Selasa, 30 April 2019

Beza buah fikir sepatutnya tidak membawa perpecahan ahli massa. 9363.


Perbedaan Pendapat Itu Rahmat
by yudi
Perbedaan Pendapat Itu Rahmat
IKHTILAF (perbedaan pendapat) dalam masalah furu (cabang agama), merupakan rahmat dari Allah Ta’ala, bukan perkara yang tercela. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يُحْتَاجُ إلَيْهِ لِأَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِي الْفُرُوعِ رَحْمَةٌ

“Ketahuilah! Sesungguhnya mengetahui berbagai madzhab Salaf dengan dalil-dalilnya, termasuk perkara yang paling penting untuk dijadikan hujjah (argument). Karena perbedaan pendapat mereka merupakan rahmat.”

Faidah:

Perbedaan pendapat dalam masalah furu (cabang agama), bukan perkara yang tercela. Akan tetapi merupakan rahmat dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, jangan sampai hal ini dijadikan suatu sebab untuk saling mencela, mentahdzir, dan menyesatkan. Karena bagaimana akan kita lakukan yang seperti ini, sedangkan Allah saja merahmati hal yang demikian?

Perkara furu (cabang agama) suatu perkara yang diperbolehkan para ulama’ untuk berijtihad di dalamnya. Kenapa dibolehkan untuk ijtihad? karena mungkin dalilnya tidak sharih (secara gamblang menunjukkan kepada suatu hukum), atau tidak ada dalil yang menunjukkan kepadanya secara langsung, atau dalil yang ada memiliki berbagai kemungkinan makna, atau dalil-dalil yang ada sekilas bertentangan, atau sebab yang lain.
Konsekwensinya, sangat mungkin akan timbul perbedaan pendapat. Jika ini terjadi, maka hendaknya kita saling menghormati dan berlapang dada serta tidak boleh untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi saling menyesatkan.
Ucapan Imam Nawawi –rahimahullah- di atas, berdasar firman Allah Ta’ala : “Tidaklah Kami (Allah) utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”- [ Al-Qur’an Al-Karim ]. Demikian juga hadits nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang perintah beliau kepada rombongan para sahabat yang sedang menuju Bani Quraidzoh “agar jangan shalat Ashar kecuali di sana”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kisah ini, para sahabat berbeda pendapat menjadi dua kelompok. Yang satu memahami secara lafadz bahwa tidak boleh shalat kecuali telah sampai di sana, walaupun waktu shalat Ashar habis. Yang satu memahami bahwa maksud hadits tersebut perintah untuk cepat-cepat menuju ke sana. Namun jika di perjalanan waktu Ashar tiba dan dikhawatirkan akan habis, maka shalat di jalan.
Dalam kisah ini, para sahabat telah berbeda pendapat dalam memahami satu hadits. Namun, mereka tidak saling mencela apalagi menyesatkan. Nabi-pun tidak mencela masing-masing mereka. Inilah salah satu bentuk rahmat (kasih sayang) di dalam syari’at ini. Dan inilah hakikat manhaj Salaf dalam menyikapi perbedaan pendapat. Oleh karena itu, barang siapa yang menyikapi masalah furu’iyyah tidak sebagaimana yang dicontohkan nabi dan para sahabatnya, sungguh dia telah menapaki jalan penyimpangan tanpa sadar, walaupun dia mengklaim –dengan dusta- sebagai jalan salaf shalih. Maka berhati-hatilah !
Adapun hadits yang berbunyi :
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.”
Derajatnya maudhu’ (palsu). Bisa dilihat dalam kitab : “Al-Asrar Al-Marfu’ah” (506), “Tanzihusy Syari’ah” (2/402), “Adh-Dhaifah” : (11). Kita tidak memakai hadits ini, akan tetapi memakai dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani
https://www.islampos.com/perbedaan-pendapat-itu-rahmat-145929/?

Mengucapkan “Ramadhan Kareem” Itu Boleh
by Rifki M Firdaus
Kasih Sayang Umar terhadap Anak-anak
SYAIKHUNA Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah sendiri menyebut bulan Ramadhan sebagai bulan Kareem. 

Yang tidak boleh adalah berkeyakinan bahwa Ramadhan itu seperti Tuhan yang berkuasa memberikan kebaikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Adapun kalau yang dimaksud adalah Ramadhan bulan yang Allah jadikan penuh kebaikan adalah boleh.
Ini kata-kata Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Majalis Syahr Ramadhan” bahwa Ramadhan adalah Syahr Kareem;



واستخدمها الشيخ ابن عثيمين نفسه رحمه الله، ففي المجلس الأول ص (4) قال رحمه الله: 
“لقد أظلنا شهر كريم وموسم عظيم”.
 وفي المجلس الثامن والعشرون، قال رحمه الله: 
“إن شهركم الكريم قد عزم على الرحيل” .
Jadi, stop meributkan masalah ini setiap tahun dan mohon kepada para guru agar memberikan wawasan yang luas kepada para murid dari berbagai sumber dan referensi, terima kasih, Jazakumullah khaira. []
Malang, Selasa 24 Sya’ban 1440/30 April 2019
https://www.islampos.com/mengucapkan-ramadhan-kareem-itu-boleh-145950/?

Bolehkah Zakat Fitrah dengan Uang?
by yudi
Bolehkah Zakat Fitrah dengan Uang?
ZAKAT fittrah dikeluarkan berupa makanan pokok suatu negeri dan tidak boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ) dari Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhuma- beliau berkata :
«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha’ dari kurma atau sha’ dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat (‘Ied) “. [ HR. Al-Bukhari : 1503 dan Muslim : 984, dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari ].
Dalam hadits di atas, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah dari jenis makanan. Buktinya beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan beberapa contoh makanan pokok di zaman itu, seperti : kurma dan gandum. Padahal saat itu telah ada mata uang berupa dinar dan dirham. Jika memang boleh untuk mengeluarkannya berupa uang, tentu beliau akan menyebutkan.

Bahkan dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiallohu ‘anhu-, beliau secara tegas menyebutkan dengan kata “makanan”. Dari Abu Sa’id Al-Khudri –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
«كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ»
“Kami membayar zakat fithri berupa satu sha’ makanan, atau gandum atau kurma atau satu sha’ keju atau anggur kering.” [ HR. Muslim : 985 ].
Kalimat “kami mengeluarkan” di sini, merupakan bentuk pemahaman dan pengamalan para sahabat terhadap hadits nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan sebaik-baik generasi dalam memahami hadits nabi-shollallohu ‘alaihi wa sallam-, adalah para sahabat.
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :
وَلَمْ يُجِزْ عَامَّةُ الْفُقَهَاءِ إِخْرَاجَ الْقِيمَةِ
“Mayoritas fuqoha’ ( ahli fiqh ) tidak memperbolehkan untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa nilainya ( uang ).” [ Syarah Shohih Muslim : 7/61 ].
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi –rohimahullah- berkata :
أن النبي صلى الله عليه و سلم فرض صدقة الفطر أجناسا معدودة فلم يجز العدول عنها كما لو أخرج القيمة وذلك لأن ذكر الأجناس بعد ذكره الفرض تفسير للمفروض فما أضيف إلى المفسر يتعلق بالتفسير فتكون هذه الاجناس مفروضة فيتعين الاخراج منها ولأنه اذا أخرج غيرها عدل عن المنصوص عليه فلم يجز
“Sesungguhnya Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah mewajibkan zakat fitrah berupa jenis-jenis yang telah terbatas ( berupa makanan pokok ). Maka tidak boleh untuk berpaling darinya, seperti seandainya seorang mengeluarkan nilai dari zakat itu ( seperti uang ). Karena sesungguhnya penyebutan beberapa jenis setelah sebelumnya menyebutkan suatu perkara yang wajib, merupakan tafsir dari sesuatu yang diwajibkan. Maka apa yang disandarkan kepada sesuatu yang ditafsiri, berkaitan dengan tafsir. Maka beberapa jenis ini merupakan perkara yang wajib dan dipastikan/diharuskan untuk mengeluarkan darinya. Karena kalau dia mengeluarkan selainnya, maka dia telah berpaling dari dalil-dalil yang menunjukkan atasnya, maka ini tidak boleh.” [ Al-Mughni : 2/663 ].
Menurut kami, pendapat jumhur merupakan pendapat yang rajih (kuat). Dan inilah yang kami pilih.
Adapun menurut madzhab Al Hanafiyyah, maka dibolehkan untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa uang secara mutlak.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, membolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu saja, yaitu saat ada suatu hajat ( kebutuhan ) atau suatu kemashlahatan yang kuat atau mendesak. Ini merupakan salah satu pendapat dari Hanabilah (dalam suatu riwayat).
Hal ini berdasarkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal –rodhiallohu ‘anhu- ketika diutus oleh Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- ke negeri Yaman disebutkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighoh jazm ( konteks pasti ) dari Thowud dari Mu’adz bin Jabal beliau berkata :
«ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ – أَوْ لَبِيسٍ – فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ»
“Serahkan kepadaku harta benda ( kalian ) berupa baju khomiish ( baju kecil persegi empat yang bergaris-garis ), atau setiap apa yang bisa digunakan untuk pakaian sebagai ganti gandum dan jagung, lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di Madinah.”. [ Shohih Al-Bukhari : 2/116 ].
Riwayat mu’allaq ini sanadnya shohih sampai ke Thowus. Namun Thowus tidak mendengar dari Mu’adz bin Jabal. Oleh karena itu, sanadnya munqothi’ ( terputus ). Walaupun Al-Bukhari dalam membawakan riwayat ini dengan shighoh jazm ( konteks yang pasti ). Karena maksud Al-Bukhari membawakan dengan konteks ini, sanadnya shohih. Tapi hanya sampai thowus. Adapun di atas Thowus tidak. [ Lihat Fathul Bari : 3/312 ].
Apakah kemudian riwayat ini tertolak secara mutlak ? tunggu dulu. Terkadang suatu riwayat lemah dari sisi sanadnya, akan tetapi shohih dari sisi matannya ( kandungan kalimatnya ) karena didukung oleh dalil-dalil lain dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata :
إلا أن إيراده له في معرض الاحتجاج به يقتضي قوته عنده، وكأنه عضده عنده الأحاديث التي ذكرها في الباب.
“….Kecuali beliau ( Al-Bukhari ) membawakan riwayat ini dalam posisi untuk berhujjah/berdalil dengannya, dimana menurut beliau hal ini mengandung kekuatan. Sepertinya beliau riwayat ini ( kandungan maknanya ) dikuatkan oleh hadits-hadits yang telah beliau sebutkan dalam bab ini.” [ Fathul Bari : 3/312 ].
Oleh karena itu, syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata :
وَأَمَّا إذَا أَعْطَاهُ الْقِيمَةَ فَفِيهِ نِزَاعٌ: هَلْ يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ لَا يَجُوزُ مُطْلَقًا؟ أَوْ يَجُوزُ فِي بَعْضِ الصُّوَرِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ – فِي مَذْهَبِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ وَهَذَا الْقَوْلُ أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Adapun apabila dia mengeluarkan ( zakat ) berupa nilai ( dari zakat itu/berupa uang ), maka di sini ada perselisihan : apakah boleh secara mutlak ? ataukah tidak boleh secara mutlak ? ataukah boleh disebagian bentuk untuk suatu hajat ( kebutuhan ) atau untuk suatu kemashlahatan yang sangat kuat ? ada tiga pendapat di dalam madzhab Ahmad dan selainnya. Dan pendapat ini ( maksudnya yang ketiga, yaitu yang memperbolehkan dalam sebagian bentuk untuk suatu kebutuhan atau kemashlahatan ) adalah pendapat yang paling tengah ( paling kuat ).” [ Majmu’ Fatawa : 25/79 ].
Di bagian lain beliau juga berkata :
أَنَّ إخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ …وَأَمَّا إخْرَاجُ الْقِيمَةِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ أَوْ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ بِهِ
“Sesungguhnya mengeluarkan zakat berupa uang tanpa ada kebutuhan dan kemashlahatan yang kuat, maka terlarang…..adapun mengeluarkan berupa uang untuk suatu keperluan atau kemashalatan atau untuk kesamaan, maka tidak mengapa ( boleh ).” [ Majmu’ Fatawa : 25/83 ].
Dibagian lain syaikhul Islam menjelaskan hal ini dengan perkataan beliau :
فَإِنَّ الْأَدِلَّةَ الْمُوجِبَةَ لِلْعَيْنِ نَصًّا وَقِيَاسًا كَسَائِرِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ. وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَصْلَحَةَ وُجُوبِ الْعَيْنِ قَدْ يُعَارِضُهَا أَحْيَانًا [مَا] فِي الْقِيمَةِ مِنَ الْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ، وَفِي الْعَيْنِ مِنَ الْمَشَقَّةِ الْمُنْتَفِيَةِ شَرْعًا.
“Maka sesungguhnya, dalil-dalil yang mewajibkan ( zakat ) harus berupa dzat, baik berupa nash ( konteks dalil dari Al-Qur’an dan Hadits ) ataupun qiyas, sebagaimana seluruh dalil-dalil yang mewajibkan. Dimaklumi bersama, sesungguhnya kemashlahatan wajibnya ( mengeluarkan ) dzat, terkadang ditentang dengan adanya kemashlahatan yang kuat yang ada pada uang. Dan di dalam wajibnya mengeluarkan dzat, terkadang ditentang oleh adanya kesusahan hebat, yang hal ini telah ditiadakan dalam syari’at kita.”[ Al-Qowaid An-Nuruniyyah : 136 ].
Sebagai contoh aplikasi dari ucapan Ibnu Taimiyyah di atas :
[1]. Kondisi yang lebih mashlahat untuk mengeluarkan zakat berupa uang karena uang lebih dibutuhkan dari beras :Jika suatu daerah terkena korban bencana alam. Sementara mereka telah mendapatkan bantuan berupa sembako termasuk di dalamnya beras dengan jumlah yang melimpah. Namun mereka masih kekurangan dalam sisi obat-obatan, atau peralatan tidur, atau tenda-tenda dan yang semisalnya. Maka jika kaum muslimin yang ingin menyalurkan zakatnya ke daerah itu, tentu lebih mashlahat jika mengeluarkan zakat berupa uang. Karena jika berupa uang, akan bisa digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan mendesak yang telah disebutkan.
[2]. Kondisi yang lebih mashlahat untuk mengeluarkan zakat berupa uang, karena kondisi yang sulit untuk mengeluarkan beras misalnya : Saat muslim-musim paceklik dimana beras sangat sulit dikarenakan di berbagai daerah banyak terjadi gagal panen karena bencana banjir, atau terkena hama, atau sebab lain. Dimana mencari uang lebih mudah dari mencari beras. Saat seperti ini maka dibolehkan untuk mengeluarkan zakat berupa uang.
Seperti hal kalau kita hendak mengeluarkan zakat emas perhiasan. Jika kita punya perhiasan berupa kalung, gelang, cincin, anting-anting dan yang lainnya yang telah terkena kewajiban zakat, maka tentunya kita akan mengeluarkan zakatnya berupa uang. Karena kalau kita keluarkan berupa emas, kita harus memecah perhiasan kita tersebut ( berarti harus merusak dulu ) dan mengambil sebagian potongan senilai kadar zakat yang harus kita keluarkan. Atau kita harus beli emas lain lagi sekadar zakat yang harus kita keluarkan. Ini juga memudhorotkan/menyusahkan kita.
■Kesimpulan :
[1]. Zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok dan tidak boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah). Dan pendapat ini yang kami pilih.
[2]. Menurut Hanafiyyah, boleh mengeluarkan zakat fitrah berupa uang secara mutlak.
[3]. Jika ada suatu kemashlahatan atau kebutuhan yang mendesak, maka boleh untuk dikeluarkan berupa uang. Dan ini menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-. []
Facebook: Abdullah Al Jirani
https://www.islampos.com/bolehkah-zakat-fitrah-dengan-uang-145931/?



Tiada ulasan: