Rabu, 24 April 2019

Kita bukan siapa-siapa? 9357.


Apakah Salaman Setelah Shalat Fardhu Termasuk Ciri Bid’ah?
by yudi
Salaman Setelah Shalat Fardhu
AL-IMAM An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

وَأَمَّا مَا أَعْتَادَهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ فَإِنَّ أَصْلَ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ خَصُّوهَا بِبَعْضِ الْأَحْوَالِ وَفَرَّطُوا فِي أَكْثَرِهَا لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ الْبَعْضَ عَنْ كَوْنِهِ مَشْرُوعَةً فِيهِ

“Adapun apa yang telah dijadikan adat/kebiasaan manusia berupa salaman setelah sholat Subuh dan Ashar, maka tidak ada asalnya (dalilnya) di dalam syari’at di atas bentuk yang seperti ini. Akan tetapi tidak mengapa (boleh). Sesungguhnya salaman, adalah perkara yang disunnahkan. Kondisi mereka mengkhususkannya di sebagian kondisi dan berlebih di kebanyakkannya, tidaklah sebagian itu mengeluarkan dari kedudukannya sebagai sesuatu yang disyari’atkan di dalamnya.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/634 ]. 

Seorang ulama salafy, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata : 

وسئل فضيلة الشيخ: عن حكم المصافحة في المسجد حيث اعتاد كثير من الناس ذلك بعد الصلاة؟ فأجاب فضيلته قائلاً: هذه المصافحة لا أعلم لها أصلاً من السنة أو من فعل الصحابة – رضي الله عنهم – ولكن الإنسان إذا فعلها بعد الصلاة لا على سبيل أنها مشروعة، ولكن على سبيل التأليف والمودة، فأرجو أن لا يكون بهذا بأس، لأن الناس اعتادوا ذلك.أما من فعلها معتقداً بأنها سنة فهذا لا ينبغي ولا يجوز له، حتى يثبت أنها سنة، ولا أعلم أنها سنة.

Soal : “Asy-Syaikh yang mulia ditanya tentang hukum salaman di masjid setelah sholat dimana hal itu telah jadi adat kebanyakkan manusia?”


Jawab : “Salaman ini, aku tidak mengetahui asalnya (dalilnya) dari sunnah atau dari perbuatan para sahabat –radhiallohu ‘anhum-. Akan tetapi, apabila manusia melakukannya setelah sholat tidak di atas keyakinan bahwa hal itu disyari’atkan, akan tetapi sebagai bentuk rasa kasih sayang dan kecintaan, maka aku berharap hal ini tidak mengapa (boleh). Karena manusia telah menjadikan hal itu sebagai adat (kebiasaan). Adapun jika seorang melakukannya dalam kondisi menyakini sesunggunya hal itu sunnah, maka ini tidak seyogyanya dan tidak boleh, sampai tetap sesungguhnya hal itu sunnah. Dan aku tidak mengetahui sesunggguhnya hal itu sunnah.”

[ Majmu’ Fatawa wa Rasail fadhilatusy syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- : 13/287 no : 581]

Faidah dari ucapan Imam Nawawi dan Asy-Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin -rahimahumallah- : 

1]. Salaman, secara asal merupakan perkara yang disunnahkan dalam syariat Islam. Akan tetapi waktu pelaksanaannya bersifat mutlak (tidak ada ketentuan harus di waktu ini dan itu).

2]. Pengkhususan salaman di waktu-waktu tertentu, tidak merubah hukum salaman sebagai sesuatu yang disunnahkan. Termasuk pengkhususannya setelah shalat fardhu.

3]. Pengamalan salaman secara berlebih dalam waktu-waktu tertentu, tidak mengeluarkannya dari sesuatu yang disyariatkan.

4]. Salaman setelah shalat fardhu hukumnya disunnahkan (menurut Imam Nawawi) dan boleh (menurut asy syaikh Ibnu Utsaimin) untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan saling mencintai.

5]. Masalah salaman setelah shalat fardhu termasuk masalah adat kebiasaan saja. Jadi tidak harus ada contohnya dari nabi.

6]. Jika kita shalat di suatu masjid yang terbiasa dengan adat bersalaman setelahnya, seyogyanya kita tidak keluar dari adat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Aqil Al-Hambali -rahimahullah- :

لا ينبغي الخروج من عادات الناس

“Tidak seyogyanya untuk keluar dari adat kebiasaan manusia.”(selama adat tersebut bukan perkara haram atau melanggar syariat-pent). [ Al-Adabusy Syar’iyyah : 2/47 ].

Saya pribadi, walaupun tidak mengamalkan hal ini, akan tetapi kalau sedang shalat di masjid yang terbiasa dengannya, maka saya tidak menolaknya.


Mengelompokkan masjid yang ada amaliah salaman setelah shalat fardhu sebagai masjid bid’ah, merupakan tindakan yang tidak tepat. Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata :

فالواجب على العالمين أن لا يقولوا إلا من حيث علموا, و قد تكلم في العلم من لو أمسك عن بعض ما تكلم فيه منه لكان الإمساك أولى به و أقرب من السلامة له, إن شاء الله”.الإمام الشافعي ((الرسالة))

Maka wajib bagi orang-orang yang berilmu untuk tidak mengatakan kecuali apa yang mereka ketahui. Dan sungguh seorang telah berbicara dalam masalah ilmu. (Dimana) seandainya orang tersebut menahan diri dari sebagian (ilmu tersebut), dia tidak akan berbicara di dalamnya, sunghuh menahan diri itu lebih utama darinya (berbicara) dan lebih selamat baginya -insya Allah-. [ Ar Risalah : 41 ]. []

Facebook: Abdullah Al-Jirani
https://www.islampos.com/apakah-salaman-setelah-shalat-fardhu-termasuk-ciri-bidah-145101/?

Polemik Wanita Hamil dan Menyusui, Qadha atau Fidyah?
by yudi
Qadha atau Fidyah
PERLU untuk diketahui terlebih dahulu, bahwa wanita menyusui dan wanita hamil mengkhawatirkan anaknya atau janinnya atau dirinya sendiri, maka diperbolehkan untuk berbuka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ إِخْوَةِ بَنِي قُشَيْرٍ، قَالَ: أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلٌ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَيْتُ، أَوْ قَالَ: فَانْطَلَقْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَأْكُلُ، فَقَالَ: «اجْلِسْ فَأَصِبْ مِنْ طَعَامِنَا هَذَا»، فَقُلْتُ: إِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: «اجْلِسْ أُحَدِّثْكَ عَنِ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الصِّيَامِ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى»

“Terdapat seorang laki-laki dari Bani Abdullah bin Ka’bin saudara Bani Qusyair, ia berkata; para penunggang kuda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyerang kaum kami, kemudian aku sampai -atau ia mengatakan; aku pergi- kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara beliau sedang makan. Kemudian beliau berkata: “Duduklah dan makanlah sebagian makanan kami ini!” kemudian aku katakan; saya sedang berpuasa. Beliau berkata: “Duduklah! Aku ceritakan kepadamu mengenai shalat dan puasa. Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah shalat serta puasa dari seorang musafir, wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.” [ HR. Abu Dawud : 2408 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ].

BACA JUGA: Puasa bagi Wanita Hamil, Begini Nih

Al-Imam At-Tirmidzi –rohimahullah- berkata:

وَلَا خِلَافَ فِي جَوَازِ الْإِفْطَارِ لِلْحَامِلِ وَالْمُرْضِعَةِ إِذَا خَافَتِ الْمُرْضِعَةُ عَلَى الرَّضِيعِ وَالْحَامِلُ عَلَى الْجَنِينِ

“Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama’ dalam masalah bolehnya berbuka bagi wanita hamil dan menyusui apabila wanita yang menyusui mengkhawatirkan anak yang disusui dan wanita hamil mengkhawatirkan janinnya”. [ Sunan At-Tirmidzi bersama Tuhfatul Ahwadzi : 3/330 ].

Setelah terjadi ijma’ ( kesepakatan para ulama’ ) bolehnya wanita hamil dan menyusui untuk berbuka ketika terdapat hal yang mengkhawatirkan kepada anak atau janinnya atau dirinya, kemudian mereka berselisih apakah membayar fidyah atau qodho’ ?

Perselisihan ini timbul karena tidak adanya dalil yang secara khusus atau secara langsung menunjukkan kepada permasalahan ini, baik dalil dari Al-Qur’an atau Al-hadits. Dalil yang ada hanyalah qiyas dan dalil lain, namun secara isyarat.

Adapun qiyas, maka yang menjadi titik pembahasan adalah firman Alloh Ta’ala:

أَيَّاماً مَعْدُوداتٍ فَمَنْ كانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [ QS. Al-Baqarah : 184 ].

Jika kita amati, halangan yang dibolehkan oleh Alloh untuk seorang tidak berpuasa itu ada dua jenis dan masing masing membawa konsekwensi berbeda :

[1]. Halangan yang bersifat temporer ( sementara waktu saja ) seperti sakit dan safar ( melakukan perjalanan jauh ). Yang dimaksud sakit di sini adalah jenis sakit yang potensi kesembuhannya masih berpeluang besar. Seperti : sakit flu biasa, sakit panas, pusing dan yang semisalnya. Sedangkan safar adalah suatu perjalanan yang secara urf ( adat kebiasaan setempat ) telah dianggap jauh dimana yang melakukannya berniat akan kembali jika hajatnya telah selesai.

Jika seorang tertimpa dua hal ini, maka wajib baginya untuk mengqodho’ ( mengganti ) puasa sesuai jumlah yang dia tinggalkan setelah keluar dari bulan Ramadhan. Berdasarkan firman Alloh di atas :

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ


“…..maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain….” [ QS. Al-Baqarah : 184 ].

[2]. Halangan yang sifatnya permanent ( terus-menerus ). Dan ini bagi mereka yang berat dalam menjalankan puasa. Dengan kata lain tidak ada qudrah ( kemampuan ) yang bersifat permanent untuk menjalankannya. Jika seorang tertimpa hal seperti ini, maka wajib baginya untuk membayar fidyah kepada fakir miskin.

Ketidakmampuan yang dimaksud di sini adalah ketidakmampuan secara mutlak ( tidak mampu sama sekali ) atau ada sedikit kemampuan, akan tetapi jika dipaksakan akan menimbulkan mudhorot yang besar.

Hal ini berdasarkan firman Alloh :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ

“….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin….”( QS. Al-Baqarah : 184 ).

Lantas siapa yang dimaksud “orang-orang yang berat menjalankannya” dalam ayat di atas? Maka mari kita kembalikan tafsirnya kepada para ulama’ ahli tafsir, terutama dari kurun sahabat.

BACA JUGA: Mau Mengqadha Puasa? Ini Aturannya

Al-Imam Ibnu Katsir –rohimahullah- berkata : dari Ibnu Abbas –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فِي الشَّيْخِ الْكَبِيرِ الذِي لَا يُطِيقُ الصَّوْمَ ثُمَّ ضَعُفَ، فَرَخَّصَ لَهُ أَنْ يُطْعِمَ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Ayat ini “….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin….”( QS. Al-Baqarah : 184 ), turun kepada orang tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa kemudian dia lemah. Maka diberikan keringanan baginya untuk memberi makan kepada orang miskin setiap harinya”. [ Tafsir Ibnu Katsir : 1/500 ].

Al-Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobari –rohimahullah- ( wafat : 310 H ) membawakan riwayat dari Ibnu Abbas –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

وَعلى الذين يطيقونه فدية طعامُ مسكين”، هو الشيخ الكبير كان يُطيق صومَ شهر رمضان وهو شاب، فكبر وهو لا يستطيع صومَه، فليتصدق على مسكين واحد لكل يوم أفطرَه

““….Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin….”( QS. Al-Baqarah : 184 ), dia itu adalah orang tua renta yang saat masih muda dia mampu puasa di bulan Ramadhan, lalu dia tua dalam kondisi dia tidak mampu untuk puasa, maka dia bersedekah memberi makan kepada orang miskin sesuai dengan banyaknya hari yang dia berbuka”. [ Tafsir Ath-Thobari : 3/429 ].

Kesimpulannya, yang dimaksud “orang yang tidak mampu untuk puasa” dalam ayat di atas adalah orang-orang yang telah masuk usia yang sangat tua yang sudah tidak mampu lagi untuk puasa dengan kondisi yang bersifat istimror ( terus menerus ).

Setelah kita ketahui dua hal di atas, sekarang saatnya kita bahas tentang wanita hamil dan menyusui. Apakah keduanya akan kita qiyaskan kepada jenis pertama ( temporer ) ataukah jenis kedua ( permanent ).

Jika kita teliti secara seksama, kehamilan dan persusuan, keduanya bersifat temporer ( sementara waktu saja ). Kehamilan akan selesai dengan melahirkan, dan persusuan akan selesai dengan disapih ( baik tepat waktu 2 tahun atau kurang daripada itu ). Bahkan untuk persusuan, bisa jadi rasa berat itu telah hilang dari ibu atau anak saat anak belum disampih. Karena usia bayi yang semakin bertambah dan adanya tambahan nutrisi makanan lain di luar asi.

Sehingga keduanya lebih tepat untuk diqiyaskan kepada jenis halangan yang pertama, yang bersifat sementara waktu. Seperti halnya orang sakit yang masih diharapkan sembuh atau musafir.

Oleh karena itu, telah diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrazzaq Ash-Shon’ani –rohimahullah- beliau berkata : Dari Ats-Tsauri dan Ibnu Juraij, dari Atho’ dari dari Ibnu Abbas –rodhiallohu ‘ahu- berkata :

«تُفْطِرُ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ، وَتَقْضِيَانِ صِيَامًا، وَلَا تُطْعِمَانِ»

“Wanita hamil dan menyusui berbuka di bulan Ramadhan mengqodho’ ( mengganti puasa ) bukan memberi makan ( faqir miskin ).” [ Al-Mushonnaf karya Al-Imam Abdurrazzaq Ash-Shon’ani : 4/218 No : 7564 ].

Beliau juga berkata : Dari Ma’mar, dari Qotadah, dari Al-Hasan beliau berkata :

«تَقْضِيَانِ صِيَامًا بِمَنْزِلَةِ الْمَرِيضِ يُفْطِرُ وَيَقْضِي وَالْمُرْضِعُ كَذَلِكَ»

“Keduanya mengqodho’ puasa seperti orang sakit, berbuka dan mengqodho’, wanita yang menyusui mengqodho’ juga seperti itu.” [ Al-Mushonnaf : 4/218 No : 7565 ].

Pengqiyasan wanita hamil dan menyusui kepada orang sakit dan musafir serta keterangan Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Bashri di atas, dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik –rodhiallohu ‘anhu-, Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ، أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنِ الْمُسَافِرِ، وَعَنِ الْمُرْضِعِ، أَوِ الْحُبْلَى

“Sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan setengah shalat serta puasa dari seorang musafir, wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.” [ HR. Abu Dawud : 2408 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikhh Al-Albani –rohimahullah- ].

Dalam hadits di atas, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menggandengkan hukum puasa wanita hamil dan menyusui kepada musafir. Dan telah kita ketahui bersama, bahwa musafir ketika tidak berpuasa dia wajib mengqodho’ bukan fidyah. Sebagaimana Alloh telah menggandengkan “orang sakit” dengan “musafir” dalam satu hukum ( qodho’ ) dalam surat Al-Baqarah : 184 ]. Jika penggandengan dalam hal ini tidak mengandung kesamaan hukum, lantas apa faidahnya dua kata ini digandengkan ?

Imam Al-Bukhari –rahimahullah- menyatakan : “Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibrahim (An-Nakha’i) berkata dalam masalah wanita menyusui dan wanita hamil : “Apabila keduanya mengkhawatirkan atas diri atau anak keduanya, maka mereka berdua berbuka dan setelah itu mengqadha’.”

Riwayat dari kedua imam tersebut, telah dimaushulkan oleh Abdu bin Humaid sebagaimana penuturan dari Imam Al-Bukhari. Simak “Fathul Bari” : 9/245/2466. Senada dengan ucapan keduanya, apa yang dinyatakan juga oleh Imam Al-Auza’i –rahimahullah- sebagaimana dinukil dalam kitab “Al-Istidzkar” : 10/222.

Mungkin ada yang akan bertanya, bahwa Ibnu Abbas –rodhiallohu ‘anhu- juga memiliki pendapat lain, bahwa wanita hamil dan menyusui membayar fidyah bukan qodho’. Ibnu Abbas –rodhiallohu ‘anhu- berkata :

والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا , وأطعمتا كل يوم مسكينا “

“Wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir, boleh berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya.” [ Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thobari dalam “Tafsirnya” : 3/413 No : 2752 dan 2753, Ibnul Jarud dalam “Al-Muntaqo” : 381 dan Al-Baihaqi : 340 dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-. Simak : Irwaul Gholil : 4/18 ].

Jawab : Benar, riwayat di atas ada dan shohih. Berarti Ibnu Abbas punya dua riwayat, yaitu riwayat yang menyatakan qodho’ dan riwayat yang menyatakan fidyah. Menyikapi kondisi seperti ini, maka dua riwayat itu kita teliti manakah yang lebih mendekati kepada dalil dan qiyas. Tentu riwayat beliau yang menyatakan qodho’ lebih sesuai dengan dalil dan qiyas. Lihat kembali penjelesan di atas dari sisi qiyas dan dalil dalam masalah ini.

Pendapat yang menyatakan qodho’ untuk wanita hamil dan menyusui ketika sangat berat dan mengkhawatirkan atas dirinya atau atas dirinya dan janin dan bayinya, merupakan pendapat yang dipilih oleh jumhur ulama’, diantara mereka Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Akan tetapi, untuk Syafi’iyyah dan Hanabilah disamping qadha’, mereka menambahkan fidyah apabila keduanya (wanita hamil dan menyusui) berbuka hanya karena kekhawatiran kepada janin atau bayi. Dan ini berlaku dalam seluruh keadaan dimana seorang yang berbuka untuk kemashlahatan orang lain, maka dia mengadha’ dan membayar fidyah. Misal : seorang yang yang berbuka untuk menyelamatkan orang yang akan tenggelam. Maka orang ini harus mengqadha’ dan membayar fidyah.

Imam Khathib Asy-Syirbini –rahimahullah- (w. 977 H) berkata :

(فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ حُصُولِ ضَرَرٍ بِالصَّوْمِ كَالضَّرَرِ الْحَاصِلِ لِلْمَرِيضِ (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَالْأَوْلَى أَنْفُسِهِمَا وَلَوْ مَعَ الْوَلَدِ (وَجَبَ الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ… (أَوْ) خَافَتَا (عَلَى الْوَلَدِ) وَحْدَهُ بِأَنْ تَخَافَ الْحَامِلُ مِنْ إسْقَاطِهِ أَوْ الْمُرْضِعُ بِأَنْ يَقِلَّ اللَّبَنُ فَيَهْلَكَ الْوَلَدُ (لَزِمَتْهُمَا) مِنْ مَالِهِمَا مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ)

“Jika keduanya (wanita hamil dan menyusui) berbuka karena khawatir dari timbulnya kemudharatan dengan sebab puasa terhadap dirinya walaupun bersama (kekhawatiran) terhadap anaknya seperti kemudharatan yang timbul pada seorang yang sakit, wajib bagi keduanya untuk qadha’ tanpa fidyah seperti orang sakit… Atau kkeduanya mengkhawatirkan terhadap anaknya saja, dimana wanita hamil khawatir akan keguguran atau wanita yang menyusui khawatir air susunya akan sedikit sehingga akan mencelakakan anaknya, maka wajib bagi keduanya untuk membayar fidyah bersamaan dengan qadha’ dalam pendapat yang paling tampak.”[ Al-Mughni Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Al-Fadzil Minhaj : 2/174 ].

Kesimpulan :

1). Wanita hamil dan menyusui dibolehkan untuk berbuka jika dengan berpuasa dikhawatirkan akan memudharatkan dirinya, atau janin dan anaknya, atau kedua-duanya.

2). Setelah itu keduanya wajib mengadha’ puasa sesuai dengan jumlah yang ditinggalkan. Ini madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Khusus untuk madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah ada tambahan membayar fidyah bersama qadha’, jika kekhawatiran tersebut mengarah kepada anak atau janin saja. []

Facebook: Abdullah Al Jirani
https://www.islampos.com/polemik-wanita-hamil-dan-menyusui-qadha-atau-fidyah-145106/?



Tiada ulasan: