Sahabat Berwajah Buruk yang Dicintai Rasulullah ﷺ.
JULAIBIB adalah seorang sahabat Anshar yang sangat dicintai Nabi ﷺ walau ia tidak diketahui nasabnya dengan jelas, keadaannya-pun fakir dan wajahnya juga buruk.
Tentu saja kecintaan beliau kepadanya ini adalah karena kualitas keimanan dan ketakwaannya, juga karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun demikian ia belum menikah karena kebanyakan orang enggan mengambilnya sebagai menantu karena keadaan lahiriahnya tersebut.
Para sahabat Anshar mempunyai kebiasaan, jika memiliki anak perempuan atau anggota keluarga perempuan yang belum menikah, baik gadis atau janda, mereka akan “menunjukkannya” kepada Rasulullah ﷺ. Jika beliau telah mengetahui dan tidak memintanya atau memintanya untuk orang lain yang dikehendaki beliau, barulah mereka menikahkannya dengan orang lain yang dikehendakinya.
Bahkan tak jarang para wanita tersebut, atau melalui walinya, “menyodorkan” diri untuk dinikahi beliau, atau orang lain yang dipilih oleh beliau. Sungguh kecintaan para sahabat Anshar kepada Nabi ﷺ sangat luar biasa.
Suatu ketika Nabi ﷺ bertemu dengan salah seorang sahabat Anshar dan bersabda, “Aku melamar putrimu!!” “Baik, ya Rasulullah,” Kata sahabat tersebut, “Ini suatu kehormatan besar dan sangat membanggakan!!”
“Tetapi aku tidak menginginkannya untuk diriku sendiri!!” Kata Nabi ﷺ. “Untuk siapa ya, Rasulullah ﷺ?” Kata sahabat tersebut. “Untuk Julaibib…!!”
Sahabat tersebut tampak terkejut, tetapi kemudian berkata, “Kalau begitu saya akan bermusyawarah dahulu dengan ibunya!!” Nabi ﷺ mengijinkannya, kemudian sahabat tersebut berlalu pulang. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melamar putrimu!!”
“Baik, sungguh ini sangat menyenangkan!!” Kata istrinya dengan gembira. “Beliau tidak melamar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Julaibib!!” Seketika kegembiraan di wajah istrinya menghilang, dan berkata, “Untuk Julaibib?? Tidak, demi Allah kita tidak akan mengawinkannya dengan Julaibib!!”
Tampaknya kehebohan yang terjadi antara kedua orang tuanya menyebabkan sang gadis menghampiri mereka dan meminta penjelasan atas apa yang terjadi. Sang ibu menjelaskan permintaan Nabi ﷺ dan sikap yang diambilnya, maka si gadis berkata, “Apakah kalian akan menolak urusan Rasulullah ﷺ? Pertemukanlah (nikahkanlah) aku dengan dia, sungguh dia tidak akan menyia-nyiakan aku!!”
Tentu tidak ada pertimbangan lain dari sang gadis kecuali ketaatan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ. Ia meyakini, di balik semua kekurangan yang ada pada Julaibib yang memang sudah diketahui banyak orang, tentu ia memiliki banyak kelebihan lainnya yang membuatnya mendapat kedudukan yang baik di sisi Rasulullah ﷺ.
Sahabat Anshar tersebut kembali kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Ya Rasulullah ﷺ , engkau lebih berhak berurusan dengan anak gadisku!!” Nabi ﷺ memanggil Julaibib dan menikahkannya dengan putri sahabat Anshar tersebut. Julaibib hampir tidak pernah absen dalam medan pertempuran bersama Rasulullah ﷺ.
Suatu ketika setelah berakhirnya suatu pertempuran, Nabi ﷺ bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tidak kehilangan seseorang?” “Tidak, ya Rasulullah ﷺ !!” Kata mereka. “Tetapi aku kehilangan Julaibib,” Kata Nabi ﷺ, “Carilah dia!!” Mereka menyebar, dan akhirnya salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, inilah dia orangnya, ia tertutup di antara tujuh orang musuh yang dibunuhnya, dan ia juga terbunuh oleh mereka!”
Nabi ﷺ mendatangi tempat Julaibib tewas. Beliau memangku jenazahnya dan menyuruh beberapa sahabat menggali lobang untuk kuburnya. Sambil bercucuran air mata, beliau bersabda, “Dia ini bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya” Setelah lubang kuburnya siap, beliau mengangkat sendiri jenazahnya dan membaringkannya di dalam kubur. Tidak ada tikar atau kain lainnya untuk menutup jenazahnya, sehingga langsung dikuburkan begitu saja. Tetapi semua itu tidak berarti mengurangi kemuliaan dan ketinggian derajadnya di sisi Allah dan Rasul-Nya, bahkan meningkatkannya karena tangan Nabi ﷺ sendiri yang memakamkannya.
Jangan Memuji Apa yang Tak Ada pada Diriku!
Asy-Syabi mampu meraih derajat ilmu yang setara dengan para ulama senior pada zamannya. Az-Zuhri berkata, “Sesungguhnya ulama itu ada empat, yaitu Said bin Musayyab di Madinah, Amir bin Syurahbil di Kufah, Hasan al-Bashri di Bashrah, dan Makhul di Syam.”
Hanya karena sifat tawadhu, beliau tidak suka jika ada yang menyebutnya sebagai alim (orang yang berilmu). Pernah salah seorang dari kaumnya berkata, “Jawablah wahai faqih, wahai alim!” beliau berkata, “Janganlah memujiku dengan apa yang tidak ada padaku. Orang yang faqih adalah orang yang benar-benar menjauhi segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Taala, dan orang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Manalah aku termasuk ke dalamnya?”
Suatu ketika beliau ditanya tentang suatu masalah, beliau menjawab, “Umar bin Khathab berpendapat begini, Ali bin Abi Thalib berkata begini..” Maka penanya berkata, “Lalu bagaimana pendapat Anda, wahai Abu Amru?” Beliau tersenyum dan berkata, “Apa pula pentingnya kata-kataku bagimu padahal Anda sudah mendengar pendapat Umar dan Ali?” Di samping itu, asy-Syabi menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang utama. Beliau tidak suka debat kusir dan berusaha menjauhkan diri dari pembicaraan-pembicaraan yang tak bermanfaat.
Suatu kali seorang sahabatnya berkata, “Wahai Abu Amru!” Beliau berkata, “Labbaik.” Orang itu bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang perbincangan orang berkenaan dua orang itu?” Beliau berkata, “Dua orang yang mana?” Dia menjawab, “Utsman dan Ali.” Beliau menjawab, “Demi Allah, aku tidak ingin pada hari kiamat nanti menjadi musuh bagi Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma.” [*]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan