Isnin, 27 Ogos 2018

Watak-watak dalam Novell Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer). 8107.


Foto Rin Du.
Bergumam = Merungut.
Utah = Tumpah.
Langka (Indonesia) = Jarang berlaku (Melayu) 

“Revolusi menghendaki segala-galanya… Menghendaki kurban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini… jiwa dan ragaku sendiri. Demikianlah paksaan yang kupaksakan pada diriku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu… agar mereka itu dengan langsung bisa menikmati kemanusiaan dan kemerdekaan.” 

Dulu: Keluarga Gerilya Novel masa study tingkatan 6 - Paling ingat watak Saaman. Alhamdulillah Novelnya pun masih ada lagi dalam simpanan. 

Pengorbanan, Tanah Air dan Revolusi
Mugianto _     02.55     Resensi Buku 


Keluarga Gerilya, sebuah novel yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan oleh PT Pembangunan Jakarta pada tahun 1955. Jumlah halaman 239 yang terdiri dari  13 bab. Masing-masing bab menceritakan babak cerita, mulai dari diculiknya Saaman hingga kematian Saaman—tokoh utama. Pram sendiri merangkai ceritanya dalam alur tempo 3 hari 3 malam. Ide yang cemerlang menurut saya, menjadikan novel ini terasa padat.
Novel ini ditulis oleh Pram ketika di penjara di Bukit Duri tahun 1949. Tak heran jika deskripsi, konflik batin, interaksi tokoh, dalam Kelurga Gerilya begitu kuat. Tampaknya Pram merasakan sangat dalam kondisi dan perasaan saat menjadi tahanan politik di penjara. Kondisi dan situasi yang dihadapi penulis inilah yang memungkinkan menghadirkan tokoh Saaman dan Keluarga Gerilya. Ia menggambarkan sangat baik nasib sebuah keluarga di era 1949-an atau agresi militer Belanda.

Saaman adalah salah satu anak lelaki dari tujuh bersaudara (Tjanimin, Kartiman, Salamah, Salami, Patimah, Hasan) dalam keluarga Amilah—‘perempuan simpanan’ di tangsi militer KNIL. Masa-masa revolusi membuat keluarga ini berada dalam kehidupan yang sulit dan miskin. Aman—panggilan Saaman—merupakan lelaki yang telah jadi tulang punggung keluarganya selama ini. Sedangkan, Tjanimin dan Kartiman telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk tanah air dengan menjadi prajurit gerilya.

Pram menceritakan bahwa Aman ditangkap oleh M.P (militer) Belanda tiba-tiba. Sontak membuat keluarga jadi kalang-kabut dan Amilah (ibunya) mulai terganggu jiwanya. Setiap hari Amilah hanya melamun, histeris, marah-marah dan mencari-cari keberadaan Aman. Tapi, anak yang jadi tulang punggung keluarga itu, tidak juga ketemu keberadaannya.

Penangkapan Aman—sebelum agresi dia jadi pegawai Kementerian Kemakmuran, setelahnya dia jadi tukang becak—didakwa karena turut terlibat gerilya membunuhi serdadu Belanda, bahkan bapaknya sendiri: Sersan Paidjan yang memihak KNIL Belanda. Inilah kehebatan Pram dalam mengolah konflik batin, ironi, dan tragedi di dalam cerita. Aman sendiri mengakui ‘dosanya’ itu dan dia meneguhkan akan menebus dosa itu.


Yang jadi perdebatan menarik dalam novel ini ialah benarkah yang dilakukan Aman itu ‘dosa’? Ketika tanah air, bangsa, kemerdekaan, dan revolusi memintanya. Moral mana yang membenarkan pembunuhan? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mengalir dalam dialog yang padat di dalam babak  Pengakuan. Penuh konflik batin yang sanggup menggugah perasaan dan nalar pembaca ketika Saaman meneguhkan pendapatnya dan pendiriannya tentang pengorbanan, tanah air, dan revolusi kepada rekan pesakitannya di penjara.

“…Biarlah aku mati muda. Aku baru berumur dua puluh empat tahun. Dan tahun depan aku dua puluh lima. Tapi mengapa aku takut mati? Seperempat abad kurang sedikit aku telah hidup di dunia ini. Biarlah. Rupanya sudah takdir Tuhan. Namun—yakinlah aku: segala dosa yang sudah kujalankan itu adalah dosa perseorangan yang akan menguntungkan perjuangan. Aku sendiri tidak tahu betapa besar-kecilnya keuntungan itu, namun sudah kuhancurkan hampir-hampir satu seksi serdadu. Jiwa ragaku telah kugadaikan pada perjuangan.” (KG, 104).

Cuplikan di atas nampak keteguhan dan pendirian tokoh Saaman. Ada gesekan nilai humanisme dan harapan perjuangan yang mesti dipecahkan di dalam kemerdekaan. Perjuangan revolusi kemerdekaan yang membutuhkan ‘darah’, kekerasan, dan anti-humanis. Sementara, humanisme yang menuntut kearifan budi, hak asasi, dan menolak segala atribut revolusi. Akan tetapi, Pram lewat tokoh Aman, meyakinkan bahwa setiap upaya perjuangan revolusi, ‘membunuh’ adalah dosa pribadi, tapi hal tersebut menguntungkan perjuangan tanah air. Babak Pengakuan,menurut saya, merupakan puncak dari konflik cerita.

Seperti dua saudaranya, Tjanimin dan Kartiman, yang gugur di medan perang, Aman pun gugur di kayusula oleh regu penembak. Sebelum matinya, Aman sempat menolak beberapa kebaikan Direktur penjara: Karel van Keerling yang ditawarkan padanya termasuk grasi. Nampak watak keras, teguh pendirian dan kerja keras sendiri, dominan dalam keluarga Amilah ini. Pribadi tokoh-tokoh keluarga Saaman mengajarkan pada pembaca untuk tidak sesekali punya watak suka meminta-minta, penjlilat, baik kebaikan atau harta benda orang lain. Semua kepuasan dan kualitas hidup, sejati jika dilakukan berdasarkan usaha dan kekuatan sendiri.

Pram dalam Keluarga Gerilya rupanya tidak memberikan ruang sedikit pun kepada pembaca untuk merasakan kebahagiaan kisah cerita. Semua Pram gambarkan dalam tragedi yang menyedihkan. Lihat saja, usai Saaman dihukum tembak, justru rumah Amilah kebakaran dan ibunya sendiri jadi gila.  Belum adiknya, Salamah yang ditipu oleh seorang sersan dan diperkosa di Bogor. Keluarga dan adik-adiknya jadi hidup bertambah menderita. Untungnya, muncul tokoh Darsono—calon suami Salamah—yang bersedia memberikan bantuan dan kasih sayangnya kepada adik-adik iparnya, termasuk janji tetap menikahi Salami meskipun sudah tidak suci lagi.


Keluarga Gerilya, novel Pram yang cukup baik mengajarkan nilai kehidupan melalui sastra. Penuh pesan moral, prinsip, pengorbanan, dan pembelajaran berharga yang mengolah rasa dan nalar kita.

Terakhir sebuah pesan dari surat Saaman untuk adik-adiknya (mungkin untuk pembaca sekalian):   

“…Engkau semua masih muda, dan umur muda itu mahal harganya, adik-adikku! Sekarang ini belum lagi kau rasai itu. Tapi, kelak, sekiranya engkau menyia-nyiakan umur muda itu untuk memburu hal yang bukan-bukan, dan bila engkau sudah tua dan dalam keadaan kocar-kacir, barulah engkau mengetahui harga umur mudamu itu. Karena itu, pergunakanlah dia baik-baik. Jangan tidak…” (KG, 187).

Pengorbanan, Tanah Air dan Revolusi ~ Mugianto
http://www.mugianto.com/2014/08/pengorbanan-tanah-air-dan-revolusi.html

rencana
ARKIB : 26/01/2008
Sastera bukan sekadar picisan
Oleh: ZAINUDIN OMAR

Membaca tulisan Azman Ismail (sisipan Mega, Utusan Malaysia 24 Januari) berkenaan dengan Komsas 2010 dan keluhan Sasterawan Negara, A. Samad Said amat menyentuh perasaan. Sekiranya benar dakwaan bahawa Pusat Perkembangan Kurikulum (PPK), Kementerian Pelajaran ingin menggantikan karya-karya para Sasterawan negara atau karyawan mereka yang berautoriti dalam bidang sastera dengan karya-karya picisan seawal 2010, ternyata itu langkah mundur dalam bidang sastera negara.

Tradisi pengajaran Sastera di sekolah menengah Negara kita sejak dahulu sehinggalah ke era Komponen Sastera Dalam Bahasa Melayu (Komsas) ketika ini cukup memperkayakan pemikiran dan berperanan dalam membentuk kehalusan akal budi pelajar. Ia dijalankan dengan cara memperkenalkan novel-novel besar Nusantara yang sesuai dengan peredaran masa dan isu, tanpa meninggalkan persoalan dan tema utama kemanusiaan sejagat. Persoalan dan tema ini tidak pernah berubah kerana itulah tujuan asasi mata pelajaran sastera diperkenalkan.

Sejak tahun 70-an, pelajar kita didedahkan dengan novel-novel 'berat' Indonesia seperti Salah Asuhan' oleh pengarang Abdul Moeis, diikuti oleh Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, Kementerian Pelajaran juga memperkenalkan novel Sandera karya Keris Mas, Seorang Tua di Kaki Gunung oleh Azizi Abdullah serta pelbagai kumpulan cerpen dan puisi.

Kesemua novel dan kumpulan puisi/cerpen tersebut mengungkap persoalan yang amat kaya dan tidak ternilai kesannya dalam membentuk sanubari dan insani pelajar. Ambil saja contoh novel Atheis yang memaparkan penggulatan batin seorang Islamis tradisionalis berdepan dengan segala ideologi moden yang muncul dalam latar Perang Dunia Kedua. Atau ambil saja contoh perjuangan yang penuh patriotik oleh watak-watak seperti Saaman dari keluarga Amila dalam Keluarga Gerilya. Atau kegigihan dan berjayanya Azizi menghayati dengan penuh empati cara fikir dan bertindak seorang tua di sebuah kampung pedalaman.

Apakah hal ini mampu didapati dari novel picisan? Mungkin PPK dalam mengemukakan cadangan tersebut mengambil kira bahawa mata pelajaran Komsas perlu diambil oleh semua pelajar tanpa mengira kaum.

Sastera bukan sekadar mudah dihadam pelajar, kerana membentuk kehalusan berfikir dan akal budi bukan soal mudah dan boleh dilakukan sekelip mata. Sastera bukan juga soal popular, jauh lagi picisan. Jika premis pemikiran ini yang hendak digunakan oleh PPK, maka elok sekali buku teks dan sukatan mata-mata pelajaran yang lain juga dirombak.

Buanglah topik teori binomial yang sukar di dalam mata pelajaran Matematik Tambahan atau Kimia Organik dalam mata pelajaran Kimia. Jadi apa yang tinggal lagi?

Sastera bukan sekadar picisan
http://ww1.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2008&dt=0126&pub=Utusan_Malaysia&sec=Rencana&pg=re_05.htm 

Buku: Keluarga Gerilya
OCTOBER 28, 2016 | RINATRILESTARI
Judul Buku     : Keluarga Gerilya
Penulis            : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit          : Penerbit Pembangunan Djakarta
Tahun Terbit   : 1955

Jumlah Halaman : 239 halaman
keluarga-gerilya
“Keluarga Gerilya” adalah karya fiksi Pram, sebuah novel, yang berkisah tentang keluarga Amilah, seorang janda dan anak-anaknya yang hidup di zaman revolusi. Tokoh utamanya, Saaman, adalah seorang tukang becak yang menjadi tulang punggung keluarganya. Dulunya Saaman adalah seorang pegawai Kementerian Kemakmuran. Saaman mempunyai enam saudara, dua di antaranya, Tjanimin dan Kartimin adalah prajurit gerilya.

Amilah sendiri dikenal sebagai perempuan simpanan di tangsi KNIL. Dia mulai kehilangan akalnya saat Saaman tiba-tiba ditangkap oleh militer Belanda. Setiap hari dia marah-marah, mencaci, histeris juga melamun, mencari-cari anaknya. Masa revolusi yang sulit digambarkan jelas lewat kehidupan yang dijalani oleh keluarga Amilah. Bagaimana mereka harus berjuang untuk hidup di tengah kemiskinan dan kondisi keamanan yang tidak menentu.

Novel “Keluarga Gerilya” ditulis saat Pram berada di penjara Bukit Duri pada tahun 1949. Konflik batin para tokohnya, terutama yang dialami oleh Saaman digambarkan dengan baik oleh Pram. Cerita yang digambarkan dalam tiga hari tiga malam ini membuat novel ini begitu padat dalam setiap fragmennya.

Kehidupan sulit keluarga Amilah semakin menjadi. Tjanimin dan Kartimin gugur di medan perang revolusi, Saaman sendiri pada akhirnya gugur di depan regu tembak. Adik perempuannya, Salamah, diperdaya dan diperkosa oleh seorang sersan. Tragedi keluarga Amilah terus berlanjut. Rumah mereka kebakaran karena dibakar oleh Amilah dan Amilah sendiri kemudian menjadi gila.

Seperti juga tulisan Pram lain, “Keluarga Gerilya” penuh dengan pelajaran tentang hidup. Gambaran perjuangan anak bangsa, nasionalisme, kehidupan rakyat kecil dan prinsip-prinsip yang dipegang teguh meskipun dalam kondisi sangat sulit menjadi pesan yang bisa diambil dari kisah di novel ini.

*Sebelumnya diposting di sini http://wadahceloteh.com/keluarga-gerilya/
https://rinatrilestari.wordpress.com/2016/10/28/buku-keluarga-gerilya/
Buku: Keluarga Gerilya | GOODBYE SANITY

Keluarga Gerilya
SINOPSIS

Keluarga Gerilya, sebuah novel Indonesia lama yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. 

Diterbitkan oleh PT Pembangunan Jakarta pada tahun 1955. Jumlah halaman 239 yang terdiri dari 13 bab. 

Setiap bab menceritakan babak cerita, dimulakan dengan  Saaman diculik hingga kematian Saaman. 

Pram mengambil masa selama  3 hari 3 malam bagi menyiapkan novel ini .

Sinopsis

Amilah, seorang wanita tua, duduk di ruang tamu di rumahnya di Jakarta menanti anak tersayangnya, Saaman. Dia dihampiri oleh anak keempatnya, Salamah. Salamah minta izin untuk bekerja bersama adiknya, Patimah, agar dapat menyara keluarga kerana Saaman sudah tiga bulan tidak pulang selepas ditangkap polis tentera. Dengan kasar Amilah menolak, lalu Salamah pergi termenung, memberi tahu Patimah reaksi ibu mereka.

Salamah termenung , teringat pada waktu abangnya diculik. Dalam bayangan Saaman pulang dari kerja, keletihan. Setelah tidur dan mandi, Saaman membantu adik-adiknya dengan kerja sekolah dan nasihat sehingga ada yang mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, sekumpulan polis tentera masuk, menangkap Saaman dan menanyakan saudara gerila lain, Canimin dan Kartiman. Setelah teringat pada kejadian yang malang ini, Salamah pun tertidur .

Di waktu yang sama, empat puluh kilometer dari Jakarta Canimin dan Kartiman duduk, terjaga di baris depan. Kartiman berkata kepada kakaknya, mengakui bahawa dia merasa tidak akan melihat satu pun fajar merah lagi dan dia terhantui oleh ayahnya, yang telah ditembak kerana bekerja untuk Belanda. Canimin berusaha untuk menenangkan adiknya, tetapi Kartiman tetap bimbang. Menjelang subuh, Canimin dapat khabar bahawa akan ada konvoi NICA yang akan datang.

Canimin membuat rancangan untuk menyerang konvoi ini dan menyiapkan askar-askarnya. Ambush ini berjaya, tetapi Kartiman kena peluru. Sebelum Kartiman meninggal dunia, dia mohon kakaknya untuk menjaga isterinya dan adik-adik mereka. Akhirnya perasaan Kartiman terbukti benar dan dia meninggal sebelum matahari terbit.

Di Jakarta, Amilah masih terjaga menanti Saaman sambil membayangkan kekasih pertamanya, Benni, seorang Manado. Tiba-tiba dia tersedar apabila ada ketukan di pintu. Amilah mendekati pintu dan bertanya siapa ada di sana.Tetamu di pagi buta itu tidak mahu menjawab sehingga diizinkan untuk naik ke rumah, namun akhirnya mengakui dia ialah “Sarsan Kasdan” 

Sarsan Kasdan menceritakan tentang dirinya sendiri dan kepentingannya dalam kerajaan Belanda, lalu menyatakan bahawa dia membawa mesej dari Saaman. Menurutnya, Saaman akan dibebaskan pada siang hari jam dua. Amilah tidak mahu mempercayanya, tetapi setelah diancam oleh Sarsan Kasdan akhirnya Amilah diam. Amilah disuruh menghantar Salamah atau Patimah untuk menjemput Saaman di tangsi pada pukul dua tengah hari. 

Curiga, Amilah mengusir Sarsan Kasdan tetapi segera menyesal dan berlari ke jalan, memanggil “Sarsan Kasdan” bagai orang gila. Namun, itu tidak membawa hasil. Amilah kembali ke dalam rumah di mana anak-anak sudah mulai bangun tidur. Walaupun disuruh tidur oleh Salamah, Amilah mengambil baju untuk dijual dan keluar untuk mengejar Sarsan Kasdan.

Salamah bingung atas perbuatan ibunya dan merasa bahawa ibunya sudah mula hilang ingatan. Namun, dia tidak ada kesempatan untuk memikirkan itu kerana didatangi temannya, Hadijah, yang mahu menghantar dia dan Patimah bekerja. Namun, kerana Salamah merasa bertanggung jawab atas adik-adik lain, hanya Patimah yang diizinkan bekerja. 

Setelah Hadijah dan Patimah berangkat, Salamah berusaha untuk membantu adik perempuan lain, Salami dengan pelajaran. Namun , pelajaran itu terganggu kerana ada tukang loak membawa adik lelakinya, Hasan . Hasan merosakkan sebuah wekker dan disuruh oleh tukang loak menggantikannya dengan harga lima belas rupiah. Namun, setelah melihat keadaan keluarga dan mengetahui bahawa kakak - kakak mereka pada berjuang untuk kemerdekaan , tukang loak itu tidak sanggup dan memberikan mereka sepuluh rupiah untuk membeli beras.

Pemikiran

Pemikiran menurut Seri Lanang Jaya Hj. Rohani et al. (2016: 69) menyatakan bahawa pemikiran bermula daripada idea dan pengalaman yang dimantapkan bersama-sama dengan imaginasi dan kreativiti untuk dijelmakan sebagai tema dan persoalan dalam karya yang pada akhirnya menjadi buah fikiran yang bernas dan signifikan. Setiap pengarang mempunyai cara yang tersendiri memilih bahan, mengejapkannya dan kemudian menjelmakannya menjadi mesej, mutiara dan permata karya. Oleh itu, setiap karya agung yang dihasilkan memiliki pemikiran yang tersendiri. Begitu juga dengan Keluarga Gerilya. Karya ini mempunyai pemikirannya yang tersendiri yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Pemikiran dalam Keluarga Gerilya

i. Patriotisme atau semangat cinta akan tanah air.

Ini merupakan pemikiran utama yang terdapat dalam karya Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer ini.  Karya ini memperlihatkan masyarakat pada zaman tersebut yang memiliki semangat yang sangat tinggi untuk mempertahankan tanah airnya.  Mereka sanggup diseksa, malah berkorban nyawa demi memastikan negara berada dalam keadaan yang aman dan damai.  Hal ini dapat dilihat dalam bab “Aku Tidak Jijik Melihat Tuan”:

“Tuan tidak pernah lalu, bagaimana satu keluarga hancur kerana mempertahankan tanahairnya.  Hancur!  Hancur seperti serumpun bambu habis dimakan api.  Tuan belum pernah lihat betapa seorang nenek-nenek memanggul senjata mempertahankan tanahairnya.  Tuan pasti belum pernah melihat kanak-kanak dari tujuh tahun menggeranati konvoi Inggeris, kerana ibu bapaknya dibakar-bakar hidup oleh apa yang dinamainya musuhnya.  Semua itu pernah ku lihat di sini – di Jakarta tahun empat lima.” (Halaman 157)

Berdasarkan petikan di atas, dapatlah dilihat masyarakat pada waktu itu yang sanggup berkorban apa-apa sahaja untuk mempertahankan tanah air yang terdiri daripada pelbagai peringkat umur sama ada kanak-kanak mahupun orang tua.

ii. Kemiskinan hidup.

Pengarang turut menyelitkan pemikiran atau mesej kemiskinan hidup yang dialami oleh masyarakat pada ketika itu. Hal ini dapat dibuktikan melalui petikan di bawah: 

“Rumah kajang yang didiami keluarga Amilah itu tak nyata bentuknya oleh liputan kegelapan malam.  hanya sinar pelita minyak-tanah yang menerobosi lubang-lubang kajang jualah yang menunjukkan pada orang lalu lintas bahawa di situ ada rumah – ada keluarga manusia.” (Halaman 2)

“pelitanya menyala gelisah – pelita sebagai pelita-pelita yang lain pelita yang melambangkan kemiskinan keluarga manusia.  Nyalanya merah-kuning.  Dan semua bayangan dalam rumah itu menggetar bila api itu dipuputi angin. (Halaman 4) 

Situasi ini menggambarkan kehidupan masyarakat pada zaman itu majoritinya bergantung hidup kepada pelita untuk menerangi rumah masing-masing.  Hal ini menunjukkan masyarakat yang susah dan miskin hidupnya.

iii. Kehidupan masyarakat yang taat beragama.

Hal ini dapat dilihat menerusi watak Canimin yang tetap berusaha berulang kali agar Kartiman menyebut kalimah Allah di penghujung nafasnya, meskipun Kartiman tidak menurutinya.  Hal ini dapat dibuktikan melalui petikan dialog sebagaimana berikut:

“…dan dirangkulnya leher adiknya. “Adikku, adikku, moga-moga engkau diampuni oleh Tuhan. Sebutlah, adikku, sebutlah: Alla-hu-akbar-Tuhan mahabesar. Sebut adikku!”
Tapi kekuasaan alam lebih kuasa daripada pelukan manusia.
“Mukamu – mana mukamu?”
“Ini. Alla-hu-akbar. Sebut, adikku! Engkau pahlawan. Sebut! Ratni anak baik. Dia mesti ku urus. Jangan khuatir. Kopral Canimin selalu bersedia memenuhi janjinya. Sebut adikku, sebut: Alla-hu-akbar.” (Halaman 50)

Berdasarkan petikan di atas, jelas terpancar watak Canimin yang sangat menekankan kehidupan yang taat pada agama.  Beliau berusaha sedaya upaya untuk membantu adiknya, Kartiman agar berupaya menyebut kalimah tersebut di akhir hayatnya.

iv. Ketaatan seorang anak terhadap ibunya.

Mesej ini dapat dilihat daripada watak Salamah yang sedaya upaya untuk menjaga hati ibunya, walaupun dia tahu bahawa ibunya selalu mencari kesalahan dirinya.  Walau bagaimanapun, sebagai seorang anak yang baik, dia cuba untuk menasihati ibunya.  Hal ini dapat dibuktikan melalui petikan berikut:


“Mak, katanya, “Kak Aman bilang padaku, bahawa aku harus menghormati dan menghargai orang tua – menghormati dan menghargai emak.  Mak, kalau bukan anak-anakmu sendiri yang berbuat begitu, siapakah yang akan berbuat begitu? Siapa lagi orang di dunia ini yang sudi? Siapa? Tapi pada kami emak masih juga marah-marah saja.  Emak selalu memaki-maki.  Kami selalu menerima kemarahan dan cacian itu dengan kesedihan yang terlalu menyengsarakan.  Pada orang lain emak tak bias berbuat begitu.  Kalau emak berbuat juga, emak mencari musuh.  Emak, engkau selamanya mencari musuh. Di mana saja setahuku” (Halaman 10)

v. Tanggungjawab seorang anak. 

Pemikiran atau mesej ini turut dapat dilihat menerusi watak Salamah.  Sebagai anak yang paling tua selepas ketiadaan abangnya (Sa’aman), Salamah berasa bertanggungjawab untuk menyara keluarganya meskipun ibunya tidak mengizinkannya.  Hal ini dapat dilihat melalui petikan di bawah: 

“Emak, aku ingin sekali melaksanakan apa yang sudah dikatakan dan dijalankan oleh Kak Aman – adik-adik harus disekolahkan terus. Dan aku sangggup. Aku tamatan sekolah rakyat. Aku bisa baca-tulis. Dan aku bisa juga bicara Belanda. Dan selama ini Kak Aman turut mengajar aku juga. Mengapa aku takkan sanggup membelanjai keluarga kita? Hanya saja aku tak punya pakaian. Tapi pakaian bagus tak begitu perlu untuk kerja di bagian menempelkan etiket dan melipat kertas. Kawanku si Jaja sudah menjanjikan. Atau aku kerja saja di pabrik sabun? Asal emak memberi izin-Mak, berilah aku izin. Izin saja, mak?” (Halaman 11) 

Salamah berusaha sedaya upaya untuk menyara kehidupan mereka sekeluarga setelah abangnya Sa’aman ditangkap oleh pihak Belanda.  Selain itu, Salamah juga merasa bertanggungjawab untuk menanggung persekolahan adik-adiknya yang lain.  Justeru, dia tekad mencari dan keluar bekerja, meskipun ibunya tidak membenarkannya.  Salamah tetap nekad untuk keluar mencari kerja walaupun ibunya, iaitu Amilah tidak mengizinkannya kerana menurutnya, kerja yang dilakukannya itu tiada salahnya, malah menjadi satu keperluan untuk mereka sekeluarga. 

vi. Pembelotan terhadap tanah air sendiri. 

Hal ini dapat ditinjau melalui watak Paijan, iaitu bapa kepada Kartiman, Canimin, Sa’aman dan adik-adiknya yang lain telah berkhidmat dengan pihak musuh, iaitu Nica yang merupakan pasukan musuh Belanda.  Buktinya boleh dilihat berdasarkan petikan di bawah: 

“Inggeris mendarat. Nama Nica ribut disebut oleh tiap mulut. Disebut oleh anak-anak, oleh orang dewasa. Oleh orang tua, oleh bayi-bayi yang sedang belajar bicara. Nama itu tak ubahnya dengan nasi yang teramat sulit di waktu itu. Dan sebulan sesudah itu pertempuran mulai mengamuk di seluruh kota Jakarta. Dan pada suatu hari-hari yang takkan bisa ia lupakan – bapaknya, Kopral Paijan, pulang ke rumah. Ia diantarkan oleh truk dan banyak barang dibawanya dengan truk itu.” (Halaman 40) 

Disebabkan Paijan ini membelot dan berada di sebelah pihak musuh, maka dia telah diberikan ganjaran yang berupa harta benda yang sangat banyak.  Justeru, Paijan berasa sangat gembira dan bangga dengan pangkat yang diperolehinya daripada pihak Belanda tersebut. 

Secara keseluruhannya, karya Keluarga Gerilya ini mengisahkan tentang perjuangan sekelompok masyarakat yang ingin mempertahankan tanah air daripada dicemari tangan pihak musuh, iaitu pihak Belanda. 

ESTETIKA DAN KEPENGARANGAN DALAM KELUARGA GERILYA 

Apabila membicarakan tentang sesebuah karya sastera, kita tidak dapat lari daripada memperkatakan tentang konsep estetik yang wujud dalam sesebuah karya sastera itu. Estetik atau keindahan dalam sesebuah karya sastera hanya ditemui melalui penilaian dan penghayatan. Perkataan estetik berasal daripada perkataan Yunani, iaitu “aesthesis” yang membawa makna kepekaan. Istilah ini memberi tumpuan hanya kepada hal-hal yang bersangkutan dengan ungkapan indah. Keindahan puisi ialah memiliki makna yang kuat, padu dan teguh yang disampaikan secara eksplisit atau implisit dengan bahasa yang sesuai dan sederhana. Dalam prosa pula menggambarkan pengalaman kehidupan, yang asli atau realiti, berunsurkan kesuraman. 


Pengarang juga turut menggunakan beberapa contoh unsur bahasa yang indah dalam setiap perincian huraiannya. Antara contoh seni bahasa yang sering digunakan dalam teks penulisan ini ialah metafora, personifikasi, simile, hiperbola, simbolik, repetisi dan sebagainya. Unsur bahasa ini digunakan dalam teks penulisan bagi menimbulkan keindahan dan kepelbagaian maksud cerita yang cuba disampaikan oleh pengarang. Dalam novel Keluarga Gerilya, juga terdapat beberapa penggunaan bahasa yang indah bagi memberi keindahan kepada jalan cerita novel ini. Antaranya ialah:


1. Hiperbola 

Hiperbola merupakan sejenis bahasa kiasan untuk menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan daripada maksud yang sebenarnya. Jenis gaya bahasa ini sering digunakan untuk meluahkan perasaan mahupun tanggapan secara melampau. Hiperbola mampu menekankan sesebuah penerangan dengan lebih mendalam. Contoh penggunaan gaya bahasa hiperbola dalam novel ini ialah:

Engkau kan ada Lee Enfield?” terdengar kopral itu memberanikan.“Baik-baik sekali! Aku suka kalau adikku sendiri yang memecahkan tempurung otakku. Aku toh sudah tercat, Maman!. (Halaman 37) 

2. Simile 

Simile merujuk kepada perbandingan sesuatu dengan sesuatu yang menggunakan unsur-unsur perlambangan dan ditandai dengan bak, laksana, seperti, bagai, umpama dan sebagainya. Sebagai contohnya dapat dilihat dalam contoh petikan berikut: 

Kemudian ia diam lagi dan mulutnya berkecumik seperti berkata-kata    pada Sa’aman. (Halaman 80)  

3. Anafora 

Menurut Corbett dan Connors dalam buku Abu Hassan Abdul dan Mohd Rashid Md Idris (2012) juga, anafora merujuk kepada pengulangan perkataan yang sama atau sekumpulan perkataan pada permulaan klausa yang berurutan. Contohnya seperti berikut: 

Malam sudah sepi sekarang. Bulan tidak timbul. Dan harapan pun tidak menyala. Harapan telah lama mati dari keluarga manusia itu. Dan sekiranya masih ada, maka itu adalah harapan yang membuta-tuli. Dan tak ada kabar yang datang. 
                                                                          
4. Sinkof

Sinkof boleh didefinisikan sebagai penyingkatan sesuatu perkataan. Contoh penggunaan sinkof dalam novel ini, tak, saja, kak, ku, yang sepatutnya tidak, sahaja, kakak, aku. Contohnya ialah: 

“Jadi tak belanja kita sekarang, kak?”
“Belajarlah saja.”
“Kertas tulisku sudah habis.”

“Baca saja. Tak usah menulis.” (Halaman 80)

5. Personifikasi


Personifikasi dikenali juga sebagai perorangan atau penginsanan. Personifikasi membawa maksud tindakan pengarang memberikan sifat manusia, sama ada daripada segi perasaan, perwatakan, atau tindak-tanduk kepada benda-benda mati, binatang, idea, atau hal-hal yang abstrak. Tamsilannya, ia dapat dilihat menerusi petikan di bawah: 

Tenang dan aman api dapur menjilati pantat periuk nasi. (Halaman 81)

6. Metafora

Metafora pula merupakan perbandingan secara terus atau langsung tanpa menggunakan kata-kata seperti, bak, umpama, ibarat, dan sebagainya. Metafora ialah perbandingan yang menggunakan kata konkrit (boleh nampak) dengan kata abstrak (tidak boleh nampak). Misalnya adalah: 

Kadang-kadang aku merasa kesepian dan ketakutan pada malam dan pada hari depan kalau aku toh harus mati di bawah langit putih dan tak ada azan meniupi kupingku. (Halaman 92) 

Terutama kalau hujan kecil turun, dan dingin – aku rasa tangan maut sudah meraba kakiku. (Halaman 93) 

Berdasarkan novel ini juga, kita dapat mengetahui teknik-teknik kepengarangan yang digunakan oleh pengarang. Antara ciri-ciri kepengarangan yang terdapat dalam novel Keluarga Gerilya adalah seperti berikut: 

1.  Pengalaman Sebenar

Hasil penulisan novel ini berkisarkan kisah hidup dan pengalaman sebenar pengarang. Oleh itu, hasil penulisan beliau lebih bersifat nyata, hidup dan berkesan kepada para pembaca. Tulisan yang dihasilkan oleh pengarang banyak menyentuh jiwa dan perasaan bukan sahaja kepada pengarang, malahan juga kepada pembaca. Hal ini demikian kerana, berkemungkinan ia disebabkan oleh pengalaman pengarang sendiri yang sudah berkali-kali dipenjarakan. Hasil penulisan yang dihasilkan juga lebih banyak menceritakan tentang sesuatu perkara yang benar-benar terjadi pada zaman pengarang. Penceritaan yang dihasilkan ini akan memberikan keindahan kepada jalan cerita ini. Misalnya yang digambarkan oleh pengarang ialah kehidupan di bawah penguasaan penjajah dan pada zaman peperangan.

2.  Menggambarkan Seorang Pengarang yang Kuat dan Tabah

Novel Keluarga Gerilya yang dihasilkan oleh pengarang ini jelas menggambarkan keutuhan dirinya sendiri dalam keadaan yang dihadapinya. Hal ini dapat dilihat menerusi gambaran watak utama yang dinamakan Sa’aman untuk menggambarkan perwatakan sahabat karibnya sendiri, iaitu Wahab. Pengarang juga kuat dan tabah dalam memerihalkan dan mengulas satu persatu perwatakan Wahab dalam gambaran Sa’aman berserta dengan segala kesusahan dan kesengsaraan yang dilalui oleh mereka sepanjang hidup bersama. 

Mereka selalu bersama dalam apa jua yang dilakukan. Sehinggalah Wahab akhirnya dihukum mati oleh Belanda. Keadaan ini benar-benar menguji kekuatan dan ketabahan beliau untuk mendepani hari-hari yang berlalu. Kehilangan orang yang tersayang betul-betul mencabar tahap kemanusiaannya sehingga beliau banyak mengurungkan diri. Kehidupannya seolah-olah terhenti kerana tunjang kekuatannya sudah tiada lagi di sisinya. Sepanjang tempoh berkurung itu, pengarang banyak menulis mengenai Wahab, dan empat minggu berikutnya, maka terhasillah ‘Keluarga Gerilya’ ini.

3. Olahan Jalan Cerita

Pengarang novel ini bijak mengolah jalan cerita ini sehingga ia kelihatan menarik dan sering kali mendapat tempat di hati pembaca. Pramoedya bijak mengolah jalan cerita dengan mengaitkan serba sedikit berkaitan dengan pengalaman hidup sebenar, yang betul-betul berlaku pada saat dan ketika itu. Plot atau kronologi penceritaan juga dihuraikan dengan baik, bermula daripada kisah tragis yang berlaku dalam sesebuah keluarga pejuang yang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan negara. Korban nyawa, korban masa depan, korban ayah dan korban segalanya. Ayahnya dibunuh kerana menjadi tali barut Belanda. Ibunya pula hilang akal kerana mengenangkan nasib anak-anak. Anak-anak lelaki semuanya berjuang menyertai revolusi kemerdekaan. Anak  perempuan tidak bersekolah dan mencari kerja kerana mereka kehilangan sumber pencarian untuk menyara kehidupan.

4. Penggunaan Unsur-Unsur ‘Tricky’

‘Tricky’ didefinisikan sebagai helah atau pedaya. Pengarang memperlihatkan susunan perkataan yang cukup indah dan terperinci untuk setiap babak yang dihasilkan. Kematangan dalam mengolah sesuatu plot atau jalan cerita menjadikan karya-karya Pramoedya sangat unik dan berkesan kepada pembaca sehingga sukar untuk mencari kekurangan dalam pengolahan idea beliau. Begitu juga dengan cerita yang dikarang oleh pengarang ini menerusi watak si ibu, iaitu Amilah yang pada permulaan cerita tidak dapat dikesan tentang ketidakwarasannya.

Selain itu, unsur ‘tricky’ ini juga hadir dalam cerita mengenai baju kebaya Salamah, iaitu anak perempuan sulung Amilah yang dikatakan hilang apabila Salamah meletakkan bajunya di penjuru katil sebelum dia ke bilik air untuk membersihkan diri. Baju tersebut dikatakan hilang apabila dijual oleh ibunya, Amilah kerana ingin membeli peralatan dapur bagi memasak lauk kesukaan anak kesayangannya, Sa’aman. Selain itu, terdapat juga unsur-unsur ‘tricky’ yang digunakan oleh pengarang dalam bahagian-bahagian yang lain.

Teknik kepengarangan yang begitu unik dan indah inilah menjadikan jalan cerita ini kelihatan indah dan menimbulkan tanda tanya dalam diri pembaca akan situasi yang bakal terjadi selepas itu. Keupayaan dan keistimewaan hasil penulisan yang dimiliki oleh pengarang ini, iaitu Pak Pram jarang-jarang dimiliki oleh pengarang lain. Keadaan inilah yang telah menjadikan karya Pak Pram mendapat perhatian daripada ramai pembaca.

5. Memasukkan Nilai Keagamaan

Seperti yang kita sedia maklum, nilai keagamaan sangat penting dalam kehidupan ini. Agama dapat dijadikan landasan yang baik dalam kehidupan manusia. Walaupun pada permulaan cerita ini sudah diceritakan betapa negatif watak yang ditonjolkan oleh si ibu, iaitu Amilah yang garang terhadap anak-anak dan pernah menjadi perempuan tangsi. Namun begitu, pengarang tidak terlupa memasukkan nilai keagamaan dalam jalan cerita ini. Hal ini dapat dilihat melalui watak Sa’aman yang bertanggungjawab terhadap adik-adiknya dan tidak lupa untuk memohon pertolongan daripada Tuhan. Selain itu, dalam cerita ini juga diceritakan tentang watak Canimin dan Kartiman yang selalu memohon ampun daripada Tuhan atas segala dosa-dosa mereka. Situasi ini dapat dilihat melalui contoh petikan berikut:

“dan bila aku kembali kepadaMu, “Kartiman menyambung permohonannya, seakan-akan Tuhan betul-betul ada di depannya, “dan bila Engkau tak sudi mengampuni makhlukMu ini, aku rela juga bila jiwaku tinggal terliputi dan terperciki darah musuh yang ku binasakan…. (Halaman 38)

6. Teknik Imbas Kembali

Dalam novel ini juga, terdapat teknik imbas kembali apabila Salamah terkenang semula peristiwa abangnya Sa’aman yang ditangkap oleh polis militer. Hal ini digambarkan seperti berikut: 

Sa’aman pulang dari kerja dalam kepenatan. Setelah tidur dan mandi, Sa’aman membantu adik-adiknya membuat kerja sekolah dan memberi nasihat dan tiba-tiba ada ketukan di pintu. Ketika pintu terbuka, sekelompok polis militer masuk, menangkap Sa’aman dan menanyakan saudara gerilya lain, Canimin dan Kartiman. Setelah teringat pada kejadian yang malang ini, Salamah pun tertidur. 

NILAI BUDAYA DAN PANDANGAN HIDUP 

Antara nilai budaya yang terdapat dalam novel “ Keluarga Gerilya” ialah pengorbanan. Pandangan hidup masyarakat dalam “ Keluarga Gerilya” lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara daripada kepentingan diri. 

Nilai inilah dapat melahirkan masyarakat yang harmoni. 

Karya ini menggambarkan semangat bangsa Indonesia yang rela berkorban dan menderita, khususnya dalam perjuangan revolusi. Sebagai contoh, watak Sa’aman sebagai pelopor yang mengadakan gerakan di bawah tanah sejak aksi polis yang pertama. 

Akhirnya, dia ditangkap polis tentera Belanda. Akibatnya, keluarganya yang terdiri daripada ibunya dan semua adiknya menderita kerana sudah kehilangan orang yang mencari nafkah hidup mereka. 

Canimin dan Kartiman, kedua-dua adik Sa’aman bukan sahaja sudah menjadi perajurit Gerilya di barisan hadapan, tetapi juga telah membunuh bapa mereka kerana dia sanggup menjadi pengkhianat dan penghalang kepada  perjuangan merdeka. 

Penderitaan mereka bertambah buruk setelah Amilah, ibu mereka menunjukkan gejala sakit jiwa. Selepas itu, Kartiman dan Canimin pula gugur dalam medan pertempuran, sementara Sa’aman dijatuhi hukuman mati. 

Selain itu, nilai ketabahan dalam menghadapi dugaan dan cabaran. Pandangan hidup  Samaan menjelaskan bahawa melalui kekuatan rohani mampu menjadikan seseorang individu yang tertawan itu terus ‘bebas’ dan tabah menjalani kehidupannya. 

Kehidupan dalam penjara akhirnya menjadi lokasi terpenting perjuangan Sa’aman. Meskipun secara fizikal diri Sa’aman telah dipenjara, namun dua lagi unsur penting kejadian seorang insan, iaitu rohani atau ‘spritual’ dan minda atau intelektual terus bebas. 

Keadaan ini jelas kelihatan sepanjang penjalanan hidupnya di dalam tahanan. Keadaan Sa’aman yang tenang dan tabah dalam menanti saat genting, saat untuk menerima hukuman mati yang perlu dilaluinya, menggambarkan keaslian dirinya, seorang yang memiliki rohani yang kuat. 

Kisah tragis sebuah keluarga pejuang kemerdekaan Indonesi menentang Belanda di Daerah Merdeka dan mereka terpaksa mengorbankan segala-galanya demi sebuah kebebasan. Kepentingan erti kehidupan mereka yang lebih menghargai sebagai sebuah keluarga pejuang kemerdekaan. 

Di samping itu, nilai kemanusiaan dalam watak-watak “Keluarga Gerilya”. Watak-watak penting yang telah berjaya digambarkan oleh pengarang dengan jelas dan mesej tentang kemanusiaan.. Dari segi peribadinya, kemuliaan hati nurani Sa’aman pernah diakui oleh seorang perajurit, ia boleh dilihat sebagaimana contoh berikut: 

“... Sudah lama aku bergaul dengan Kak Aman, setidak-tidaknya aku kena pengaruhnya. Dan dia begitu baik. dan dia banyak berfikir...” (Halaman 30) 

Namun demikian, Sa’aman juga terpaksa mengorbankan nilai kemanusiaan, iaitu dengan melibatkan diri dalam pembunuhan bapa tirinya, iaitu Kopral Paijin bin Suto. Perkara ini yang dipaksanya sendiri untuk menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang dipijak ini tak perlu lagi melakukan seperti itu untuk meneruskan kehidupan mereka. 

Walaupun Sa’aman seakan menyesal dengan perbuatannya membunuh bapa tirinya, namun jauh di sudut hatinya perbuatan yang dilakukan adalah demi bangsanya dan dia yakin bahawa itulah perkara yang terbaik yang telah dilakukan terhadap tanah airnya. Kita melihat pandangan hidup seorang insan sanggup berkorban nilai kemanusiaan demi menegakkan kebenaran dan keadilan. 

Selain itu, penderitaan yang ditanggung oleh Sa’aman terutama apabila mengenangkan adik-adiknya dan juga ibunya, terdapat ada satu nilai yang besar padanya. Nilai dalam penderitaan inilah yang menjadikan dia terus kuat untuk mengharungi kehidupannya dalam penjara sehingga sanggup menolak tawaran Van Keerling untuk lari dari penjara kerana bagi Sa’aman takdir telah ditentukan padanya untuk berjuang meskipun secara tertawan. 

Nilai ini telah mempamerkan sifat harga diri Sa’aman yang begitu tinggi sebagai seorang yang jelas tentang tujuan dan makna dalam hidupnya Sa’aman mampu memberi senyuman dan hanya berterima kasih atas pelawaan tersebut dan dia menegaskan bahawa itu bukan keputusannya. Hal ini jelas menunjukkan bahawa penderitaan itu mengajar dan mendidik diri kita agar menghargai erti sebuah kehidupan. 

Matlamat hidup Sa’aman sebagai seorang perjuang. Dia menyatakan bahawa, 

... Apabila orang telah tekad berjuang, bejuang untuk tanahairnya dik Imah, dia sudah bersumpah. Dia sudah tekan kontrak pada tanahairnya...’ Sa’aman meneruskan lagi luahan hatinya;... 

“Semua orang yang benar-benar bermaksud berjuang, ya mereka itu sudah bersedia... bersumpah menyerahkan jiwa dan raganya...” (Halaman 133) 

Misi dan matlamat hidup Sa’ aman  sebagai pejuang untuk kebebasan begitu jelas meskipun perjuangan secara sulit yang dipilihnya. Hal ini adalah kerana dia amat diperlukan untuk menyara kehidupan keluarganya. Hal ini menunjukkan pandangan hidup beberapa orang watak dalam novel ini sanggup berkorban segala-galanya dan sanggup berani mati demi memperjuangkan bangsa dan negara. 

Kepentingan ilmu juga ditekankan dalam novel “Keluarga Gerilya” ini. Sa’aman menasihati adik-adiknya menerusi surat yang dihantar kepada mereka: 

“... Yang penting dalam hidupmu, adik-adik ku, bukanlah didikan yang kau terima dari orang. Ini harus kau ingat-ingat! Yang penting ialah didikan yang diberikan oleh fikiranmu sendiri yang waras pada dirimu ...” (Halaman 212) 

Selain itu, sebagai anak yang turut sama merasai kegersangan kasih sayang yang sebenarnya dari seorang ibu, lantaran sikap ibunya yang begitu garang, menasihati adik-adiknya: 

“... Dan kelak, didiklah anakmu sebagaimana anak manusia harus dididik. Ibu adalah alam tersendiri buat manusia...” (Halaman 214) 

Hal ini menunjukkan pandangan hidup masyarakat pada waktu ini ialah betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan. Hanya dengan ilmu, dapat mengubah nasib hidup mereka ke arah yang lebih baik.

Budaya menghormati orang yang lebih tua ditekankan dalam novel “Keluarga Gerilya” ini.  Mentaati ibu bapa adalah satu kewajipan. Setiap anak wajib berbakti dan mentaati ibu bapa. Pandangan hidup telah meletakkan ibu bapa pada kedudukan yang paling tinggi. Contoh petikan menunjukkan bahawa Sa’aman selaku anak kepada Amilah dan abang yang bertanggungjawab sentiasa menasihati adik-adiknya agar menghormati ibu mereka. Walaupun ibu mereka agak garang, tetapi sebagai anak mereka wajib mentaati dan mematuhi segala permintaan ibu mereka.

“Mak, katanya, “Kak Aman bilang padaku, bahawa aku harus menghormati dan menghargai orang tua–menghormati dan menyayangi emak . (Halaman 10)

Akhir sekali, sifat bertanggungjawab setiap perkara yang dilakukan. Hal ini menjelaskan pandangan hidup seseorang yang benar-benar memiliki perasaan tanggungjawab yang tinggi sanggup mengetepikan kesenangan peribadi. 

Contohnya, Sa’aman menyatakan bahawa:

“orang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsanya dari diperbudakkan adalah sesungguhnya lebih suci daripada orang yang belum pernah berdosa selama hidupnya, malah lebih suci daripada orang yang pulang naik haji dengan serban setebal gendang, juga lebih suci daripada orang yang seumur hidupnya hanya bersembahyang kerjanya. Kerana mereka itu mencari syurga hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang berjuang adalah menyediakan syurga untuk berpuluh juta manusia bangsanya” 


Hal ini kerana perasaan tanggungjawab inilah hukuman terhadap perbuatannya membunuh seramai lebih dari lima puluh enam orang militer diterimanya dengan lapang dada. Dia memang rela untuk mati digantung atau ditembak atau dipancung.

FALSAFAH

PENGENALAN

Dalam sebuah buku yang bertajuk ‘Bimbingan Istilah Sastera’ terdapat definisi falsafah, iaitu pemikiran yang bersandar kepada prinsip-prinsip dan kebenaran yang ditemui daripada pencarian yang menggunakan akal. Seorang tokoh falsafah Syed Muhammad Naquib al-Attas sering menemukan prinsip-prinsip baru daripada pencarian kebenaran berdasarkan ilmu agam. Karya Pramoedya Ananta Toer ini menunjukkan pelbagai jenis isi tersurat dan isi tersirat. Hal ini kerana karya tersebut mempunyai keindahan falsafah, keindahan perjuangan, keindahan pusara dan kayu nisan, keindahan darah, keindahan cinta dan sejuta keindahan yang lainnya.
Antara falsafah yang dapat dikaji dalam karya tersebut adalah seperti berikut:-

Falfasah kemanusiaan


Bermaksud mengenali manusia daripada sisi subjektif manusia dan pengalamannya sebagai pusat rasa ingin tahu dan rasa menghargai. 

Berpendapat bahawa seseorang individu:

i. Saling berkongsi dalam keupayaan untuk berfikir kreatif dalam mencari jalan penyelesaian untuk masalah yang dihadapi.

ii. Berusaha untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan sekadar memenuhi hokum aksi-reaksi. 

iii. Berjuang untuk mempertahankan integrity dan mempunyai hubungan dengan orang lain veritivity (prinsip alamiah manusia yang mempertegas tujuan umum keberadaban manusia).

Contoh yang dapat dilihat mempunyai falsafah kemanusiaan adalah seperti berikut:

1. Contoh petikan menunjukkan bahawa Sa’aman selaku anak kepada Amilah dan abang yang bertanggungjawab sentiasa menasihati adik-adiknya agar menghormati ibu mereka. Walaupun ibu mereka agak garang, tetapi sebagai anak mereka wajib mentaati dan mematuhi segala permintaan ibu mereka.

“Emak, aku ingin sekali melaksanakan apa yang sudah dikatakan dan dijalankan oleh Kak Aman – adik-adik harus disekolahkan terus. Dan aku sangggup. Aku tamatan sekolah rakyat. Aku bisa baca-tulis. Dan aku bisa juga bicara Belanda. Dan selama ini Kak Aman turut mengajar aku juga. Mengapa aku takkan sanggup membelanjai keluarga kita? Hanya saja aku tak punya pakaian. Tapi pakaian bagus tak begitu perlu untuk kerja di bagian menempelkan etiket dan melipat kertas. Kawanku si Jaja sudah menjanjikan. Atau aku kerja saja di pabrik sabun? Asal emak memberi izin-Mak, berilah aku izin. Izin saja, mak?” (Halaman 11) 

2. Falsafah kemanusiaan turut menekankan konsep hormat-menghormati orang yang lebih tua kerana pandangan hidup telah meletakkan ibu bapa pada kedudukan yang paling tinggi. 

Contoh petikan menunjukkan bahawa Sa’aman selaku anak kepada Amilah dan abang yang bertanggungjawab sentiasa menasihati adik-adiknya agar menghormati ibu mereka. Walaupun ibu mereka agak garang, tetapi sebagai anak mereka wajib mentaati dan mematuhi segala permintaan ibu mereka.


Mak, katanya, “Kak Aman bilang padaku, bahawa aku harus menghormati dan menghargai orang tua – menghormati dan menyayangi emak . (Halaman 10)

 “Dan kata Aman selanjutnya,” ia menyambung bisikannya mengulangi kata-kata Sa’aman, ‘aku tahu juga, engkau akan mendapat kesulitan dari emak. Tapi, jangan takut Amah, semua harus kau kerjakan. Engkau dan Imah. Dan jangan lupa – hormati dan hargai selalu emaknya yang sudah tua itu. Jangan sakiti hatinya.” (Halaman 15)

3. Sifat bertanggungjawab setiap perkara yang dilakukan. Hal ini menjelaskan pandangan hidup seseorang yang benar-benar memiliki perasaan tanggungjawab yang tinggi sanggup mengetepikan kesenangan peribadi. Contohnya, Sa’aman menyatakan bahawa: 

orang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsanya dari diperbudakkan adalah sesungguhnya lebih suci daripada orang yang belum pernah berdosa selama hidupnya, malah lebih suci daripada orang yang pulang naik haji dengan serban setebal gendang, juga lebih suci daripada orang yang seumur hidupnya hanya bersembahyang kerjanya. Kerana mereka itu mencari syurga hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang berjuang adalah menyediakan syurga untuk berpuluh juta manusia bangsanya”

4. Hal ini kerana perasaan tanggungjawab inilah hukuman terhadap perbuatannya membunuh seramai lebih dari lima puluh enam orang militer diterimanya dengan lapang dada. Dia memang rela untuk mati digantung atau ditembak atau dipancung. Dalam keadaan yang sukar Sa’aman masih mampu untuk menyuarakan isi hatinya bahawa: 

“... Dosaku banyak. Lebih dari lima puluh ku bunuh – ku hancurkan sumber penghasilan keluarganya. Tapi kerana aku merasa bertanggungjawab atas segala perbuatanku – atas segala dosaku, aku serahkan  semuanya itu kembali kepada Tuhan” (Halaman 130) 

5. Walaupun meninggal dalam peperangan dan pertempuran, seseorang itu berkelakuan aneh, tidak seperti biasa. Hanya orang terdekat sahaja dapat merasainya seperti kawan baik dan ahli keluarga yang sudah mengenali sikap dan perangai seseorang. 

“Ya, pak. Sebelum guru dia jadi pendiam. Dalam sehari sebelum guru itu tak sepatahpun dia mengeluarkan suara. Di dapur umum dia makan diam-diam saja. Cabe rawit sekepal dihabiskannya. Dan kalau ada orang mendekat mau mengganggu atau mengajak bercanda dia pergi menjauh sorder bilang apa-apa. Kemudian dadanya hancur kena pecahan mortir di pertempuran Cibarusa – telah – tepat kena dadanya…” (Halaman 43) 

6. Beberapa minit sebelum Kartiman meninggal dunia, dia berpesan kepada abangnya, Canimin supaya sampaikan salam kepada ibu dan adik-beradiknya serta memohon maaf kepada mereka atas kesalahannya. Ternyata dia telah mendapat firasat akan datangnya kematian. 

“Kak Mimin -, kelak sampaikan salam pada emak. Pak Kak Aman. Pada Amah. Pada Imah. Pada Mimi. Pada Hasan. Dan Ratni – pelihara dia baik-baik. Dan maafmu untukku. Dan maafku untukmu. ..” (Halaman 45) 

FALSAFAH PENGORBANAN


Falsafah tentang pengorbanan turut dilihat dalam karya tersebut. Pengorbanan yang bermaksud suatu tindakan atau kerelaan seseorang tentang sesuatu perkara yang kebiasaannya ditunjukkan kepada seseorang yang mmempunyai tujuan atau makna dari tindakannya dalam bentuk pertolongan dan tidak mengharapkan apa-apa balasan daripada tindakan tersebut dan ikhlas semata-mata kerana negara dan Tuhan.

1. Situasi berikut dapat dilihat pada watak Sa’man, seorang tukang beca adalah bekas prajurit dalam kelompok gerilya yang memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan tanah airnya. Walaupun Sa’man telah ditangkap oleh pihak Belanda dan akan dijatuhkan hukuman mati, dia tetap enggan meminta keampunan daripada penjajah Belanda malah meminta untuk mempercepatkan hukuman mati ke atas dirinya.

“Revolusi menghendaki segala-galanya… Menghendaki kurban yang dipilihnya sendiri. Demikian hebatnya revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini… jiwa dan ragaku sendiri. Demikianlah paksaan yang kupaksakan pada diriku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu… agar mereka itu dengan langsung bisa menikmati kemanusiaan dan kemerdekaan.” 

2. Dalam petikan berikut pengorbanan masyarakat pada waktu itu yang memiliki semangat sangat tinggi untuk mempertahankan tanah air sehingga sanggup diseksa, malah berkorban nyawa demi memastikan negara dalam keadaan yang aman damai.

Patriotisme atau semangat cinta akan tanah air merupakan pemikiran utama yang terdapat dalam karya Keluarga Gerilya karangan Pramoedya Ananta Toer ini.  Karya ini memperlihatkan masyarakat pada zaman tersebut yang memiliki semangat yang sangat tinggi untuk mempertahankan tanah airnya.  Mereka sanggup diseksa, malah berkorban nyawa demi memastikan negara berada dalam keadaan yang aman dan damai.  Hal ini dapat dilihat dalam bab “Aku Tidak Jijik Melihat Tuan” pada muka surat 157 sebagaimana berikut:

“Tuan tidak pernah lalu, bagaimana satu keluarga hancur kerana mempertahankan tanahairnya.  Hancur!  Hancur seperti serumpun bambu habis dimakan api.  Tuan belum pernah lihat betapa seorang nenek-nenek memanggul senjata mempertahankan tanahairnya.  Tuan pasti belum pernah melihat kanak-kanak dari tujuh tahun menggeranati konvoi Inggeris, kerana ibu bapaknya dibakar-bakar hidup oleh apa yang dinamainya musuhnya.  Semua itu pernah ku lihat di sini – di Jakarta tahun empat lima” (Halaman 157)

Berdasarkan petikan di atas, dapatlah dilihat masyarakat pada waktu itu yang sanggup berkorban apa-apa sahaja untuk mempertahankan tanah air yang terdiri daripada pelbagai peringkat umur sama ada kanak-kanak mahupun orang tua.

3. Selain itu, pengarang juga mengetengahkan pemikiran atau mesej tentang ketelusan dan kejujuran.  Pemikiran ini boleh dilihat daripada watak Kartiman yang jujur dan telus dalam menjalankan amanahnya sebagai koperal pasukan Gerilya. Buktinya, beliau telah membunuh bapanya sendiri yang menyokong dan menjadi tali barut pihak musuh meskipun dengan perasaan yang sangat berat untuk melakukannya.  Hal ini dapat dibuktikan melalui petikan dialog di bawah:

“Aku bilang, jangan turutkan perasaanmu yang bukan-bukan itu,” kata Kopral Canimin. “Engkau perajurit yang baik dan berdisiplin. Kalau bapakmu sendiri menggabungkan diri dengan musuh dan musuh itu jualah yang mau membunuh kita-kita bersama-siapa lagi yang harus memberesi bapakmu kalau bukan engkau sendiri? Engkau harus berfikir begitu. Maman! Cuba, sekiranya bapakmu jatuh ke tangan pasukan lain-akan lebih sengsara matinya. Cuba, kalau dia dibamburuncing orang-” (Halaman 29) 

4. Akhir sekali, pemikiran yang cuba diketengahkan oleh pengarang dalam karya ini adalah pembelotan terhadap tanah air si pembelot itu sendiri.  Hal ini dapat ditinjau melalui watak Paijan, iaitu bapa kepada Kartiman, Canimin, Sa’aman dan adik-adiknya yang lain telah berkhidmat dengan pihak musuh, iaitu Nica yang merupakan pasukan musuh Belanda.  Buktinya boleh dilihat berdasarkan petikan di bawah:

“Ingeris mendarat. Nama Nica ribut disebut oleh tiap mulut. Disebut oleh anak-anak, oleh orang dewasa. Oleh orang tua, oleh bayi-bayi yang sedang belajar bicara. Nama itu tak ubahnya dengan nasi yang teramat sulit di waktu itu. Dan sebulan sesudah itu pertempuran mulai mengamuk di seluruh kota Jakarta. Dan pada suatu hari-hari yang takkan bisa ia lupakan – bapaknya, Kopral Paijan, pulang ke rumah. Ia diantarkan oleh truk dan banyak barang dibawanya dengan truk itu.” (Halaman 40)


Disebabkan Paijan ini membelot dan berada di sebelah pihak musuh, maka dia telah diberikan ganjaran yang berupa harta benda yang sangat banyak.  Justeru, Paijan berasa sangat gembira dan bangga dengan pangkat yang diperolehinya daripada pihak Belanda tersebut.

BMS 3022 KARYA AGUNG SEMESTER 2 SESI 2015/2016: Keluarga Gerilya
http://karyaagungkumpulan07.blogspot.com/p/keluarga-gerilya.html 


--------------------------------------
Pramoedya Ananta Toer 
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Pramoedya Ananta Toer (BloraJawa Tengah 2 Februari 1925 — Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.


Masa Kecil 
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat khabar Jepun di Jakarta selama pendudukan Jepun di Indonesia.
Pasca Kemerdekaan Indonesia
Pada masa kemerdekaan Indonesia, dia mengikuti kelompok ketenteraan di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Beliau menulis cerpen dan buku sepanjang pekerjaan ketenteraannya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an dia sanggup tinggal di Belanda sebagai bahagian rancangan pertukaran budaya, dan saat kembalinya beliau menjadi anggota Lekra, pertubuhan sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Sogokan, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap sogokan. Ini menciptakan friksi antara beliau dan pemerintahan Soekarno

Selama masa itu, beliau mulai mempelajari penyeksaan terhadap Cina Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, beliau menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Cina yang membicarakan sejarah Cina di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Beliau merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahawa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an beliau ditahan pemerintahan Soeharto kerana pandangan pro-Komunis Cinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. 
Penahanan dan masa setelah itu. 
Pramoedya bersama rakan-rakan saat sedang melakukan kerja paksa dipulau Buru
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Beliau dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan pertubuhan Syarikat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai pertubuhan kebangsaan pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negera untuk dikumpulkan pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggeris dan Indonesia. 

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Disember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan bandar dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. 

Selama masa itu beliau menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'tunjuk perasaan' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju.  

Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. 

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. 

Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. 

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativiti' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. 

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. 

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. 

Tapi menarik sekali pemaparan pelukis Joko Pekik yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru yang menyebut Pramoedya sebagai 'jurutulis'. Yang dimaksud oleh Joko Pekik sebagai jurutulis adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebarluaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan kemudahan yang lumayan - apalagi kalau ada tetamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya' 
Masa Tua 
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan rencana pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Dia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepun. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat dia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Cina. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana dia menggambar pengalamannya sendiri. Dia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Dia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Dia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Dia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universiti Michigan

Sampai akhir hayatnya dia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, dia dikhabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong GedeBogor, dan dirawat di hospital. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. 

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah hari jadi ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. 
Berpulang
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sedar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke Hospital Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. 

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00. 

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut keadaan Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Tolak saja saya," ujarnya. Namun, kawan-kawan dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, kawan-kawan hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. 

Khabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya. 

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. 

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor SitumorangErry Riyana HardjapamekasNurul Arifin dan suami, Usman HamidPutu WijayaGoenawan MohamadGus SolahRatna SarumpaetBudiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI PerjuanganDewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Kawan-kawan Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda peminat Pram. 

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Pelayat - bergabung. 
Penghargaan
Pramoedya saat meraih gelar Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999

  • Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  • Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  • Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  • Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  • UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996
  • Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  • Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  • Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  • New Yorf Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
  • Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang, 2000
  • The Norwegian Authors Union, 2004
  • Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain 
  1. Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  2. Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  3. Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  4. Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  5. Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  6. International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  7. International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Bibliografi
Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
Buku Tentang Pramoedya dan Karyanya
Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)

Lihat pula 
Rujukan 
Pautan luar 

Pramoedya Ananta Toer - Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas
https://ms.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer


Tiada ulasan: