Sabtu, 25 April 2020

Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. 10247


"Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ’alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala." Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit dikatakan ibunya wanita yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh. 
Cara Belajar Khusuk Abu Yazid Al-Busthami
Sabtu, 25 April 2020 - 15:02 WIB
Cara Belajar Khusuk Abu Yazid Al-Busthami
Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini. Ilustrasi/Ist

ABU Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain. Tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: "...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah." (Baca juga: Sang Bunda Bebaskan Abu Yazid dari Kewajiban Berbakti Kepadanya) 

Setelah si ibu memasrahkan anaknya pada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bustham, merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun, dan melakukan disiplin diri dengan terus menerus berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam.

Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan. Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya, "Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu".

"Jendela? Jendela yang mana?" tanya Abu Yazid.

"Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pemah melihat jendela itu?"

"Tidak," jawab Abu Yazid. "Apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini".

"Jika demikian," kata si guru,"kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai."

Wahai, bagaimanakah saat kita salat? Bukankah saat itu kita menghadap pada Sang Maha Kuasa? Mengapakah masih peduli terhadap lainnya? Pikiran masih melantur ke mana-mana, hati masih diskusi sendiri?"

Celakalah engkau yang salat, yaitu engkau yang di dalam salatmu lalai, "Fawailulil musholin aladzinahum ansholati him sahun". "Inna sholati li dzikri" (Baca juga: Abu Yazid dan Seorang Muridnya(mhy)

Sumber: 
Kalam

Ingin Punya Anak, Tabib: 40 Hari Lagi Permaisuri Akan Mati
Jum'at, 24 April 2020 - 17:50 WIB
Ingin Punya Anak, Tabib: 40 Hari Lagi Permaisuri Akan Mati
Sesungguhnya aku tidak tahu kapan ajalku tiba, apa lagi ajal orang lain. Ilustrasi/Ist 

SEORANG raja memiliki istri yang sangat ia cintai. Sayang, istrinya tidak bisa memberinya keturunan. Banyak tabib telah berusaha mengobatinya, namun tidak berhasil. Ia diberitahu bahwa ada seorang tabib yang sangat mahir di suatu tempat tertentu.

"Panggillah ia kemari," titah sang raja. Tak beberapa lama datanglah sang tabib ke hadapan raja. 

Baca juga: 


"Jika kalian ingin aku mengobatinya, maka biarkanlah aku berdua dengan sang permaisuri, tutuplah dengan hijab," kata sang tabib. Mereka kemudian meninggalkan kedua orang itu.

"Setelah kuamati bukuku, ternyata ajalmu telah dekat. Sisa umurmu tak cukup untuk mengandung dan melahirkan. Umurmu hanya tinggal 40 hari lagi," kata sang tabib kepada permaisuri raja. Setelah merasa cukup berbicara dengannya, sang tabib kemudian mohon diri.

Sejak pertemuannya dengan sang tabib, nafsu makan permaisuri sangat berkurang. Makan siang dihidangkan, namun ia tidak memakannya. Makan malam disiapkan, ia juga tidak menyentuhnya. Raja khawatir dengan keadaan istrinya. "Apa yang terjadi denganmu?" tanya raja.

"Orang bijak itu mengatakan bahwa umurku tinggal 40 hari," jelas istrinya. Permaisuri lalu menceritakan semua yang dikatakan oleh sang tabib.

Semakin hari tubuh sang permaisuri semakin kurus. Empat puluh hari lewat sudah, tetapi ia tidak mati juga. Raja kemudian mengutus orang untuk mengundang sang tabib. "Empat puluh hari telah berlalu, namun istriku tetap hidup," kata raja kepada sang tabib.

"Sesungguhnya aku tidak tahu kapan ajalku tiba, apa lagi ajal orang lain. Namun saat itu, aku tidak menemukan obat yang lebih manjur dari berita yang menakutkannya. Istrimu selalu makan yang nikmat-nikmat sehingga lemak menutup rahimnya. Sekarang temuilah dia dan kumpullah dengannya. Insyaa Allah dia akan hamil." Tak lama kemudian tersebar berita bahwa permaisuri raja hamil. (mhy) 

Sumber: 
Kalam

Dari Abdullah Busr radhiyallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata, "Wahai rasulullah, sesungguhnya syari'at-syari'at Islam telah banyak yang menjadi kewajibanku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan!" Rasulullah bersabda, "Hendaknya senantiasa lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah." (HR. Tirmidzi No. 3297)

Aisyah radliallahu 'anha berkata, "Janganlah kamu meninggalkan shalat malam (qiyamul lail), karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya, bahkan apabila beliau sedang sakit atau kepayahan, beliau shalat dengan duduk." (HR. Sunan Abu Dawud No. 1112)  

Semut Saja Tidak Mau Bergantung pada Nabi Sulaiman
Kamis, 16 April 2020 - 06:13 WIB 
Semut Saja Tidak Mau Bergantung pada Nabi Sulaiman
Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib... Foto/Ilustrasi: Ist

NABI Sulaiman bin Daud adalah satu-satunya rasul yang memperoleh keistimewaan dari Allah SWT sehingga bisa memahami bahasa binatang. Dia bisa bicara dengan burung Hud Hud dan juga memahami bahasa semut. 

Dalam Al-Quran surah An Naml, ayat 18-26 adalah contoh dari sebagian ayat yang menceritakan akan keistimewaan Nabi yang sangat kaya raya ini. Allah berfirman, “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia berkata, hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.

Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan) sehingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut, hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. 


Baca Juga:





Maka Nabi Sulaiman tersenyum dengan tertawa karena mendengar perkataan semut itu. Katanya, Ya Rabbi, limpahkan kepadaku karunia untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku; karuniakan padaku hingga boleh mengerjakan amal soleh yang Engkau ridhai; dan masukkan aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh. (An-Naml: 16-19)

Menurut sejumlah riwayat, pernah suatu hari Nabi Sulaiman AS bertanya kepada seekor semut, “Wahai semut! Berapa banyak engkau perolehi rezeki dari Allah dalam waktu satu tahun?”

“Sebesar biji gandum,” jawab semut.

Kemudian, Nabi Sulaiman memberi semut sebiji gandum lalu memeliharanya dalam sebuah botol. Setelah genap satu tahun, Sulaiman membuka botol untuk melihat nasib si semut. Namun, didapatinya si semut hanya memakan sebahagian biji gandum itu.

“Mengapa engkau hanya memakan sebahagian dan tidak menghabiskannya?” tanya Nabi Sulaiman.

“Dahulu aku bertawakal dan pasrah diri kepada Allah,” jawab si semut. “Dengan tawakal kepada-Nya aku yakin bahwa Dia tidak akan melupakanku. Ketika aku berpasrah kepadamu, aku tidak yakin apakah engkau akan ingat kepadaku pada tahun berikutnya sehingga dapat memperoleh sebiji gandum lagi atau engkau akan lupa kepadaku. Kaena itu, aku harus tinggalkan sebagian sebagai bekal tahun berikutnya.”

Nabi Sulaiman, walaupun ia sangat kaya raya, namun kekayaannya adalah nisbi dan terbatas. Yang Maha Kaya secara mutlak hanyalah Allah SWT semata-mata. Nabi Sulaiman, meskipun sangat baik dan kasih, namun yang Maha Baik dan Maha Kasih dari seluruh pengasih hanyalah Allah SWT semata. Dalam diri Nabi Sulaiman tersimpan sifat terbatas dan kenisbian yang tidak dapat dipisahkan; sementara dalam Zat Allah sifat mutlak dan absolut.

Bagaimanapun kayanya Nabi Sulaiman, dia tetap manusia biasa yang tidak boleh sepenuhnya dijadikan tempat bergantung. Bagaimana kasihnya Nabi Sulaiman, dia adalah manusia biasa yang menyimpan kedaifan-kedaifannya tersendiri. Hal itu diketahui oleh semut Nabi Sulaiman. Karena itu, dia masih tidak percaya kepada janji Nabi Sulaiman. Bukan karena khawatir Nabi Sulaiman akan ingkar janji, namun khawatir Nabi Sulaiman tidak mampu memenuhinya lantaran sifat manusiawinya.

Tawakal atau berpasrah diri bulat-bulat hanyalah kepada Allah SWT semata, bukan kepada manusia. (Baca juga: Rebutan Tahta di Kerajaan Daud, Absyalum Melakukan Kudeta (mhy)

Sumber: 
Kalam

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya' secara berjamaah, itu seperti beribadah setengah malam. Dan barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya' dan Subuh secara berjamaah, maka ia seperti beribadah semalam penuh." (HR. Sunan Abu Dawud No. 468) 

Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Perintah Jima' di Malam Hari
Jum'at, 24 April 2020 - 07:24 WIBSejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Perintah Jima di Malam Hari
Dulu, saat Nabi SAW datang ke Madinah, beliau hanya melakukan puasa Asyuro dan puasa tiga hari pada setiap bulannya. Hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan. Foto/Dok SINDOnews

Dai yang juga pengajar Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir mengulas sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan dalam bukunya "Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan".

Imam At-Thobari dalam Jami' Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal RA berkata: "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) datang ke Madinah maka puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa 'Asyuro dan puasa tiga hari pada setiap bulannya. Hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan, dan Allah menurunkan ayat-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kammu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqarah: ayat 183)

Hingga ayat: "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin".

Baca Juga:





Pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa, dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun, pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh ummat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa.

Tidak ada pilihan untuk berbuka, dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat yang artinya: "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".

Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim menjelaskan, proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan salat, dimana keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan. Perihal perubahan tahapan dalam puasa juga terjadi hingga tiga kali.

Awalnya ketika tiba di Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro', lalu kemudian turun syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183), dan ini dinilai sebagai tahapan pertama.

Pada masa awal-awal puasa Ramadhan masih sifatnya pilihan, siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah. Tapi ketika Allah menurunkan ayat-Nya: "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu".

Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Dan sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua dalam syariat puasa.

Seperti yang disinggung di atas, awal pensyariatan puasa, para sahabat boleh untuk makan dan minum dan berhubungan suami istri setelah tiba waktu berbuka dengan syarat itu semua dilakukan sebelum tidur. Jika sudah tertidur maka semua yang tadi tidak boleh dilakukan walaupun terjaganya sebelum Fajar.

Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara' bin Azib berkata: Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah SAW ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan. Bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma, ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun, istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya.

Ketika menunggu istrinya mencari makan, Qais ini ketiduran karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: "Celakahlah engkau!". Esok harinya Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada Nabi, maka turunlah ayat:

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur (jima') dengan istri-istri kamu". Dari sana mereka semua bergembira, lalu turun kelengkapan ayat berikutnya: "Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar (Shubuh)."

Dan dalam waktu bersamaan, Sayyidina Umar bin Khattab RA juga menceritakan bahwa dirinya sempat mendatangi istrinya, padahal itu dilakukannya setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Akhirnya Allah menurunkan: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu". "dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.

Demikian sejarah penyariatan puasa Ramadhan dan kisah para sahabat ketika menjalani puasa. Cerita ini dinilai sebagai penyempurna dari persyariatan puasa yang melalui tiga tahapan.

Wallahu A'lam Bish Showab
(rhs)
Kalam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, yaitu seorang yang sudah tua berzina, orang miskin namun sombong, dan pemimpin yang pendusta." (HR. Nasa'i No. 2528)
Dari Qais bin Sa'ad bin 'Ubadah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang dapat mengantarkanmu menuju pintu-pintu surga?" Jawabku; "Tentu." Beliau bersabda: "LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAH (Tidak ada daya dan upaya kecuali milik Allah)." (HR. Tirmidzi No. 3505)

"Subhanallah, Dia Bagaikan Bulan Purnama di Malam yang Gelap"
Kamis, 16 April 2020 - 08:51 WIB
Subhanallah, Dia Bagaikan Bulan Purnama di Malam yang Gelap
Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Ilustrasi: Youtubelllll
SUATU hari Tsabit bin Ibrahim berjalan di pinggiran kota Kufah yang panas. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar dari sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit.

Tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel itu. Hem ... enak. Akan tetapi baru setengahnya dimakan, Tsabit berhenti mengunyah. Ia seakan tersadar akan sesuatu.

Astagfirullah... Ia tersadar bahwa buah itu bukan miliknya. Tsabit menganggap perlu izin pemilik kebun apel sebelum memakan buah itu. Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya. Ia ingin meminta pemilik kebun apel agar menghalalkan buah yang telah dimakannya itu.

Di dalam kebun ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya".

"Aku bukan pemilik kebun ini. Aku pembantu yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya," jawab laki-laki itu.

"Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini," ujar Tsabit dengan nada menyesal.

Pengurus kebun itu memberitahukan, apabila ingin pergi ke rumah majikannya maka harus menempuh perjalanan sehari semalam.

Tsabit bin Ibrahim tidak peduli. Ia bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya," katanya.

Rasulullah SAW, kata Tsabit, sudah memperingatkan kita lewat sabdanya. "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"

Tsabit lalu pergi ke rumah pemilik kebun itu. Rumah yang sangat jauh. Ia berjalan sehari semalam tanpa merasa letih. Setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Seorang lelaki tua membuka pintu. Tsabit memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu?"

Lelaki tua itu mengamatinya Tsabit dengan cermat. "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat," ujar lelaki tua itu tiba-tiba.

Tsabit terhenyak dan merasa khawatir.. Ia takut tidak bisa memenuhi syarat yang diminta pemilik kebun apel. "Apa syarat itu tuan?" ucap Tsabit kemudian.

Lelaki tua itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku!"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami tidak yakin akan maksud dan tujuan lelaki itu. "Apakah hanya karena aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?" tanya Tsabit penuh keheranan.

Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia gadis yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"

Tentu saja Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?

Tanpa menghiraukan kebingungan Tasbit lelaki tua itu menandaskan, "Selain syarat itu, aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan!"

Tak ada jalan lain bagi Tsabit. Ia kemudian menjawab, "Baiklah. Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya," ujarnya.

"Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ’alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala," tambah Tsabit kemudian.

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Dalam akad nikah, pemilik kebun itu menghadirkan dua orang saksi. Dan usai akad nikah, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya.

Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga.

"Assalamu'alaikum..." Tsabit mengucapkan salam.

Tak dinyana sama sekali, gadis yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik.

Ketika Tsabit masuk, istrinya mengulurkan tangan menyambutnya. Sekali lagi Tsabit terkejut. Istrinya ternyata melihat. Tidak buta.

"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula," Tsabit membatin.

Tsabit berpikir, mengapa ayah gadis ini menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan kenyataan? Setelah Tsabit duduk di samping istrinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?"

"Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab wanita itu.

"Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli," ucap Tsabit.

"Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah,” jawab istrinya. “Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?" tanya sang istri itu kepada suaminya.

Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Dengan lembut sang istri menjelaskan, "Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala".

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat salehah dan wanita yang memelihara dirinya.

Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".

Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit. (mhy)

Sumber: 
Kalam
Daftar Isi Al-Quran dan Terjemahan - Silakan Klik untuk membacanya:
  1. Surat Al Fatihah (Pembukaan)
  2. Surat Al Baqarah (Sapi Betina)
  3. Surat Ali 'Imran (Keluarga 'Imran)
  4. Surat An Nisa' (Wanita)
  5. Surat Al Ma'idah (Hidangan)
  6. Surat Al An'am (Binatang Ternak)
  7. Surat Al A'raf  (Tempat Tertinggi)
  8. Surat Al Anfal (Rampasan Perang)
  9. Surat At Taubah (Pengampunan)
  10. Surat Yunus (Nabi Yunus A.S.)
  11. Surat Hud (Nabi Huud A.S.)
  12. Surat Yusuf (Nabi Yusuf A.S.)
  13. Surat Ar Ra'd (Guruh)
  14. Surat Ibrahim (Nabi Ibrahim A.S.)
  15. Surat Al Hijr (Daerah Pegunungan)
  16. Surat An Nahl (Lebah)
  17. Surat Al Israa' (Memperjalankan Di Malam Hari)
  18. Surat Al Kahfi (Gua)
  19. Surat Maryam (Maryam)
  20. Surat Thaha (Thaahaa)
  21. Surat Al Anbiya' (Kisah Para Nabi)
  22. Surat Al Hajj (Ibadah Haji)
  23. Surat Al Mu'minun (Orang Mukmin)
  24. Surat An Nur (Cahaya)
  25. Surat Al Furqaan (Pembeda)
  26. Surat Asy Syu'ara' (Penyair)
  27. Surat An Naml (Semut)
  28. Surat Al Qashash (Cerita)
  29. Surat Al 'Ankabuut (Laba-Laba)
  30. Surat Ar Ruum (Bangsa Rumawi)
  31. Surat Luqman (Luqman)
  32. Surat As Sajdah ((Sujud)
  33. Surat Al Ahzab (Golongan Yang Bersekutu)
  34. Surat Saba' (Kaum Saba')
  35. Surat Fathir (Pencipta)
  36. Surat Yaasiin
  37. Surat Ash Shaffat (Yang Bershaf-Shaf)
  38. Surat Shaad
  39. Surat Az Zumar (Rombongan-Rombongan)
  40. Surat Al Mu'min (Orang Yang Beriman)
  41. Surat Fushshilat (Yang Dijelaskan)
  42. Surat Asy Syuura (Musyawarah)
  43. Surat Az Zukhruf (Perhiasan)
  44. Surat Ad Dukhaan (Kabut)
  45. Surat Al Jaatsiyah (Yang Berlutut)
  46. Surat Al Ahqaaf (Bukit Pasir)
  47. Surat Muhammad (Nabi Muhammad SAW)
  48. Surat Al Fath (Kemenangan)
  49. Surat Al Hujuraat (Kamar-Kamar)
  50. Surat Qaaf
  51. Surat Adz Dzaariyaat (Angin Yang Menerbangkan)
  52. Surat Ath Thuur (Bukit)
  53. Surat An Najm (Bintang)
  54. Surat Al Qamar (Bulan)
  55. Surat Ar Rahmaan (Yang Maha Pemurah)
  56. Surat Al Waaqi'ah (Hari Kiamat)
  57. Surat Al Hadid (Besi)
  58. Surat Al Mujadilah (Wanita Yang Mengajukan Gugatan)
  59. Surat Al Hasyr (Pengusiran)
  60. Surat Al Mumtahanah (Wanita Yang Diuji)
  61. Surat Ash Shaff (Barisan)
  62. Surat Al Jumu'ah (Hari Jum'at)
  63. Surat Al-Munafiqun (Orang-Orang Munafik)
  64. Surat At Taghabun (Hari Ditampakkan Kesalahan-Kesalahan)
  65. Surat Ath Thalaaq (Talak)
  66. Surat At Tahrim (Mengharamkan)
  67. Surat Al Mulk (Kerajaan)
  68. Surat Al Qalam (Pena)
  69. Surat Al Haqqah (Kiamat)
  70. Surat Al Ma'arij (Tempat-Tempat Naik)
  71. Surat Nuh (Nabi Nuh A.S)
  72. Surat Al Jin (Jin)
  73. Surat Al Muzzammil (Orang Yang Berselimut)
  74. Surat Al Muddatstsir (Orang Yang Berselimut)
  75. Surat Al Qiyamah (Hari Kiamat)
  76. Surat Al Insaan (Manusia)
  77. Surat Al Mursalat (Malaikat-Malaikat Yang Diutus)
  78. Surat An Naba´ (Berita Besar)
  79. Surat An Naazi´ (Malaikat-Malaikat Yang Mencabut)
  80. Surat 'Abasa (Bermuka Masam)
  81. Surat At Takwir (Menggulung)
  82. Surat Al Infithar (Terbelah)
  83. Surat Al Muthaffifiin (Orang-Orang Yang Curang)
  84. Surat Al Insyiqaaq (Terbelah)
  85. Surat Al Buruuj (Gugusan Bintang)
  86. Surat Ath Thaariq (Yang Datang Di Malam Hari)
  87. Surat Al A´Laa (Yang Paling Tinggi)
  88. Surat Al Ghaasyiyah (Hari Kiamat)
  89. Surat Al Fajr (Fajar)
  90. Surat Al Balad (Negeri)
  91. Surat Asy Syams (Matahari)
  92. Surat Al Lail (Malam)
  93. Surat Adh Dhuhaa (Waktu Dhuha)
  94. Surat Alam Nasyrah /Al Insyirah (Bukankah Kami Telah Melapangkan)
  95. Surat At Tiin (Buah Tin)
  96. Surat Al 'Alaq (Segumpal Darah)
  97. Surat Al Qadr (Kemuliaan)
  98. Surat Al Bayyinah (Bukti Yang Nyata)
  99. Surat Al Zalzalah (Goncangan)
  100. Surat Al 'Adiyat (Kuda Perang Yang Berlari Kencang)
  101. Surat Al Qari'ah (Hari Kiamat)
  102. Surat At Takatsur (Bermegah-Megahan)
  103. Surat Al 'Ashr (Masa)
  104. Surat Al Humazah (Pengumpat)
  105. Surat Al Fiil (Gajah)
  106. Surat Quraisy (Suku Quraisy)
  107. Surat Al Ma'un (Barang-Barang Yang Berguna)
  108. Surat Al Kautsar (Nikmat Yang Banyak)
  109. Surat Al Kafirun (Orang-Orang Kafir)
  110. Surat An Nashr (Pertolongan)
  111. Surat Al Lahab (Gejolak Api)
  112. Surat Al Ikhlas (Memurnikan Keesaan Allah)
  113. Surat Al Falaq (Waktu Subuh)
  114. Surat An Naas (Manusia)


Tiada ulasan: