Selasa, 30 April 2019

One trip. 9364.



journey
Hemat di Bulan Ramadhan, Begini Caranya
by Eneng Susanti
Hemat di Bulan Ramadhan, Begini Caranya
TAK hanya soal ibadah, beragam persiapan lain perlu diperhitungkan, terutama urusan ‘kantong’. Kenapa? Sebab, tak bisa dipungkiri, kebutuhan seperti sandang dan pangan biasanya meningkat saat bulan berkah ini.
Jika tidak berhati-hati, bisa jadi pengeluaran di bulan Ramadhan bisa membengkak. Jadi, bagaiamana cara berhemat agar kantong tidak jebol di bulan Ramadhan?
4 Cara berikut ini bisa jadi referensi bagi Anda yang ingin berhemat selama Ramadhan.

1Buat anggaran spesial

Ada beberapa pengeluaran yang perlu diatur ulang selama Ramadhan, contoh anggaran untuk makan sahur dan buka puasa. Selain itu, dana untuk bukber juga perlu dipersiapkan.
Beli stok bahan makanan sedini mungkin

Di bulan Ramadhan, harga bahan makanan biasanya mengalami kenaikan. Jadi, usahakan menyiapkan kebutuhan-kebutuhan untuk Ramadhan dan lebaran sedini mungkin. Maka, buatlah daftar-daftar keperluan atau pengeluaran secara rinci.

2Tidak semuanya harus dibeli

Ternyata ada cara hemat untuk menyiapkan hadiah lebaran yaitu dengan menggunakan kreativitas. Anda dapat memberikan ucapan selamat dalam bentu digital (email, text), membuat kerajinan tangan sebagai hadiah lebaran dan menyusun parcel Lebaran sendiri. Cara ini bisa menghemat pengeluaran Anda, sehingga tidak perlu membeli banyak barang.

3Manfaatkan promo khusus bulan Ramadhan

Jika Anda berbelanja di pusat perbelanjaan pada saat Bulan Ramadhan, tentu akan ada banyak diskon. Tidak hanya pusat perbelanjaan, tetapi juga rumah makan, toko baju dan toko-toko lainnya. Manfaatkan promo yang ditawarkan toko tersebut, apakah dengan promo pembelian atau promo kartu kredit.
Intinya, bijak lah dalam mengelola keuangan di bulan Ramadhan. Dengan demikian, keuangan keluarga dalam jangka panjang insya Allah tidak akan terganggu. []
SUMBER: HALO MONEY |FINANSIALKU
https://www.islampos.com/hemat-di-bulan-ramadhan-begini-caranya-145993/?

Memahami Perintah “Memerangi”, dalam Hadits Melintas di Hadapan Orang Shalat
by yudi
Melintas di Hadapan Orang Shalat
PEMBACA yang saya muliakan. Ada sebuah pertanyaan tentang makna perintah nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits untuk “memerangi” orang yang nekat melintas di hadapan orang yang sedang shalat. Apakah perintah tersebut bermakna hakiki? Benar-benar bermakna perang? Atau ada makna lain?

Suatu lafadz yang datang dalam Al-Qur’an dan Sunnah, pada asalnya harus dibawa kepada makna hakiki, sampai ada qarain (berbagai indikasi) mengeluarkan kepada makna lain (majaz). Maka dalam memahani hadits, harus diperhatikan dua sisi, yaitu (1) teks, dan (2) konteks. Tidak bisa hanya teks-nya saja.


Hadits yang dimaksud, datang dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiallahu ‘ahu-, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Apabila salah satu diantara kalian shalat menghadap kepada sesuatu yang dia jadikan sutrah (pembatas) dari manusia, lalu ada seorang yang akan melintas di hadapannya, hendaknya dia cegah ia. Jika ia enggan, maka perangilah ! karena ia hanyalah syetan.” [HR. Al-Bukhari : 509 dan Muslim : 259 ]

Maksud perintah nabi untuk “memerangi” orang yang nekat lewat di depan orang yang shalat, bukanlah “perang” secara hakiki. Akan tetapi dibawa kepada kemungkinan-kemungkinan makna yang lain. Dan ini dengan ijma’ (konsensus) ulama’ muslimin.

Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Qadhi ‘Iyadh –rahimahullah- (wafat : 544 H) dalam “Ikmalul Mu’lim” (2/419) beliau berkata :

وقوله: ” فإن أبى فليقاتله “: أى إن أبى بالإشارة ولطيف المنع فليمانعه ويدافعه بيده عن المرور، ويعنف عليه فى رده. قال أبو عمر: هذا اللفظ جاء على وجه التغليظ والمبالغة. وقال الباجى: يحتمل أن يكون بمعنى فليلعنه، فالمقاتلة بمعنى اللعن موجودة، قال الله تعالى: {قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ} ، قال: ويحتمل أن يكون بمعنى فَلْيُعَنِّفه على فعله ذلك ويؤاخذه، وخرج من ذلك معنى المقاتلة المعلومة بالإجماع.

“Dan ucapan beliau : ( JIKA ENGGAN, MAKA PERANGILAH DIA),artinya : Jika enggan dengan isyarat dan pencegahan yang lembut, maka hendaknya seorang mencegahnya dengan tangannya dari melintas (di depannya) dan keras dalam menolaknya. Abu Umar berkata : Lafadz ini datang di atas sifat keras dan berlebihan (bukan makna hakiki). Al-Baji berkata : mengandung kemungkinan makna mengerasi dan memberi hukuman atas perbuatannya. Dan makna “perang sebagaimana yang dimaklumi”(makna hakiki), telah keluar darinya berdasarkan IJMA’ (kesepakatan ulama’ muslimin).” -selesai-

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- juga memberi keterangan dalam “Fathul Bari” (1/584) :

واستنبط بن أَبِي جَمْرَةَ مِنْ قَوْلِهِ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ فَلْيُقَاتِلْهُ الْمُدَافَعَةُ اللَّطِيفَةُ لَا حَقِيقَةُ الْقِتَالِ قَالَ لِأَنَّ مُقَاتَلَةَ الشَّيْطَانِ إِنَّمَا هِيَ بِالِاسْتِعَاذَةِ وَالتَّسَتُّرِ عَنْهُ بِالتَّسْمِيَةِ وَنَحْوِهَا وَإِنَّمَا جَازَ الْفِعْلُ الْيَسِيرُ فِي الصَّلَاةِ لِلضَّرُورَةِ فَلَوْ قَاتَلَهُ حَقِيقَةَ الْمُقَاتَلَةِ لَكَانَ أَشَدَّ عَلَى صَلَاتِهِ مِنَ الْمَارِّ

“Ibnu Abi Hamzah –rahimahullah- telah mengeluarkan hukum dari ucapan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- “Dia adalah syetan”, sesungguhnya yang dimaksud dengan ucapan nabi “Hendaknya ia memeranginya” adalah pencegahan yang halus, bukan peperangan yang hakiki. Beliau berkata : karena memerangi syetan hanyalah dengan isti’adzah (meminta perlindungan) dan menutup diri darinya dengan ucapan menyebut nama Allah dan yang semisalnya. Dan diperbolehkan untuk melakukan gerakan yang ringan di dalam shalat karena darurat. Seandainya ia memeranginya secara hakiki, sungguh hal ini lebih parah (pengaruhnya ) terhadap shalatnya dari orang yang lewat.” -selesai-

Imam Ibnu Khuzaimah –rahimahullah- meletakkan hadits di atas dalam “Shahih-nya” dengan judul bab : بَابُ أَمْرِ الْمُصَلِّي بِالدَّرْءِ عَنْ نَفْسِهِ الْمَارَّ بَيْنَ يَدَيْه (“Perintah bagi orang yang yang shalat untuk mencegah orang yang lewat di depannya”). Ini menunjukkan ke dalaman fiqh beliau. Dimana beliau tidak membuat judul bab “Perintah untu memerangi”. (Simak Shahih Ibnu Khuzaimah : 1/414). Karena yang diinginkan dari hadits di atas bukan makna hakiki sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar –rahimahullah- di atas.


Kesimpulan :

Bahwa makna perintahnya nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- “PERANGILAH DIA” dalam hadits di atas, bukanlah bermakna hakiki. Akan tetapi bermakna penekanan dan berlebihan dalam mencegah orang yang nekat lewat di hadapan orang yang shalat. Mencegah di sini diawali dulu dengan isyarat, jika tidak bermanfaat dicegah dengan tangan dengan lembut, jika tidak bermanfaat, baru dicegah dengan tangan dengan keras. Inipun hanya berlaku jika memasang sutrah (pembatas shalat). Jika tidak, maka perintah nabi ini tidak berlaku.

Namun, perlu diperhatikan juga dalam mengamalkan hadits ini akan pertimbangan mafasid (kerusakan) dan mashalih (kebaikan) dibelakangnya. Karena ada suatu kaidah, bahwa “Jika mengingkari kemunkaran akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar atau kemunkaran lain yang lebih besar, maka hukumnya haram”. Apalagi jika masyarakat kita masih belum paham akan hukum seperti ini. Khawatir jika kita terapkan, akan menimpulkan fitnah yang lebih besar dari mashlahat yang kita inginkan. []

Facebook: Abdullah Al Jirani




Beza buah fikir sepatutnya tidak membawa perpecahan ahli massa. 9363.


Perbedaan Pendapat Itu Rahmat
by yudi
Perbedaan Pendapat Itu Rahmat
IKHTILAF (perbedaan pendapat) dalam masalah furu (cabang agama), merupakan rahmat dari Allah Ta’ala, bukan perkara yang tercela. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يُحْتَاجُ إلَيْهِ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِي الْفُرُوعِ رَحْمَةٌ

“Ketahuilah! Sesungguhnya mengetahui berbagai madzhab Salaf dengan dalil-dalilnya, termasuk perkara yang paling penting untuk dijadikan hujjah (argument). Karena perbedaan pendapat mereka merupakan rahmat.”

Faidah:

Perbedaan pendapat dalam masalah furu (cabang agama), bukan perkara yang tercela. Akan tetapi merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, jangan sampai hal ini dijadikan suatu sebab untuk saling mencela, mentahdzir, dan menyesatkan. Karena bagaimana akan kita lakukan yang seperti ini, sedangkan Allah saja merahmati hal yang demikian?

Perkara furu (cabang agama) suatu perkara yang diperbolehkan para ulama’ untuk berijtihad di dalamnya. Kenapa dibolehkan untuk ijtihad? karena mungkin dalilnya tidak sharih (secara gamblang menunjukkan kepada suatu hukum), atau tidak ada dalil yang menunjukkan kepadanya secara langsung, atau dalil yang ada memiliki berbagai kemungkinan makna, atau dalil-dalil yang ada sekilas bertentangan, atau sebab yang lain.
Konsekwensinya, sangat mungkin akan timbul perbedaan pendapat. Jika ini terjadi, maka hendaknya kita saling menghormati dan berlapang dada serta tidak boleh untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi saling menyesatkan.
Ucapan Imam Nawawi –rahimahullah- di atas, berdasar firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Kami (Allah) utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”- [ Al-Qur’an Al-Karim ]. Demikian juga hadits nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang perintah beliau kepada rombongan para sahabat yang sedang menuju Bani Quraidzoh “agar jangan shalat Ashar kecuali di sana”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kisah ini, para sahabat berbeda pendapat menjadi dua kelompok. Yang satu memahami secara lafadz bahwa tidak boleh shalat kecuali telah sampai di sana, walaupun waktu shalat Ashar habis. Yang satu memahami bahwa maksud hadits tersebut perintah untuk cepat-cepat menuju ke sana. Namun jika di perjalanan waktu Ashar tiba dan dikhawatirkan akan habis, maka shalat di jalan.
Dalam kisah ini, para sahabat telah berbeda pendapat dalam memahami satu hadits. Namun, mereka tidak saling mencela apalagi menyesatkan. Nabi-pun tidak mencela masing-masing mereka. Inilah salah satu bentuk rahmat (kasih sayang) di dalam syari’at ini. Dan inilah hakikat manhaj Salaf dalam menyikapi perbedaan pendapat. Oleh karena itu, barang siapa yang menyikapi masalah furu’iyyah tidak sebagaimana yang dicontohkan nabi dan para sahabatnya, sungguh dia telah menapaki jalan penyimpangan tanpa sadar, walaupun dia mengklaim –dengan dusta- sebagai jalan salaf shalih. Maka berhati-hatilah !
Adapun hadits yang berbunyi :
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.”
Derajatnya maudhu’ (palsu). Bisa dilihat dalam kitab : “Al-Asrar Al-Marfu’ah” (506), “Tanzihusy Syari’ah” (2/402), “Adh-Dhaifah” : (11). Kita tidak memakai hadits ini, akan tetapi memakai dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani
https://www.islampos.com/perbedaan-pendapat-itu-rahmat-145929/?

Mengucapkan “Ramadhan Kareem” Itu Boleh
by Rifki M Firdaus
Kasih Sayang Umar terhadap Anak-anak
SYAIKHUNA Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah sendiri menyebut bulan Ramadhan sebagai bulan Kareem. 

Yang tidak boleh adalah berkeyakinan bahwa Ramadhan itu seperti Tuhan yang berkuasa memberikan kebaikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Adapun kalau yang dimaksud adalah Ramadhan bulan yang Allah jadikan penuh kebaikan adalah boleh.
Ini kata-kata Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Majalis Syahr Ramadhan” bahwa Ramadhan adalah Syahr Kareem;



واستخدمها الشيخ ابن عثيمين نفسه رحمه الله، ففي المجلس الأول ص (4) قال رحمه الله: 
“لقد أظلنا شهر كريم وموسم عظيم”.
 وفي المجلس الثامن والعشرون، قال رحمه الله: 
“إن شهركم الكريم قد عزم على الرحيل” .
Jadi, stop meributkan masalah ini setiap tahun dan mohon kepada para guru agar memberikan wawasan yang luas kepada para murid dari berbagai sumber dan referensi, terima kasih, Jazakumullah khaira. []
Malang, Selasa 24 Sya’ban 1440/30 April 2019
https://www.islampos.com/mengucapkan-ramadhan-kareem-itu-boleh-145950/?

Bolehkah Zakat Fitrah dengan Uang?
by yudi
Bolehkah Zakat Fitrah dengan Uang?
ZAKAT fittrah dikeluarkan berupa makanan pokok suatu negeri dan tidak boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ) dari Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhuma- beliau berkata :
«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha’ dari kurma atau sha’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Ied) “. [ HR. Al-Bukhari : 1503 dan Muslim : 984, dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari ].
Dalam hadits di atas, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah dari jenis makanan. Buktinya beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan beberapa contoh makanan pokok di zaman itu, seperti : kurma dan gandum. Padahal saat itu telah ada mata uang berupa dinar dan dirham. Jika memang boleh untuk mengeluarkannya berupa uang, tentu beliau akan menyebutkan.

Bahkan dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiallohu ‘anhu-, beliau secara tegas menyebutkan dengan kata “makanan”. Dari Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»
“Kami membayar zakat fithri berupa satu sha’ makanan, atau gandum atau kurma atau satu sha’ keju atau anggur kering.” [ HR. Muslim : 985 ].
Kalimat “kami mengeluarkan” di sini, merupakan bentuk pemahaman dan pengamalan para sahabat terhadap hadits nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan sebaik-baik generasi dalam memahami hadits nabi-shollallohu ‘alaihi wa sallam-, adalah para sahabat.
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :
وَلَمْ يُجِزْ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِخْرَاجَ الْقِيمَةِ
“Mayoritas fuqoha’ ( ahli fiqh ) tidak memperbolehkan untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa nilainya ( uang ).” [ Syarah Shohih Muslim : 7/61 ].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi –rohimahullah- berkata :
أن النبي صلى الله عليه و سلم فرض صدقة الفطر أجناسا معدودة فلم يجز العدول عنها كما لو أخرج القيمة وذلك لأن ذكر الأجناس بعد ذكره الفرض تفسير للمفروض فما أضيف إلى المفسر يتعلق بالتفسير فتكون هذه الاجناس مفروضة فيتعين الاخراج منها ولأنه اذا أخرج غيرها عدل عن المنصوص عليه فلم يجز
“Sesungguhnya Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fitrah berupa jenis-jenis yang telah terbatas ( berupa makanan pokok ). Maka tidak boleh untuk berpaling darinya, seperti seandainya seorang mengeluarkan nilai dari zakat itu ( seperti uang ). Karena sesungguhnya penyebutan beberapa jenis setelah sebelumnya menyebutkan suatu perkara yang wajib, merupakan tafsir dari sesuatu yang diwajibkan. Maka apa yang disandarkan kepada sesuatu yang ditafsiri, berkaitan dengan tafsir. Maka beberapa jenis ini merupakan perkara yang wajib dan dipastikan/diharuskan untuk mengeluarkan darinya. Karena kalau dia mengeluarkan selainnya, maka dia telah berpaling dari dalil-dalil yang menunjukkan atasnya, maka ini tidak boleh.” [ Al-Mughni : 2/663 ].
Menurut kami, pendapat jumhur merupakan pendapat yang rajih (kuat). Dan inilah yang kami pilih.
Adapun menurut madzhab Al Hanafiyyah, maka dibolehkan untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa uang secara mutlak.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, membolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu saja, yaitu saat ada suatu hajat ( kebutuhan ) atau suatu kemashlahatan yang kuat atau mendesak. Ini merupakan salah satu pendapat dari Hanabilah (dalam suatu riwayat).
Hal ini berdasarkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal –rodhiallohu ‘anhu- ketika diutus oleh Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- ke negeri Yaman disebutkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighoh jazm ( konteks pasti ) dari Thowud dari Mu’adz bin Jabal beliau berkata :
«ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ – أَوْ لَبِيسٍ – فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ»
“Serahkan kepadaku harta benda ( kalian ) berupa baju khomiish ( baju kecil persegi empat yang bergaris-garis ), atau setiap apa yang bisa digunakan untuk pakaian sebagai ganti gandum dan jagung, lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di Madinah.”. [ Shohih Al-Bukhari : 2/116 ].
Riwayat mu’allaq ini sanadnya shohih sampai ke Thowus. Namun Thowus tidak mendengar dari Mu’adz bin Jabal. Oleh karena itu, sanadnya munqothi’ ( terputus ). Walaupun Al-Bukhari dalam membawakan riwayat ini dengan shighoh jazm ( konteks yang pasti ). Karena maksud Al-Bukhari membawakan dengan konteks ini, sanadnya shohih. Tapi hanya sampai thowus. Adapun di atas Thowus tidak. [ Lihat Fathul Bari : 3/312 ].
Apakah kemudian riwayat ini tertolak secara mutlak ? tunggu dulu. Terkadang suatu riwayat lemah dari sisi sanadnya, akan tetapi shohih dari sisi matannya ( kandungan kalimatnya ) karena didukung oleh dalil-dalil lain dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata :
إلا أن إيراده له في معرض الاحتجاج به يقتضي قوته عنده، وكأنه عضده عنده الأحاديث التي ذكرها في الباب.
“….Kecuali beliau ( Al-Bukhari ) membawakan riwayat ini dalam posisi untuk berhujjah/berdalil dengannya, dimana menurut beliau hal ini mengandung kekuatan. Sepertinya beliau riwayat ini ( kandungan maknanya ) dikuatkan oleh hadits-hadits yang telah beliau sebutkan dalam bab ini.” [ Fathul Bari : 3/312 ].
Oleh karena itu, syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata :
وَأَمَّا إذَا أَعْطَاهُ الْقِيمَةَ فَفِيهِ نِزَاعٌ: هَلْ يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ لَا يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ يَجُوزُ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ – فِي مَذْهَبِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ وَهَذَا الْقَوْلُ أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Adapun apabila dia mengeluarkan ( zakat ) berupa nilai ( dari zakat itu/berupa uang ), maka di sini ada perselisihan : apakah boleh secara mutlak ? ataukah tidak boleh secara mutlak ? ataukah boleh disebagian bentuk untuk suatu hajat ( kebutuhan ) atau untuk suatu kemashlahatan yang sangat kuat ? ada tiga pendapat di dalam madzhab Ahmad dan selainnya. Dan pendapat ini ( maksudnya yang ketiga, yaitu yang memperbolehkan dalam sebagian bentuk untuk suatu kebutuhan atau kemashlahatan ) adalah pendapat yang paling tengah ( paling kuat ).” [ Majmu’ Fatawa : 25/79 ].
Di bagian lain beliau juga berkata :
أَنَّ إخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ …وَأَمَّا إخْرَاجُ الْقِيمَةِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ أَوْ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Sesungguhnya mengeluarkan zakat berupa uang tanpa ada kebutuhan dan kemashlahatan yang kuat, maka terlarang…..adapun mengeluarkan berupa uang untuk suatu keperluan atau kemashalatan atau untuk kesamaan, maka tidak mengapa ( boleh ).” [ Majmu’ Fatawa : 25/83 ].
Dibagian lain syaikhul Islam menjelaskan hal ini dengan perkataan beliau :
فَإِنَّ الْأَدِلَّةَ الْمُوجِبَةَ لِلْعَيْنِ نَصًّا وَقِيَاسًا كَسَائِرِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ. وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَصْلَحَةَ وُجُوبِ الْعَيْنِ قَدْ يُعَارِضُهَا أَحْيَانًا [مَا] فِي الْقِيمَةِ مِنَ الْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ، وَفِي الْعَيْنِ مِنَ الْمَشَقَّةِ الْمُنْتَفِيَةِ شَرْعًا.
“Maka sesungguhnya, dalil-dalil yang mewajibkan ( zakat ) harus berupa dzat, baik berupa nash ( konteks dalil dari Al-Qur’an dan Hadits ) ataupun qiyas, sebagaimana seluruh dalil-dalil yang mewajibkan. Dimaklumi bersama, sesungguhnya kemashlahatan wajibnya ( mengeluarkan ) dzat, terkadang ditentang dengan adanya kemashlahatan yang kuat yang ada pada uang. Dan di dalam wajibnya mengeluarkan dzat, terkadang ditentang oleh adanya kesusahan hebat, yang hal ini telah ditiadakan dalam syari’at kita.”[ Al-Qowaid An-Nuruniyyah : 136 ].
Sebagai contoh aplikasi dari ucapan Ibnu Taimiyyah di atas :
[1]. Kondisi yang lebih mashlahat untuk mengeluarkan zakat berupa uang karena uang lebih dibutuhkan dari beras :Jika suatu daerah terkena korban bencana alam. Sementara mereka telah mendapatkan bantuan berupa sembako termasuk di dalamnya beras dengan jumlah yang melimpah. Namun mereka masih kekurangan dalam sisi obat-obatan, atau peralatan tidur, atau tenda-tenda dan yang semisalnya. Maka jika kaum muslimin yang ingin menyalurkan zakatnya ke daerah itu, tentu lebih mashlahat jika mengeluarkan zakat berupa uang. Karena jika berupa uang, akan bisa digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan mendesak yang telah disebutkan.
[2]. Kondisi yang lebih mashlahat untuk mengeluarkan zakat berupa uang, karena kondisi yang sulit untuk mengeluarkan beras misalnya : Saat muslim-musim paceklik dimana beras sangat sulit dikarenakan di berbagai daerah banyak terjadi gagal panen karena bencana banjir, atau terkena hama, atau sebab lain. Dimana mencari uang lebih mudah dari mencari beras. Saat seperti ini maka dibolehkan untuk mengeluarkan zakat berupa uang.
Seperti hal kalau kita hendak mengeluarkan zakat emas perhiasan. Jika kita punya perhiasan berupa kalung, gelang, cincin, anting-anting dan yang lainnya yang telah terkena kewajiban zakat, maka tentunya kita akan mengeluarkan zakatnya berupa uang. Karena kalau kita keluarkan berupa emas, kita harus memecah perhiasan kita tersebut ( berarti harus merusak dulu ) dan mengambil sebagian potongan senilai kadar zakat yang harus kita keluarkan. Atau kita harus beli emas lain lagi sekadar zakat yang harus kita keluarkan. Ini juga memudhorotkan/menyusahkan kita.
■Kesimpulan :
[1]. Zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok dan tidak boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah). Dan pendapat ini yang kami pilih.
[2]. Menurut Hanafiyyah, boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang secara mutlak.
[3]. Jika ada suatu kemashlahatan atau kebutuhan yang mendesak, maka boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Dan ini menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-. []
Facebook: Abdullah Al Jirani
https://www.islampos.com/bolehkah-zakat-fitrah-dengan-uang-145931/?



Mengindahkan setiap hari Jumaat dalam kehidupan seorang Islam. 9362.


KALIMAT SEDERHANA YANG LUAR BIASA


Kalimat ini adalah kalimat yang ringkas, namun syarat makna dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada ‘Abdullah bin Qois, “Wahai ‘Abdullah bin Qois, katakanlah ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’, karena ia merupakan simpanan pahala berharga di surga” (HR. Bukhari no. 7386)
.
Kalimat “laa hawla wa laa quwwata illa billah” adalah kalimat yang berisi penyerahan diri dalam segala urusan kepada Allah Ta’ala. Hamba tidaklah bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa menolak sesuatu, juga tidak bisa memiliki sesuatu selain kehendak Allah.
.
Ada ulama yang menafsirkan kalimat tersebut, “Tidak ada kuasa bagi hamba untuk menolak kejelekan dan tidak ada kekuatan untuk meraih kebaikan selain dengan kuasa Allah.” Ulama lain menafsirkan, “Tidak ada usaha, kekuatan dan upaya selain dengan kehendak Allah.” Ibnu Mas’ud berkata,

“Tidak ada daya untuk menghindarkan diri dari maksiat selain dengan perlindugan dari Allah. Tidak ada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan selain dengan pertolongan Allah.” Imam Nawawi menyebutkan berbagai tafsiran di atas dalam Syarh Shahih Muslim dan beliau katakan, “Semua tafsiran tersebut hampir sama maknanya.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 26-27)
.
.
.
.
@amberlyn.id
#kartunMuslimah
Suka Halaman Ini · 1 jam 
Orang yang Mati di Atas Sunnah
by Rifki M Firdaus
Guru Ngaji

مـن مـات عـلى السنـة
قال المروزي رحمه الله: 
قلت لأبي عبد الله ” الإمام أحمد رحمه الله “:
من مات على الإسلام والسنة مات على خير.
قال : “اسكت، بل مات على الخير كله”.
[السير١١/٢٩٦ وابن الجوزي في المناقب ١٨٠]
Berkata Al-Marwazi rahimahullah: Aku bertanya kepada Abu Abdillah “Al-Imam Ahmad” rahimahullah: 
“Orang yang mati diatas Islam dan Sunnah itu mati diatas kebaikan”.
Beliau menjawab:

“Diamlah, bahkan mati diatas semua kebaikan”. [Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz-Dzahabi 11/296 dan Manaqib Al-Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi 180]

يقول طلحة البغدادي رحمه الله:
(وافق ركوبي ركوب أحمد بن حنبل رحمه الله السفينة، فكان يطيل السكوت، فإذا تكلم قال: اللهم أمتنا على الإسلام والسنة)
انتهى ما أردت نقله من بعض مآثر الإمام أحمد، و قد نقلتها من مصدرين: تاريخ دمشق للحافظ ابن عساكر (ت ٥٧١) و تاريخ بغداد للحافظ الخطيب البغدادي (ت ٤٦٣).

Berkata Thalhah Al Baghdadi rahimahullah:

“Aku pernah naik perahu bareng dengan Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau banyak diam, jika berbicara beliau selalu berdoa;

اَللَّهُمَّ أَمِتْنَا عَلَى الْإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ

“Alloohumma amitnaa ‘alal islaami was sunnah”

“Ya Allah, matikanlah kami diatas Islam dan Sunnah”. [Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (wafat 571 H), dan Tarikh Baghdad karya Al-Hafidh Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H)]

ولذلك كان من دعاء الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالى -:
“اللهم أَمِتْنِيْ على الإسلام والسنة”.
[تاريخ دمشق (5/323)]
Karena itulah diantara doa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah adalah:
“Alloohumma amitnii ‘alal islaami was sunnah”

“Ya Allah, matikanlah hamba diatas Islam dan Sunnah”. [Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir 5/323] []
Akhukum Fillah
Abdullah Sholeh Hadrami
Ingin download video, audio dan tulisan serta info bermanfaat ? Silahkan bergabung di Channel Telegram kami;
Channel YouTube
https://www.youtube.com/user/MTDHK050581
https://www.islampos.com/orang-yang-mati-di-atas-sunnah-145705/?

Masjid Bawah Tanah Pertama di Dunia Ada di Turki
by Eneng Susanti
Masjid Bawah Tanah Pertama di Dunia Ada di Turki
DI Istanbul, Turki, terdapat sebuah masjid bawah tanah pertama di dunia. Masjid ini dibangun pada Mei 2011. Letaknya di kawasan Distrik Buyukcekmece.
Masjid rancangan arsitektur Emre Arolat ini, berhasil jadi pemenang kompetesi World Architecture Fest Competition untuk kategori rumah ibadah.
Emre merancang bangunan masjid itu dengan menggabungkan esensi Islam dan desain modern. Inspirasi awalnya ialah Gua Hira, lokasi Rasulullah menerima wahyu pertama. Namun, Emre merancang masjid ini dengan sangat modern.
Apalagi, menurut sang arsitek, ia mendesain masjid tersebut dengan tujuan melawan isu yang memisahkan bangunan masjid dari keindahan arsitektur. 

“Bertujuan untuk mengatasi isu fundamental membuat rancangan masjid dengan menjauhkan diri dari diskusi arsitektur saat ini yang didasarkan pada bentuk dan fokus hanya pada esensi rumah ibadah,” ujarnya, dikutip dari On Islam.

Masjid bernama Sancaklar tersebut dibangun dibawah tujuh meter dari permukaan. Lokasinya di 1.200 meter persegi di bawah tanah. Penerangannya dengan lampu utama dan dari sinar matahari. Cahaya yang masuk dirancang sedemikian rupa, sehingga menghasilkan efek yang menenangkan dan mendukung suasana spiritual ataupun kekhusyukan ibadah.
Dasar ruang shalatnya seperti masjid pada umumnya. Masjid tersebut dapat menampung sekitar 650 jamaah. Lokasinya pun dipilih di area yang minim masjid.
Mufti Buyukcekmece, Mehmet Narin, menyambut baik didirikannya masjid tersebut. Menurutnya, masjid didirikan di kawasan yang belum memiliki tempat ibadah. Masyarakat sangat membutuhkan keberadaan masjid.
“Masjid adalah tempat untuk merenung dan berdoa. Masjid adalah cabang dari Ka’bah. Karena kurangnya masjid di sini, di lingkungan Karaagac, masjid ini diperlukan. Kabupaten ini banyak diisi dengan vila, tapi tidak ada masjid,” ujar Mufti.
Sebelumnya, masjid yang dibangun di bawah laut telah berdiri. Masjid tersebut dibangun kerajaan Saudi di kawasan Kota Tabuk. Adapun untuk bawah tanah, masjid di Turki inilah yang pertama kali di dunia. []
SUMBER: ON ISLAM
https://www.islampos.com/masjid-bawah-tanah-pertama-di-dunia-ada-di-turki-145033/?