Jumaat, 26 Oktober 2018

Al-Quran, pemandu perjuangan Islam. 8540.


Foto: Al-Quran, pemandu perjuangan Islam
Dakwah, Iqamatul Hujjah dan Jihad, Tiga Tahapan Penegakan Islam Jum'at, 19 Oktober 2018 11:00 

KIBLAT.NET – Sebuah riwayat menyebutkan, ketika Nabi SAW melakukan perjalanan dalam haji wada, beliau meminta Abdullah bin Abbas RA mengambilkan beberapa batu untuk melontar jumrah. Setelah melontar, lisan beliau mengucap nasihat bagi para sahabat, “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw dalam agama.” (HR. Ibnu Majah)

Selain adanya larangan bersikap ghuluw, Rasulullah SAW juga berulang kali mengingatkan para sahabat agar tidak memberatkan diri dalam beramal. Baik dalam beribadah maupun dalam muamalah, semuanya harus dilakukan dengan tuntunan yang telah Rasulullah SAW contohkan.

Demikian juga dalam penegakkan syariat, dakwah atau upaya untuk mengembalikan syariat agar tegak kembali secara kaffah juga harus dilandaskan kepada tuntunan yang dicontohkan Nabi SAW. Tidak boleh ghuluw (berlebih-lebihan) atau gegabah dalam bertindak. Ghuluw di sini bermakna ingin mendakwahkan syariat dengan cara-cara yang melampaui batas yang telah dituntun Nabi SAW. Seperti lebih suka menghakimi/memvonis daripada menyampaikan hujjah atau mengedepankan konfrontasi daripada dakwah. Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan cara yang dikehendaki Islam.

Karena itu, upaya mengembalikan syariat agar bisa diamalkan secara kaffah, butuh formulasi yang tidak menyimpang dari kehendak islam itu sendiri. Syaikh Safar Al-Halawi, dalam buku Al-Muslimiun Wal Hadharah Gharbiyah, menuliskan bahwa upaya untuk mengembalikan syariat Islam agar tegak dengan sempurna harus dilalui secara bertahap (tadarruj). Menurutnya, secara umum ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan oleh setiap mukmin:

Tahapan dakwah

Dakwah merupakan jihad pemikiran, yaitu menyampaikan ilmu dengan menawarkan nilai-nilai Islam. Tahapan ini harus dilalui walaupun butuh waktu yang lama dengan kondisi yang terus berubah-ubah. Butuh upaya yang sungguh-sungguh dalam menjalankannya. Sebab, dakwah bukanlah tugas yang mudah. Ia merupakan jalan yang cukup panjang, berliku, menanjak penuh rintangan dan cobaan. Karena itu, jalan yang berat ini hanya mampu dipikul oleh para nabi dan orang-orang yang istiqomah menapaki petunjuk mereka.

قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Dalam ayat di atas, seorang mukmin dituntut untuk mengikuti tuntunan Rasulullah dalam berdakwah. Yaitu atas dasar bashirah; ilmu dan keyakinan. Dalam makna lain, dakwah merupakan tuntutan iman, yang jika seorang mukmin meninggalkan kewajiban dakwah berarti ada masalah dengan keimanannya. Dalam berdakwah perlu didasari dengan ilmu yang lurus.

Tentang bagaimana metode yang diterapkan para nabi dalam menyampaikan dakwah, dalam Al-Quran, Allah ta’ala menurunkan sebuah metode yang tepat dalam menyampaikan misi dakwah. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Seruan dakwah harus dilaksanakan dengan lemah lembut dan bijaksana. Tidak memaksa dan tidak pula langsung menghakimi sesat bagi yang berseberangan dengan seruannya. Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir menerangkan, “Allah Ta’ala memerintahkan Nabi SAW untuk bersikap lemah lembut, seperti halnya yang telah Dia perintahkan kepada Musa dan Harun, ketika keduanya diutus Allah Ta’ala kepada Fir’aun, yang kisahnya disebutkan dalam firman-Nya:

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/613)

Sehingga dalam tahapan dakwah ini, seorang da’i harus merangkul umat, menjaga ikatan persaudaraan dan mencari titik simpul yang mampu menyatukan seluruh umat Islam. Harapannya, melalui tahapan ini, umat tersadarkan dengan pentingnya penegakkan syariat dalam hidup mereka. Karena itu, prinsip dalam tahapan ini harus sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi SAW:

بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا ، وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا

“Beri kabar kabar gembiralah dan jangan buat ia kabur, mudahkanlah dan jangan mempersulit,” (HR. Muslim)

Tahapan Iqamatul Hujjah (menegakkan hujjah)

Yaitu perpanjangan dari tahapan yang pertama. Ini dilakukan setelah jalan dakwah dirasa sudah buntu. Menegakkan hujjah dilakukan terhadap mereka yang terindikasi syubhat dan menentang seruan dakwah atau bagi mereka yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran. Tata caranya pun harus dimulai dengan cara yang baik dan tidak lepas dari norma-norma akhlak karimah.

Ketika menjelaskan QS. An-Nahl: 25 di atas; ‘Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik,’ Ibnu Katsir menuliskan, ‘Barangsiapa yang membutuhkan dialog dan tukar pikiran, maka hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut, serta tutur kata yang baik. Yang demikian itu sama seperti firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dhalim di antara mereka,” dan ayat seterusnya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 46) (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 4/613)

Dalam ayat lain Allah ta’ala berfirman: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Al-Furqan: 52)

Sehubungan dengan pengertian ini, Ibnu Qayyim menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa perintah jihad mutlak datang setelah hijrah. Adapun jihad hujjah (jihad keterangan) diperintahkan sejak di Mekah dengan firman-Nya,”Maka janganlah kami mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” inilah surah makiyyah, dan jihad di dalamnya adalah jihad tabligh dan jihad hujjah,” (Ibnu Qayyim, Zadul Ma’ad, 2/30)

Maknanya, tahapan iqamatul hujjah ini masih dalam katagori jihad pemikiran. Tidak ada kekerasan di dalamnya. Seorang da’i hanya berhak menyampaikan argumentasi sesuai dengan tingkat logika lawan yang dihadapi.

Tahapan Muqawamah (perlawanan)

Tahapan ini merupaka tahapan terakhir yang harus ditempuh umat islam dalam berdakwah. Sebab, bagaimana pun juga perjalanan dakwah selalu dihadang oleh musuh yang tidak ingin tegaknya Islam di muka bumi ini. Ketika dakwah dengan hujjah (argumentasi) tidak lagi efektif, justru yang diperoleh umat Islam diserang dan intimidasi, maka di sinilah perlunya tahapan muqawamah (perlawanan). Oleh sebab itu, penjagaan terhadap Islam tidak cukup hanya dengan dakwah, namun juga harus dikawal oleh jihad fi sabilillah. Allah ta’ala berfirman:

“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Seungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj: 40)

Imam Al-Qurthubi berkata, “Seandainya Allah ta’ala tidak mensyariatkan jihad untuk memerangi musuh, niscaya orang-orang musyrik akan berkuasa dan akan mengingkari seluruh syariat Allah. Akan tetapi, Allah ta’ala mewajibkan jihad memerangi mereka agar kaum muslimin bisa leluasa dalam beribadah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 12/70)

Begitu juga dalam hadits, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa jihad sebagai pengawal tegaknya dakwah akan terus berlangsung hingga hari kiamat terjadi. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِيَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِيْ الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جُوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ

“Jihad akan terus berlangsung sejak Allah mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal, ia tidak akan dihentikan oleh kejahatan orang jahat ataupun keadilan orang adil.” (HR. Abu Daud)

Perlu dipahami bahwa ini merupakan tahapan terakhir dalam memenangkan Islam. Yakni dilakukan setelah dakwah dan menegakkan hujjah terlaksana dengan baik. Sebab melalui jalan ini, Khilafah rasyidah sebagai sistem yang menerapkan syariat Islam mampu ditegakkan kembali. Namun sayangnya, sebagian aktivis yang memiliki semangat tinggi tidak dikawal dengan ilmu yang lurus. Sehingga tahapan-tahapan seperti ini tidak lagi dihiraukan.

Keinginan untuk memenangkan Islam, mereka awali dengan cara memvonis sesat/kafir terhadap orang yang menyelisihi mereka atau memerangi orang-orang kafir/munafik sebelum ditegakkannya hujjah. Padahal dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW, kita bisa melihat betapa beliau menyadarkan umat setahap demi setahap.

Beliau mengawalinya dengan cara berdakwah. Menyeru orang-orang musyrik agar menerima Islam. Butuh waktu yang panjang dalam berdakwah. Tidak cukup hanya menyampaikan wahyu, beliau juga harus membantah segala syubhat yang sengaja diciptakan musuh agar umatnya ragu terhadap ajaran Islam. Berikutnya dua tahun setelah hijrah baru kemudian syariat jihad diturunkan untuk melawan para tirani yang menghalangi tegaknya keadilan di muka bumi.

Sehingga bila kita perhatikan perjalanan Nabi SAW dalam memenangkan Islam, beliau lebih lama melaluinya dengan jihad pemikiran, yaitu dengan cara berdakwah dan menegakkan hujjah. Terhitung sejak periode mekah tiga belas tahun dan ditambah dua tahun setelah hijrah ke Madinah. Artinya untuk melalui tahapan pertama dan kedua itu butuh waktu yang tidak sebentar. Jadi, salah besar bila semangat menegakkan Islam diawali dengan jihad senjata sementara jihad dengan pemikiran dan menegakkan hujjah belum ditempuh dengan maksimal. Wallahu a’lamu bissowab

Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju
Dakwah, Iqamatul Hujjah dan Jihad, Tiga Tahapan Penegakan Islam - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/10/19/dakwah-iqamatul-hujjah-dan-jihad-tiga-tahapan-penegakan-islam/
BACA JUGA  Demo Jokowi-JK, KAMMI: 4 Tahun Rakyat Dibawa dalam Genangan Penderitaan
Foto: Bencana, Karena Hukum Allah tidak ditegakkan
Musibah Datang, Ketika Hukum Allah Tak Ditegakkan Sabtu, 13 Oktober 2018 18:42   0 Komentar

KIBLAT.NET – Ketika berbicara tentang musibah, maka ayat yang pertama ada dalam pikiran kita adalah ayat berikut, Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا

Artinya, “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS Fathir : 45)

Musibah datang silih berganti, ada gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Gunung Soputan meletus, Gempa di Situbondo. Ribuan rumah hancur, ribuan korban meninggal, belum lagi yang hilang terseret air dan tenggelam ditelan bumi. Ada apa ini? Apa sebabnya?

Mari kita bertanya pertanyaan yang sama, apakah kira-kira yang menyebabkan Allah menenggelamkan kaum nabi Nuh sehingga banjir besar menimpa mereka hingga menenggelamkan gunung-gunung? Allah SWT berfirman :

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُّنْهَمِرٍ  (11) وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَىٰ أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ

Artinya, “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah (11) Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan (QS Al-Qomar: 11-12)

Apa yang menyebabkan Allah mengirimkan angin badai kepada kaum Aad yang menjadikan mereka seperti pohon kurma yang lapuk? Apa yang menyebabkan Allah menimpakan kepada kaum Madyan awan azab yang menurunkan hujan api ? Apa pula yang membuat Allah menimpakan kepada kaum Tsamud suara yang membuat jantung mereka pecah? Apa pula yang menyebabkan Allah mengutus malaikat kepada kaumnya Nabi Luth, kemudian mengangkat tanah tempat mereka bertempat ke langit hingga penduduk langit mendengar teriakan mereka, lantas Allah balikkan tanah tempat tingga mereka dan Allah hujani mereka dengan batu dari neraka? Apa pula yang membuat Allah membenamkan Qarun dan Menenggelamkan penguasa Mesir?

Bukankah dosa, kemaksiatan dan pembangkangan terhadap Allah yang menyebabkan itu semua? Allah SWT berfirman :

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبِهِ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabut 40)

قال ابن القيم في الجواب الكافي: ” وعقوبات الذنوب نوعان : شرعية ، وقدرية ، فإذا أقيمت الشرعية رفعت العقوبة القدرية وخففتها ، ولا يكاد الرب تعالى يجمع على العبد بين العقوبتين إلا إذا لم يف أحدهما برفع موجب الذنب ، ولم يكف في زوال دائه ، وإذا عطلت العقوبات الشرعية استحالت قدرية ، وربما كانت أشد من الشرعية ، وربما كانت دونها ، ولكنها تعم ، والشرعية تخص ، فإن الرب تبارك وتعالى لا يعاقب شرعا إلا من باشر الجناية أو تسبب إليها .

Perlu diketahui bahwa Allah SWT menjadikan dua jenis hukuman lantaran dosa yang diperbuat. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Jawabul Kafi. Beliau berkata :

“HUkuman dosa itu ada dua, yaitu hukuman syar’i dan hukuman qadari. Jika hamba Allah menjalankan hukuman syar’i, maka Allah akan cabut dari mereka hukuman qadari atau Allah menguranginya. Dan Allah tidak akan mengumpulkan dua hukuman (syar’iyah dan qadariyah) terhadap makhluknya, kecuali hukuman tersebut tidak bisa mengangkat dosa atau tidak cukup untuk menghilangkan peyakit tersebut. Jika hukuman syar’iyah tidak dilaksanakan, maka yang datang adalah hukuman qadari, bisa saja lebih keras dari hukuman syar’iyah atau lebih ringan, akan tetapi dampaknya merata sedangkan hukuman syar’iyah dampaknya personal, Karena Allah SWT tidak menghukum secara syar’I kecuali kepada mereka yang melakukan criminal secara langsung atau menjadi penyebab.”(Al-Jawabul Kafi , hal 261)

Allah memberikan hukuman murtad dan hukuman atas kemaksiatan-kemaksiatan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syariat. Dan bentuk kasih sayang Allah adalah hukuman-hukuman atas pelanggaran syar’i hanya khusus bagi si pelaku. Hukuman tersebut tidak diberikan kecuali kepada siapa yang melakukan kemaksiatan atau terlibat dalam kemaksiatan. Sebuah kemaksiatan yang terjadi jika diinkari oleh manusia tidak akan membahayakan kecuali pelakunya saja, begitu pula jika kemaksiatan itu dilakukan secara sembunyi.

Namun, jika kemaksiatan terjadi secara terang-terangan dan tidak ada hukuman syar’i yang ditegakkan, maka pastinya Allah akan turunkan hukuman qadari. Dan seringkali hukuman qadari tadi lebih dahsyat dari pada hukuman syar’i. Jika hukuman syar’i bersifat khusus kepada pelaku kemaksiatan, maka hukuman qadari bersifat umum, menimpa siapa saja yang melakukan kemaksiatan dan mereka yang mendiamkannya dan tidak melakukan amar makruf.

Dalam penjelasan Ibnul Qoyim di atas, mengisyaratkan bahwa dunia tempat kita berpijak haruslah di atur dengan syariat Allah. Sehingga setiap perbuatan yang keluar dari syariat Allah akan mendapat hukuman syar’i. Jika ada pembunuhan, maka harus dipotog tangan, jika ada transaksi riba maka dilarang, jika ada perzinaan, maka dirajam dan seterusnya.

Jika ada kemungkaran-kemungkaran, maka ditegakkan atasnya nahi mungkar, sehingga bumi ini dikelola oleh sistem ilahi, diatur oleh tata kelola yang Allah tentukan. Hal itu dilakukan agar tidak mengundang hukuman qodari yang berupa bencana dan musibah.

Ibarat sebuah penyakit yang berbahaya, perlu segera mendapat penanganan dokter. Karena apabila tidak ditangani penyakit ini akan menyebar dan menimpa orang banyak. Begitu pulalah dosa, harus segera mendapat penanganan syar’i, agar dampaknya tidak meluas.

Dari Qais bin Abi Hazim, Qais berkata, “Abu Bakar –radhiyallahu anhu- berdiri memuji Allah dan memanjatkan pujian kepada-Nya, kemudian berkata, “Wahai manusia, kalian membaca ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” Sedangkan kami (Sahabat) mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran dan mereka tidak mengingkarinya, ditakutkan Allah meratakan mereka semua dengan azab-Nya.”

مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ، هُمْ أَعَزُّ وَأَكْثَرُ مِمَّنْ يَعْمَلُ بِهِ ، ثُمَّ لا يُغَيِّرُونَهُ إِلا أَصَابَهُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Ubaidullah bin Jarir dari bapaknya bahwsanya Nabi Allah Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah dilakukan kemaksiatan di tengah-tengah kaum tertentu, padahal mereka lebih kuat dan lebih banyak dari yang melakukan kemaksiatan, akan tetapi mereka tidak merubah kemungkaran tersebut, maka Allah akan ratakan mereka semua dengan azab.” (HR Ahmad 4/364)

Sesungguhnya kemaksiatan selama dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak dipertontonkan di hadapan orang banyak, maka Allah tidak akan menurunkan azab yang meratakan semua. Akan tetapi apabila mereka melakukan kemaksiatan secara terang-terangan dan tidak ada yang mengingkarinya, maka Allah akan turunkan azab dari sisi-Nya.

Sesungguhnya Ashabus Sabat bersiasat atas perintah Allah, dan tersebar di tengah mereka kemaksiatan secara sembunyi-sembunyi, maka Allah tidak meratakan azab-Nya terhadap mereka, namun ketika ikan-ikan tadi dijual di pasar, maka Allah ratakan mereka dengan hukuman. Allah SWT berfiman: 


وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ ۙ لَا تَأْتِيهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَبْلُوهُم بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Artinya, “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (QS Al-A’raf : 163)

Jika dosa-dosa besar yang membinasakan dilakukan secara terang-terangan oleh suatu kaum, seperti meminum khomr, tersebarnya zina, dihalalkannya musik, bertransaksi ribawi dan mereka mengesampingkan syariat Allah, maka dalil-dalil langit menyebutkan bahwa Allah akan meratakan azab. Gempa dan musibah lainnya adalah hukuman dari Allah yang tidak ada seorangpun bisa lari, kecuali lari kembali kepada Allah dan memohon ampun akan kesalahan yang kita lakukan.

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya, dari Mundzir Ats-Tsauri dari Hasan bin Muhammad berkata, “Seorang perempuan Anshor berkata berkata kepada saya, dia masih hidup hari ini, jika kamu mau saya akan datangkan kamu kepadanya, saya berkata, “ Tidak usah, sampaikan saja haditsnya.” Dia (perempuan Anshor) berkata, “Saya mendatangi Ummu Salamah, kemudian datang Rasul kepadanya seolh beliau beliau marah. Maka saya menutup wajah saya dengan lengan tangan saya, kemudian beliau mengatakan suatu perkataan yang aku tidak memahaminya, antas saya berkata, “Wahai Ummul Mukminin, seolah saya melihat Rasulullah SAW masuk dalam keadaan marah.” Beliau menjawab, “Iya, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakannya SAW.? Saya bertanya, “Apa yang beliau SAW katakan?” Dia (Ummu Salamah) berkata, “Sesungguhnya apabila keburukan tersebar di muka bumi dan tidak ada yang saling mengingatkan, maka Allah akan kirimkan hukumannya kepada penduduk bumi. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, (apakah mereka tetap dibinasakan) sedangkan di tengah mereka ada orang-orang sholih?” Dia (Ummu Salamah) berkata, ‘Rasulullah SAW berkata, “Ia meskipun ada orang-orang sholih di tengah mereka, orang-orang sholih terkena apa yang menimpa orang lain, kemudian Allah cabut mereka menuju ampunan dan keridhoan-Nya atau keridhoan dan ampunan-Nya.” (HR Ahmad)

Hadits di atas menjadi renungan bagi kita seua agar peduli terhadap dosa dankemaksiatan yang terjadi. Karena dosa dan kemaksiatan yang tidak diindahkan, tidak mendapat perlakuan syar’i, maka akan menjadi magnet yang sangat kuat untuk datangnya musibah sebagai bentuk hukuman Allah kepada hamba-Nya. 

Wallaho a’lamu bissowab
Penulis: Miftahu Ihsan
BACA JUGA  Merawat Ingatan akan Keagungan Kalimat Tauhid
BACA JUGA  Editorial: Bendera Tauhid dan Industri Kebencian
Musibah Datang, Ketika Hukum Allah Tak Ditegakkan - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/10/13/musibah-datang-ketika-hukum-allah-tak-ditegakkan/

Khutbah Jumat: Kewajiban Menolong Sesama MuslimKamis, 18 Oktober 2018 09:53

Pesan Berharga Ketua MUI Sulteng Pasca Bencana Melanda: Ber-istighfar lah!Ahad, 14 Oktober 2018 13:25
DSKS Imbau Khatib Jumat Angkat Tema tentang “Memuliakan Kalimat Tauhid” Jum'at, 26 Oktober 2018 11:44 
Foto: Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) Muinnudinillah Basri 

KIBLAT.NET, Solo – Kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh anggota Banser ketika peringatan Hari Santri Nasional terus mencuat. Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) mengimbau agar para khatib dan takmir masjid mengangkat tema khutbah tentang “Memuliakan Kalimat Tauhid”.

“Hal itu untuk memberikan pendidikan kepada umat, agar kasus di atas tidak terulang kembali,” kata Ketua DSKS Dr. Mu’inudinillah Basri di Solo, Kamis (25/10/2018).

Sosok kerap disapa Ustadz Mu’in itu kemudian menegasikan klaim GP Ansor yang menganggap bendera hitam yang dibakar itu milik ormas tertentu. “Padahal, bendera ini adalah panji Rasulullah,” tambahnya.

Reporter: Ibas Fuadi
Editor: M. Rudy
https://www.kiblat.net/2018/10/26/dsks-imbau-khatib-jumat-angkat-tema-tentang-memuliakan-kalimat-tauhid/

Hukuman Allah kepada Para Penista Syiar Islam Jum'at, 26 Oktober 2018 11:40 
Foto: Bendera Tauhid dibakar 

KIBLAT.NET – Umat Islam Indonesia sedang dihebohkan dengan kejadian yang membuat marah setiap muslim. Alih-alih dimuliakan karena kalimat tauhid adalah simbol kaum muslimin dan termasuk wahyu-Nya, ada oknum yang berulah dengan membakar bendera tauhid. 

Sontak ghirah dalam dada umat Islam bergejolak dan aksi-aksi jihadul kalimah pun dilaksanakan di berbagai tempat di Nusantara. Solo, Semarang, Yogyakarta dan di kota-kota besar lainnya kaum muslimin bergerak untuk membela kalimat yang paling mulia ini.

Kalimat tauhid adalah bagian dari syiar-syiar Allah yang ada di muka bumi. Sudah sepantasya sebagai seorang muslim, kita mengagungkannya. Allah SWT berfirman: 

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Artinya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj : 32)

Syiar-syiar Allah amatlah sangat banyak, Al-Quran dan hadits-hadits rasul juga bagian dari syiar Allah yang seharusnya diagungkan oleh umat Islam.
Sebagian dari manusia yang diberi akal oleh Allah ada yang mencoba melawan syiar-syiarNya dengan berbagai hal. Ada yang melawannya dengan perbuatan seperti pembakaran kalimat tauhid, namun ada pula yang menantang wahyu dengan logika.  Mereka mendewakan akal entah karena sombong atau karena iming-iming dunia. Apapun alasannya, tindakan ini tetaplah digolongkan sebagai perlawanan terhadap nash Allah dan bersiaplah bagi pelaku untuk menerima balasannya.

Melawan dan Meremehkan  Wahyu Allah

Salah satu contoh perbuatan melawan wahyu di masa Nabi dapat kiat temukan di kitab Shahih Muslim. Disebutkan Salamah bin Al Akwa’ berkata,

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.

“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)

Secara zahir hadits dapat kita ketahui bahwa ada seseorang yang menolak sabda Rasulullah soal makan dengan tangan kanan. Penolakan ini didasari karena sifat sombong, bukan karena ketidakmampuannya menggunakan tangan kanan. Maka, balasan bagi si penolak sabda Nabi ini terbayar kontan dengan tangannya yang tidak bisa sampai ke mulutnya persis seperti yang ia katakan sendiri.

Hadits ini menceritakan ketika Rasulullah kedatangan tamu di kota Madinah. Rasul sebagai tuan rumah menyambutnya dengan ramah dan murah hati. Satu di antara tamu yang datang mempunyai hati yang keras dan tercemar penyakit sehingga tertutup dari kebenaran.

Tiba saat makan siang, Rasulullah pun menghidangkan makanan istimewa pada para tamunya. Rasulullah mengamati seseorang disampingnya yang makan dengan tangan kiri. Nabi pun mengingatkannya dengan lembut,”Makanlah dengan tangan kanan.”

“Saya tidak bisa”, jawabnya singkat dengan kesombongan bukan karena ketidakmampuan.

Akhirnya, orang ini pun merasakan akibat dari kesombongannya melawan sabda Nabi. Sampai ajalnya ia tidak mampu mengangkat tangannya sampai ke mulutnya. Naudzubillah…

Hadits ini selain mengajarkan kita tata cara makan yang baik menurut syariat juga memperingatkan akan wabah penyakit hati berbahaya yang bernama kesombongan. Orang-orang yang sombong akan menolak kebenaran karena telah dipalingkan Allah dari kebenaran. Allah berfirman: 

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS.Al-A’raf:146)

Allah akan memalingkan orang sombong dari kebenaran dan jika mereka melihat sesuatu yang baik secara otomatis tidak akan mau menempuhnya. Kebalikannya jika melihat kesesatan, ia secara sukarela akan mengikutinya. Kesombongan seseorang terhadap syariat akan menyebabkan petaka pada dirinya karena berujung pada penolakan syariat Allah.

Ada lagi kisah seseorang yang meremehkan sabda Nabi dan langsung mendapat balasan dari Allah karena memandang sebelah mata wahyu dari-Nya. Dalam kitab Ta’zimus Sunnah disebutkan bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il At Taimiy –dalam penjelasannya terhadap shohih Muslim- mengatakan,

”Aku telah membaca di sebagian kisah (hikayat) mengenai sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

“Jika salah seorang di antara kalian bangun tidur, maka janganlah dia mencelupkan tangannya di dalam bejana sampai dia mencucinya tiga kali terlebih dahulu, karena dia tidak tahu di manakah tangannya bermalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan niatan mengejek, ahli bid’ah ini berkata, ”Ya, saya tahu ke mana tangan saya bermalam di ranjang!!” Lalu tiba-tiba pada saat pagi, dia dapati tangannya berada dalam dubur sampai pergelangan tangan.

Kesombongannya karena meremehkan sabda Nabi terbayar lunas di pagi harinya. Ia mengira bisa lepas dari ketentuan Allah Sang Pemilik Syariat. Jika ada seseorang yang berani meremehkan syariat, menghina wahyu-Nya dengan cara apapun dan berbangga dengan jumlah dan logika,maka bersiaplah menghadapi ketentuan-Nya.

Kalau kita menelusuri lebih dalam tentu banyak perlakuan-perlakuan manusia saat ini yang seenaknya meremehkan ayat-Nya. Entah dengan tindakan represif secara fisik menghancurkan, membakar simbol Islam misalnya bendera tauhid. Atau melecehkan syariat dengan perkataan, gurauan murahan dan semacamnya.

Tindakan-tindakan seperti itu tentu akan dibalas dengan tuntas oleh Allah dengan cepat atau lambat. Maka, jangan sekali-kali meremehkan syariat dan wahyu Allah, cukuplah contoh dari masa lalu dan abad ini menjadi perhatian kita semua. Wallahu a’lam bi shawab.

Penulis: Dhani El_Ashim
Editor: Arju
Sumber

1. Ta’zimus Sunnah wa Mauqifu Salaf Min man ‘Aradhoha aw Istihza bi Syai’in Minha karya Abdul Qayyum As-Suhaibaniy 

2. library.islamweb.net 

3. articles.islamweb.net

Hukuman Allah kepada Para Penista Syiar Islam - Kiblat
https://www.kiblat.net/2018/10/26/hukuman-allah-kepada-para-penista-syiar-islam/

BACA JUGA  Ismail Yusanto: HTI Tidak Punya Bendera



Tiada ulasan: