
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pendudukan Jepang di Burma, Kampanye Burma, dan Negara Burma
Aung San berniat untuk menjalin hubungan dengan pihak Komunis Tiongkok, akan tetapi niatnya itu terdeteksi oleh pemerintah Jepang yang kemudian mendekatinya dengan tawaran dukungan kepada dirinya dalam bentuk satuan intelijen rahasia yang disebut Minami Kikan, dikepalai oleh Kolonel Suzuki dengan tujuan menutup Jalan Raya Birma dan mendukung upaya pemberontakan nasional. Aung San sempat kembali ke Birma selama jangka waktu yang singkat untuk mengumpulkan dua puluh sembilan pemuda yang kelak berangkat bersamanya ke Jepang untuk menjalani pelatihan militer di Pulau Hainan, Tiongkok. Rombongan pemuda Birma ini kelak dikenal dengan julukan "Tiga Puluh Kamerad". Tatkala Jepang menduduki Bangkok pada Desember 1941, Aung San memaklumkan pembentukan Tentara Kemerdekaan Birma (TKB) untuk mengantisipasi invasi Jepang atas Birma pada 1942.[36]
Para serdadu Britania berpatroli di puing-puing kota Bahe di Birma
pada peristiwa penyerangan Mandalay, Januari 1945
Tak lama kemudian, mulai tampak jelas bahwa janji kemerdekaan dari Jepang hanyalah sebuah pepesan kosong dan Ba Maw telah teperdaya. Ketika mulai kalah dalam perang, Jepang pun menyatakan kemerdekaan Birma sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh pada 1 Agustus 1943, tetapi tindakan ini pun hanya dilakukan untuk menyamarkan maksud Jepang yang sebenarnya. Aung San yang sudah tidak lagi mempercayai Jepang pun membuka negosiasi dengan para pemimpin Komunis, Thakin Than Tun dan Thakin Soe, serta para pemimpin Sosialis, Ba Swe and Kyaw Nyein, yang menghasilkan pembentukan Organisasi Anti-Fasis (Anti-Fascist Organisation, AFO) pada Agustus 1944 dalam suatu pertemuan rahasia yang dihadiri oleh PKB, PRR, dan TNB di Pegu. AFO kelak berganti nama menjadi Liga Kemerdekaan Rakyat Anti-Fasis (LKRAF).[36] Thakin Than Tun dan Soe, sewaktu masih mendekam di dalam penjara Insein pada Juli 1941, bersama-sama telah menyusun Manifesto Insein yang, berlawanan dengan opini yang beredar di kalangan pergerakan Dobama, menyatakan fasisme dunia sebagai musuh utama dalam perang yang sudah di depan mata dan menyerukan kerja sama untuk sementara waktu dengan Britania dalam suatu koalisi sekutu yang selayaknya mencakup pula Uni Soviet. Soe secara diam-diam sudah mengatur barisan pertahanan untuk menghadapi pendudukan Jepang, dan Than Tunmampu meneruskan informasi intelijen Jepang kepada Soe, sementara para pemimpin komunis lainnya, Thakin Thein Pe dan Tin Shwe, menjalin kontak dengan pemerintah kolonial dalam pengasingan di Simla, India.[36]
Ada kontak-kontak informal antara AFO dan pihak sekutu pada 1944 dan 1945 melalui organisasi Britania, Force 136. Pada 27 Maret 1945, Angkatan Darat Nasional Birmarose bangkit melakukan perlawanan terhadap Jepang di seluruh wilayah Birma.[36] 27 Maret pernah dijadikan tanggal peringatan 'Hari Perlawanan' sampai militer mengganti namanya menjadi 'Hari Tatmadaw (Angkatan Bersenjata)'. Sesudah peristiwa itu, Aung San dan tokoh-tokoh lain pun mulai bernegosiasi dengan Lord Mountbatten dan secara resmi bergabung dengan pihak sekutu sebagai Angkatan Birma Patriotik (Patriotic Burmese Forces, PBF). Dalam pertemuan pertama, AFO memperkenalkan diri kepada pihak Britania sebagai pemerintah darurat Birma dengan Thakin Soe sebagai ketua dan Aung San sebagai seorang anggota panitia pelaksana pemerintahan. Jepang diusir dari hampir seluruh wilayah Birma pada Mei 1945. Negosiasi pun mulai dilakukan dengan pihak Britania menyangkut pelucutan senjata AFO dan keikutsertaan pasukan-pasukannya dalam Angkatan Darat Birma pascaperang. Beberapa veteran telah dibentuk menjadi sebuah barisan semi militer di bawah kepemimpinan Aung San, dengan nama Pyithu yèbaw tat atau Organisasi Sukarelawan Rakyat (People's Volunteer Organisation, disingkat PVO), dan dilatih secara terang-terangan dalam pakaian seragam.[36] Peleburan PBF berhasil dilaksanakan pada Konferensi Kandi di Sailan pada September 1945.[36]\
Dari menyerahnya Jepang sampai pembunuhan Aung San
Menyerahnya Jepang mengakibatkan masuknya administrasi militer sekutu ke Birma yang menuntut agar Aung San diperiksa sehubungan dengan keterlibatannya dalam sebuah pembunuhan selama operasi-operasi militer pada 1942. Lord Mountbatten menyadari bahwa tuntutan ini sia-sia belaka karena Aung San sangat populer.[36]
Seusai perang, Gubernur Birma Britania, Sir Reginald Dorman-Smith kembali ke Birma. Pemerintahan yang kembali dipulihkan membentuk sebuah program kebijakan yang berfokus pada rekonstruksi fisik negara itu dan menunda-nunda pembicaraan seputar kemerdekaan Birma.
LKRAF bangkit menentang pemerintah dan menimbulkan pergolakan politik di Birma. Timbul pula keretakan di dalam tubuh LKRAF di antara kaum Komunis dan Aung San bersama kaum Sosialis menyangkut strategi, yang menyebabkan Than Tun didesak untuk mengundurkan diri dari jabatan sekretaris jenderal pada Juli 1946, serta pemecatan PKB dari LKRAF pada bulan Oktober.[36]
Dorman-Smith digantikan oleh Hubert Rance sebagai gubernur, dan nyaris segera sesudah penunjukannya Kepolisian Rangoon melakukan pemogokan. Pemogokan yang dimulai pada September 1946 itu meluas dan diikuti pegawai-pegawai negeri dan hampir-hampir menjadi sebuah aksi pemogokan umum.
Rance menenangkan situasi dengan mengadakan pertemuan bersama Aung San dan membujuknya untuk bergabung dengan Dewan Eksekutif Pemerintah bersama-sama dengan anggota-anggota LKRAF lainnya.[36] Dewan eksekutif yang baru itu, yang kini semakin mendapatkan kepercayaan rakyat, mulai menegosiasikan kemerdekaan Birma, yang terselenggara dengan baik di London dan menghasilkan Persetujuan Aung San-Attlee pada 27 Januari 1947.[36] Isi persetujuan itu menimbulkan ketidakpuasan bagi sebagian kalangan di cabang komunis dan konservatif dari LKRAF, akan tetapi membuat golongan Komunis Bendera Merah di bawah pimpinan Thakin Soe tersingkir dari panggung politik dan membuat kaum konservatif tersingkir ke kubu oposisi.
Aung San juga berhasil merumuskan kesepakatan dengan suku-suku minoritas demi mempertahankan kesatuan Birma dalam Konferensi Panglong pada 12 Februari, yang sejak itu diperingati sebagai 'Hari Persatuan'. U Aung Zan Wai, U Pe Khin, Myoma U Than Kywe, Mayor Aung, Sir Maung Gyi, dan Dr. Sein Mya Maung adalah para negosiator dan pemimpin terpenting dalam Konferensi Pinlon (Panglong) yang berunding dengan pemimpin nasional tertinggi Birma, Jenderal Aung San, dan para pucuk pimpinan lainnya pada 1947. Semua pemimpin ini memutuskan untuk bergabung bersama-sama membentuk Perserikatan Birma. Perayaan Hari Persatuan adalah salah satu dari perayaan terbesar dalam sejarah Birma. Besarnya popularitas LKRAF, yang kini dikuasai Aung San dan kaum Sosialis, dibuktikan dengan kemenangan telak yang diperolehnya dalam pemilihan anggota badan konstituante pada April 1947.[36] Tetapi pada Juli 1947, Aung San dan beberapa anggota kabinet dibunuh oleh lawan-lawan politiknya.[36][40] Tak lama kemudian, pemberontakan meletus di Arakan dipimpin oleh rahib veteran, U Seinda, dan menjalar ke distrik-distrik lainnya.[36]
Pada 19 Juli 1947, U Saw, salah seorang Perdana Menteri Birma praperang yang konservatif, merancang pembunuhan atas Aung San dan beberapa anggota kabinetnya ternmasuk abang sulungnya, Ba Win, pada saat melakukan pertemuan di gedung Sekretariat.[36][41] Sejak peristiwa itu, tanggal 19 Juli diperingati sebagai Hari Martir. Thakin Nu, pemimpin kaum Sosialis, kemudian diminta untuk membentuk sebuah kabinet baru. Thakin Nu kelak memimpin upacara penyerahan kemerdekaan kepada Birma pada 4 Januari 1948. Keinginan rakyat untuk melepaskan diri dari Britania sangat kuat kala itu sampai-sampai Birma memutuskan untuk tidak bergabung dalam Persemakmuran Bangsa-Bangsa, bertolak belakang dengan keputusan India dan Pakistan .[36]
Birma merdeka
1948–1962
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pascakemerdekaan Birma, 1948–62
Lihat pula: Konflik internal di Myanmar
Tahun-tahun pertama sesudah kemerdekaan Birma ditandai oleh pemberontakan beruntun dari Kaum Komunis Bendera Merah pimpinan Thakin Soe, Kaum Komunis Bendera Putihpimpinan Thakin Than Tun, Yèbaw Hpyu (PVO Kamerad Putih) pimpinan Bo La Yaung, salah satu dari Tiga Puluh Kamerad, angkatan darat pemberontak yang menyebut diri Angkatan Darat Revolusioner Birma (Revolutionary Burma Army, disingkat RBA) pimpinan para petinggi Komunis Bo Zeya, Bo Yan Aung dan Bo Yè Htut – ketiga-tiganya termasuk dalam Tiga Puluh Kamerad, Kaum Muslim Arakan atau Mujahid, dan Persatuan Kebangsaan Karen (PKK).[36]
Sesudah kemenangan Komunis di Tiongkok pada 1949, pelosok-pelosok terpencil di Birma Utara dikuasai selama bertahun-tahun oleh tentara angkatan darat Kuomintang dipimpin Jenderal Li Mi.[36]
Birma menerima bantuan asing untuk membangun kembali negeri itu pada tahun-tahun permulaan kemerdekaannya, tetapi dukungan terus-menerus dari Amerika atas kehadiran militer Nasionalis Tiongkok di Birma mengakibatkan negara itu akhirnya menolak sebagian besar bantuan asing, menolak untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) dan mendukung Konferensi Asia–Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada 1955.[36] Lazimnya Birma berusaha untuk tidak berpihak dalam percaturan politik dunia serta merupakan salah satu dari negara-negara pertama di dunia yang mengakui berdirinya Israel dan Republik Rakyat Tiongkok.
Pada 1958, Birma mulai pulih di bidang ekonomi, tetapi kembali mengalami kemerosotan di bidang politik akibat pecahnya LKRAF menjadi dua faksi, faksi pertama dipimpin oleh Thakin Nu dan Thakin Tin, sementara faksi yang lain dipimpin oleh Ba Swe dan Kyaw Nyein.[36] Perpecahan ini tidak terelakkan kendati imbauan 'Senjata untuk Demokrasi' dari U Nu di luar dugaan disambut baik oleh U Seinda di Arakan, orang Pa-O, beberapa kelompok orang Mon dan orang Shan, dan terutama oleh PVO dengan menyerahkan persenjataan mereka.[36] Meskipun demikian, situasi menjadi sangat tidak stabil di parlemen, dengan lolosnya U Nu dari pemungutan suara untuk pengajuan mosi tidak percaya kepada pemerintah hanya berkat dukungan dari pihak oposisi Front Persatuan Nasional (National United Front, disingkat NUF) yang diyakini berisi anasir-anasir 'kripto-komunis'.[36]Angkatan darat garis keras yang kini menyadari 'ancaman' dari PKB pun berpakat dengan U Nu melalui NUF, dan pada akhirnya U Nu 'diimbau' oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ne Win, untuk mengambil alih pemerintahan Birma.[36] Lebih dari 400 'simpatisan komunis' ditahan, 153 orang di antaranya dideportasi ke Pulau Coco di Laut Andaman, termasuk Aung Than, pemimpin NUF dan abang dari Aung San. Surat khabar Botataung, Kyemon dan Rangoon Daily juga diberedel.[36]
Pemerintahan sementara Ne Win berhasil menenangkan situasi dan membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilihan umum baru pada 1960 yang mengembalikan Partai Persatuan U Nu ke tampuk pemerintahan dengan kemenangan mayoritas.[36] Situasi stabil tidak bertahan lama, manakala Gerakan Federal Shan, yang dirintis oleh Nyaung Shwe Sawbwa Sao Shwe Thaik (Presiden Birma merdeka yang pertama 1948–52) dan menghendaki suatu federasi yang 'longgar', dipandang sebagai gerakan separatis yang menuntut pemerintah untuk menghormati hak melepaskan diri dalam 10 tahun yang diatur dalam Konstitusi 1947. Ne Win telah berhasil melucuti kekuasaan feodal para Sawbwa Shan dengan ganti pemberian pensiun seumur hidup dalam jumlah yang memuaskan pada 1959.
1962–1988
Lihat pula: Jalan Birma Menuju Sosialisme
Pada 2 Maret 1962, Ne Win bersama enam belas perwira senior lain melakukan kudeta. Mereka menahan U Nu, Sao Shwe Thaik serta beberapa tokoh lain, dan memaklumkan berdirinya sebuah negara sosialis yang akan diperintah oleh Majelis Revolusioner Bersatu bentukan mereka. Putra Sao Shwe Thaik, Sao Mye Thaik, tewas tertembak dalam peristiwa yang lazimnya digambarkan sebagai sebuah kudeta 'tanpa pertumpahan darah' itu. Thibaw Sawbwa Sao Kya Seng juga menghilang secara misterius setelah dihentikan di sebuah pos pemeriksaan dekat Taunggyi.[36]
Sejumlah aksi protes bermunculan menentang kudeta, dan mula-mula ditanggapi secara lunak oleh militer.[42] Akan tetapi pada 7 Juli 1962, aksi protes secara damai yang dilakukan oleh mahasiswa di kampus Universitas Rangoon ditindak keras oleh militer sehingga menyebabkan sekitar 100 mahasiswa tewas terbunuh. Sehari sesudahnya, angkatan darat meledakkan gedung organisasi Persatuan Mahasiswa.[36] Perundingan damai yang mempertemukan Majelis Revolusioner dan berbagai kelompok bersenjata yang menentang pemerintah diadakan pada 1963, namun tidak berhasil mencapai kata sepakat, dan selama perundingan berlangsung maupun setelah gagal menghasilkan kesepakatan, ratusan orang ditahan di Rangoon dan tempat-tempat lain, baik yang berhaluan kanan maupun yang berhaluan kiri dalam pandangan poliknya. Seluruh partai oposisi dinyatakan terlarang pada 28 Maret 1964.[36] Kaum pemberontak Kachin yang tergabung dalam Organisasi Kemerdekaan Kachin sudah lebih dahulu beraksi pada 1961 dipicu oleh maklumat U Nu yang menjadikan agama Buddha sebagai agama negara, dan Angkatan Bersenjata Negara Bagian Shan, dipimpin istri Sao Shwe Thaik, Mahadevi , dan putranya, Chao Tzang Yaunghwe, mengobarkan pemberontakan pada 1964 sebagai wujud penentangan terhadap kudeta militer 1962.[36]
Ne Win bergegas mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mentransformasi Birma menjadi sebuah "negara sosialis" yang dicita-citakannya dan untuk mengisolasi negara ini dari hubungan dengan negara-negara lain di dunia. Ne Win memberlakukan sistem satu partai, dan Partai Program Sosialis Birma bentukannya mengendalikan pemerintahan Birma.[36] Niaga dan industri di seluruh wilayah Birma dinasionalisasi, namun perekonomian mula-mula tidak mengalami pertumbuhan karena pemerintah terlalu mengutamakan pengembangan sektor industri sehingga melalaikan sektor pertanian. Pada bulan April 1972, Jenderal Ne Win beserta seluruh anggota Majelis Revolusioner Bersatu melepaskan jabatan militernya, namun kini sebagai U Ne Win, ia terus mengendalikan pemerintahan Birma melalui Partai Program Sosialis Birma. Sebuah undang-undang dasar yang baru dikeluarkan pada bulan Januari 1974. Berdasarkan undang-undang dasar yang baru, dibentuk lembaga Sidang Rakyat (Pyithu Hluttaw) yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tertinggi, serta lembaga-lembaga Majelis Rakyat di daerah-daerah. Ne Win menjadi presiden dari pemerintah yang baru.[36]
Sejak bulan Mei 1974, terjadi suatu gelombang pemogokan di Rangoon dan kota-kota lain di Birma yang dilatarbelakangi oleh permasalahan korupsi, inflasi, dan keterbatasan pangan, khususnya beras. Di Rangoon para buruh ditangkap di persimpangan jalur kereta api Insein, dan pasukan-pasukan tentara menembaki para buruh di pabrik tekstil Thamaing dan galangan kapal Simmalaik.[36] Pada bulan Desember 1974, demonstrasi-demonstrasi anti pemerintah yang terbesar sampai dengan saat itu terjadi dalam upacara pemakaman mantan Sekretaris Jenderal PBB U Than.[36] U Than pernah menjadi penasihat terdekat Perdana Menteri U Nu pada era 1950-an dan dianggap sebagai lambang penentangan terhadap rezim militer. Rakyat Birma merasa bahwa U Than tidak dihormati dengan upacara pemakaman kenegaraan selayaknya seorang negarawan bertaraf internasional akibat hubungan dekatnya dengan U Nu.
Pada 23 Maret 1976, lebih dari 100 mahasiswa ditahan karena menggelar sebuah upacara yang berlangsung damai (Hmaing yabyei) untuk memperingati 100 tahun lahirnya Thakin Kodaw Hmaing, penyair dan pujangga terbesar sekaligus pemimpin nasionalis Birma pada abad ke-20. Ia telah menginspirasi segenerasi tokoh nasionalis dan penulis Birma dengan karya tulisnya yang lebih banyak berbentuk syair, menanamkan rasa bangga yang mendalam akan sejarah, bahasa, dan budaya mereka, dan mendesak mereka untuk melakukan tindakan nyata seperti pemogokan buruh dan mahasiswa. Hmaing, selaku pemimpin Dobama, adalah orang yang telah berjasa mengirim Ketiga Puluh Kamerad ke luar negeri untuk mendapatkan latihan militer, dan sesudah Birma merdeka, ia pula yang telah membaktikan hidup demi perdamaian di dalam negeri dan rekonsiliasi nasional sampai menghembuskan nafas terakhir dalam usia 88 tahun pada 1964. Jenazah Hmaing disemayamkan dalam sebuah musoleum di kaki Pagoda Shwedagon.[43]
Pada 1976, seorang perwira muda bernama Kapten Ohn Kyaw Myint bersama beberapa rekannya sesama perwira berkomplot untuk membunuh Ne Win dan San Yu, namun rencana ini bocor dan si perwira pun diadili serta dihukum gantung.[36][44]
Pada 1978, sebuah operasi militer dilancarkan atas kaum Muslim Rohingya di Arakan, yang diberi nama Operasi Raja Naga, yang mengakibatkan 250.000 orang terpaksa mengungsi ke Bangladesh.
Setelah dibebaskan pada 1966, U Nu meninggalkan Birma pada pada bulan April 1969, dan membentuk Partai Demokrasi Parlementer (PDP) pada bulan Agustus tahun yang sama di Bangkok, Muangthai, bersama salah satu anggota Ketiga Puluh Kamerad, Bo Let Ya, salah seorang tokoh pendiri PKB dan mantan Menteri Pertahanan dan deputi Perdana Menteri, Bo Yan Naing, dan U Thwin, mantan TKB dan mantan Menteri Perdagangan. Seorang lagi anggota Ketiga Puluh Kamerad, Bohmu Aung, mantan Menteri Pertahanan, kelak ikut menggabungkan diri. Yang keempat, Bo Setkya, yang telah bersembunyi selepas kudeta 1962, wafat di Bangkok tak lama sebelum U Nu tiba.[36] PDP melancarkan aksi pemberontakan bersenjata di sepanjang perbatasan Muangthai sejak 1972 sampai 1978 ketika Bo Let Ya terbunuh dalam sebuah serangan yang dilancarkan oleh organisasi Persatuan Kebangsaan Karen (PKK). U Nu, Bohmu Aung, dan Bo Yan Naing pulang ke Rangoon setelah mendapatkan amnesti pada 1980.[36] Ne Win juga kelak diam-diam melakukan perundingan damai pada 1980 dengan KIO dan CPB, yang sekali lagi menemui jalan buntu sebagaimana perundingan yang sebelumnya.[36]
Krisis dan Pemberontakan 1988
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemberontakan 8888
Ne Win berhenti menjabat sebagai presiden pada 1981, tetapi tetap memegang kekuasaan sebagai Ketua BSPP sampai mendadak mengumumkan pengunduran dirinya pada 23 Juli 1988.[36] Pada era 1980-an, ekonomi Birma mulai tumbuh setelah pemerintah melonggarkan pembatasan-pembatasan terhadap bantuan asing, namun pada penghujung era 1980-an, jatuhnya harga-harga komoditas dan peningkatan jumlah utang menimbulkan krisis ekonomi. Keadaan ini berujung pada upaya-upaya reformasi ekonomi pada 1987–1988 yang melonggarkan kontrol sosialis dan mendorong investasi asing. Meskipun demikian, upaya-upaya ini tidak cukup untuk meredam pergolakan di Birma, ditambah pula dengan 'demonetisasi' secara periodik atas uang kartal asing tertentu ke dalam mata uang Birma. Demonetisasi terakhir yang didekretkan pada bulan September 1987 menyapu bersih dana tabungan mayoritas rakyat Birma.[36]
Pada bulan September 1987, pemimpin de facto Birma, U Ne Win, mendadak membatalkan pecahan-pecahan uang kartal tertentu, sehingga mengakibatkan ekonomi merosot tajam. Alasan utama pembatalan tersebut adalah takhyul yang sangat dipercaya oleh U Ne Win, yang menganggap bahwa angka sembilan adalah angka keberuntungannya—ia hanya mengizinkan peredaran pecahan 45 dan 90 kyat, karena angka-angka ini dapat habis dibagi dengan angka sembilan.[45] Penetapan status Birma sebagai Negara Terbelakang oleh PBB pada bulan Desember di tahun yang sama adalah bukti dari keterpurukan perekonomiannya.[36]
Dipicu tindakan brutal polisi atas demonstrasi-demonstrasi yang dipimpin para pelajar yang memakan korban jiwa ratusan pelajar dan rakyat sipil pada bulan Maret dan Juni 1988, aksi-aksi protes dan demonstrasi muncul secara besar-besaran di seluruh Birma. Pihak militer menanggapinya dengan menembaki kerumunan massa, dengan dalih bahwa massa telah disusupi unsur-unsur komunis. Kekerasan, keadaan kacau-balau, dan anarki merajalela. Administrasi sipil terhenti sama sekali, dan pada bulan September tahun itu, negeri Birma sudah berada di ambang batas revolusi. Angkatan bersenjata, di bawah kepemimpinan nominal Jenderal Saw Maung melakukan kudeta pada 8 Agustus untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Selama berlangsungnya Pemberontakan 8888, julukan bagi kudeta 8 Agustus, pihak militer menewaskan ribuan orang. Militer mengesampingkan Konstitusi 1974 dan memberlakukan hukum perang di bawah Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (DPHKN) dengan Saw Maung selaku ketua merangkap perdana menteri.[36]
Dalam sebuah konferensi pers sepanjang enam jam pada 5 Agustus 1989, Brigjen Khin Nyunt, Sekretaris 1 DPHKN merangkap kepala Badan Intelijen Militer (BIM), mengklaim bahwa gerakan protes besar-besaran itu direkayasa oleh Partai Komunis Birma melalui organisasi bawah tanahnya.[46] Although there had inevitably been some underground PKB presence as well as that of ethnic insurgent groups, there was no evidence of their being in charge to any extent.[36] Justru pada bulan Maret 1989, kepemimpinan PKB ditumbangkan dalam suatu pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Kokang dan Wa yang menjadi andalan PKB setelah kehilangan kubu-kubu pertahanan di Birma Tengah dan mendirikan pangkalan-pangkalan baru di kawasan timur laut pada penghujung era 1960-an; para pemimpin komunis tak lama kemudian terpaksa menyingkir ke pengasingan di seberang tapal batas Tiongkok.[36]
1990–2006
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dewan Perdamaian dan Perkembangan Negara
Pemerintah militer memaklumkan perubahan nama negara dari Birma menjadi Myanmar pada 1989. Pemerintah militer juga melanjutkan reformasi ekonomi yang dirintis oleh rezim lama, dan mengimbau dibentuknya sebuah Dewan Konstituante untuk merevisi Konstitusi 1974. Kebijakan ini menghasilkan pemilihan umum multipartai pada bulan Mei 1990 yang dimenangkan secara telak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), mengalahkan Partai Persatuan Nasional (PPN, pengganti BSPP) dan sekitar selusin partai kecil.[36]
Militer kembali menetapkan status tahanan rumah bagi Aung San Suu Kyi pada bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2002, ketika larangan baginya untuk bepergian ke luar kota Rangoon juga dicabut. Pembicaraan-pembicaraan seputar rekonsiliasi dilakukan dengan pemerintah, namun semuanya menemui jalan buntu dan Suu Kyi sekali lagi ditahan pada bulan Mei May 2003 setelah iring-iringan kendaraan yang mengikutinya dilaporkan diserbu oleh massa pro militer. Pemerintah juga melaksanakan penangkapan besar-besaran atas para pemimpin LND dan menutup sebagian besar dari kantor-kantornya. Situasi di Myanmar masih diwarnai ketegangan sampai hari ini.
Pada bulan Agustus 2003, Kyin Nyunt mengumumkan tujuh langkah "petunjuk jalan menuju demokrasi", yang dikalim pemerintah sedang dalam proses implementasi. Tidak ada jadwal dan target waktu sehubungan dengan rencana pemerintah ini, atau pun mekanisme kondisional atau independen untuk mebuktikan bahwa program ini benar-benar berjalan. Karena alasan inilah sebagian besar pemerintah negara-negara barat dan negara-negara tetangga Myanmar bersikap skeptis dan kritis sehubungan dengan petunjuk jalan ini.
Pada 17 Februari 2005, pemerintah menyelenggarakan kembali Konvensi Nasional, untuk pertama kalinya sejak 1993, dalam upaya untuk menulis ulang Konstitusi. Meskipun demikian, organisasi-organisasi dan partai-partai besar yang pro demokrasi, termasuk Liga Nasional untuk Demokrasi, dilarang berpartisipasi, militer hanya memberi iin kepada partai-partai kecil yang dipilih. Konvensi kembali diistirahatkan pada bulan Januari 2006.
Pada bulan November 2005, junta militer mulai memindahkan pemerintahan dari Yangon ke sebuah lokasi yang tidak disebutkan namanya di dekat Kyatpyay tepat di luar Pyinmana, yakni lokasi ibu kota Myanmar yang baru. Aksi publik ini diikuti sebuah kebijakan jangka panjang tidak resmi untuk memindahkan prasarana militer dan pemerintah yang penting keluar dari Yangon guna menghindari berulangnya peristiwa-peristiwa semacam Pemberontakan 8888. Pada Hari Angkatan Bersenjata (27 Maret 2006), ibukota Myanmar secara resmi diberi nama Naypyidaw Myodaw (secara harfiah berarti Kota Takhta Raja-Raja).
Pada bulan November 2006, Organisasi Buruh Internasional mengumumkan akan berupaya – di Mahkamah Internasional[47] – "untuk menuntut anggota-anggota junta militer Myanmar yang sementara berkuasa atas dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan" karena mewajibkan berkesinambungan untuk melakukan kerja paksa. Menurut Organisasi Buruh Internasional, diperkirakan ada 800.000 orang yang diwajibkan menjalani kerja paksa di Myanmar.[48]
Protes anti pemerintah 2007
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Unjuk rasa anti-pemerintahan Myanmar 2007
Para pengunjuk rasa di Yangonmembawa spanduk bertuliskan tanpa kekerasan:
gerakan nasional dalam bahasa Birma, Pagoda Shwedagon tampak di latar belakang.
Protes anti pemerintah Birma 2007 adalah serangkaian protes anti pemerintah di Birma yang bermula pada 15 Agustus 2007. Penyebab utama dari protes-protes ini adalah keputusan yang tidak dipermaklumkan dari pemerintah junta militer, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara, untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak yang mengakibatkan harga solar dan bensin melonjak secara mendadak hingga 100%, dan harga CNG untuk kendaraan-kendaraan bus sampai lima kali lipat dalam tempo kurang dari sepekan.[49] Demonstrasi-demonstrasi protes pertama kali diberangus dengan cepat dan kejam oleh pemerintah junta militer. Lusinan pengunjuk rasa ditangkap dan ditahan. Mulai 18 September, protes-protes dipimpin oleh para biarawan Agama Buddha, dan dibiarkan berlangsung sampai diberangus secara lebih kejam oleh pemerintah pada 26 September.[50]
Sewaktu pemberangusan demonstrasi berlangsung, tersebar desas-desus tentang perselisihan pendapat di kalangan militer Birma, tetapi tak satu pun desas-desus itu yang dapat dipastikan kebenarannya. Saat itu, sumber-sumber independen melaporkan, melalui foto-foto dan keterangan-keterangan tertulis, bahwa ada 30 sampai 40 biarawan dan 50 sampai 70 rakyat sipil yang terbunuh serta sekitar 200 orang yang dipukuli. Meskipun demikian, sumber-sumber lain menyingkap jumlah-jumlah yang lebih dramatis lagi. Dalam sebuah pernyataan dari Gedung Putih, Presiden Bush berkata: "Para biarawan telah dipukuli dan dibunuh.... Ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi telah ditangkap". Beberapa laporan berita menyebut gerakan-gerakan protes itu dengan istilah Revolusi Safron.[51][52]
Pada 7 Februari 2008, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara mengumumkan akan menyelenggarakan suatu referendum untuk konstitusi, dan pemilihan-pemilihan pada 2010. Referendum konstitusi Myanmar, 2008 terselenggara pada 10 Mei dan menjanjikan suatu "demokrasi yang berkembang dengan berdisiplin" bagi negara itu di masa depan.
Siklon Nargis
Pada 3 Mei 2008, Siklon Nargis meluluhlantakkan negara ini tatkala angin dengan kecepatan sampai 215 km/jam (135 mil/jam)[53] melanda daerah berpopulasi padat, yakni delta pertanian padi di Divisi Irawadi.[54] Diperkirakan lebih dari 130.000 orang yang tewas atau hilang dan total kerugian mencecah angka 10 miliar dolar AS; bencana alam ini merupakan yang terburuk dalam sejarah Birma. Program Pangan Dunia melaporkan bahwa, "Beberapa desa nyaris sepenuhnya lenyap dan lahan-lahan yang ditanami padi tersapu habis."[55]
PBB memperkirakan sebanyak 1 juta orang kehilangan tempat tinggal dan Organisasi Kesehatan Dunia "telah menerima laporan-laporan tentang munculnya malaria di daerah-daerah yang paling terkena dampak bencana."[56] Meskipun demikian, pada hari-hari kritis selepas bencana, rezim isolasionis Birma malah memperumit upaya-upaya pemulihan pascabencana dengan menunda pemberian izin masuk bagi pesawat-pesawat terbang PBB yang membawa bantuan obat-obatan, makanan, dan berbagai keperluan lainnya. Kegagalan pemerintah mengeluarkan izin masuk bagi lembaga-lembaga bantuan internasional berskala besar telah dideskripsikan oleh PBB sebagai suatu hal "tidak pernah terjadi sebelumnya."[57]
2011–2016
Informasi lebih lanjut: Reformasi politik Myanmar 2011–12
Reformasi-reformasi demokratis Myanmar 2011–2012 adalah serangkaian reformasi berkelanjutan dalam bidang politik, ekonomi, dan administrasi di Myanmar yang dilakukan oleh pemerintah berpendukung militer. Reformasi-reformasi ini meliputi pembebasan pemimpin pro-demokrasi Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah disusul dialog-dialog yang dilakukan dengannya, pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pemberian amnesti umum kepada lebih dari 200 tahanan politik, pengesahan aturan-aturan hukum ketenagakerjaan baru yang memperbolehkan pembentukan serikat-serikat buruh dan pemogokan-pemogokan, pelonggaran sensor pers, dan regulasi praktik-praktik keuangan.
Sebagai konsekuensi dari reformasi-reformasi itu, ASEAN telah menyetujui pengajuan diri Myanmar untuk menduduki jabatan kepemimpinannya pada 2014. Sekretaris Negara Amerika Serikat Hillary Clinton berkunjung ke Myanmar pada 1 Desember 2011, untuk mendorong langkah-langkah maju selanjutnya; kunjungan ini adalah kunjungan pertama seorang Sekretaris Negara Amerika Serikat setelah lebih dari lima puluh tahun. Presiden Amerika Serikat Barack Obama berkunjung setahun kemudian, dan menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang berkunjung ke Myanmar.
Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), berpartisipasi dalam Pemilihan Khusus yang diselenggarakan pada 1 April 2012 selepas pemerintah mengabolisikan aturan-aturan hukum yang pernah membuat LND memboikot Pemilihan Umum 2010. Suu Kyi memimpin LND meraih kemenangan telak, berhasil meraih 41 dari 44 kursi yang diperebutkan, satu kursi dimenangkan oleh Suu Kyi sendiri mewakili konstituen Kota Kawhmu dalam Majelis Rendah di Parlemen Myanmar.
Hasil perhitungan suara dari Pemilihan Umum 2015 menjadikan Liga Nasional untuk Demokrasi sebagai mayoritas absolut baik dalam majelis rendah maupun majelis tinggi di Parlemen Myanmar, memadai untuk memastikan calon yang diusungnya dijadikan presiden, sementara pemimpin LND, Aung San Suu Kyi, berdasarkan konstitusi tidak dapat menduduki jabatan presiden.[58] Meskipun demikian, ketidakpastian masih membayang-bayangi, karena bentrok antara pasukan-pasukan militer Myanmar dan kelompok-kelompok pemberontak setempat terus berlanjut.
2016–sekarang
Parlemen yang baru bersidang pada 1 Februari 2016, dan pada 15 Maret 2016, Htin Kyaw terpilih menjadi Presiden Myanmar pertama yang bukan dari kalangan militer sejak kudeta militer 1962.[59][60] Aung San Suu Kyi memegang sebuah jabatan yang baru dibentuk, yakni jabatan Kanselir Negara yang setara dengan jabatan Perdana Menteri, pada 6 April 2016.
Kemenangan besar yang diraih Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum 2015 telah menerbitkan harapan akan terjadinya peralihan yang lancar di Myanmar dari pemerintahan militer menuju suatu sistem demokrasi yang bebas. Akan tetapi pergolakan politik dalam negeri, hancurnya perekonomian dan pertikaian antar etnis terus-menerus mempersukar transisi menuju demokrasi.
Lihat pula
- Daftar Raja Myanmar
- Daftar Presiden Myanmar
- Perdana Menteri Myanmar
- Politik Myanmar
- Garis waktu sejarah Myanmar
Catatan
- ^ Cooler 2002: Bab 1: Prehistoric and Animist Periods
- ^ Myint-U 2006: 45
- ^ Hudson 2005: 1
- ^ Coupey, A. S. (2008). Infant and child burials in the Samon valley, Myanmar. Dalam Archaeology in Southeast Asia, from Homo Erectus to the living traditions: makalah-makalah pilihan dari Konferensi Internasional Asosiasi Eropa dari Arkeolog Asia Tenggara ke-11, 25–29 September 2006, Bougon, Perancis
- ^ Moore 2007: 236
- ^ a b c Hall 1960: 8–10
- ^ a b Myint-U 2006: 51–52
- ^ Luce et al. 1939: 264-282
- ^ Hall 1960: 11–12
- ^ Lihat (Aung-Thwin 2005).
- ^ Htin Aung 1967: 329
- ^ Lieberman 2003: 90–91
- ^ a b Myint-U 2006: 56
- ^ Harvey 1925: 24–25
- ^ Harvey 1925: 21
- ^ Htin Aung 1967: 34
- ^ Lieberman 2003: 24
- ^ Lieberman 2003: 112–119
- ^ Lieberman 2003: 119–123
- ^ a b Fernquest 2005: 20–50
- ^ Htin Aung 1967: 117–118
- ^ Liberman 2003: 158–164
- ^ Phayre 1967: 153
- ^ a b Lieberman 2003: 184–187
- ^ Dai 2004: 145–189
- ^ Wyatt 2003: 125
- ^ Myint-U 2006: 109
- ^ a b Marx 1853: 201–202
- ^ Myint-U 2006: 113
- ^ Htin Aung 1967: 214–215
- ^ Myint-U 2006: 133
- ^ Marx 1853: 656
- ^ Lieberman 2003: 202–206
- ^ Charney 2006: 96–107
- ^ Tarun Khanna, Billions entrepreneurs : How China and India Are Reshaping Their Futures and Yours, Harvard Business School Press, 2007, ISBN 978-1-4221-0383-8
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar asat au av aw ax ay az Smith, Martin (1991). Burma – Insurgency and the Politics of Ethnicity. London and New Jersey: Zed Books. hlm. 49, 91, 50, 53, 54, 56, 57, 58–9, 60, 61, 60, 66, 65, 68, 69, 77, 78, 64, 70, 103, 92, 120, 176, 168–9, 177, 178, 180, 186, 195–7, 193, 202, 204, 199, 200, 270, 269, 275–276, 292–3, 318–320, 25, 24, 1, 4–16, 365, 375–377, 414.
- ^ "The Statement on the Commemoration of Bo Aung Kyaw". All Burma Students League. 19 December 1999. Diakses tanggal 23 October 2006.
- ^ Michael Clodfelter. Warfare and Armed Conflicts: A Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1500–2000. Ed. Ke-2 2002 ISBN 0-7864-1204-6. hal. 556
- ^ Werner Gruhl, Imperial Japan's World War Two, 1931–1945 Transaction 2007 ISBN 978-0-7658-0352-8 (Werner Gruhl adalah mantan kepala Cabang Analisis Biaya dan Ekonomi NASA yang sudah sejak lama meminati kajian mengenai Perang Dunia I dan II.)
- ^ "The Panglong Agreement, 1947". Online Burma/Myanmar Library.
- ^ "Who Killed Aung San? — an interview with Gen. Kyaw Zaw". The Irrawaddy. August 1997. Diakses tanggal 30 October 2006.
- ^ Boudreau, Vincent (2004) Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia Cambridge University Press, Cambridge, U.K., hal. 37–39, ISBN 0-521-83989-0
- ^ "Thakin Kodaw Hmaing (1876–1964)". The Irrawaddy 1 Maret 2000. Diakses tanggal 6 Maret 2008.
- ^ Aung Zaw. "A Coup Against Than Shwe". The Irrawaddy 24 November 2008. Diakses tanggal 24 November 2008.
- ^ "BBC NEWS - Asia-Pacific - Burma's 1988 protests". Diakses tanggal 4 February 2016.
- ^ "Burma Communist Party's Conspiracy to take over State Power". DPHKN. 5 Agustus 1989.
- ^ "ILO seeks to charge Myanmar junta with atrocities". Reuters. 16 November 2006. Diakses tanggal 17 November 2006.
- ^ "Asia Times Online :: Southeast Asia news and business from Indonesia, Philippines, Muangthai, Malaysia and Vietnam". Diakses tanggal 4 Februari 2016.
- ^ "BBC NEWS - Asia-Pacific - Burma leaders double fuel prices". Diakses tanggal 4 Februari 2016.
- ^ UN envoy warns of Myanmar crisis Archived 28 February 2008 at the Wayback Machine.
- ^ Booth, Jenny (24 September 2007). "Military junta threatens monks in Burma". The Times. London. Diakses tanggal 4 May 2010.
- ^ "100,000 Protestors Flood Streets of Rangoon in "Saffron Revolution"".
- ^ U.S. envoy: Myanmar deaths may top 100,000 CNN (dead link:"Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 October 2008. Diakses tanggal 2008-11-14.. archived 10 October 2008)
- ^ Aid arrives in Myanmar as death toll passes 22,000, but worst-hit area still cut off – International Herald Tribune
- ^ The Associated Press: AP Top News at 4:25 p.m. EDT[pranala nonaktif]
- ^ The Associated Press: Official: UN plane lands in Myanmar with aid after cycloneArchived 9 May 2008 at the Wayback Machine.
- ^ Rachel Stevenson, Julian Borger, Ian MacKinnon (9 May 2008). "The UN resumes foreign aid flights". The Guardian. London. Diakses tanggal 9 May 2008.
- ^ "Suu Kyi's National League for Democracy Wins Majority in Myanmar". BBC News. 13 November 2015. Diakses tanggal 13 November 2015.
- ^ "Suu Kyi's novice MPs learn ropes in outgoing Myanmar parliament". Channel NewsAsia. Diakses tanggal 2016-01-28.
- ^ Moe, Wae; Ramzy, Austin (15 March 2016). "Myanmar Lawmakers Name Htin Kyaw President, Affirming Civilian Rule". The New York Times.
Referensi
- Aung-Thwin, Michael A. (2005). The Mists of Rāmañña: The Legend that was Lower Burma (edisi ke-illustrated). Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 0824828860. ISBN 9780824828868.
- Brown, Ian. Burma’s Economy in the Twentieth Century (Cambridge University Press, 2013) 229 hal. online review at http://eh.net/book-reviews
- Callahan, Mary (2003). Making Enemies: War and State Building in Burma. Ithaca: Cornell University Press.
- Charney, Michael W. (2009). A History of Modern Burma. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-61758-1.
- Charney, Michael W. (2006). Powerful Learning: Buddhist Literati and the Throne in Burma's Last Dynasty, 1752–1885. Ann Arbor: University of Michigan.
- Cooler, Richard M. (2002). "The Art and Culture of Burma". Northern Illinois University.
- Dai, Yingcong (2004). "A Disguised Defeat: The Myanmar Campaign of the Qing Dynasty". Modern Asian Studies. Cambridge University Press. 38: 145–189. doi:10.1017/s0026749x04001040.
- Fernquest, Jon (Autumn 2005). "Min-gyi-nyo, the Shan Invasions of Ava (1524–27), and the Beginnings of Expansionary Warfare in Toungoo Burma: 1486–1539". SOAS Bulletin of Burma Research, Jil. 3, No. 2. ISSN 1479-8484
- Hall, D.G.E. (1960). Burma (edisi ke-ke-3). Hutchinson University Library. ISBN 978-1-4067-3503-1.
- Harvey, G. E. (1925). History of Burma: From the Earliest Times to 10 March 1824. London: Frank Cass & Co. Ltd
- Htin Aung, Maung (1967). A History of Burma. New York and London: Cambridge University Press.
- Hudson, Bob (March 2005), "A Pyu Homeland in the Samon Valley: a new theory of the origins of Myanmar's early urban system" (PDF), Myanmar Historical Commission Golden Jubilee International Conference, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 November 2013
- Kyaw Thet (1962). History of Burma (dalam bahasa Burmese). Yangon: Yangon University Press.
- Lieberman, Victor B. (2003). Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800–1830, jilid 1, Integration on the Mainland. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-80496-7.
- Luce, G.H.; et al. (1939). "Burma through the fall of Pagan: an outline, part 1" (PDF). Journal of the Burma Research Society. 29: 264–282.
- Mark, Karl (1853). War in Burma—The Russian Question—Curious Diplomatic Correspondence. Collected Works of Karl Marx and Frederick Engels. 12. Clemens Dutt (trans.) (edisi ke-1979). New York: International Publishers.
- Moore, Elizabeth H. (2007). Early Landscapes of Myanmar. Bangkok: River Books. ISBN 974-9863-31-3.
- Myint-U, Thant (2001). The Making of Modern Burma. Cambridge University Press. ISBN 0-521-79914-7. ISBN 9780521799140.
- Myint-U, Thant (2006). The River of Lost Footsteps—Histories of Burma. Farrar, Straus and Giroux. ISBN 978-0-374-16342-6. ISBN 0-374-16342-1.
- Phayre, Lt. Gen. Sir Arthur P. (1883). History of Burma (edisi ke-1967). London: Susil Gupta.
- Selth, Andrew (2012). Burma (Myanmar) Since the 1988 Uprising: A Select Bibliography. Australia: Griffith University.
- Smith, Martin John (1991). Burma: insurgency and the politics of ethnicity (edisi ke-Illustrated). Zed Books. ISBN 0-86232-868-3. ISBN 9780862328689.
- Steinberg, David I. (2009). Burma/Myanmar: what everyone needs to know. Oxford University Press. ISBN 0-19-539068-7. ISBN 9780195390681.
- Wyatt, David K. (2003). Thailand: A Short History (edisi ke-2). hlm. 125. ISBN 978-0-300-08475-7.
- Englehart, Neil A. "Liberal Leviathan or Imperial Outpost? J. S. Furnivall on Colonial Rule in Burma," Modern Asian Studies (2011) 45#4 hal. 759–790.
Pranala luar
- Factfile: Sejarah penindasan Birma
- Biografi Raja Bayinnaung (memerintah 1551–1581) U Thaw Kaung
- [http://www.lib.washington.edu/asp/myanmar/main.asp Perpustakaan University of Washington, karya-karya tulis para sejarawan Birma: Than Tun, Yi Yi, U Pe Maung Tin, Ba Shin
- [http://web.soas.ac.uk/burma/bulletin.htm Artikel-artikel SOAS Bulletin of Burma Research mengenai sejarah Birma
- The Origins of Pagan Bob Hudson
- The Changing Nature of Conflict Between Burma and Siam as seen from the Growth and Development of Burmese States from the 16th to the 19th Centuries Pamaree Surakiat, Asia Research Institute, Singapura, Maret 2006
- Online Burma/Myanmar Library sebuah sumber informasi tepercaya
- Burma — Yunnan — Bay of Bengal (c. 1350–1600) Jon Fernquest
- The Royal Ark: Burma Christopher Buyers
- WorldStatesmen
- The Bloodstrewn Path:Burma's Early Journey to Independence BBC Bahasa Burma, 30 September 2005, Diakses 2006-10-28
- Traktat Nu-Attlee dan Perjanjian Let Ya-Freeman, 1947 Online Burma/Myanmar Library
- Federalisme di Birma Online Burma/Myanmar Library
- Konspirasi Partai Komunis Birma untuk mengambil alih Kekuasaan Negara dan informasi terkait Online Burma/Myanmar Library
- [1]
- Understanding Burma's SPDC Generals Mizzima, Diakses 2006-10-31
- Strangers in a Changed Land Thalia Isaak, The Irrawaddy, Maret–April 2001, Diakses 2006-10-29
- Behold a New Empire Aung Zaw,The Irrawaddy, Oktober 2006, Diakses 2006-10-19
- Daewoo — A Serial Suitor of the Burmese Regime Clive Parker, The Irrawaddy, 7 Desember 2006, Diakses 2006-12-08
- Heroes and Villains The Irrawaddy, Maret 2007
- Lion City Lament Kyaw Zwa Moe, The Irrawaddy, Maret 2007
- Pyu Homeland in Samon Valley Bob Hudson, 2005
- The History of India, as Told by Its Own Historians. The Muhammadan Period; Oleh Sir H. M. Elliot; Disunting oleh John Dowson; London Trubner Company 1867–1877. The Packard Humanities Institute, Naskah Persia dalam Terjemahan.
- http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7543347.stm Was the uprising of 1988 worth it?
Sejarah Myanmar - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Myanmar
Tiada ulasan:
Catat Ulasan