Ahad, 8 Mac 2020

Tanpa sedar salah besar kita sendiri dan tambah malang kita persalahkan hal atau orang lain. 9887



Bila Allah Tak Menghendaki Kita Lagi*
by Saad Saefullah Oleh: Hj. Irena Handono
Bila Allah tak menghendaki kita lagi…
Allah akan sibukkan kita dengan urusan dunia…
Allah akan sibukkan kita dengan urusan anak-anak….
Allah akan sibukkan kita dengan urusan menjalankan perniagaan dan harta…..
Allah akan sibukkan kita dengan urusan mengejar karir, pangkat dan jabatan…..
Alangkah ruginya karena kesemuanya itu akan kita tinggalkan…..

Sekiranya kita mampu bertanya pada orang-orang yang telah pergi terlebih dulu menemui Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan jika mereka diberi peluang untuk hidup sekali lagi, tentu mereka akan memilih untuk memperbanyak amal ibadah…..

Sudah semestinya mereka memilih tidak lagi akan bertarung mati-matian untuk merebut dunia, yang sudah jelas-jelas tidak bisa dibawa mati…..

Karena tujuan kita diciptakan adalah untuk menyembah Allah, beramal dan beribadah kepada Allah…

Kita mungkin cemburu apabila melihat orang lain lebih dari kita, dari segi gaji, pangkat, harta, jabatan, rumah besar, mobil mewah…..

Sumber: 
Bila Allah Tak Menghendaki Kita Lagi* - Islampos

Ini Jejak Wabah yang Pernah Menghampiri Makkah

Pemerintah Arab Saudi menutup sementara Makkah untuk kegiatan umrah. Bahkan pada Jumat (6/3), Masjidil Haram dan Ka’bah ditutup, sehingga pusat peribadatan umat Muslim dunia itu tampak lengang.
Penutupan itu merupakan langkah lanjutan dari pemerintah Arab Saudi dalam mencegah penyebaran Virua Covid-19 alias Corona. Tanah suci pun disterilkan. Ka’bah kosong dari keseharian para jamaah yang melakukan tawaf.

Sebelum virus Covid-19 membayangi Makkah, berbagai wabah juga pernah ‘mampir’ di Makkah. Wabah penyakit bahkan menimbulkan kematian dengan angka yang tinggi pada para umat muslim dunia yang menyelenggarakan Ibadah Haji. Awal dekade 2010-an, tepatnya pada 2012 keluarga virus Corona muncul di Arab Saudi, yakni virus CoV, di mana penyakitnya disebut sebagai Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Mekkah sebagai pusat ibadah umat Islam tak lepas dalam penyebaran virus ini.

Hingga saat ini, terdapat dugaan kuat bahwa unta Arab atau dromedaris adalah spesies kunci dari penyebaran wabah MERS ke manusia. Sejak muncul pertama kali pada 2012, ia telah ditularkan ke ribuan orang di lebih dari 26 negara. WHO menyebut, hingga November 2019, sekitar 2494 kasus dilaporkan terkait MERS, di mana 858 di antaranya sudah meninggal dunia. Sebagian besar kasus MERS terjadi di Saudi Arabia. Namun, jauh sebelum MERS, sejumlah wabah juga sempat membayangi Tanah Suci. Menurut Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Times to the Present (2008) yang ditulis George Childs Kohn, Kolera menjadi wabah langganan yang selalu datang ke Mekkah.

Kolera kerap kali dibawa oleh jamaah haji dari luar Arab Saudi, yang kemudian menularkan penyakit diare akibat infeksi bakteri itu ke para jamaah haji dari berbagai belahan dunia lainnya. “Makkah (kota suci Islam di Arab Saudi) adalah pusat difusi yang paling rawan dalam penyebaran kolera, epidemi Kolera di sana pecah sebanyak 33 kali antara 1830 dan 1912,” tulis Kohn. Menurut catatan Kohn, Makkah dan ritual ibadah haji tahunannya kerap memiliki ‘peran’ dalam penyebaran Kolera ke berbagai belahan dunia. Para jamaah yang tertular di Mekkah, kemudian menularkan Kolera ke kampung halamannya. Indonesia pun tidak luput dari Kolera yang tertransmisikan di Ibadah Haji. 

Kasus wabah yang salah satu penyebarannya diperbesar oleh aktivitas Ibadah Haji di Makkah di antaranya kasus Wabah Kolera Asia 1826 – 1837. Dua tahun terparah Kolera yang menjangkiti Makkah adalah tahun 1831 dan 1865. “Epidemi kolera paling parah di Makkah meletus pada tahun ritual tahunan haji. Ritual keagamaan mempercepat penyebaran kolera di seluruh benua Afrika dan Eropa di sepanjang rute transportasi para jamaah,” tulis Kohn. 

Pada 1865 – 1875, wabah Kolera yang kerap dibawa jamaah muslim India bahkan menular ke 90 ribu jamaah. Sebanyak 30 ribu di antaranya meninggal. Para jamaah yang tertular berasal dari Irak, Suriah, Palestina, Turki, dan Mesir. Dari Mesir, Kolera ditularkan ke sebagian wilayah Eropa.  Kasus Kolera serupa terus terjadi, misal pada 1902 hingga periode 1961 – 1975. 

Selain Kolera, Makkah juga pernah dibayangi wabah Asia Afrika Accute hemmorhagic conjunctivist (AHC) pada 1969 – 1971. Pada tahun 1970an, penyakit mata yang dibawa jamaah haji itu bahkan menular ke Jawa Bali dan menjadikannya episentrum kedua wabah selain tanah Arab. 

Mundur ke tahun 1348 – 1349, Makkah juga terdampak Wabah Hitam Maut atau Black Death yang melenyapkan nyawa dua per tiga populasi Eropa saat itu (75 juta). Menurut Kohn, para beberapa warga Eropa berusaha melarikan diri dari wabah mematikan ini ke timur tengah. Namun mereka yang terjangkit kemudian menular ke jamaah haji di yang mereka temui dalam perjalanan menuju Makkah, dan menyebabkan kematian di Makkah. IHRAM

Sumber: 
Ini Jejak Wabah yang Pernah Menghampiri Makkah – Check Porsi Haji App.

Wacana Kebenaran Islam Pluralis
Yudi, Islampos 
 
DENGAN melepas klaim-klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan, mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap agama orang lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif mengarah kepada pandangan yang pluralis dari teologi kita sendiri, agama-agama akan mempunyai peranan penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dan peradaban masyarakat kita. “Kita para penganut agama akan bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan yang sama).” Kata Bhagavan Das dalam bukunya, The Essential Unity of All Religions (1966: hlm. 604). “Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.” 

Kutipan paragraf diatas merupakan sebuah Kata Pengantar dari Budhy Munawar-Rachman dalam bukunya yang lumayan tebal: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Buku yang bermotifkan keinginan untuk membumikan ajaran Islam Pluralis di tengah masyarakat muslim Indonesia ini berisikan banyak sekali justifikasi atas keabsahan konsep pluralisme dalam Islam. Saya akan mencoba sedikit mengkritisi buku tersebut, terutama dari bagian tulisan kata pengantar yang saya kutip diatas.


Seperti sudah lazim kita ketahui, ajaran pluralisme didasarkan pada asas ketidakpercayaan terhadap wahyu Tuhan. Hampir setiap tulisan tentang pluralisme dari para pengusung ajaran tersebut berisikan kritik dan sikap skeptis terhadap teks-teks ayat suci yang telah mapan. Dan hanya dengan sikap inilah pluralisme bisa dikembangkan. Jika konsep pluralisme masih mengacu pada ayat suci semisal Al-Qur’an maka konsep tersebut akan runtuh sebelum ia sempat dibangun. Maka yang harus menjadi landasan sikap kita ketika menganalisa hasil pemikiran dari para pengusung pluralisme adalah bahwa mereka merupakan kelompok orang yang tidak mempunyai keimanan terhadap wahyu Allah sehingga setiap hasil pemikiran mereka berasaskan kekufuran.

Dari kutipan kata pengantar buku ISLAM PLURALIS diatas, dapat kita lihat beberapa kesalahan mendasar dari pemikiran mereka. Yang pertama adalah kewajiban untuk melepas klaim-klaim kebenaran dan konsep penyelamatan dari semua agama. Artinya kalau kita mau menjadi seorang muslim pluralis kita harus melepaskan keyakinan akan kebenaran agama yang kita anut. Mari kita bandingkan pemahaman ini dengan teks Al-Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85). Coba saja sampaikan ayat ini kepada pengusung ajaran pluralisme Islam, tentu mereka akan mengatakan bahwa ayat ini perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan pemahaman mereka. Atau mungkin lebih ekstrim, mereka akan mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya hanya merupakan tambahan yang dimasukkan oleh cendekiawan muslim klasik ke dalam mushaf. 

Yang kedua, adalah tuduhan mereka bahwa muslim yang tidak mengikuti paham pluralisme menggunakan standar ganda terhadap agama orang lain. Coba kita simak kutipan dari bagian lain kata pengantar Budhy Munawar-Rachman: “Dalam soal teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya konstruksi manusia –atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri”.


Secara halus, sang penulis ingin menyesatkan pemikiran umat Islam dengan pernyataan bahwa ada dua kemungkinan yang sama-sama mungkin yaitu semua agama benar atau semua agama salah. Jelas sekali pemahaman ini berbeda dengan konsep kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (TQS Al-Maidah: 3). Ditambah dengan pernyataan Allah pada Ali Imran ayat 85 yang saya tulis diatas, jelas sekali Al-Maidah ayat 3 ini menunjukkan mafhum mukhalafah bahwa selain agama Islam tidak diridhai oleh Allah SWT. 

Yang ketiga, adalah kebingungan para pengusung pluralisme tentang konsep kebenaran itu sendiri. Berbagai pernyataan dan teori yang mereka sampaikan yang kelihatannya sangat ilmiah, menunjukkan kelemahan cara berpikir mereka. Mereka hanya mampu menunjukkan kesalahan beragama para penganut agama sekarang –ini menurut klaim mereka– tapi sepertinya mereka tak pernah mampu menunjukkan kebenaran itu sendiri. Coba saja rangkai berbagai tulisan mereka kemudian kita lihat secara seksama, maka kita akan menemukan keanehan dan keganjilan dari pemikiran mereka yang disebabkan oleh kebingungan mereka. Dan itu merupakan konsekuensi wajar terhadap orang yang tak mau beriman terhadap ayat-ayat Allah SWT. []

Sumber: 

Wacana Kebenaran Islam Pluralis
Apakah Boleh Menggabung Niat Puasa Rajab dengan Qadha Puasa Ramadhan? Simak Penjelasannya Minggu, 8 Maret 2020 04:49 - Editor: Nur Nihayati
SERAMBINEWS.COM: Ilustrasi puasa sunnah syawal 

Persoalan pun muncul ketika sebagian orang ingin menjalankan puasa Rajab sementara masih memiliki tanggungan utang puasa Ramadan. 

SERAMBINEWS.COM - Pada bulan Rajab, umat Islam disunnahkan untuk menjalankan puasa Rajab, sebagaimana puasa yang sunnah dilakukan di bulan-bulan mulia lainnya seperti bulan Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Catitan: [1 Rajab 1441H Selasa bersamaan 25/2/2020] Dilansir dari laman nu.or.id, kesunnahan puasa Rajab sudah tercakup dalam dalil anjuran berpuasa secara umum dan anjuran umum berpuasa di bulan-bulan mulia.

Persoalan pun muncul ketika sebagian orang ingin menjalankan puasa Rajab sementara masih memiliki tanggungan utang puasa Ramadan. Boleh menggabungkan niat puasa Rajab dengan qadha puasa Ramadhan?

Puasa Rajab sah dilakukan dengan niat berpuasa secara mutlak sebagaimana puasa sunnah lainnya. Puasa Rajab pun tidak disyaratkan ta’yin atau menentukan jenis puasanya. Dalam hal ini, umat muslim dapat membaca niat puasa, misalnya dengan niat 'Saya niat berpuasa karena Allah', tanpa harus ditambahkan 'karena melakukan kesunnahan puasa Rajab'.


Puasa qadha Ramadhan tergolong puasa wajib yang wajib ditentukan jenis puasanya, misalkan dengan niat 'Saya niat berpuasa qadha Ramadhan fardlu karena Allah'  

Dikutip dari laman nu.or.id, menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha Ramadhan hukumnya diperbolehkan atau sah. Pahala keduanya pun bisa didapatkan. Bahkan, menurut Syekh al-Barizi, meski hanya niat mengqadha puasa Ramadhan di bulan Rajab, pahala berpuasa Rajab akan diperolehnya. 

Berdasarkan atas keterangan dalam kitab Fathul Mu’in beserta hasyiyahnya, I’anatuth Thalibin kesimpulannya  sebagaimana berikut: 

“Dan dikecualikan dengan pensyaratan ta’yin (menentukan jenis puasa) dalam puasa fardlu, yaitu puasa sunnah, maka sah berpuasa sunnah dengan niat puasa mutlak, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama. 

Ucapan Syekh Zainuddin, meski puasa sunnah yang memiliki jangka waktu, ini adalah ghayah (puncak) keabsahan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak, maksudnya tidak ada perbedaan dalam keabsahan tersebut antara puasa sunnah yang berjangka waktu seperti puasa Senin-Kamis, Arafah, Asyura’ dan hari-hari tanggal purnama, atau selain puasa sunnah yang berjangka waktu, seperti puasa yang memiliki sebab, sebagaimana puasa istisqa’ dengan tanpa perintah imam, atau puasa sunnah mutlak. 

Syekh Zainuddin menyatakan, dengan niat puasa mutlak, maka cukup dalam niat puasa Arafah dengan niat semisal, saya niat berpuasa. Tegas Syekh Zainuddin, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh lebih dari satu ulama, maksudnya lebih dari satu ulama berpegangan dalam keabsahan puasa sunnah dengan niat puasa mutlak. 

Dalam kitabnya Syekh al-Kurdi disebutkan, dalam kitab al-Asna demikian pula Syekh Khatib al-Sayarbini dan Syekh al-Jamal al-Ramli, berpuasa di hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa secara otomatis tertuju pada hari-hari tersebut, bahkan apabila seseorang berniat puasa beserta niat puasa lainnya, maka pahala keduanya berhasil didapatkan. 

Dalam kitab al-I’ab ditambahkan, dari kesimpulan tersebut, Syekh al-Barizi berfatwa bahwa apabila seseorang berpuasa qadha (Ramadhan) atau lainnya di hari-hari yang dianjurkan berpuasa, maka pahala keduanya bisa didapat, baik disertai niat berpuasa sunnah atau tidak. 

Ulama lain menyebutkan, demikian pula apabila berketepatan bagi seseorang dalam satu hari dua puasa rutin, seperti puasa hari Arafah dan puasa hari Kamis." Amalan untuk Menambah Pahala. Berikut beberapa amalan untuk menambah pahala yang bisa dilakukan bebarengan dengan puasa Rajab yang Tribunnews (grup TribunJatim.com) kutip dari dakwahuii.com: 

1. Perbanyak Sayyidul Istighfar 

Umat muslim dianjurkan untuk banyak memohon ampun atas dosa-dosanya. Sayyidul Istighfar merupakan satu dari beberapa cara yang bisa mendatangkan pahala dan menghapus dosa. 

Berikut ini bacaan Sayyidul Istighfar:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ وَأَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَعْتَرِفُ بِذُنُوبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

"Ya Allah, Engkaulah Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Engkau sudah menciptakanku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan berusaha selalu ta’at kepada-Mu, sekuat tenagaku Yaa Allah. Aku berlindung kepada-Mu, dari keburukan yg kuperbuat. Kuakui segala nikmat yang Engkau berikan padaku, dan kuakui pula keburukan-keburukan dan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku ya Allah. Sesungguhnya tidak ada yg bisa mengampuni dosa kecuali Engkau." 

2. Perbanyak Doa 

Nabi Muhammad SAW saat memasuki bulan Rajab membaca doa berikut in: 

اَللّٰهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَاَعِنَّا عَلَى الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ

Allohumma baarik lanaa fii rojaba wa sya'banaa wa ballighnaa romadhonaa

Artinya: "Ya Allah berilah kami keberkahan di bulan Rojab dan Sya'ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan."

3. Perbanyak Zikir

Rasulullah SAW bersabda, "Dua kalimat yang ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan, dan disukai oleh (Allah) Yang Maha Pengasih yaitu kalimat Subhanallah Wabihamdihi, Subhanallahil 'Azhim,"(HR Bukhari 7/168 dan Muslim 4/2072) Yang artinya "Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah Yang Maha Agung."

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Apakah Boleh Menggabung Niat Puasa Rajab dengan Qadha Puasa Ramadhan? Simak Penjelasannya, https://aceh.tribunnews.com/2020/03/08/apakah-boleh-menggabung-niat-puasa-rajab-dengan-qadha-puasa-ramadhan-simak-penjelasannya

Sumber: 
Apakah Boleh Menggabung Niat Puasa Rajab dengan Qadha Puasa Ramadhan? Simak Penjelasannya - Serambi Indonesia

Tiada ulasan: