tulisan nama kurang jelas, ada keterangan beliau pulang ke Tigriets Irak.

Periode yang kedua Selang 9 tahun Hijriyah datang lagi satu rombongan periode yang ke dua Amir rombonganadalah Syaikh Maulana Rachmat yang di kenal dengan julukan Raden Rachmat atau Sunan Ampel karena bertempat di Desa Ampel Dento Surabaya. Adapun anggotanya yang sebanyak 8 orang itu kebanyakan anggota yang lama disebabkan anggota yang lama sudah berkurang karena wafat, yakni Syaikh Maulana Ibrahim As Samarqandi yaitu ayah Sunan Ampel, Syaikh Maulana Ibrahim Jumadil Qubra sedangkan Syaikh Subaqir pulang ke Persia awal tahun ke 8

Periode yang ketiga, Amirnya adalah putra tunggal dari Syaikh Maulana Ishaq wafat di Aceh pada saat mendirikan sebuah Masjid di Banda Aceh. Adapun menurut Kitab Tarihul Auliya’, Syaikh Maulana Ainulyaqin adalah pengamal fiqih Al Hanafiyah yang sangat istiqamah seperti ayahnya. Ma’mur atau anggota dari rombongan yang ketiga ini ialah: Syaikh Maulana Rahmatullah yaitu Sunan Ampel, fiqihnya Hanafiyah, Syaikh Maulana Maghdum Ibrohim atau Sunan Bonang fiqihnya As Syafi’iyah, Syaikh Maulana Qasim Syarifuddin atau Sunan Drajat Al Hanafiyah, Syaikh Maulana Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus Al Malikiyah, Syaikh Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Al Hanafiyah, Syaikh Maulana Fatahillah Al Hanafiyah, Syaikh Maulana Muhammad Sa’id atau Sunan Kali Jaga pengganti Syaikh Siti Jennar yang kena hukum qishas karena melanggar tertib Da’wah pada saat itu, Syaikh Maulana Ainur Rahmat atau Sunan Sendang, 9 km di sebelah barat dari Makam Sunan Drajat di desa Sendang, satu kecamatan dengan Sunan Drajat.

Periode yang keempat, Amir rombongannya adalah Syaikh Maulana Sulthan Fatahillah yang di kenal sebagai Raden Patah, cucu dari Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit sendiri Ma’murnya kebanyakan orang lama yaitu: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Sendang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muriya, yang ber-usia 19 tahun, Syaikh Maulana Taufiqur Rahman yang nama Tiong Hwoanya K. Cheng Hoo As Syafi’iyah, Sunan Kudus.

Periode yang kelima, Amir rombongannya adalah Syaikh Maulana Umar Syahid atau Sunan Muriya As Syafi’iyah, putra Sunan Kali Jaga yang pada saat itu ber-usia 25 tahun. Ma’mur rombongan kelima adalah, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Sendang, Sunan Tembayat, Sunan Geseng, Sunan Kudus, Phai Lie Bang, Syaikh Maulana Taufiqur Rahman nama Tiong Hwoanya K. Cheng Hoo.

Perlu diketahui dalam kitab Tarihul Aulya’ bahwa ke lima Rombongan ini mulai dari priode yang pertama sampai yang ke lima semuanya diberi bayan hidayah di Masjid Nabawi, Madinatul Munawwarah al Arabiyyah Saudiyyah, sedangkan rombongan yang seterusnya sudah tidak di Bayan Hidayah di Masjid Nabawi lagi. Di Kerajaan Demak sudah didirikan Masjid yang menjadi Markaz beliau dan sudah sering di datangkan melalui Negeri Ghujarad (India sekarang).Karena tekanan dari misionaris dari Nederland, Portugis, dan Inggris yang menjajah Asia sehingga sangat banyak Ulama yang dibantai oleh mereka.Untuk menyiasati kejahatan orang-orang kristian pada saat itu, para Da’i kita untuk keluar di Jalan Allah yang sekarang di sebut Khuruj Fii Sabilillaah tidak di batasi sebanyak 9 (sembilan) orang lagi dalam satu rombongan, namun program dan tertib Da’wah tetap di jalankan dengan Istiqamah. Seperti nishab, rute perjalanan, program Silaturrahim wilayah yang menjadi tujuan, Musyawarah, Ta’lim, tetap di jalankan seperti bisanya seolah olah tak pernah terjadi suatu apapun, dan tetap tawajjuh kepada Allah dan tidak terkesan dengan keadaan di luar lingkungan, yaitu tetap ta’at pada keputusan musyawarah. Target utamanya adalah Da’wah, jadi siapapun manusianya diajak ta’at kepada Allah Swt dan beramal shaleh. Diajak untuk bersama-sama mengamalkan agama, menghidupkan amal-amal agama dan juga amal-amal masjid sebgaimana Masjid Nabawi di Madinah Al-Munawarah. Ternyata tertib dakwah mereka sama dengan tertib dakwah yang dilakukan oleh JT (Jamaah Tabligh)...Pergerakan dakwah yg semakin berkembang saat ini Sumber kitab tarikhul aulia’ karangan Syeikh Maulana Muradi bin Abdullah bin Husain bin Ibrahim Al-Asy’ari.

2.      Usaha Dakwah Walisongo Dalam Kitab Perjalanan Ibnu Batutah.

Ternyata tidak hanya Kitab Tarikhul Auliya Syaikh Maulana Muradi bin Husain bin Ibrahim al Asy’ari saja yang menceritakan tentang perjalanan usaha dakwah para walisongo di nusantara ini. Abu Abdullah Muhammad bin Battutah atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Batutah telah menuliskan laporan perjalanannya keliling dunia dalam Kitab Kanzul Ulum yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa. Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani yang buat usaha dakwah dan tabligh, untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina . Lalu ada Syaikh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem) . Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 M (abad 1 H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan . Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut . Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari Kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Kerajaan Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit. Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat Kerajaan Demak. Mereka yang dianggap sebagai penda’wah yang sangat giat menyebarkan agama Islam diberi julukan Waliyullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan dewan Dakwah/ Muballigh.Kelebihan mereka dibanding kepercayaan agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga ghaib.Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam.Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Periode Dakwah Walisongo Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syaikh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syaikh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa . Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati) . Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit . Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu . Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563 M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka . Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung . Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki . Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah . Hasil misi ke Makkah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif Mekkah . Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922) Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar8 ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki Di Istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya) Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik.

Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. – Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa. Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina. – Juga Syaikh Ja’far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.

Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) dan Masjid al-Aqsha di dalamnya. (Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X). Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syaikh Maulana Al Maghribi. Sultan Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Menurut Kitab Kanzul Ulum Ibnu Batutah, Wali Sanga berganti susunan orangnya sebanyak 6 (enam) kali yaitu :

a.       Dewan (Walisongo) Angkatan I tahun 1404 M (808 H) : Syaikh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, wafat di Gresik tahun 1419, Maulana Ishaq, asal Samarkand Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan wafat di Pasai (Singapura), Maulana Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo – Triwulan Mojokerto, Maulana Muhammad Al Maghrabi, asal Maghrib – Maroko, dakwah keliling, makamnya di Jatinom Klaten tahun 1465, Maulana Malik Isra’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri antara Serang Merak di tahun 1435, Maulana Muhammad Ali Akbar, asal Persia atau Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung Santri tahun 1435, Maulana Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama, Maulana Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping masjid Banten Lama, Syaikh Subakir, asal Persia, ahli ruqyah atau menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat, beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di Persia tahun 1462.

b.      Dewan (Walisongo) Angkatan II tahun 1436 M : Raden Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421 dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang wafat. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko. Sayyid Ja’far Shadiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan Malik Isra’il. Syarif Hidayatullah, dikenal dengan Sunan Gunung Jati, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang wafat. Maulana Hasanuddin, asal Palestina. Maulana ‘Aliyuddin, asal Palestina. Syaikh Subakir, asal Persia Iran.

c.       Dewan (Walisongo) Angkatan III tahun 1463 M : Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan. Raden Paku atau Syaikh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran Blambangan, putra dari Syaikh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di Gresik. Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang menggantikan Syaikh Subakir yang kembali ke Persia. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko. Sunan Kudus, asal Palestina. Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat. Raden Qasim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyyuddin yang wafat. Sunan Gunung Jati, asal Palestina.

d.      Dewan (Walisongo) Angkatan IV tahun 1466 M (1473 M) : Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan. Sunan Giri, asal Blambangan, Banyuwangi, Jatim. Raden Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun 1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel, menggantikan Ahmad Jumadil Kubra yang wafat. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrabi yang wafat. Sunan Kudus, asal Palestina. Sunan Gunung Jati, asal Palestina. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim.

e.       Dewan (Walisongo) Angkatan V tahun 1478 M : Sunan Giri, asal Blambangan, Banyuwangi, Jatim. Raden Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang telah wafat. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon. Sunan Kudus, asal Palestina. Syaikh Siti Jenar adalah wali serba kontroversial, asal Persia, Iran, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim.

f.       Dewan (Walisongo) Angkatan VI tahun 1479 M : Sunan Giri, asal Blambangan, Banyuwangi, Jatim. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah, Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak, Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon, Sunan Kudus, asal Palestina, Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syaikh Siti Jenar, Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim, Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim, Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim.

3.      Semboyan Walisongo Para Walisongo mempunyai semboyan yang terekam hingga saat ini adalah :

a.       Ngluruk Tanpo Wadyo Bolo atau Tanpa pasukan tentara : Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan. Jangan yakin dengan banyaknya jumlah kita, yakin dengan pertolongan Allah Swt.

b.      Mabur Tanpo Lar atau Terbang tanpa Sayap : Kita bergerak jumpa umat…dari orang ke orang jumpa ke rumah-rumah mereka. Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa asbab atau sebab yang nampak.

c.       Mletik Tanpo Sutang atau Meloncat Tanpa Kaki : Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan. Niat untuk dakwah keseluruh alam, Allah Swt yang berangkatkan kita bukan asbab-asbab dunia seperti harta dan sebagainya.

d.      Senjoto Kalimosodo : Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah Swt, selalu mendakwahkan kalimat iman, mengajak umat pada iman dan amal shalih. (Kalimosodo : Kalimat Shahadat)

e.       Digdoyo Tanpo Aji : Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik, perasaan dan mentalnya namun mereka seakan-akan seperti orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata. Kita dakwah, Allah subhanahu wa ta’ala akan bantu (jika kalian bantu Agama Allah, maka pasti Allah akan tolong kalian dan Allah akan memenangkan kalian)

f.       Perang Tanpo tanding : Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat atau bertengkar.dakwah dengan hikmah, kata-kata yang sopan, ahlaq yang mulia dan doa menangis-menangis pada Allah agar umat yang kita jumpai dan umat seluruh alam dapat hidayah bukan dengan kekerasan. Nabi Saw bersabda yang maknanya kurang lebih : Haram memerangi suatu kaum sebelum kalian berdakwah (berdakwah dengan hikmah) kepada mereka

g.      Menang Tanpo Ngesorake atau Merendahkan : Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya.

h.      Mulyo Tanpo Punggowo : Kemuliaan hanya dalam Iman dan Amalan agama bukan dengan banyaknya pengikut. Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi karena menjadi Da’i yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan hidup, maka Allah subhanahu wa ta’ala muliakan mereka.

i.        Sugih Tanpo Bondo : Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia. Jangan yakin pada harta kebahagiaan dalam agama, dakwah jangan bergantung dengan harta.

j.        Kuncara Tanpo Woro-woro : Menyebar, terkenal tanpa gembar-gembor, propaganda, iklan-iklan dan sebagainya, artinya bergerak terus jumpa umat, kerja untuk umat, kerja untuk Agama dengan ikhlas karena mengharap Ridho Allah Swt, tidak perlu disiar-siarkan atau di umum-umumkan. Allah sajalah yang menilai perjuangan kita.

4.      Pesan Sunan Kalijogo (Seorang Wali dari Walisongo)

a.       Yen kali ilang kedunge : jika sungai sudah mulai kering jika sumber air sudah mulai kering, maksudnya jika para alim ulama sumber ilmu sudah mulai wafat satu persatu maka ini alamat bahwa dunia mau diqiamatkan oleh Allah Swt. Ulama ditamsilkan seperti air yang menghidupkan hati-hati manusia yang gelap tanpa cahaya hidayah.

b.      Yen pasar ilang kumandange : Jika pasar sudah mulai diam, maksudnya jika perdagangan sudah tidak dengan tawar-menawar karena banyaknya mall, supermarket dan pasar swalayan yang berdiri. Kata orang tua kita, dahulunya semua pasar memakai sistem tawar menawar sehingga suaranya begitu keras terdengar dari kejauhan seperti suara lebah yang mendengung..ini kalau aku boleh beri istilah adalah adanya kehangatan dalam social relationship dalam masyarakat.. tapi sekarang sudah hilang biarpun kita sering ke plaza atau ke supermarket ratusan kali kita tidak kenal para pelayan dan cashier di tempat itu.

c.       Yen wong wadon ilang wirange : Jika wanita sudah tidak punya rasa malu. Belum menutup auratnya, menyanyi dan berjoget di atas panggung tanpa ada perasaan malu, dan sebagainya.

d.      Enggal-enggal topo lelono njajah deso milangkori ojo bali sakdurunge patang sasi, enthuk wisik soko Hyang Widi : Bermujahadah, susah payah berkelana dalam perjalanan ruhani guna memperbaiki diri atau perjalanan fisabilillah menjelajahi desa-desa atau negara-negara, menghitung pintu (bersilaturahim) jangan pulang-pulang sebelum selesai program 4 (empat) bulan, cari petunjuk, hidayah dan kepahaman agama dari Dzat yang Maha Kuasa...




wsp grop

Tiada ulasan: