Sabtu, 6 Oktober 2018

Sejarah Burma/Myanmar. 8305.

Sejarah Myanmar
Hasil carian imej untuk peta burma
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
WikiProject Burma (Myanmar) peacock.svg
------------------------------------------------------
(Kerajaan Sri KsetraKerajaan Tagaung)
------------------------------------------------------
------------------------------------------------------
Zaman penjajahan Inggris 1824–1948
------------------------------------------------------
Zaman modern 1948–sekarang
------------------------------------------------------
------------------------------------------------------
Sejarah Myanmar atau Sejarah Birma meliputi kurun waktu sejak berdirinya pemukiman-pemukiman pertama manusia yang telah diketahui pada 13.000 tahun yang lampau sampai sekarang. Menurut catatan sejarah, para pemukim pertama di negeri ini adalah orang-orang Pyu, suku bangsa penutur bahasa Tibeto-Birma dan pemeluk agama Buddha Theravada yang mendirikan sejumlah negara kota sampai jauh ke Pyay di kawasan selatan Birma.

Suku bangsa lain, yakni orang Bamar, memasuki daerah hulu Sungai Irawadi pada permulaan abad ke-9. Kelompok ini kelak mendirikan Kerajaan Pagan (1044–1287) yang pertama kali mempersatukan kawasan Lembah Sungai Irawadi dan sekitarnya. Selama kurun waktu ini, bahasa Birma dan budaya Bamar lambat laun menggantikan bahasa dan budaya Pyu. Seusai invasi Monggol pertama atas Birma pada 1287, sejumlah kerajaan kecil bermunculan di negeri ini, yang paling menonjol di antaranya adalah Kerajaan Awa, Kerajaan Hanthawadi, Kerajaan Mrauk U, dan negara-negara orang Shan. Kerajaan-kerajaan kecil ini tak henti-hentinya bergonta-ganti sekutu dan saling memerangi.

Pada paruh kedua abad ke-16, raja-raja wangsa Taungu (1510–1752) mempersatukan kembali negeri ini, dan membangun kemaharajaan terbesar dalam sejarah Asia Tenggara yang berdiri selama kurun waktu yang singkat. Raja-raja wangsa Taungu memprakarsai pembaharuan-pembaharuan penting di bidang administrasi dan perekonomian yang menghasilkan sebuah kerajaan yang lebih kecil namun lebih tenteram dan makmur pada abad ke-17 dan permulaan abad ke-18. Pada paruh kedua abad ke-18, raja-raja wangsa Konbaung (1752–1885) memulihkan kebesaran kerajaan ini, serta melanjutkan karya pembaharuan raja-raja wangsa Taungu yang membuat kerajaan ini menjadi pusat mandala kekuasaan bagi negeri-negeri di sekitarnya dan menjadi salah satu negara yang paling melek aksara di Asia. Raja-raja wangsa Konbaung juga berperang melawan semua negara tetangganya. Perang Inggris-Birma (1824–1885) akhirnya menundukkan negeri ini di bawah penjajahan Britania.

Penjajahan Britania menimbulkan sejumlah perubahan mendalam di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan administrasi yang sepenuhnya mentransformasi masyarakat yang mula-mula bersifat agraris ini. Selain itu, pemerintah penjajah Britania menonjol-nonjolkan perbedaan-perbedaan antarsuku bangsa yang sangat beragam di Birma. Sejak merdeka pada 1948, Birma harus berkutat dengan salah satu perang saudara terlama yang tak kunjung terselesaikan. Negara ini dikuasai pemerintahan militer dalam berbagai samarannya sejak 1962 sampai 2010, dan sepanjang kurun waktu itu lambat laun merosot menjadi salah satu negara terbelakang di dunia.
------------------------------------------------------
Daftar isi
------------------------------------------------------
Permulaan sejarah (sampai abad ke-9)

Prasejarah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasejarah Myanmar

Bukti arkeologi tertua menyiratkan bahwa peradaban telah hadir di Birma semenjak 11.000 SM. Sebagian besar bekas pemukiman terawal di Birma telah ditemukan di zona kering tengah, kawasan sebaran situs-situs yang berdekatan dengan Sungai Irawadi. Anyatha, peradaban Zaman Batu Birma, diduga berkembang pada kurun waktu yang sama dengan peradaban-peradaban permulaan dan pertengahan Zaman Batu Tua di Eropa. Peradaban manusia pada Zaman Batu Muda, manakala tumbuhan dan hewan mulai dibudidayakan dan alat-alat batu terupam mulai dihasilkan, dibuktikan keberadaannya di Birma oleh temuan-temuan dari tiga gua dekat Taunggyi di ujung dataran tinggi Shan yang diperkirakan bertarikh antara 10000 sampai 6000 SM.[1]

Sekitar 1500 SM, masyarakat di kawasan ini sudah pandai mengolah tembaga menjadi perunggu, bertanam padi, serta beternak ayam dan babi; mereka bahkan tergolong orang-orang pertama di dunia yang melakukannya. Pada 500 SM, pemukiman-pemukiman masyarakat berkepandaian mengolah besi muncul di sebuah kawasan yang terletak di sebelah selatan Mandalay sekarang ini. Peti-peti mati berhiasan perunggu dan situs-situs pekuburan yang penuh dengan pecahan gerabah telah berhasil diekskavasi.[2] Bukti arkeologi dari Lembah Samon di sebelah selatan Mandalay menyiratkan keberadaan pemukiman-pemukiman masyarakat penanam padi yang berniaga dengan Tiongkok antara 500 SM sampai 200 M.[3] Bukti-bukti peradaban Zaman Besi, yang juga berasal dari Lembah Samon, menyingkap perubahan-perubahan praktik penguburan bayi yang sangat dipengaruhi oleh budaya India. Perubahan-perubahan ini meliputi praktik penguburan bayi dalam bejana-bejana dengan ukuran yang menandakan status sosial dari keluarga si bayi.[4]

Negara-negara kota orang Pyu 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Negara kota Pyu
Negara-negara kota orang Pyu yang terkemuka (Pagan tidak sezaman dengan yang lain)
Orang Pyu memasuki kawasan Lembah Sungai Irawadi dari Yunnan pada ca. abad ke-2 SM, dan mendirikan negara-negara kota di sepanjang Lembah Sungai Irawadi. Menurut hasil rekonstruksi, kampung halaman orang Pyu adalah kawasan sekitar Danau Qinghaiyang kini termasuk dalam wilayah provinsi Qinghai dan provinsi Gansu di Republik Rakyat Tiongkok.[5] Orang Pyu adalah suku bangsa pertama yang mendiami wilayah Birma menurut catatan-catatan sejarah Birma yang sintas.[6] Kala itu Birma merupakan bagian dari jalur niaga lintas darat yang menghubungkan Tiongkok dan India. Perniagaan dengan India membawa masuk agama Buddha dari India Selatan. Pada abad ke-4, banyak dari penduduk kawasan Lembah Sungai Irawadi telah memeluk agama Buddha.[7] Di antara sekian banyak negara kota orang Pyu, Kerajaan Sri Ksetra, yang terletak di sebelah tenggara Pyay sekarang ini, tampil sebagai negara kota yang terbesar dan terpenting. Negara kota ini diduga pernah menjadi ibu kota orang Pyu.[8] Pada bulan Maret 638, orang-orang Pyu di Kerajaan Sri Ksetra mulai menerapkan sebuah sistem penanggalan baru yang kelak menjadi Kalender Birma.[6]

Catatan-catatan Tiongkok abad ke-8 menyebut-nyebut keberadaan 18 negara kota orang Pyu di kawasan Lembah Sungai Irawadi, dan menggambarkan orang Pyu sebagai suatu masyarakat yang berperikemanusiaan, cinta damai, nyaris tak mengenal perang, serta mengenakan pakaian sutra tiruan yang ditenun dari benang kapuk randu ketimbang pakaian sutra asli agar tidak perlu membunuh ulat sutra. Catatan-catatan Tiongkok melaporkan pula bahwa orang Pyu mengetahui perhitungan-perhitungan ilmu falak, dan banyak kanak-kanak lelaki orang Pyu yang menjalani hidup membiara sejak berumur tujuh tahun sampai genap berumur 20 tahun.[6]

Negara-negara kota orang Pyu merupakan peradaban yang berumur panjang, bertahan selama hampir satu milenium sampai permulaan abad ke-9, ketika suku bangsa baru, "para penunggang kuda yang gesit" dari utara, yakni orang Bamar, memasuki kawasan hulu Sungai Irawadi. Pada permulaan abad ke-9, negara-negara kota orang Pyu di Birma Hulu terus-menerus diserang oleh orang-orang Nanzhao (di Yunnan sekarang). Pada 832, orang-orang Nanzhao menjarah rayah Halingyi, yang kala itu telah menggantikan Pyay sebagai negara kota terkemuka sekaligus ibu kota tak resmi orang Pyu. Menurut hasil tafsir para arkeolog atas riwayat penjarahan Halingyi pada 832 yang tercantum dalam catatan-catatan Tiongkok terdahulu, ada 3000 orang Pyu yang ditawan dan kelak diperbudak oleh orang-orang Nanzhao di Kunming.

Meskipun pemukiman-pemukiman orang Pyu masih tetap berdiri di kawasan Birma Hulu sampai dengan berdirinya Kemaharajaan Pagan pada pertengahan abad ke-11, masyarakat Pyu sendiri lambat laun membaur dan menyatu dengan rakyat Kerajaan Pagan bentukan orang Bamar yang lama-kelamaan semakin besar selama empat abad berikutnya. Bahasa Pyu terus bertahan sampai pada penghujung abad ke-12. Pada abad ke-13, orang Pyu sudah menganggap dirinya adalah orang Bamar. Sejarah dan legenda-legenda orang Pyu turut pula menyatu dengan sejarah dan legenda-legenda orang Bamar.[7]

Kerajaan-kerajaan orang Mon 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan orang Mon 

Menurut hasil kajian ilmiah dari zaman penjajahan Britania, semenjak abad ke-6, suku bangsa lain yang disebut orang Mon mulai memasuki kawasan Birma Hilir dari wilayah kerajaan-kerajaan orang Mon, yakni Haripunjaya dan Dwarawati yang kini termasuk dalam wilayah negara Muangthai. Pada pertengahan abad ke-9, orang Mon sekurang-kurangnya telah berhasil mendirikan dua kerajaan kecil (atau negara kota besar) yang berpusat di sekitar Bago dan Thaton di Birma. Sumber keterangan tertua dari luar Birma mengenai keberadaan sebuah kerajaan orang Mon di kawasan Birma Hilir adalah catatan para ahli geografi Arab dari kurun waktu 844–848.[9] Meskipun demikian, menurut hasil kajian-kajian mutakhir, tidak ada bukti (baik arkeologis maupun nonarkeologis) yang mendukung teori dari zaman penjajahan tentang keberadaan negara orang Mon di kawasan Birma Hilir sebelum akhir abad ke-13. Selain itu, catatan pertama yang mengungkap keberadaan Kerajaan Thaton baru muncul pada 1479.[10]

Kerajaan Pagan (849–1297)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Pagan

Kerajaan Pagan perdana

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Pagan perdana 

Orang Bamar, yang datang sewaktu orang Nanzhao menyerbu negara-negara kota orang Pyu pada permulaan abad ke-9, menetap di kawasan Birma Hulu (perpindahan orang Bamar ke daerah hulu Lembah Sungai Irawadi diperkirakan bermula pada abad ke-7[11]). Pada pertengahan sampai penghujung abad ke-9, orang Bamar mendirikan Pagan sebagai sebuah pemukiman berbenteng di lokasi yang stategis, dekat pertemuan arus sungai Irawadi dan arus anak sungai utamanya, Sungai Chindwin.[12]

Mungkin pula kota Pagan didirikan untuk membantu orang Nanzhao menundukkan desa-desa di sekitarnya.[13] Selama 200 tahun setelah didirikan, mandala kekuasaan praja kecil itu perlahan-lahan meluas ke daerah-daerah di sekelilingnya hingga meliputi kawasan seluas kira-kira 200 mil dari utara ke selatan dan 80 mil dari timur ke barat ketika Anawrahta naik takhta pada 1044.[14]
Praja-praja di Kerajaan Pagan ketika Anawrahta naik takhta pada 1044
Kemaharajaan Pagan (1044–1287) 

Selama 30 tahun sejak naik takhta, Anawrahta membangun Kerajaan Pagan, dan untuk pertama kalinya berhasil mempersatukan daerah-daerah yang kelak membentuk wilayah negara Birma modern. Pada penghujung abad ke-12, raja-raja penerus Anawrahta telah berhasil memperluas mandala kekuasaan mereka lebih jauh lagi ke arah selatan sampai ke kawasan utara Semenanjung Malaya, ke arah timur sekurang-kurangnya sampai ke Sungai Salwin, ke arah utara sampai mendekati garis perbatasan dengan negara Tiongkok sekarang, dan ke arah barat sampai ke kawasan utara Arakan dan Perbukitan Chin.[15] Menurut kronik-kronik Birma, seluruh Lembah Sungai Chao Phraya adalah wilayah suzerenitasKerajaan Pagan, dan menurut kronik-kronik Siam, kawasan selatan Semenanjung Malaya sampai ke Selat Malaka juga tercakup dalam wilayah Kerajaan Pagan.[13][16]

Pada permulaan abad ke-12, Kerajaan Pagan telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar yang setara dengan Kemaharajaan Khmer di Asia Tenggara, serta diakui kedaulatannya oleh raja-raja wangsa Song di Tiongkok dan raja-raja wangsa Chola di India. Sampai dengan pertengahan abad ke-13, sebagian besar daratan Asia Tenggara — dalam taraf-taraf tertentu — berada di bawah kendali Kemaharajaan Pagan atau Kemaharajaan Khmer.[17]

Anawrahta juga melakukan sejumlah karya pembaharuan penting di bidang sosial, agama, dan ekonomi yang sangat lama membekas dalam sejarah Birma. Karya pembaharuannya di bidang sosial dan agama kelak menghasilkan budaya Birma modern. Perubahan yang terpenting adalah masuknya agama Buddha Theravada di kawasan Birma Hulu sesudah Kerajaan Thaton ditaklukkan oleh Kerajaan Pagan pada 1057. Berkat dukungan kerajaan, sekolah-sekolah agama Buddha lambat laun menyebar sampai ke pelosok-pelosok pedesaan Birma dalam tiga abad berikutnya, meskipun agama Buddha Vajrayana, agama Buddha Mahayana, Agama Hindu, dan kepercayaan animisme masih kokoh berakar di segenap lapisan masyarakat.[18]

Pangkalan utama perekonomian Pagan adalah lembah pertanian Kyaukse di sebelah utara ibu kota, dan Minbu di sebelah selatan kota Pagan, tempat orang-orang Bamar mendirikan banyak tanggul baru dan menggali terusan-terusan pengalih air. Perekonomian Pagan juga memetik manfaat dari perniagaan dengan orang-orang asing melalui bandar-bandarnya di daerah pesisir. Kerajaan Pagan mendermakan kekayaannya bagi pembangunan lebih dari 10.000 kuil Buddha di lingkungan ibu kota kerajaan antara abad ke-11 sampai abad ke-13 (3000 kuil masih berdiri sampai sekarang). Orang-orang kaya mendermakan tanah bebas pajak kepada para pemuka agama.

Bahasa dan budaya Birma lambat laun menjadi bahasa utama di kawasan hulu Sungai Irawadi, menggeser bahasa dan budaya Pyu serta bahasa Palipada penghujung abad ke-12. Kala itu, kepemimpinan orang Bamar dalam Kerajaan Pagan sudah tak dapat dipungkiri lagi. Dalam berbagai hal, orang Pyu di kawasan Birma Hulu telah menyesuaikan diri dengan adat-istiadat Bamar. Bahasa Birma, yang mula-mula adalah sebuah bahasa asing, kala itu telah menjadi lingua franca Kerajaan Pagan.

Kerajaan Pagan terpuruk pada abad ke-13 akibat semakin banyaknya tanah bebas pajak yang didermakan — pada era 1280-an, dua pertiga lahan subur di kawasan Birma Hulu telah didermakan bagi kepentingan agama, sehingga berdampak buruk bagi kemampuan kerajaan dalam mempertahankan kesetiaan para pejabat dan prajuritnya. Keadaan ini memicu kekacauan di dalam negeri dan memancing tantangan dari luar negeri, yakni serbuan-serbuan dari orang Mon, orang Monggol, dan orang Shan.[19]

Sejak permulaan abad ke-13, orang-orang Shan mulai mengepung wilayah Kemaharajaan Pagan dari arah utara dan timur. Orang Monggol yang telah menaklukkan Yunnan, kampung halaman orang Bamar, pada 1253, mulai melancarkan serangannya pada 1277. Pada 1287, orang Moggol menjarah rayah Pagan, mengakhiri kurun waktu pemerintahan Kerajaan Pagan selama 250 tahun di kawasan Lembah Sungai Irawadi dan sekitarnya. Pemerintahan Kerajaan Pagan di kawasan Birma Tengah berakhir sepuluh tahun kemudian, ditumbangkan oleh Kerajaan Myinsaing pada 1297.
Kerajaan Pagan pada masa pemerintahan Narapatisitu. Menurut kronik-kronik Birma, Kengtung dan Chiang Mai juga tercakup dalam mandala kekuasaan Kerajaan Pagan. Daerah berwarna kuning tua pada peta adalah wilayah pusat mandala, sementara daerah berwarna kuning muda adalah wilayah pinggiran mandala. Pagan menjadikan bandar-bandar penting di Birma Hilir sebagai bagian dari wilayah pusat mandala pada abad ke-13.

Kerajaan-kerajaan kecil
Peta wilayah Birma (Myanmar) ca. 1450
Sesudah menumbangkan Pagan, orang-orang Monggol segera meninggalkan Lembah Sungai Irawadi dalam keadaan porak-poranda, tetapi Kerajaan Pagan tidak sanggup pulih seperti sediakala dan pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Pada pertengahan abad ke-14, negeri ini telah terbagi-bagi menurut empat pusat kekuasaan utama: Birma Hulu, Birma Hilir, negara-negara Shan, dan Arakan. Banyak di antaranya terbentuk dari persekutuan (yang seringkali renggang) kerajaan-kerajaan kecil atau negara-negara kepangeranan. Kurun waktu ini ditandai oleh serangkaian perang dan gonta-ganti persekutuan. Kerajaan-kerajaan kecil memainkan suatu permainan berbahaya dengan bersetia pada negara-negara yang lebih kuat, kadang-kadang pada beberapa negara sekaligus pada waktu yang sama.

Awa (1364–1555)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Ava 

Kerajaan Awa (Angwa atau Inwa) didirikan pada 1364 sebagai ganti kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya berdiri di Birma Tengah, yakni Kerajaan Taungu (1287–1318), Kerajaan MyinsaingPinya (1297–1364), dan Kerajaan Sagaing (1315–1364). Pada tahun pertama kekuasaannya, Awa, yang memandang diri sebagai pewaris sah Kerajaan Pagan, berusaha mempersatukan kembali pecahan-pecahan dari kemaharajaan itu. Kerajaan Awa berhasil memasukkan wilayah kekuasaan Wangsa Taungu dan negara-negara Shan di sekelilingnya (Kalay, Mohnyin, Mogaung, Hsipaw) ke dalam mandala kekuasaannya, tetapi gagal menaklukkan yang lain.

Perang Empat Puluh Tahun (1385–1424) dengan Hanthawadi menguras sumber daya Awa dan menjadikan kekuasaannya mencapai titik jenuh. Raja-rajanya terus-menerus dihadapkan dengan pemberontakan daerah-daerah jajahan tetapi tiada kuasa untuk memadamkannya sampai pada era 1480-an. Pada penghujung abad ke-15, Kerajaan Prome dan negara-negara Shan berhasil memerdekakan diri, dan pada permulaan abad ke-16, Awa diserang oleh daerah-daerah bekas jajahannya. Pada 1510, Taungu ikut memerdekakan diri. Pada 1527, serikat negara-negara Shan di bawah pimpinan Mohnyin merebut Awa. Pemerintahan serikat negara-negara Shan di Birma Hulu, meskipun sanggup bertahan hingga 1555, dinodai pertikaian internal antara Wangsa Mohnyin dan Wangsa Thibaw. Kerajaan ini akhirnya ditaklukkan oleh bala tentara Taungu pada 1555.

Bahasa dan budaya Birma mencapai kemandiriannya selama kurun waktu kekuasaan Awa.

Pegu Hanthawadi (1287–1539, 1550–52)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Hanthawadi 

Kerajaan penutur bahasa Mon ini didirikan dengan nama Ramannadesa, tepat sesudah keruntuhan Pagan pada 1287. Mula-mula kerajaan yang berpangkalan di Birma Hilir ini merupakan sebuah perserikatan renggang dari pusat-pusat kekuasaan regional di Mottama, Bago, dan Delta Irawadi. Masa pemerintahan Razadarit yang penuh gejolak (1384–1421) mengukuhkan keberadaan kerajaan ini. Razadarit mempersatupadukan tiga daerah penutur bahasa Mon itu, dan mampu membendung gempuran Awa dalam Perang Empat Puluh Tahun (1385–1424).

Seusai perang, Hanthawadi memasuki zaman keemasannya sementara seterunya, Awa, semakin lama semakin merosot. Sejak 1420-an hingga 1530-an, Hanthawadi menjadi kerajaan yang terkuat dan termakmur di antara semua kerajaan pasca-Pagan. Di bawah pemerintahan serentetan raja yang sangat cakap, kerajaan ini mengalami zaman keemasan yang panjang, berkat perniagaan dengan bangsa asing. Kerajaan berbahasa dan berbudaya Mon yang makmur ini berkembang menjadi sebuah pusat niaga dan Agama Buddha Theravada.

Akibat diperintah oleh raja terakhir yang tidak berpengalaman, kerajaan besar ini ditaklukkan pada 1539 oleh Wangsa Taungu yang baru terbentuk. Kerajaan ini sempat bangkit kembali selama jangka waktu yang singkat antara 1550 sampai 1552, dan secara efektif hanya berkuasa atas Pegu sebelum akhirnya dihancurleburkan oleh Bayinnaung pada 1552.

Negara-negara Shan (1287–1563)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Negara-negara Shan 

Orang Shan, suku bangsa Tai yang datang bersama orang Monggol, menetap dan dengan cepat mendominasi sebagian besar wilayah utara sampai ke batas timur Birma, dari Divisi Sagaing di barat laut ke Perbukitan Kachin sampai di Perbukitan Shan sekarang ini.

Negara-negara Shan terkuat adalah Mohnyin dan Mogaung di Negara Bagian Kachin sekarang ini, disusul oleh Hsenwi (Theinni) (Dipecah menjadi negara bagian utara dan selatan pada 1988), Thsipaw (Thibaw) dan Momeik di daerah utara Negara Bagian Shan sekarang ini.[20]

Negara-negara Shan yang kecil-kecil adalah Kalay, Bhamo (Wanmaw atau Manmaw), Hkamti Long (Kantigyi), Hopong (Hopon), Hsahtung (Thaton), Hsamönghkam (Thamaingkan), Hsawnghsup (Thaungdut), Hsihkip (Thigyit), Hsumhsai (Hsum Hsai), Kehsi Mangam (Kyithi Bansan), Kengcheng (Kyaingchaing), Kenghkam (Kyaingkan), Kenglön (Kyainglon), Kengtawng, Kengtung (Kyaington), Kokang (Kho Kan), Kyawkku Hsiwan (Kyaukku), Kyong (Kyon), Laihka (Legya), Lawksawk (Yatsauk), Loi-ai (Lwe-e), Loilong (Lwelong), Loimaw (Lwemaw), Nyaung Shwe, dan masih masih banyak lagi yang lain.

Mohnyin, secara khusus, terus-menerus menggerayangi wilayah Awa pada permulaan abad ke-16. Serikat negara-negara Shan yang dipimpin oleh Monhyin, bersekutu dengan Kerajaan Prome, berhasil merebut Awa pada 1527. Serikat negara-negara Shan melibas sekutunya, Kerajaan Prome, pada 1532, dan menguasai seluruh Birma Hulu kecuali Taungu. Akan tetapi perserikatan ini dicemari oleh pertikaian internal, dan tidak sanggup membendung serangan Taungu yang akhirnya berhasil menaklukkan Awa pada 1555, dan seluruh negara-negara Shan pada 1563..

Arakan (1287–1785)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Rakhine 

Meskipun secara de facto Arakan telah merdeka sejak penghujung zaman kekuasaan Pagan, Wangsa Laungkyet dari Arakan tidak mampu mengukuhkan kemerdekaannya. Sampai dengan berdirinya Kerajaan Mrauk-U pada 1429, Arakan seringkali terperangkap di tengah-tengah pertarungan para jirannya yang lebih besar, dan menjadi ajang pertempuran selama berlangsungnya Perang Empat Puluh Tahun antara Awa dan Pegu. Mrauk-U kelak menjadi kerajaan yang kuat berkat usaha sendiri antara abad ke-15 sampai abad ke-17, dan wilayahnya meliputi Benggala Timur antara 1459 sampai 1666. Arakan adalah satu-satunya kerajaan pasca-Pagan yang tidak dianeksasi oleh Wangsa Taungu. 

Kerajaan Taungu (1510–1752)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dinasti Taungoo 

Kemaharajaan Taungu pertama (1510–1599)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kemaharajaan Taungu pertama 
Peta politik Birma (Myanmar) pada 1530 dikala Tabinsweti naik takhta
Semenjak era 1480-an, Awa terus-menerus menghadapi pemberontakan internal dan serangan-serangan eksternal dari negara-negara Shan, sehingga mengalami keretakan. Pada 1510, Taungu, di pelosok tenggara Kerajaan Awa, ikut pula menyatakan kemerdekaannya.[20] Ketika serikat negara-negara Shan menaklukkan Awa pada 1527, banyak di antara warganya yang mengungsi ke negeri Taungu, satu-satunya kerajaan yang tidak ikut berperang sekaligus dikelilingi kerajaan-kerajaan tetangga yang lebih besar dan saling berseteru.

Taungu, dipimpin rajanya yang bercita-cita tinggi, Tabinsweti, bersama naib panglimanya, Bayinnaung, kelak berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang bermunculan sejak runtuhnya Kemaharajaan Pagan, dan membentuk kemaharajaan terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Pertama-tama, kerajaan baru ini menaklukkan Hanthawadi yang lebih kuat dalam Perang Taungu–Hanthawadi (1534–1541). Tabinsweti memindahkan ibu kota kerajaan Taungu ke Bago sesudah direbutnya pada 1539.

Taungu meluaskan kekuasaannya sampai ke Pagan pada 1544 tetapi gagal dalam usahanya menaklukkan Arakan (1545–1547) dan Siam (1547–1549). Penggantinya, Bayinnaung, melanjutkan kebijakan ekspansi Tabinsweti dan berhasil menaklukkan Awa pada 1555, negara-negara Shan Cis-Salwin (1557), Lan Na (1558), Manipur (1560), negara-negara Shan Seberang-Salwin (1562–1563), Siam (1564, 1569), Lan Xang (1565–1574), dan menundukkan banyak negeri di daratan barat dan tengah Asia Tenggara di bawah pemerintahannya.

Bayinnaung menetapkan suatu tatanan administrasi negara yang kokoh dan bertahan lama. Tatanan administrasi negara ini membatasi kekuasaan para kepala suku Shan yang menjabat turun-temurun, dan menyelaraskan adat-istiadat Shan dengan norma-norma yang berlaku di dataran rendah Birma.[21] Akan tetapi Bayinnaung tidak dapat menerapkan tatanan administrasi yang sama di seluruh wilayah kemaharajaan yang begitu luas. Kemaharajaan merupakan sekumpulan bekas kerajaan berdaulat, yang raja-rajanya bersumpah setia kepada Bayinnaung selaku seorang cakrawati (စကြဝတေးမင်း, [sɛʔtɕà wədé mɪ́ɴ]; Penguasa Alam), bukan kepada kerajaan Taungu.

Kemaharajaan yang terlampau luas ini terpecah-belah segera sesudah Bayinnaung mangkat pada 1581. Siam memerdekakan diri pada 1584 dan kelak berperang melawan Birma sampai 1605. Pada 1597, kemaharajaan ini telah kehilangan seluruh wilayahnya, termasuk Taungu, kampung-halaman leluhur wangsa ini. Pada 1599, bala tentara Arakan dibantu prajurit-prajurit bayaran Portugis, dan bersekutu dengan pasukan-pasukan pemberontak Taungu, menjarah-rayah kota Pegu. Birma menjadi kacau-balau, karena masing-masing daerah melantik rajanya sendiri. Seorang prajurit bayaran Portugis, Filipe de Brito e Nicote, tak lama kemudian bangkit memberontak melawan majikan-majikan Arakannya, dan membentuk pemerintahan Portugis yang didukung Goa di Thanlyin pada 1603.
Wilayah kemaharajaan yang diperintah Bayinnaung pada 1580.
Kerajaan Taungu terpulihkan (Restorasi Nyaungyan) (1599–1752) 
Jika masa interegnum yang menyusul runtuhnya Kemaharajaan Pagan berlangsung lebih dari 250 tahun (1287–1555), maka masa interegnum yang menyusul runtuhnya Kemaharajaan Taungu Pertama berlangsung cukup singkat. Salah seorang putra Bayinnaung, Nyaungyan Min, segera melakukan upaya penyatuan kembali, dan berhasil memulihkan martabat Taungu sebagai pusat kekuasaan atas Birma Hulu dan negara-negara Shan terdekat pada 1606.

Penggantinya, Anaukpetlun, mengalahkan Portugis di Thanlyin pada 1613. Ia merebut kembali daerah pesisir atas Tanintharyi sampai ke Dawei dan Lan Na dari Siam pada 1614. Ia juga merebut negara-negara Shan seberang-Salwin Shan (Kengtung dan Sipsongpanna) pada 1622–26.

Saudaranya, Thalun, membangun kembali negara Birma yang porak-poranda akibat perang. Ia memerintahkan pelaksanaan cacah jiwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Birma pada 1635. Hasil cacah jiwa menunjukkan bahwa warga kerajaan itu kurang-lebih berjumlah dua juta jiwa. Pada 1650, tiga raja bijak–Nyaungyan, Anaukpetlun, dan Thalun–berhasil membangun kembali sebuah kerajaan yang lebih kecil ukurannya tetapi lebih mudah diatur.
Wangsa Taungu atau Nyaungyan yang dipulihkan ca. 1650.
Yang jauh lebih penting, rajawangsa baru ini menciptakan pula suatu tatanan hukum dan politik yang bentuk dasarnya tidak berubah sepanjang masa pemerintahan Wangsa Konbaung sampai dengan abad ke-19. Kerajaan menggantikan jabatan kepala suku yang turun-temurun dengan jabatan gubernur yang berdasarkan penunjukan kerajaan di seluruh Lembah Sungai Irawadi, dan menghapus sejumlah besar hak turun-temurun para kepala suku Shan. Kerajaan juga membendung laju peningkatan kekayaan dan otonomi biara dengan menetapkan dasar pengenaan pajak yang lebih besar. Perombakan-perombakan di bidang niaga dan administrasi sekuler berhasil menciptakan kemakmuran ekonomi yang bertahan sampai lebih dari 80 tahun.[22] Selain pemberontakan yang sesekali muncul dan satu perang dengan pihak eksternal—Birma menggagalkan upaya Siam merebut Lan Na dan Mottama pada 1662–64—kerajaan ini hidup tenteram hampir sepanjang abad ke-17.

Kerajaan Taungu terpulihkan ini sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan, dan kekuasaan "raja-raja istana" menurun drastis pada era 1720-an. Sejak 1724, orang-orang Meitei mulai menyerang daerah hulu Sungai Chindwin. Pada 1727, kawasan selatan Lan Na (Chiang Mai) memberontak dan berhasil melepaskan diri, menyisakan kawasan utara Lan Na (Chiang Saen) dalam kekuasaan Birma yang lama-kelamaan pun tinggal nama saja. Serangan orang-orang Meitei bertambah gencar pada era 1730-an, dan semakin jauh menerobos ke Birma Tengah.

Pada 1740, orang-orang Mon di Birma Hilir bangkit memberontak dan mendirikan Kerajaan Hanthawadi terpulihkan yang berhasil menguasai sebagian besar daerah Birma Hilir pada 1745. Orang-orang Siam juga melebarkan mandala kekuasaan mereka sampai ke pesisir Tanintharyi pada 1752. Hanthawadi menginvasi Birma Hulu pada November 1751 dan merebut Awa pada 23 Maret 1752, mengakhiri kekuasaan Wangsa Taungu yang sudah berumur 266 tahun.

Wangsa Konbaung (1752–1885) 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Konbaung 

Penyatuan kembali 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Konbaung–Hanthawadi 

Tidak lama sesudah keruntuhan Awa, sebuah wangsa baru muncul di Shwebo menentang kekuasaan Hanthawadi. Selama 70 berikutnya, Wangsa Konbaung yang sangat bercorak militer membangun salah satu kemaharajaan Birma yang terbesar, setingkat di bawah kemaharajaan yang pernah didirikan Bayinnaung. Pada 1759, bala tentara Konbaung yang dikerahkan Raja Alaungpaya berhasil mempersatukan kembali seluruh Birma (dan Manipur), mengakhiri kekuasaan Wangsa Hanthawadi bentukan Mon untuk selama-lamanya, menghalau kekuatan-kekuatan Eropa yang memasok senjata bagi Hanthawadi—orang Perancis dari Thanlyin dan orang Inggris dari Tanjung Negrais.[23] 

Perang dengan Siam dan Tiongkok 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Birma–Siam dan Perang Tiongkok-Birma (1765–69) 

Kerajaan Birma berperang melawan Kerajaan Ayutthaya, yang telah menduduki wilayah dari pesisir Tanintharyi sampai ke Mottama selama perang saudara Birma (1740–1757), dan telah memberi suaka bagi para pengungsi Mon. Pada 1767, bala tentara Konbaung berhasil menaklukkan sebagian besar Laos dan mengalahkan Siam. Meskipun demikian, Birma tidak mampu memberantas sampai tuntas sisa-sisa pejuang Siam karena disibukkan oleh empat kali invasi Wangsa Qing dari Tiongkok (1765–1769).[24] Meskipun sanggup bertahan dalam "perang perbatasan terparah melawan Wangsa Qing" itu, Birma masih harus waspada menghadapi ancaman invasi baru dari kemaharajaan terbesar di dunia itu selama bertahun-tahun. Wangsa Qing menempatkan sepasukan besar bala tentara di daerah perbatasan selama kira-kira satu dasawarsa sebagai persiapan untuk mengobarkan perang baru, dan memberlakukan larangan atas kegiatan niaga lintas perbatasan selama dua dasawarsa.[25]

Kerajaan Ayutthaya memanfaatkan kesukaran yang sedang dihadapi Birma ini untuk merebut kembali wilayah-wilayahnya yang hilang pada 1770, bahkan merebut pula sebagian besar Lan Na pada 1776, mengakhiri dua abad lebih suzerenitas Birma atas negeri itu.[26] Siam kembali memerangi Birma pada 1785–1786, 1787, 1792, 1803–1808, 1809–1812, dan 1849–1855, tetapi semuanya berakhir dengan hasil imbang. Setelah berpuluh-puluh tahun berperang, kedua belah pihak akhirnya saling bertukar wilayah. Tanintharyi diserahkan oleh Siam kepada Birma dan Lan Na diserahkan oleh Birma kepada Siam. 

Perluasan ke barat dan perang dengan Imperium Britania 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Inggris-Birma 

Dihadapkan pada kekuatan besar Tiongkok di timur laut dan bangkitnya Siam di tenggara, Raja Bodawpaya beralih ke barat untuk berekspansi.[27] Ia menaklukkan Arakan pada 1785, menganeksasi Manipur pada 1814, dan merebut Assam pada 1817–1819, yang menimbulkan pertikaian panjang mengenai garis perbatasan dengan India Britania. Pengganti Bodawpaya, Raja Bagyidaw harus memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang diprakarsai Inggris di Manipur pada 1819 dan di Assam pada 1821–1822. Serangan-serangan lintas perbatasan yang dilancarkan kaum pemberontak dari wilayah-wilayah yang dilindungi Britania, dan serangan-serangan lintas perbatasan yang dilancarkan Birma sebagai tindakan balasan mengakibatkan pecahnya Perang Inggris-Birma Pertama (1824–26).[28] 

Perang Inggris-Birma Pertama, yang berkecamuk selama 2 tahun dan menghabiskan dana sebesar 13 juta pound, merupakan perang terlama dan termahal dalam sejarah India Britania,[29] tetapi berakhir dengan kemenangan telak bagi pihak Britania. Birma harus melepaskan seluruh wilayah barat yang telah direbut Bodawpaya (Arakan, Manipur, dan Assam) ditambah pula dengan Tenasserim. Birma digerogoti selama bertahun-tahun oleh besarnya tuntutan ganti-rugi yang mencapai satu juta pound (kala itu setara dengan 5 juta dolar Amerika Serikat).[30] Pada 1852, Inggris secara sepihak dan tanpa kesulitan merebut Provinsi Pegu dalam Perang Inggris-Birma Kedua.[28][31] 

Seusai perang, Raja Mindon berupaya memoderenisasi negara dan perekonomian Birma, serta memberi konsesi-konsesi niaga dan teritorial guna membendung campur tangan Britania, termasuk menyerahkan Negara-Negara Bagian Karenni kepada Britania pada 1875. Meskipun demikian, pihak Britania yang khawatir melihat konsolidasi Indochina Perancis, menganeksasi seluruh Birma dalam Perang Inggris-Birma Ketiga pada 1885,[32] dan memberangkatkan Raja Birma Terakhir, Thibaw, beserta keluarganya ke pembuangan di India. 

Reformasi administrasi dan ekonomi 

Raja-raja Konbaung melanjutkan pembaruan administrasi yang dimulai sejak masa pemerintahan Wangsa Taungu terpulihkan (1599–1752), dan mencapai taraf yang belum pernah diraih sebelumnya di bidang pengendalian internal dan ekspansi eksternal. Raja-raja Konbaung memperketat pengendalian daerah-daerah dataran rendah dan mengurangi hak-hak istimewa turun-temurun para Saopha (kepala suku) Shan. Pejabat-pejabat Konbaung, teristimewa sesudah 1780, mulai melaksanakan pembaruan di bidang perniagaan yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjadikannya lebih terprediksi. Perekonomian uang semakin lama semakin kuat berakar. Pada 1857, pemerintah menetapkan suatu tatanan perpajakan dan penggajian yang paripurna, didukung dengan pengeluaran standar mata uang perak Birma yang pertama.[24]

Budaya 

Intergrasi budaya terus berjalan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bahasa dan budaya Birma digunakan secara luas di seluruh Lembah Sungai Irawadi, dan sepenuhnya menggantikan bahasa dan budaya Mon pada 1830. Daerah-daerah kepangeranan Shan terdekat mengadopsi lebih banyak adat-istiadat masyarakat dataran rendah. Evolusi dan pertumbuhan sastra dan teater Birma juga terus berjalan, didukung tingginya tingkat melek aksara di kalangan pria dewasa kala itu (separuh dari seluruh pria dan 5% dari seluruh wanita).[33] Para pemuka agama dan pembesar kerajaan di sekeliling raja-raja Konbaung, terutama yang menjabat pada masa pemerintahan Bodawpaya, juga melaksanakan pembaruan besar di bidang kehidupan intelektual serta organisasi dan praktik kehidupan membiara di Birma yang dikenal sebagai Reformasi Sudhamma. Salah satu hasil dari karya pembaruan ini adalah terbitnya catatan sejarah Birma pertama yang disusun dengan baik.[34]

Penjajahan Britania 
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Burma Britania 

Britania menjadikan Birma sebagai salah satu provinsi dari negara India Britania pada 1886 dengan Yangon sebagai ibu kotanya. Masyarakat Birma tradisional mengalami perubahan drastis akibat lengsernya monarki serta pemisahan antara agama dan negara. Sekalipun perang secara resmi telah usai selepas berlangsung selama dua pekan, para pejuang Birma masih melakukan perlawanan di daerah Birma Utara sampai 1890, setelah pihak Britania akhirnya memutuskan untuk secara sistematis menghancurkan desa-desa dan melantik pejabat-pejabat baru untuk mengakhiri segala aktivitas gerilya. Keadaan perekonomian masyarakat juga berubah secara dramatis. Sesudah pembukaan Terusan Suez, permintaan akan beras Birma mengalami peningkatan dan lahan-lahan luas diteroka untuk ditanami. Akan tetapi, untuk membuka lahan pertanian baru, para petani terpaksa meminjam uang dari para rentenir India yang disebut cetiar dengan bunga tinggi dan seringkali mengalami penyitaan serta pengusiran yang mengakibatkan mereka kehilangan tanah dan ternak. Sebagian besar lapangan kerja juga diambil alih kuli-kuli kontrak India, dan seisi desa-desa menjadi buronan akibat beralih profesi menjadi kecu. Meskipun ekonomi Birma mengalami pertumbuhan, seluruh kekuasaan dan kemakmuran digenggam oleh segelintir perusahaan Britania, kaum peranakan Inggris, dan kaum pendatang dari India.[35] Sebagian besar pegawai negeri sipil adalah orang-orang peranakan Inggris dan orang India, lagi pula orang-orang Bamar nyaris sepenuhnya disingkirkan dari dinas militer. Sekalipun Birma menjadi makmur, rakyatnya tidak ikut sejahtera. Novel Burmese Days karya George Orwell adalah sebuah cerita fiksi dari masa penjajahan Britania di Birma. Sepanjang masa penjajahan, kaum peranakan Inggris mendominasi Birma sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.

Sekitar permulaan abad ke-20, sebuah organisasi pergerakan kebangsaan mulai dibentuk dengan nama Perkumpulan Pemuda Buddhis (Young Men's Buddhist Association) meniru YMCA, karena pembentukan perkumpulan-perkumpulan keagamaan diperbolehkan oleh pemerintah penjajah. Organisasi ini kelak tergantikan oleh Sidang Umum Perkumpulan-Perkumpulan Birma (General Council of Burmese Associations) yang terhubung dengan Wunthanu athin atau Perkumpulan Kebangsaan yang tumbuh subur di desa-desa di seluruh Birma Hulu. Antara 1900 – 1911 "Si Orang Buddha Irlandia", U Dhammaloka, menyuarakan penentangan terhadap Agama Kristen dan Pemerintah Penjajah dengan menggunakan dalil-dalil agama Buddha. Sebuah generasi baru pemimpin-pemimpin Birma muncul pada permulaan abad ke-20 di kalangan cendekiawan yang diizinkan berangkat ke London untuk menimba ilmu hukum. Mereka pulang dengan keyakinan bahwa keadaan Birma dapat diperbaiki melalui reformasi. Reformasi konstitusi yang progresif pada permulaan era 1920-an menghasilkan sebuah lembaga legislatur berkewenangan terbatas, sebuah universitas, dan otonomi yang lebih besar bagi Birma dalam ruang lingkup administrasi negara India Britania. Dilakukan pula upaya-upaya untuk memperbesar keterwakilan rakyat Birma dalam jawatan-jawatan pemerintah. Beberapa orang mulai merasa bahwa perubahan tidak berjalan cukup cepat dan upaya reformasi tidak cukup ekspansif.

Pada 1920, terjadi peristiwa pemogokan mahasiswa untuk pertama kalinya dalam sejarah Birma. Para mahasiswa memprotes dikeluarkannya Undang-Undang Universitas baru yang mereka yakini hanya akan menguntungkan kalangan elit dan mengekalkan kekuasaan pemerintah penjajah. 'Sekolah-sekolah kebangsaan' tumbuh marak di seluruh wilayah Birma sebagai tindakan protes terhadap sistem pendidikan penjajah, dan peristiwa pemogokan mahasiswa itu pun diperingati sebagai 'Hari Kebangsaan'.[36] Beberapa aksi mogok lanjutan dan unjuk rasa anti-pajak juga terjadi menjelang akhir era 1920-an, dipimpin oleh Wunthanu athin. Beberapa aktivis politik terkemuka adalah biarawan Agama Buddha (pongyi), seperti U Ottama dan U Seinda di Arakan yang kelak memimpin pemberontakan bersenjata melawan pihak Britania dan juga kelak melawan pemerintah nasionalis pascakemerdekaan Birma, dan U Wisara, martir perdana gerakan kebangsaan yang tewas setelah lama menjalankan aksi mogok makan di dalam penjara[36] (Sebuah jalan utama di Yangon diberi nama U Wisara). Pada Desember 1930, terjadi unjuk rasa lokal menentang pajak oleh Saya San di Tarawadi dengan cepat berkembang menjadi gerakan kebangkitan yang pertama di tingkat daerah dan kelak menjadi gerakan kebangkitan nasional yang pertama melawan pemerintah penjajah. Selama dua tahun, berlangsung pemberontakan Galon (garuda) – musuh nāga, melambangkan para penjajah Britania – yang terpampang pada panji-panji para pemberontak, menyebabkan dikerahkannya ribuan pasukan Britania untuk memadamkannya diiringi janji-janji reformasi politik. Akhir nasib Saya San, yang disidang dan dieksekusi, membuka jalan bagi beberapa orang yang kelak menjadi pemimpin nasional Birma, termasuk Ba Maw dan U Saw, yang ikut serta dalam pembelaannya, untuk tampil sebagai tokoh-tokoh terkemuka.[36]

Pada Mei 1930, didirikan Dobama Asiayone ("Perkumpulan Kami Orang Bamar"). Para anggota perkumpulan ini menyebut dirinya Thakin (sebuah julukan yang ironis karena thakinberarti "juragan" dalam bahasa Birma, kurang-lebih semakna dengan kata sahib— dijadikan sebagai bentuk pernyataan diri bahwa merekalah majikan sejati di negeri itu, para penyandang sah dari gelar thakin yang telah dirampas oleh para penjajah).[36] Pemogokan mahasiswa kedua pada 1936 dipicu oleh tindakan pemberhentian sebagai mahasiswa terhadap Aung San dan Ko Nu, pemimpin-pemimpin Serikat Mahasiswa Universitas Yangon (Rangoon University Students Union), karena menolak untuk menyingkap nama penulis sebuah artikel dalam majalah kampus yang berisi cercaan terhadap salah seorang pejabat senior di Universitas Yangon. Pemogokan yang menyebar ke Mandalay itu mendorong terbentuknya Serikat Mahasiswa Seluruh Birma (All Burma Students Union, disingkat ABSU). Aung San dan Nu kemudian bergabung dengan gerakan Thakin dan berpindah dari gerakan mahawiswa ke gerakan politik kebangsaan.[36] Pemerintah Imperium Britania memisahkan Birma dari India pada 1937 dan memberi negara jajahannya yang baru itu sebuah konstitusi baru yang mengatur tentang pembentukan sebuah dewan yang sepenuhnya terdiri atas orang-orang yang dipilih rakyat, akan tetapi tindakan ini justru menjadi suatu isu pemecah-belah karena segolongan rakyat Birma merasa bahwa tindakan ini adalah rencana jahat Britania untuk menyingkirkan mereka dari reformasi-reformasi yang dilakukan di India, sementara golongan lain memandang segala tindakan untuk memisahkan Birma dari kendali India sebagai langkah positif. Ba Maw menjabat sebagai Perdana Menteri Birma yang pertama, namun ia digantikan oleh U Saw pada 1939, yang menjabat sebagai perdana menteri sejak 1940 sampai ia ditangkap pada 19 Januari 1942 oleh pemerintah Birma Britania karena berkomunikasi dengan Jepang.

Gelombang pemogokan dan protes yang bermula dari ladang-ladang minyak di Birma Tengah pada 1938 berkembang menjadi pemogokan umum yang berkonsekuensi lebih luas. Di Yangon, para pelajar yang berunjuk rasa setelah berhasil memblokade pintu masuk ke Sekretariat, kantor pemerintah penjajah, diserang oleh polisi berkuda Britania bersenjata pentungan yang mengakibatkan tewasnya seorang mahasiswa Universitas Yangon bernama Aung Kyaw. Di Mandalay, polisi menembaki kerumunan pengunjuk rasa yang dipimpin oleh seorang biarawan Agama Buddha sehingga menewaskan 17 orang. Gerakan ini kelak dikenal dengan nama Htaung thoun ya byei ayeidawbon ('Revolusi 1300', dinamakan berdasarkan tahun tersebut berdasarkan perhitungan kalender Birma),[36] dan tanggal 20 Desember, hari kematian martir perdana Aung Kyaw fell, diperingati oleh para mahasiswa sebagai 'Hari Bo Aung Kyaw'.[37]

Daftar kata/istilah: 
Tiongkok = China. 
Britania = British/Inggeris. 
Warga sipil = Orang awam.
Birma = Burma/Myanmar 

Sejarah Myanmar - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Myanmar

Tiada ulasan: